Rabu, 30 Juli 2014

Bioskop Tua di Yogyakarta

Perkenalan pertama saya dengan bioskop tua di Yogyakarta diawali oleh sebuah tugas kuliah di kampus. Kami ditugaskan untuk menonton dan membuat laporan tentang pemutaran di Bioskop Permata, salah satu bioskop tua di Yogyakarta. Bagi seorang mahasiswa malas seperti saya, tugas itu jelas merepotkan. Seperti kurang kerjaan, pikir saya waktu itu. Tak ada pilihan, toh akhirnya saya melaksanakan tugas itu.

Ternyata kunjungan ke Bioskop Permata menjadi menyenangkan. Saya menjadi antusias, seperti tokoh Salvatore saat mengunjungi bioskop dalam film Cinema Paradiso. Di Bioskop Permata, saya begitu kagum pada sang pengantar rol film bernama Sarjiman, yang mengayuh sepeda,
“Ini Joni yang sebenarnya, Nicholas Saputra tak ada apa-apanya!” pikir saya saat itu. Beberapa bulan setelah itu, bersama beberapa teman saya membuat film dokumenter mengenai bioskop ini.
Bulan Agustus lalu, dua tahun setelah tugas kuliah itu lewat, seorang kawan mengirim pesan pendek. Ia baru saja membaca pengumuman di depan pintu masuk Bioskop Permata, bioskop itu tutup selamanya terhitung 1 Agustus 2010 yang baru berlalu. Saya sempat tak percaya.
Namun pengelola bioskop Permata ketika saya tanya membenarkan bioskop ini telah menyatakan gulung tikar dan tutup. Bambang,  direktur  umum Bioskop Permata,  berkisah pada saya bahwa akhir Juli 2010 lalu para direksi bioskop ini menggelar rapat untuk membahas rencana penutupan. Rapat  memutuskan bahwa bioskop yang terletak di Jalan Sultan Agung, Yogyakarta ini akan resmi ditutup pada 1 Agustus 2010. Pemutaran terakhir sendiri diadakan pada tanggal 31 Juli pukul 9 malam yang memutar film berjudul “Gairah Dalam Pergaulan”. Hanya ditonton kurang dari sepuluh orang.
Saya juga menemui direktur utama Bioskop Pertama, Soebagyo. Darinya saya beroleh cerita  bahwa setiap bulan Permata bisa merugi sampai lima juta rupiah. Untuk menutup membengkaknya biaya operasional, sebenarnya bioskop ini sudah mengurangi jumlah pemutaran. Dahulu Permata memutar film lima kali setiap harinya. Sejak 2010 telah dikurangi menjadi hanya memutar tiga kali setiap hari. Usaha ini tak mengatasi masalah.
Bioskop ini juga pernah mencoba menaikkan harga tiket dari enam ribu menjadi  tujuh ribu rupiah. Bukan keuntungan yang didapat, justru penonton semakin berkurang. Angka itu jelas terlalu besar bagi penonton Bioskop Permata yang umumnya datang dari ekonomi kelas bawah.
Mengenai penontonnya yang rata-rata golongan bawah ini, Soebagyo pernah mengungkapkannya pada Kompas (24 April 2007), “Mereka yang nonton disini memang dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Meski sepi, setiap ada lima penonton yang datang pasti diputar,” demikian ditulis Kompas.
Bioskop yang pernah disebut Garin Nugroho sebagai bioskop yang membuatnya mencintai film ini sebenarnya sudah mulai mengalami krisis sejak 1990-an. Namun bisa bertahan hingga Agustus 2010 lalu. Bioskop Permata menjadi sangat kewalahan pada 2009.
“Sejak 2009 ndak tahu kenapa sulit mendapatkan film. Kalaupun ada,  film yang diputar itu cuma film Indonesia yang temanya horor sex, awalnya orang-orang suka, tapi sepertinya lama-lama penonton jenuh, sulit mendapat film selain itu,” jelas Subagyo pada saya.
Cerita yang  mengagetkan adalah bagaimana bioskop ini mendapatkan film-filmnya pada periode 2009-2010.
“Kita sampai ngambil film dari semacam distributor atau orang yang liar ibaratnya, mungkin bisa disebut ilegal. Jadi ada orang entah siapa datang kesini nawarin beberapa film, nanti cara balikin filmnya juga kita kirim lewat travel ke Jakarta dan orang itu akan ngambil kembali filmnya di Jakarta di kantor travel tersebut,” tuturnya. Sayang ia tak mau menceritakan lebih detail perkara jalur distribusi yang aneh ini.
Bambang menambahi cerita rekannya dengan mengatakan bahwa dulu distribusi lebih jelas.
“Kita dulu ngambil film dari distributor Sanggar Film atau Dwi Sendang Film, namun sekarang sudah enggak lagi, saya juga enggak tahu Sanggar Film sekarang masih ada atau tidak.”
Yang dimaksud Sanggar Film oleh Bambang adalah sebuah distributor film yang menguasai kawasan Jawa Tengah pada masa jayanya. Sanggar Film dulu juga mengelola Bioskop Mataram Yogyakarta, yang sudah lebih dulu gulung tikar pada 9 September 2007.
Sejarah panjang bioskop Permata dan bioskop di Yogya
Bagi Soebagyo dan Bambang, kematian Bioskop Permata membuat bisnis bioskop mereka semakin mengecil. Saat bisnis bioskop masih berjaya, dibawah bendera NV Perfebi (Peredaran Film dan Eksploitasi Bioskop) sejak 1983 mereka menguasai 15 bioskop yang tersebar di Yogyakarta, Banjar, Purbalingga, Wonosobo, Temanggung dan beberapa kota lain di kawasan Jawa Tengah. Dengan tutupnya Permata, bioskop yang mereka miliki hanya tinggal dua yakni Bioskop Indra di Yogyakarta dan Bioskop Dieng di Wonosobo.
Tentu ironis melihat bioskop dengan sejarah panjang seperti Permata harus berakhir dengan nasib tragis. Padahal kalau ditilik lebih jauh , bioskop dengan kapasitas sekitar 350 tempat duduk ini merupakan salah satu bioskop bersejarah yang tersisa di Yogyakarta.
Seperti ditulis Antariksa (2003), Bioskop Permata semula bernama Bioskop Luxor. Bioskop ini muncul pada tahun 1946, bersamaan dengan bioskop lain di Jogja seperti Soboharsono, Rex, Pathuk Garden dan Toegoe.
Majalah fotografi Fantasma dalam sebuah  artikelnya di bulan April 2002 pernah menulis bahwa sebelum berganti nama menjadi Permata, Luxor terlebih dahulu berganti nama menjadi Asta. Namun Soebagyo meragukan pernah mendengar nama Bioskop Asta sebelum diubah namanya menjadi Permata.
Tumbuhnya bioskop di Jogja pada tahun 1946 bisa dikatakan merupakan pertumbuhan bioskop generasi awal. Bioskop yang lebih dulu muncul di Jogja adalah Bioskop Al Hambra pada 1916. Bioskop Al Hambra sendiri sejak Indonesia merdeka berubah namanya menjadi Indonesia Raya atau lebih populer dikenal dengan nama Indra.
Mengutip riset Antariksa (2003), bioskop Al Hambra terletak di Jalan Malioboro, terdiri dari dua gedung yakni Al Hambra dan Mascot. Al Hambra diperuntukkan untuk kelas sosial tinggi (Eropa, pengusaha Tionghoa, Bangsawan Kraton) sementara Mascot untuk kelas sosial rendah (pribumi).
Bioskop Permata dan Indra pada masa itu adalah dua bioskop yang populer sekaligus mewah. Pertautan antara kedua bioskop ini telah terjalin lama, Kembali mengutip riset yang dilakukan oleh Antariksa, bisnis bioskop di Yogyakarta dahulu dikuasai oleh Nederlands Indische Bioscoop Exploitatie Maateschapij yang menguasai bioskop Al Hambra (Indra) dan Luxor (Permata). Kemungkinan perusahaan tersebut merupakan cikal bakal NV Perfebi (Peredaran Film dan Eksploitasi Bioskop), yang kini dikepalai oleh Soebagyo.
Kisah pertumbuhan bioskop di Yogyakarta pernah diurai oleh Kompas (edisi 1 November 2008). Kompas menulis bahwa dahulu total Yogyakarta memiliki total 19 bioskop yang tersebar di seluruh penjuru kota. Dengan tutupnya Bioskop Permata, Yogyakarta tinggal memiliki tiga bioskop saat ini: bioskop 21 yang berada di Plaza Ambarukmo, bioskop Empire XXI yang berada di Jalan Urip Sumoharjo (Jalan Solo), dan Bioskop Indra yang terletak di Malioboro. Beragam terpaan krisis membuat bioskop-bioskop di luar jaringan 21 harus tutup. Hanya romantisme kejayaan masa lalu yang dimiliki oleh bioskop-bioskop tua ini.
Masa jaya Bioskop Permata adalah pada tahun 1980-1990an. Jamsuki seorang pemutar rol film (proyeksionis) yang telah bekerja di Permata sejak 1977 ingat dua pemutaran paling ramai, film Ben Hur dan Janur Kuning. Terlepas dari anjuran pemerintah yang mewajibkan masyarakat menonton Janur Kuning, menurut Jamsuki, pada dekade-dekade tersebut Bioskop Permata memang amat ramai dikunjungi orang.
Bambang mengamini apa yang dikatakan Jamsuki. Namun menurutnya, kejayaan datang di tahun-tahun sebelumnya. Tahun 1970-1980-an adalah puncak kejayaan Bioskop Permata.
“Saking ramainya dulu sampai ada extra show, jadi kalau mau ada itu kita bakal mengumumkan dulu di radio, karena memang penontonnya banyak banget,  harus ada pertunjukkan tambahan,” ungkapnya sedikit bernostalgia.
Sebab-sebab Kemunduran
Sayang kejayaan Bioskop Permata semakin tergerus jaman. Tahun 1990-an diakui Soebagyo sebagai awal dari mulai surutnya bioskop-bioskop yang ia kelola. Ia menyebutkan bahwa tumbuhnya televisi swasta yang menampilkan film sebagai salah satu sajian acaranya membuat penonton mulai mengalihkan hiburan ke televisi. Ia misalnya menyebut acara Layar Emas yang disiarkan RCTI pada era 90-an banyak mempengaruhi turunnya jumlah penonton di bioskop.
“Orang jadi mikir paling sebentar film yang baru muncul akan diputer di TV, kalau di TV kan gratis, sementara bioskop bayar, ya jelas mereka milih TV,” keluhnya.
Keluhan Soebagyo agaknya bisa diterima. Menurut penelitian Jauhari (dikutip Irawanto, 2004) kehadiran televisi swasta langsung membawa dampak terhadap penurunan omset hingga 50 persen bagi pemilik bioskop dan produser. Hal itu tidak saja terkait karena penayangan berbagai film layar lebar melalui televisi, melainkan juga terpenuhinya hasrat mencari hiburan dengan menonton televisi yang lebih murah dan praktis karena bisa dilakukan di rumah masing-masing.
Penelitian lain oleh Kurnia (2008) menduga bahwa masalah ini sebenarnya berakar dari belum diberlakukannya window system di Indonesia, sehingga tidak ada aturan kapan film layar lebar bisa ditayangkan di televisi.
Window system sendiri merupakan sistem yang mengatur pola distribusi film melalui berbagai saluran. Biasanya 6 bulan setelah diputar di layar lebar baru kemudian bisa ditayangkan di televisi. Konsekuensi dari belum adanya window system kemudian adalah peluang bagi produser film untuk menjual filmnya secara ‘ijon’ sebelum film tersebut selesai diproduksi untuk mendapatkan tambahan biaya produksi.
Dalam negosiasi dengan pihak televisi, beberapa produser terkadang merelakan filmnya ditayangkan di bawah enam bulan setelah pemutaran di bioskop.
Bambang  menambahkan pada saya bahwa krisis Bioskop Permata, dan bioskop lain yang dipegangnya, sangat terasa pada sekitar tahun 1998-2000an. Krisis tersebut diakibatkan oleh maraknya VCD khususnya bajakan di masyarakat, sehingga mereka lebih memilih menonton film di rumah. Untuk kasus di Yogyakarta VCD  memang sangat mempengaruhi pendapatan bioskop.
Seperti ditulis Tresnadewi (dikutip dalam Irawanto, 2004) terdapat pengaruh signifikan antara perkembangan bisnis VCD dengan terpuruknya bioskop di Yogyakarta, hal itu bisa dilihat dari menurunnya jumlah bioskop yang beroperasi yang hampir bersamaan dengan maraknya bisnis VCD pada tahun 1995-2000. Juga bisa dilihat dari maraknya jumlah penyewa rental VCD dengan turunnya animo penonton untuk menonton di bioskop.
Lihat juga misalnya perbandingan pendapatan daerah DIY dari bioskop dan VCD yang disarikan dalam penelitian oleh Irawanto (2004). Pada 1995/1996 pendapatan dari bioskop berjumlah sekitar Rp 1,6 juta, - sementara pada tahun 1999/2000 berjumlah sekitar Rp 220 ribuan atau berkurang sekitar 80 persen.
Sementara itu, kenaikan justru terjadi di pendapatan daerah dari rental VCD, pada 1997/1998 sebesar 2 juta rupiah sementara pada 1999/2000 berjumlah hampir 6 juta rupiah. Meski secara nominal terhitung kecil namun kenaikannya hampir mencapai 300 persen.
Tantangan dari jaringan bioskop 21
Ujian selanjutnya bagi Bioskop Permata datang dari bioskop jaringan 21 yang mulai beroperasi di Yogyakarta sejak April 2006 di Ambarukmo Plaza. Majalah Kabare Jogja dalam sebuah edisinya di tahun 2007 meulis bahwa pada hari-hari biasa, bioskop 21 dengan lima studio ini rata-rata dikunjungi sekitar 1800 penonton, sebuah angka yang tak kecil tentu saja. Omset bioskop ini setiap bulan bahkan mencapai 500 jutarupiah  lebih.
Kesuksesan Bioskop 21 di Ambarukmo Plaza akhirnya membuat jaringan 21 membuka Bioskop Empire XXI di Jalan Urip Sumoharjo pada 13 Maret 2009 lalu. Kepungan jaringan besar bioskop 21 tentu saja semakin menyudutkan posisi Permata yang tak memiliki modal untuk berbenah.
Toh, Soebagyo dan Bambang sebenarnya tak begitu terganggu dengan jaringan 21.
“Bioskop kelas dua seperti Permata enggak bisa dibandingin sama 21 lah, penonton di 21 kan tendensinya enggak sekedar nonton, tapi juga cari gengsi, nonton di Permata jelas sama sekali enggak bergengsi,” ujar Bambang.
Yang mereka keluhkan adalah jalur distribusi yang menurutnya semakin sulit dengan adanya bioskop jaringan 21. Saking kesalnya dengan hal tersebut Soebagyo berujar, “Ini Negaranya 21 apa Yudhoyono sebenarnya? Ngurus distribusi aja enggak beres.”
Permasalahan distribusi bioskop kelas dua seperti Permata dengan jaringan 21 sebenarnya sempat didiskusikan. Pada sebuah hari di pertengahan bulan Juli 2010 di Semarang, Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) mengadakan sebuah pertemuan  yang membahas mengenai permasalahan distribusi tersebut. Hari itu diusulkan agar setelah sebuah film diputar di bioskop jaringan 21 bisa segera dimainkan di bioskop kelas dua semacam Permata.
Sayang, hal itu belum dilaksanakan. “Kalau itu bener-bener bisa terwujud pasti ngebantu banget buat bioskop ini, sayang itu belum disahkan Bioskop Permata udah tutup duluan,” ungkap Soebagyo.
Saya kemudian menemui ketua GPBSI Djonny Syafruddin di rumahnya di Jakarta Timur. Ia menyakinkan bahwa  keadaan sebenarnya tak sesederhana yang dibayangkan para pengusaha bioskop kelas dua.
“Kira-kira begini gambarannya: sekarang produser film di Indonesia itu idealnya buat kopi film sejumlah 60 buah, tapi tidak menutup kemungkinan kurang dari itu. Dari 60 kopi film yang dia bikin itu, produser pasti akan mikir buat menyebar kopi film itu secara efektif, jaringan bioskop 21 enggak bisa dipungkiri punya sistem yang bisa dipercayai. Akuntabilitas mereka bagus, makanya produser percaya naruh filmnya disana,” Djonny menjelaskan pada saya.
Ia kemudian juga mengkritik bioskop-bioskop kecil yang akuntabilitasnya parah.
“Bioskop kecil kadang  malah tidak mengembalikan kopi film, belum lagi baru membayar produser bisa sampai empat bulan setelah film diputar, kalau seperti itu tentu produser merasa dirugikan, harusnya hal-hal seperti ini juga jadi masukan bioskop di luar jaringan 21.”
Saya kemudian menanyakan  mengapa sebuah film terlebih dahulu diputar di bioskop 21 sebelum ke bioskop kelas dua semacam Permata.
“Enggak mungkin sebuah film diputar barengan antara 21 dengan bioskop kecil karena peraturannya kalau diputar di daerah yang berdekatan harganya harus sama, sekarang kalau misalnya harganya disamain, nonton di Permata jadi lima belas ribu misalnya, apa ada yang mau nonton disana? Enggak mungkin ada, lagipula hal kaya gitu juga bakal merusak pasar.  Nah pertemuan di Semarang kemarin mengusahakan agar setelah dari 21, film bisa langsung main di bioskop kelas 2, dengan seperti itu diharap penonton bioskop kelas dua bertambah,” jawabnya.
Menurut Djonny, nasib buruk bioskop-bioskop kecil semacam Permata bukan sekedar perkara semakin minimnya tontonan semata, melainkan lebih dari itu.
“Bisnis bioskop itu dulu gila, sekitar tahun 60-80 pendapatan dari bioskop bisa sampai ke urutan ketiga dalam pendapatan daerah. Selain buat hiburan, bioskop sebenarnya juga bisa jadi indikator kemajuan dan keamanan daerah itu. Dulu tiap kabupaten paling enggak punya satu bioskop, efeknya selain orang terhibur kalau malam daerah itu juga masih rame, jadinya enggak rawan kriminal. Dulu di kampung bioskop itu enggak sekedar hiburan, sayang sekarang banyak yang tutup,” ungkapnya prihatin.
Nasib bioskop tua lain: setali tiga uang
Djonny nampaknya akan makin prihatin bila tahu efek domino yang disebabkan oleh tutupnya Permata. Soebagyo dan Bambang selain memegang Bioskop Permata juga memegang Bioskop Indra dan Bioskop Dieng di Wonosobo. Ternyata dua bioskop tersebut juga terancam tutup. Yang masih menghasilkan diantara ketiga bioskop itu hanya Bioskop Dieng. Keuntungan dari Bioskop Dieng menjadi subsidi bagi kerugian Permata dan Indra setiap bulannya.
Saat saya mengunjungi Bioskop Dieng yang terletak beberapa kilometer dari Alun-Alun Kota Wonosobo, masih ada beberapa muda-mudi yang menonton di bioskop tersebut. Saya menemui Bendot, manajer operasional Bioskop Dieng. Bendot menuturkan bahwa mereka masih bisa bertahan karena Bioskop Dieng merupakan satu-satunya bioskop di daerah Wonosobo dan sekitarnya. Ia menuturkan untuk film seperti Laskar Pelangi, Bioskop Dieng bisa meraup keuntungan yang lumayan.
Menurut Soebagyo bioskop tersebut sebenarnya sudah sejak lima tahun lalu akan dijual namun belum ada yang mau membelinya. Penjualan tersebut dilakukan untuk menutup kerugian besar yang diakibatkan oleh Permata dan Indra.
“Katanya Bioskop Dieng mau dibeli Bupati sana karena di daerah Wonosobo memang hanya itu bioskopnya jadi harus tetap dipertahanin kata Bupati, tapi belum ada kabar kejelasan lagi,” jelas Soebagyo mengenai nasib salah satu bioskopnya.
Boleh jadi Bioskop Dieng juga akan tutup. Akan menyedihkan, sebab masyarakat Wonosobo, Banjarnegara dan Purbalingga hanya bisa menonton di bioskop tersebut.
Jika Bioskop Dieng tutup, mereka yang tinggal sekitar tiga kota itu  harus menempuh perjalanan lebih dari dua jam untuk menonton bioskop di daerah Magelang atau pun Semarang.
Bioskop beralih fungsi
Keadaan Bioskop Indra lebih parah. Meski belum menyatakan gulung layar seperti Bioskop Permata, jumlah penonton bioskop ini semakin minim dari hari ke hari. Akhir Agustus lalu misalnya, saya mencoba untuk menonton di pemutaran pertama,  pemutaran tersebut ditiadakan karena sama sekali tidak ada orang yang menonton. Kerugian yang diderita akibat bioskop ini semakin berlipat dari hari ke hari.
Soebagyo dengan nada pesimis mengatakan paling lambat Desember tahun ini Bioskop Indra akan tutup, “Sudah tak kuat menahan kerugiannya lagi,” alasannya singkat.
Ditutupnya Bioskop Indra semakin mungkin setelah kabar santer yang mulai berembus pertengahan September 2010 lalu. Harian Kedaulatan Rakyat memberitakan bahwa Sultan HB X mengusulkan untuk membuat kantung-kantung parkir baru guna mengatasi kemacetan di daerah Malioboro, dan Bioskop Indra adalah salah satu tempat yang direkomendasikan oleh Sultan HB X sebagai kantung parkir.
Kemungkinan Bioskop Indra beralih fungsi menjadi kantung parkir semakin besar.  Pemerintah propinsi DIY telah mengajukan usulan anggaran sebesar Rp 18 Miliar pada perubahan APBD 2010 Yogyakarta untuk pembebasan lahan bekas Bioskop Indra dan sekitarnya (Kompas, 22 September 2010). Menurut Eddy Siswanto, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DIY anggaran tersebut untuk memberikan pesangon warga yang menempati lahan sekitarnya.
Rencana Bioskop Indra akan dijadikan kantung parkir menurut Soebagyo  bukanlah  sekedar wacana. “Tanah Bioskop Indra itu kan memang dari zaman Belanda, kita ibarantnya tinggal nunggu pesangon saja, kalau pesangon sudah dikasih ya Bioskop Indra bakal langsung tutup.”
Pihak pemerintah daerah juga telah menemuinya, terkait dengan pesangon bagi para pengurus Bioskop Indra tersebut. “Paling lambat Desember ini juga udah tutup paling Bioskop Indra,” ujarnya.
Bioskop Indra sepertinya akan menunggu waktu untuk menggulung layarnya, menyusul Bioskop Permata. Entah itu karena kerugian yang dideritanya atau karena pembangunan kantung parkir yang mengorbankan bangunan bioskop pertama dan bersejarah ini.
Yang jelas, tutupnya Bioskop Permata bukan tak mungkin akan disusul matinya Bioskop Indra dan Bioskop Dieng di Wonosobo. Bioskop Permata telah menyalakan lonceng peringatan terakhir akan semakin langkanya bioskop tua nan bersejarah di kota Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Penelitian Irawanto (2004) meyakini bahwa berkurangnya jumlah bioskop ‘kelas bawah’ yang kebanyakan ada di daerah-daerah ini akan menjadikan masyarakat dengan status sosial ekonomi menengah ke bawah menemui kesulitan dalam mengakses bioskop.
Padahal, harus diakui bahwa film nasional selama ini mempunyai tempat tersendiri untuk masyarakat di daerah. Sayangnya, bioskop-bioskop yang ada berharga mahal.  Fenomena bioskop di Indonesia menjadi fenomena kaum kaya.
Hilangnya bioskop murah kelas dua juga berarti menghilangkan hiburan yang murah bagi kaum kelas bawah. Tutupnya bioskop kelas dua ini semakin meminggirkan masyarakat kelas bawah, bahkan dalam urusan untuk sekedar mencari hiburan. Tak ada lagi cerita masyarakat kelas bawah menikmati bioskop.
Saya tiba-tiba merindukan pengalaman pertama saya menjejakkan kaki di ruang proyeksionis Bioskop Permata. Pak Jamsuki menyambut saya dengan hangat, ia mengajari saya bagaimana memutar rol film dengan benar, melihat berapa jumlah penonton di pemutaran itu, dan menggulung rol film. Ia seperti Alfredo di Cinema Paradiso, ramah, santai dan menyenangkan. Dalam hati saya mengingat sebuah ucapan Alfredo dalam Cinema Paradiso, “Life isn’t like in the movies. Life … is much harder.” (ardi wilda/http://jakartabeat.net/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar