BERJAM-jam sepatu berbahan kanvas itu mengendap di ember penuh air. Basah
kuyup, tapi tetap baik kondisinya. Wilfried Tampubolon, pemilik sepatu itu,
cuma bisa memandanginya dengan kecewa. Pupus harapannya untuk mendapat sepatu
baru. ”Dua tahun sepatu saya tidak diganti, makanya sepatu itu sengaja saya
rendam,” kata Wilfried tertawa mengenang kenakalannya semasa kanak-kanak.
Ibunya hanya mau membelikan sepatu baru kalau sepatu lama sudah rusak.
Nyatanya sepatu Bata miliknya awet dipakai bertahun-tahun. ”Keunggulan inilah yang membuat Bata bertahan sampai sekarang,” kata Wilfried, kini Operation Manager PT Sepatu Bata Tbk., kepada Tempo di kantornya. Bata bisa dibilang sebagai merek sepatu paling populer di Indonesia. Begitu kuatnya merek itu melekat di benak orang, ada yang menganggapnya asli Indonesia. Apalagi pabrik pertama sepatu ini berlokasi di Kalibata, Jakarta Selatan. Banyak yang mengira-ngira, nama Bata diambil dari nama kawasan itu. Padahal itu nama pendirinya, Tomas Bata, pengusaha asal Cekoslovakia. Nama Kalibata sendiri punya sejarah lain. Konon nama itu muncul karena sungai di kawasan itu kerap dilalui rakit pembawa batu bata dari Bogor menuju Jakarta.
Sebetulnya sepatu Bata sudah wira-wiri di Tanah Air sejak 1931 lewat jalur impor, didatangkan dari Singapura (dulu Malaya). Pengimpornya perusahaan penyalur sepatu NV Nederlandsch-Indische di kawasan pergudangan Tanjung Priok. Enam tahun kemudian, Tomas Bata, sang pemilik, membangun pabrik raksasa di tengah-tengah perkebunan karet di Kalibata. ”Banyak warga sini yang turuntemurun bekerja di Bata,” kata Ikhsan, warga Rawajati, perkampungan tak jauh dari pabrik sepatu.
Dari sinilah bisnis sepatu Bata menggurita ke seluruh pelosok Tanah Air. ”Waktu itu sepatu kulit dan karet jadi andalan,” kata Wilfried. Hampir 90 persen bahan baku dipasok dari dalam negeri. Bata menikmati masa jaya hingga era 1980. Hampir semua orang yang besar di era itu pernah menjajal sepatu ini. Pada 24 Maret 1984, perusahaan associate dari Bata Shoe Organization yang berpusat di Lusanne, Swiss, itu tercatat di Bursa Efek Jakarta sebagai PT Sepatu Bata Tbk. Di tengah kepungan berbagai merek sepatu yang membanjiri Tanah Air, Bata yang kini dipegang oleh generasi ketiga, Thomas G. Bata, berusaha bertahan dengan mengedepankan kualitas yang sudah digaungkan secara turun-temurun dan harga terjangkau. Dua strategi ini membuat perusahaan modal asing itu tak jatuh diguncang badai krisis ekonomi yang menghajar Indonesia pada 1997-1998.
Pada 2008 mereka memindahkan pabrik dan pusat distribusi dari Kalibata ke Purwakarta. Inovasi terus dikembangkan, antara lain dengan mengeluarkan merek alternatif seperti North Star, Power, Bubblegummers, dan Marie-Claire. Distribusi pemasaran terus digenjot, dari mal besar sampai toko-toko Bata di pinggir jalan. Hasilnya cukup memuaskan. Pada 2008, perusahaan yang menyasar keluarga kelas menengah itu mampu membukukan hasil penjualan bersih Rp 539,8 miliar atau meningkat 9,3 persen dari tahun sebelumnya. (http://tempointeraktif.com)
Nyatanya sepatu Bata miliknya awet dipakai bertahun-tahun. ”Keunggulan inilah yang membuat Bata bertahan sampai sekarang,” kata Wilfried, kini Operation Manager PT Sepatu Bata Tbk., kepada Tempo di kantornya. Bata bisa dibilang sebagai merek sepatu paling populer di Indonesia. Begitu kuatnya merek itu melekat di benak orang, ada yang menganggapnya asli Indonesia. Apalagi pabrik pertama sepatu ini berlokasi di Kalibata, Jakarta Selatan. Banyak yang mengira-ngira, nama Bata diambil dari nama kawasan itu. Padahal itu nama pendirinya, Tomas Bata, pengusaha asal Cekoslovakia. Nama Kalibata sendiri punya sejarah lain. Konon nama itu muncul karena sungai di kawasan itu kerap dilalui rakit pembawa batu bata dari Bogor menuju Jakarta.
Sebetulnya sepatu Bata sudah wira-wiri di Tanah Air sejak 1931 lewat jalur impor, didatangkan dari Singapura (dulu Malaya). Pengimpornya perusahaan penyalur sepatu NV Nederlandsch-Indische di kawasan pergudangan Tanjung Priok. Enam tahun kemudian, Tomas Bata, sang pemilik, membangun pabrik raksasa di tengah-tengah perkebunan karet di Kalibata. ”Banyak warga sini yang turuntemurun bekerja di Bata,” kata Ikhsan, warga Rawajati, perkampungan tak jauh dari pabrik sepatu.
Dari sinilah bisnis sepatu Bata menggurita ke seluruh pelosok Tanah Air. ”Waktu itu sepatu kulit dan karet jadi andalan,” kata Wilfried. Hampir 90 persen bahan baku dipasok dari dalam negeri. Bata menikmati masa jaya hingga era 1980. Hampir semua orang yang besar di era itu pernah menjajal sepatu ini. Pada 24 Maret 1984, perusahaan associate dari Bata Shoe Organization yang berpusat di Lusanne, Swiss, itu tercatat di Bursa Efek Jakarta sebagai PT Sepatu Bata Tbk. Di tengah kepungan berbagai merek sepatu yang membanjiri Tanah Air, Bata yang kini dipegang oleh generasi ketiga, Thomas G. Bata, berusaha bertahan dengan mengedepankan kualitas yang sudah digaungkan secara turun-temurun dan harga terjangkau. Dua strategi ini membuat perusahaan modal asing itu tak jatuh diguncang badai krisis ekonomi yang menghajar Indonesia pada 1997-1998.
Pada 2008 mereka memindahkan pabrik dan pusat distribusi dari Kalibata ke Purwakarta. Inovasi terus dikembangkan, antara lain dengan mengeluarkan merek alternatif seperti North Star, Power, Bubblegummers, dan Marie-Claire. Distribusi pemasaran terus digenjot, dari mal besar sampai toko-toko Bata di pinggir jalan. Hasilnya cukup memuaskan. Pada 2008, perusahaan yang menyasar keluarga kelas menengah itu mampu membukukan hasil penjualan bersih Rp 539,8 miliar atau meningkat 9,3 persen dari tahun sebelumnya. (http://tempointeraktif.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar