Senin, 07 November 2016

BASIYO, MANUSIA BIASA DAN MAESTRO




           Basiyo telah melampau dirinya. Ia bukan hanya pelawak legendaris Dagelan Mataram, tapi juga seorang maestro. Yakni,  sosok yang telah mengalami pencapaian mumpuni,  baik secara teknis, estetis maupun eksistensial.
Kreativitas humor-humor Basiyo --yang berbasis pada  kultur Jawa Mataraman-- adalah kreativitas yang lahir dari kepekaan sosial, kemampuan melakukan observasi (pengamatan lingkungan), cara pandang  subversif (tidak umum) atas realitas sosial, kecerdasan kreatif mengolah materi dan kemampuan teknis dalam mengkomunikasi ide-ide kepada masyarakat.
Selain itu, Basiyo berhasil di dalam menghadirkan karakter, identitas dirinya di dalam humor-humornya, sehingga selalu tampil khas dan membentuk gaya yang oleh publik dikenal “mbasiyo” (sebuah cara pandang subversif atas kenyataan). Karena itu, humor Basiyo adalah humor yang memiliki kepribadian.
Humor-humor Basiyo bukan banyolan artifisial atau semu/dangkal, vukgar,  tapi hasil olah-tafsir  atas realitas. Budayawan Umar Kayam mengatakan, Basiyo adalah seorang pengamat kehidupan dan lingkungan yang baik/mumpuni.”. Pendapat ini menegaskan, Basiyo sangat cerdas dan mampu merepresentasikan hasil pengamatan sosio-kulturalnya  dengan sangat kreatif, lucu, segar, memiliki pesan sosial terkait dengan kearifan lokal dan inspiratif.

Hingga kini, Dagelan Mataram Basiyo dkk tetap didengar, disimak, dinikmati, dihayati dan diapresiasi publik. Basiyo menjadi inspirasi yang tidak pernah basi, karena kedalaman konten humor dan kecerdasan serta cara pandangnya yang subversif di dalam menafsir realitas.   
Atas seluruh pencapaian secara estetik dan kultural, Basiyo berhasil mengangkat martabat seni lawak, khususnya Dagelan Mataram pada posisinya yang tinggi, setara dengan kesenian tradisional lainnya seperti wayang kulit, ketoprak dll. Dagelan Mataram tak lagi dipandang “rendah”.
Selain itu, Dagelan Mataram ala Basiyo mampu hadir menjadi inspirasi perkembangan seni lawak di Indonesia. Sebut saja misalnya pertumbuhan dan perkembangan estetika rombongan lawak Srimulat, pimpinan Teguh Srimulat yang moncer pada tahun  pertengahan 1970-an hingga akhir 1990-an. Dramaturgi, sistem pengadegan, karakterisasi tokoh dan pola ucap Srimulat tidak berbeda jauh dengan Dagelan Mataram. Basiyo pun memberi pengaruh signifikan pada para pelawak yang muncul setelah era dirinya, hingga kini.
Kemaestroan Basiyo dan Dagelan Mataram mampu membangun dua hal penting. Pertama,  tradisi humor/lawakan yang bebasis pada budaya lokal yang antara lain ditandai oleh kemunculan para pelawak tradisional baik yang hadir lawak lawakan mandiri, maupun yang hadir menjadi sub dalam pergelaran wayang kulit dan ketoprak. Tradisi humor ala Mataraman ini menjadi kekayaan kultural yang layak dipertahankan.
 Kedua,  membentuk sub-kultur dalam masyarakat, terutama di dalam cara berpikir dan berekspresi yang tidak kaku, linear, dan selalu kreatif untuk menemukan alternatif jawaban. Konkretnya, di Yogyakarta tumbuh tradisi berpikir dan berekspresi yang nakal, kreatif dan selalu memberikan tandingan budaya terhadap arus utama budaya atau main-stream.
Pendekatan Film Basiyo
            Menampilkan sosok Basiyo ke dalam film dokumenter atau semidokumenter, pada hakekatnya adalah menghadirkan “realitas bentukan” atau “realitas  yang dicitrakan”,  dan diupayakan untuk  mendekati kenyataan yang sesungguhnya. Sosok dan seluruh narasi hidup Basiyo, mau tidak mau, mengalami “reduksi” nilai karena (1) pertimbangan sudut pandang, (2) penafsiran (3)  kepentingan estetik,(4) kepentingan pesan sosial, (5) pertimbangan teknis dan (6) produksi (dana, SDM dll).
            Berbagai pertimbangan itu telah melahirkan film Basiyo Mbarang Kahanan –karya sutradra  Triyanto ‘Genthong’ Hapsoro berdasarkan skenario karya Joko Lisahandono, produksi Dinas Kebudayaan DIY bekerjasama Citra Sanggit Production--  sebagai film pendek (berdurasi 30 menit) yang memiliki beberapa pendekatakan.
            Pertama, pendekatan sudut pandang atas Basiyo sebagai manusia biasa yang berada di dalam arus zamannya. Basiyo dihadirkan sebagai tenunan teks yang dibaca pada saat “sekarang” (kekinian), antara lain ditandai (1) kultur warung angkringan dan (2) maraknya stand up comedy. Ini  sebuah cara anak muda memandang sosok Basiyo.
Tentu saja, konten bacaan dan pandangan tersebut  ditentukan oleh data dan fakta tentang Basiyo  yang dimiliki film makers. Data dan fakta yang didapat  menentukan angle atau sudut pandang dalam memfilmkan Basiyo: Basiyo dihadirkan sebagai sosok manusia biasa, seniman ketoprak dan dagelan mataram, lengkap dengan human interest-nya. Film ini memilih irisan-irisan kehidupan Basiyo sebagai basis penceritaan. Bukan bentuk banjaran, (kisah dari lahir hingga meninggal) seperti tampal dalam kelaziman film sejarah tokoh. Bangunan kisah, mengingatkan kita pada cerita pendek, yang diungkap secara visual-auditif.
Dalam sudut pandang kemanusiaan, Basiyo bergerak dalam dua dunia yakni  dunia kampung dan dunia kerja. Dunia kampung menghadirkan Basiyo sebagai orang biasa yang menjalani pesrawungan umum dengan sederhana dan wajar, meskipun kadang punya ide nyeleneh (nakal, keluar dari logika main-stream) seperti “menyuruh orang membongkar kandang ayamnya untuk disusun kembali,” atau “menyuruh membuka genting yang bocor saat hujan tiba agar ia bisa membersihkan lantai rumahnya.”
Adapun dinia kerja dihayati Basiyo sebagi pilihan atau panggilan jiwa yang wajib dilakoni sebagai dharma. Bagi Basiyo, dunia profesi –ketoprak dan dagelan—bukan dunia yang mudah, tapi dunia yang kompleks dengan pelbagai persoalan yang harus dihadapi dengan ketangguhan jiwa. Namun, Basiyo tidak dihadirkan sebagai super hero, tapi manusia biasa yang bisa saja sakit dan  “ragu pada pilihannya, dunia ketoprak”. Ini tampak misalnya pada adegan di mana ia menasehati anaknya, Harto yang “tidak usah jadi pemain ketoprak agar tidak menderita”. 
Impresi yang bisa ditangkap penonton adalah: secara sosial Basiyo adalah “orang biasa” yang menjalani profesinya dengan penuh etos, integritas, komitmen, dedikasi dan kemampuan; alias seniman sejati yang memiliki ide-ide kreatif.
Kedua,  pendekatan bertutur (berkisah) dalam berkomunikasi dan berdialog dengan penonton. Ada dua unsur pendukung dalam pendekatan ini, yakni (1) monolog Basiyo dalam lakon Basiyo mBarang, dan (2) pernyataan (kesaksian) tiga narasumber: Harto Basiyo, Widayat dan Anjarani.
Penggalan monolog  Basiyo --yang dicuplik dari rekaman Basiyo yang sudah ada sebelumnya—dijadikan sebagai titik pijak berkisah. Pilihan ini diperkuat dengan tayangan pernyataan Harto Basiyo –putra almarhum Basiyo—seputar monolog tersebut, sebagai salah satu kekuatan Basiyo dalam menggagas kahanan hidup yang dikontekstualisasikan dengan lakon.
Alur kisah pun bergerak. Basiyo tampil atau ditampilkan sebagai sosok seniman tradisional dalam kehidupan kesehariannya: berinteraksi dengan keluarga (anak dan isteri), tetangga (tukang tambal ban), tukang andong, para pemain ketoprak, para pemain dagelan dll.
Di sini muncul kesaksian  nara sumber Harto Basiyo (seputar suka duka menjalani profesi pemain ketoprak), Widayat (keterlibatan Basiyo sebagai penata efek suara di ketoprak RRI, dan rintisan Panggur Jenggleng dan Dagelan Mataram yang mengantarkan popularitas Basiyo)  dan Anjarani (seputar proses kreatif dan relasi sosial Basiyo dengan Darsono).
   Selanjutnya adalah guliran pelbagai adegan: rekaman dan pementasan ketoprak dan  dagelan Mataram yang melibatkan Basiyo, hingga momentum Basiyo sakit dan meninggalkan dalam pangkuan Bu Pudji, isterinya yang setia menjaga, merawat dan mengatur manajemen kesenian Basiyo.
Soal fakta bahwa Basiyo merupakan tokoh legenda Dagelan Mataram, dimunculkan pada teks akhir tayangan. Pilihan ini menegaskan bahwa film Basiyo Mbarang Kahanan adalah film yang mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan Basiyo yang muncul di dalam irisan-irisan peristiwa tekait dengan aktivitasnya sebagai seniman ketoprak dan seniman Dagelan Mataram. Realitas kemanusiaan dan sosial  Basiyo dalam film  menjadi teks yang memperkaya teks-teks tentang Basiyo sebagai maestro Dagelan Mataram yang selama ini hadir sebagai diskursus kebudayaan.
            Dari film ini, publik penonton bisa menangkap dan menyerap nilai-nilai yang disampaikan, antara lain (1) sosok Basiyo sebagai manusia lumrah yang konsisten memenuhi berbagai kewajiban sosial, (2) nilai-nilai kemanusiaan Basiyo yang terpancar dalam solidaritas, (3) integritas, komitmen, dedikasi dan profesionalitas khas seniman sejati yang dimiliki Basiyo. Semua dihadirkan melalui narasi-narasi kecil, peristiwa-peristiwa dramatik yang khas dan unik,   mencerminkan kehidupan sosok Basiyo dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi spirit komunal Yogyakarta pada era 1960-an hingga 1970-an. Film ini memberi pengetahuan penting bagi publik untuk lebih mendalami kemaestroan Basiyo dalam jagat Dagelan Mataram.
*) Indra Tranggonopemerhati kebudayaanpenikmat  dagelan mataram Basiyo
  
 (http://www.jogjafilm.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar