Senin, 27 April 2015

Zainal Bawa Songket Indonesia ke Luar Negeri

Hasil gambar untuk Zainal songket palembang

Ki Agus Zainal Arifin adalah salah seorang generasi ”Wong Palembang” yang berperan dalam melestarikan warisan budaya kain songket. Konsistensi Zainal menekuni seni tenun telah teruji selama lebih 25 tahun. Dia menjadi perajin, pengusaha, pengajar, perancang busana, sekaligus penulis buku tentang kain songket palembang.
Ketika ditemui di gerai Zainal Songket, satu dari lima gerainya yang berlokasi di sentra kerajinan songket Tangga Buntung, Kota Palembang, Sumatera Selatan, dengan bersemangat dia menceritakan pergulatannya dengan kain songket selama ini.
Zainal memang berasal dari keluarga perajin kain songket. Ibunya, Cek Ipah, masih mempunyai garis keturunan dari keluarga penguasa semasa era Kesultanan Palembang Darussalam.
Di rumah, Zainal kecil terbiasa melihat orang menenun kain songket. Ibunya tak sekadar menenun songket untuk mengisi waktu, tetapi juga membina perajin dan mengumpulkan karya songket mereka di gerainya.
”Keterampilan menenun songket saya peroleh dari Ibu,” ujarnya.
Lama-kelamaan dia tak puas hanya menguasai dasar-dasar menenun songket. Selain bisa menenun songket, dia juga ingin tahu bagaimana songket itu dihargai orang.
”Saya lalu berpikir untuk membuka usaha songket sendiri,” kata Zainal yang menamatkan pendidikan sarjananya di IKIP Jakarta.
Setelah berhasil mengumpulkan puluhan kain songket, baik buatan sendiri maupun para perajin binaan sang bunda, sekitar akhir tahun 1980-an Zainal membuka usaha sendiri. Dia mengubah ruang tamu dan ruang keluarga di rumahnya, Jalan Ki Gede Ing Suro, Palembang, menjadi gerai.
Seiring perjalanan waktu, orang mulai mengenal gerai Zainal Songket. Jumlah kain songket yang terjual dan yang bisa dihasilkan para perajin dirasakannya makin tak sepadan. Menenun songket memang memerlukan waktu berbulan-bulan. Di sisi lain, dia melihat banyak orang muda ataupun ibu rumah tangga yang kehidupannya susah.
Awal tahun 1990-an, Zainal mengajari menenun songket kaum muda dan para ibu rumah tangga di sekitar kampungnya. Mereka umumnya penganggur. Dia meyakinkan mereka, dengan menguasai tenun songket, uang bakal diperoleh.
”Saya sempat masuk-keluar enam desa miskin dan terpencil di Ogan Ilir dan Muara Enim. Tujuan saya hanya satu, mengajari anak muda dan para ibu itu menenun. Kegiatan ini berjalan sekitar dua tahun,” ujarnya.
Merancang busana
Semakin bergelut dengan songket, Zainal menyadari pasar kain songket bisa diperluas bila ia juga merancang busana berbahan baku songket. Maka, di waktu senggang, dia belajar bagaimana merancang busana secara otodidak. ”Saya membaca apa saja, dari majalah mode sampai referensi tentang desain dan motif-motifnya,” katanya.
Selama hampir dua tahun, Zainal bekerja keras menciptakan berbagai rancangan busana berbahan dasar kain songket. Selain membuat songket menjadi busana siap pakai, dia juga mencoba memadupadankan songket dengan berbagai kain tradisional dari sejumlah daerah di Indonesia.
Sejumlah karya Zainal, antara lain, berupa busana kombinasi songket kebaya, songket sutra, songket batik, dan songket ulos. Di gerainya, pengunjung tak hanya bisa mendapati berbagai kain songket dengan beragam kualitas, berharga dari sekitar Rp 500.000 sampai puluhan juta rupiah, tetapi juga busana siap pakai.
Gerainya pun sekarang menjadi lima, tersebar di Palembang, Jakarta, dan Bandung. Zainal juga mempekerjakan lebih dari 200 perajin di kawasan Tangga Buntung, dan membina sekitar 100 usaha kecil menengah di Sumatera Selatan, untuk menghasilkan berbagai motif kain songket.
Dari berskala nasional, usaha Zainal meningkat ke mancanegara. Tahun 1992 dengan modal sendiri, Zainal membawa kain songket palembang ke pameran di luar negeri. Kali ini tujuannya membuat songket dikenal di dunia internasional.
”Pameran pertama yang saya ikuti itu Tong Tong Fair di Belanda. Dari sini, saya mulai punya relasi dan pasar di beberapa negara Eropa,” katanya.
Selama belasan tahun ia melanglang ke sejumlah negara untuk mengikuti pameran. Ia, antara lain, mengikutsertakan songket palembang ke pameran di Singapura, Malaysia, Perancis, Belanda, Jepang, Mesir, dan China.
”Mereka (orang asing) umumnya sangat menghargai songket sebagai kerajinan tangan yang punya ciri tersendiri. Mereka bilang songket itu orisinal dan sangat etnik-tradisional,” kata Zainal.
Setiap kali mengikutkan kain songket palembang ke pameran di luar negeri, Zainal selalu membawa serta para model dari Indonesia. Alasannya, ini demi mewujudkan prinsip orisinalitas kain songket yang berasal dari salah satu tradisi bangsa Indonesia.
Penghargaan
Puluhan tahun konsisten berusaha mengembangkan kain songket palembang, peran Zainal itu mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Satu demi satu penghargaan pun diperolehnya.
Zainal, antara lain, meraih penghargaan Top Eksekutif pada 1997. Ia juga menerima penghargaan Upakarti untuk kategori Jasa Pelestarian Produk Tradisional dan Budaya Indonesia pada 2006. Tahun 2007 dia mendapat penghargaan dari mantan ibu negara AS, Laura Bush, untuk kategori keunikan kain songketnya.
Di samping itu, Zainal juga beberapa kali diikutsertakan dalam misi kebudayaan Indonesia ke sejumlah negara. Dia, antara lain, tampil dengan kain songketnya di Shanghai, China, tahun 2008, serta pada 2009 ke Brunei dan Singapura.
Setelah bergelut sebagai perajin, pengajar, pengusaha, dan perancang busana, Zainal berkeinginan menuangkan pengalaman dan pengetahuannya tentang kain songket dalam bentuk dokumentasi tertulis.
Tekad itu diwujudkannya lewat buku tentang songket. Judulnya, Indahnya Tradisi, Ditenun Sepenuh Hati yang terbit tahun 2006. Tahun ini Zainal bertekad menyelesaikan buku keduanya, masih bertema kain songket tentunya. (https://pensilwarnadesign.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar