fiksi
budi nugroho
Aku selalu, selalu dan selalu takut meliihat,
melewati apalagi menginjakkan kaki di dalamnya. Bayangan bakal diperas, ditipu,
dicari-cari lobang kesalahan senantiasa menusuk-nusuk benakku. Entah siang
entah malam, senggang atau tegang, terbebat atau terbebas. Aku tidak tahu sejak
kapan rasa takut ini mengkristal dalam benakku..
Aku masih ingat nasihat seorang akwan, untuk
menghilangkan rasa takut itu gampang: jangan mencebur atau melakukan hal yang
menjadi sebab-musabah rasa takut. Sungguh mudah diucap. Dalam langkah, entah.
Sungguh! Kali ini aku betul-betul sulit
menghindari sebab-musabab rasa takut itu, aku mesti menginjakkan kaki. Hari
ini. Bukan besok, lusa atau pekan depan.
Bulan depan, bukan.
Aku demikian gamang. Tapi, bagaimana lagi. Kendati
gundah, kaki harus melangkah tanpa rasa jengah. Bingung pun segera menyergapku.
Melangkah, tidak. Masuk, tidak, masuk, tidak. Padahal, tidak ada yang perlu
ditakutkan. Semua beres, tiada yang laik dirisaukan.
Aku lihat bangunan berlantai dua di urat nadi kota
ini. Di antara bangunan-bangunan perkantoran dan mal yang berjajar di sana, ia
tampak paling sederhana. Tapi, keramaiannya saban hari kerap melebihi mal di
bulan bermula. Lapangan parkir penuh mobil dan motor. Lalu-lalang orang,
kebanyakan lelaku, tiada henti sejak sang mentari sepenggalah naik sampai
tergelincir melewati tinggi badan anak manusia.
Aku tatap bangunan berlantai dua di urat nadi kota
ini. Di antara jejer-jejeran kotak beton menjulang, ia bagai si miskin yang
angkuh. Ia tidak butuh bersolek, toh orang-orang berkerumun ibarat semut
bertemu gula. Ia tak perlu memberi rasa aman dan nyaman, toh semua warga tetap
mengakrabinya. Akrab yang dipaksakan, yeah! Jangan cari rasa aman dan nyaman di
sini, bau keringat bercampur asap knalpot adalah hal lumrah.
***
Hari ini, aku mesti masuk, bukan sekadar melihat
dan menatap. Cemas, was-was. Keringat dingin keluar satu per satu dari jutaan
pori-pori di sekujur tubuhku. Gemetar. Bayang bakal diperas, ditipu,
dicari-cari lobang kesalahan menyelinap dalam benakku. Entah dengan cara apa
aku mesti menghempangnya.
Panas sang mentari masih suam-suam kuku. Bayang
itu tiba-tiba sirna. Yang lantas muncul adalah sosok Joni. Yang tidak lain
adalah tetangga satu lingkungan RT tempat tinggalku. Yang tak lain adalah
tetangga yang biasa jadi pasangan main gaple buat mengusir rasa kantuk saat
giliran jaga ronda.
Gara-gara aku kurang gaul ataukah lantaran kami
saling menyembunyikan identitas profesi masing-masing, entahlah! Aku agak
terkaget-kaget bersua Joni di halaman kantor ini. Mengapa Joni tidak pernah
bercerita kalau dirinya bekerja di kantor ini? Adakah rasa takut menggelayut
untuk diminta tolong para tetangga. Sekadar tolong, memang, kadang cuma sukarela,
tidak mengikat, pun tidak menambah pundi-pundi kekayaan materi. Paling-paling
tambah pertemanan dan sedikit amal. Itupun bila didasarkan rasa ikhlas.
Setelah sedikit basa-basi, Joni berlalu ke ruang
kerjanya di lantai dua. Aku, aku berjalan pula ke lantai dua, ke salah satu
loket pelayanan. Tak kupikirkan di sudut mana ruang kerja Joni. Aku ke sini
hanya ingin memenuhi kewajiban sebagai warga negara yang memiliki sebuah sepeda
motor butut keluaran tahun 1983.
Aku berjalan dari loket ke lokat. Ambil kertas
isian berganda. Isi, tulis keterangan-keterangan. Tunggu prosesi. Di sini aku
tersandung. Coretan tanda-tanganku sedikit agak berbeda tekanan dan ukuran
antara di kertas isian dan kartu identitas penduduk.
Satu kerikil sandungan bertambah. Pada kartu
identitas penduduk tertulis namaku: Rd. Bagus Paiman, sedangkan di surat
kepemilikan motor tertera: R. Bagus Paiman. Aku tak mengapa sampai terjadi
keberbedaan ini. Penjaga loket pelayanan cuma memberi alasan, “Pak Joni ndak mau tanda tangan, Pak. Perlu proses
penambahan huruf ‘d’ atau Bapak langsung menghadap ke Pak Joni?”
Proses penambahan huruf ‘d’, haruskah kupenuhi.
Anggaranku pasa-pasan pada pos yang satu ini. Tiap bulan aku sudah
termehek-mehek mengeluarkan ongkos perawatan motor butut kesayangku.
“Pak Joni, Pak Joni ...Pak Joni..,” gumamku
sedikit bersuara. Ya, aku mesti menghadap Pak Joni saja. Masa, masalah begini
harus bertele-tele. Sekalian memanjangkan tali silaturrahim di ruang kerjanya.
Walau bertetangga, aku jumpa Pak Joni hanya tatkala giliran ronda. Pak Joni
berangkay pagi-pagi dan pulang jelang malam. Dan aku keluar sore hari serta
tiba kembali di rumah mendekati ujung dinihari.
“Ok Pak, saya ingin ketemu Pak Joni,” kataku
kepada penjaga loket pelayanan. Dan si penjaga mempersilakan.
Rasa takutku telah berlalu beberapa saat. Berganti
tanya demi tanya. Beginikah keseharian kantor Joni yang memiliki rumah paling
mentereng di RT-ku? Adakah Joni menerima tanda mata proses perbaikan identitas?
Jangan-jangan ini sudah menjadi keseharian Joni disini, di kantor ini?
Jangan-jangan lagi, ada tanda mata buat proses beda RT, tanda mata pindah
alamat, tanda mata ganti nama jalan, tanda mata ganti warna bodi, tanda mata
ganti (,), dan tanda mata nambah (.). tanya demi tanya terus memanjang bagai
tiada ujung.
Kuketuk pintu ruang kerja bertuliskan: NURJONI
ALAM. Oh, ini ya nama lengkap Joni. Kurasa Joni juga tidak tahu namaku secara
lengkap. Joni cuma tahu nama panggilanku: Pak Raden.
“Masuk.” Kudengar suara khas serak-serak berat
milik Joni. Pelan kuucap salam. Innaa
lillahi. Joni terduduk lemas di kursinya, mukanya pucat pasi.
“Eh, Pak Raden ...” suara Joni melemah lalu
hilang. Kuraba urat nadinya, berhenti. Innaa
lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
Aku linglung dan bingung. Terlebih, aku dalam
keterasingan di sini. Jangan-jangan aku akan kena sangkaan menghilangkan nyawa
orang lain, sengaja atau tidak sengaja. Aku mencoba bercerita apa yang baru
saja kusaksian, kepada anak buah Jonu di luar ruangan. Aku merasa agak tenang
karena ada sekretaris pribadi Joni saat aku masuk ruang kerjanya.
Kupinjam telepon pada sekretaris Joni. Kuhubungi
isteriku di rumah. Kuminta isteriku mengabarkan perihal kepulangan secara
mendadak Joni di kursi singgasananya, kepada isteri Joni.
Lalu, bersama-sama berapa staf, kubawa jasad Joni
ke rumah sakit yang kebetulan berada di belakang kantornya. Aku ingin
memastikan kepulangan Joni yang tiba-tiba. Dan kuminta secarik kertas yang
menerangkan jalan pulang Joni. Ini penting, agar aku tidak ketumpuhan salah.
Dokter yang menerima jasad Joni meyakinkan kalau
Joni sudah benar-benar pulang, dengan sebutan klinis: ada bekuan darah
tiba-tiba menyerang syaraf ke otak. Tanpa meminta sepeser pun, dokter memberiku
surat keterangan kepulangan Joni.
***
Aku mesti membawa jasad Joni untuk disemayamkan di
rumahnya yang asri. Tapi, masa aku mesti memboncengkannya pakai motor butut.
Rumah sakit merasa kesulitan menyediakan ambulance jenazah. Lima unit ambulance
milik rumah sakit sedang berjalan mengambil korban-korban adu jangkrik di jalan
tol Jakarta-Cikampek. Sukar dipastikan kapan sampai karena jalan sekitar lokasi
kecelakaan adu jangkir total macet. Padahal, Joni yang pulang secara mendadak
mesti lekas-lekas diantar ke rumah duka, diurus dan cepat-cepat dibawa ke liang
lahat agar tidak menyusahkan hidung orang-orang yang ditinggalkan.
Aku berusaha mencari-cari pinjaman ke orang rumah
sakit. Nihil yang bersedia memberikan jasa angkut. Aku usaha lagi ke
tetangga-tetangga. Tetap saja nihil hasil. Ada yang yang sedang dipakai ke
kantor, buat berbelanja ke pasar, telanjur disewakan, ada pula yang memang
tidak mau meminjamkan.
Oh, mengapa begini? Setahuku, dari cerita isteriku
di meja makan, Joni termasuk cukup dermawan di mata tetangga-tetangganya. Mobilnya,
bilamana tengah nongkrong di garasi, boleh dipinjam siapa saja, apalagi untuk
mengantar orang sakit, tanpa meminta uang bensin. Masih cerita isteriku di meja
makan, rumah Joni terbuka bagi siapapun yang tengah dirundung nestapa busung
perut. Pun tanpa embel-embel uang beras.
Coba-coba aku menyetop mobil yang lewat jalan raya
di depan halaman rumah sakit. Sebuah minibus menghampiriku. Kusampaikan
maksudku, eh si sopir langsung atncap gas tanpa permisi.
Kulambaikan tangan, sebuah mobil boks barang berhenti.
Kuceritakan maksudku. Oh, si sopir langsung putar arahmenjauhiku tiada terucap
sepatah kata.
Lalu sebuah mobil bak terbuka, kosong. Stop.
Kututurkan keinginan. Dengan mimik ketakutan, si sopir mengunjak pedal gas
tunggang langgang.
Oh, apakah yang satu ini pun harus kuminta
berhenti? Dari kejauhan sudah tercium aromanya. Bahkan, sepanjang jalan
senantiasa mengumbar bau bacin, menjadi pangkal umpatan orang-orang yang
berpapasan atau terpaksa mengekorinya.
Yah, daripada semakin menyusahkan. Kulambaikan
tangan. Di sopir terkaget-kaget bukan alang kepalang manakal kusampaikan
maksud. “Ah, yang bener Pak, masa mau diantar pakai mobil begini?” tanya si
sopir penuh keheranan.
“Maaf Bang, aku sudah cari ke mana-mana, tidak ada
yang sudi!”
“Ok kalau maunya begitu Pak. Tapi, sebentar Pak,
saya ketempat cucian mobil dulu agar tidak terlalu bau. Tadi saya usai
mengangkut bangkai-bangkai kucing, tikus dan anjing yang diangkat dari pintu
air Manggarai.”
“Tak perlu Bang, langsung saja sekarang. Saya takut
kalau kelamaan semakin banyak aib.” ***
Jaka
Mulya, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar