Kamis, 17 Juli 2014

“Eh, Pak Raden ...”



fiksi budi nugroho

Aku selalu, selalu dan selalu takut meliihat, melewati apalagi menginjakkan kaki di dalamnya. Bayangan bakal diperas, ditipu, dicari-cari lobang kesalahan senantiasa menusuk-nusuk benakku. Entah siang entah malam, senggang atau tegang, terbebat atau terbebas. Aku tidak tahu sejak kapan rasa takut ini mengkristal dalam benakku..
Aku masih ingat nasihat seorang akwan, untuk menghilangkan rasa takut itu gampang: jangan mencebur atau melakukan hal yang menjadi sebab-musabah rasa takut. Sungguh mudah diucap. Dalam langkah, entah.
Sungguh! Kali ini aku betul-betul sulit menghindari sebab-musabab rasa takut itu, aku mesti menginjakkan kaki. Hari ini.  Bukan besok, lusa atau pekan depan. Bulan depan, bukan.
Aku demikian gamang. Tapi, bagaimana lagi. Kendati gundah, kaki harus melangkah tanpa rasa jengah. Bingung pun segera menyergapku. Melangkah, tidak. Masuk, tidak, masuk, tidak. Padahal, tidak ada yang perlu ditakutkan. Semua beres, tiada yang laik dirisaukan.
Aku lihat bangunan berlantai dua di urat nadi kota ini. Di antara bangunan-bangunan perkantoran dan mal yang berjajar di sana, ia tampak paling sederhana. Tapi, keramaiannya saban hari kerap melebihi mal di bulan bermula. Lapangan parkir penuh mobil dan motor. Lalu-lalang orang, kebanyakan lelaku, tiada henti sejak sang mentari sepenggalah naik sampai tergelincir melewati tinggi badan anak manusia.
Aku tatap bangunan berlantai dua di urat nadi kota ini. Di antara jejer-jejeran kotak beton menjulang, ia bagai si miskin yang angkuh. Ia tidak butuh bersolek, toh orang-orang berkerumun ibarat semut bertemu gula. Ia tak perlu memberi rasa aman dan nyaman, toh semua warga tetap mengakrabinya. Akrab yang dipaksakan, yeah! Jangan cari rasa aman dan nyaman di sini, bau keringat bercampur asap knalpot adalah hal lumrah.
***
Hari ini, aku mesti masuk, bukan sekadar melihat dan menatap. Cemas, was-was. Keringat dingin keluar satu per satu dari jutaan pori-pori di sekujur tubuhku. Gemetar. Bayang bakal diperas, ditipu, dicari-cari lobang kesalahan menyelinap dalam benakku. Entah dengan cara apa aku mesti menghempangnya.
Panas sang mentari masih suam-suam kuku. Bayang itu tiba-tiba sirna. Yang lantas muncul adalah sosok Joni. Yang tidak lain adalah tetangga satu lingkungan RT tempat tinggalku. Yang tak lain adalah tetangga yang biasa jadi pasangan main gaple buat mengusir rasa kantuk saat giliran jaga ronda.
Gara-gara aku kurang gaul ataukah lantaran kami saling menyembunyikan identitas profesi masing-masing, entahlah! Aku agak terkaget-kaget bersua Joni di halaman kantor ini. Mengapa Joni tidak pernah bercerita kalau dirinya bekerja di kantor ini? Adakah rasa takut menggelayut untuk diminta tolong para tetangga. Sekadar tolong, memang, kadang cuma sukarela, tidak mengikat, pun tidak menambah pundi-pundi kekayaan materi. Paling-paling tambah pertemanan dan sedikit amal. Itupun bila didasarkan rasa ikhlas.
Setelah sedikit basa-basi, Joni berlalu ke ruang kerjanya di lantai dua. Aku, aku berjalan pula ke lantai dua, ke salah satu loket pelayanan. Tak kupikirkan di sudut mana ruang kerja Joni. Aku ke sini hanya ingin memenuhi kewajiban sebagai warga negara yang memiliki sebuah sepeda motor butut keluaran tahun 1983.
Aku berjalan dari loket ke lokat. Ambil kertas isian berganda. Isi, tulis keterangan-keterangan. Tunggu prosesi. Di sini aku tersandung. Coretan tanda-tanganku sedikit agak berbeda tekanan dan ukuran antara di kertas isian dan kartu identitas penduduk.
Satu kerikil sandungan bertambah. Pada kartu identitas penduduk tertulis namaku: Rd. Bagus Paiman, sedangkan di surat kepemilikan motor tertera: R. Bagus Paiman. Aku tak mengapa sampai terjadi keberbedaan ini. Penjaga loket pelayanan cuma memberi alasan, “Pak Joni ndak mau tanda tangan, Pak. Perlu proses penambahan huruf ‘d’ atau Bapak langsung menghadap ke Pak Joni?”
Proses penambahan huruf ‘d’, haruskah kupenuhi. Anggaranku pasa-pasan pada pos yang satu ini. Tiap bulan aku sudah termehek-mehek mengeluarkan ongkos perawatan motor butut kesayangku.
“Pak Joni, Pak Joni ...Pak Joni..,” gumamku sedikit bersuara. Ya, aku mesti menghadap Pak Joni saja. Masa, masalah begini harus bertele-tele. Sekalian memanjangkan tali silaturrahim di ruang kerjanya. Walau bertetangga, aku jumpa Pak Joni hanya tatkala giliran ronda. Pak Joni berangkay pagi-pagi dan pulang jelang malam. Dan aku keluar sore hari serta tiba kembali di rumah mendekati ujung dinihari.  
“Ok Pak, saya ingin ketemu Pak Joni,” kataku kepada penjaga loket pelayanan. Dan si penjaga mempersilakan.
Rasa takutku telah berlalu beberapa saat. Berganti tanya demi tanya. Beginikah keseharian kantor Joni yang memiliki rumah paling mentereng di RT-ku? Adakah Joni menerima tanda mata proses perbaikan identitas? Jangan-jangan ini sudah menjadi keseharian Joni disini, di kantor ini? Jangan-jangan lagi, ada tanda mata buat proses beda RT, tanda mata pindah alamat, tanda mata ganti nama jalan, tanda mata ganti warna bodi, tanda mata ganti (,), dan tanda mata nambah (.). tanya demi tanya terus memanjang bagai tiada ujung.
Kuketuk pintu ruang kerja bertuliskan: NURJONI ALAM. Oh, ini ya nama lengkap Joni. Kurasa Joni juga tidak tahu namaku secara lengkap. Joni cuma tahu nama panggilanku: Pak Raden.
“Masuk.” Kudengar suara khas serak-serak berat milik Joni. Pelan kuucap salam. Innaa lillahi. Joni terduduk lemas di kursinya, mukanya pucat pasi.
“Eh, Pak Raden ...” suara Joni melemah lalu hilang. Kuraba urat nadinya, berhenti. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
Aku linglung dan bingung. Terlebih, aku dalam keterasingan di sini. Jangan-jangan aku akan kena sangkaan menghilangkan nyawa orang lain, sengaja atau tidak sengaja. Aku mencoba bercerita apa yang baru saja kusaksian, kepada anak buah Jonu di luar ruangan. Aku merasa agak tenang karena ada sekretaris pribadi Joni saat aku masuk ruang kerjanya.
Kupinjam telepon pada sekretaris Joni. Kuhubungi isteriku di rumah. Kuminta isteriku mengabarkan perihal kepulangan secara mendadak Joni di kursi singgasananya, kepada isteri Joni.
Lalu, bersama-sama berapa staf, kubawa jasad Joni ke rumah sakit yang kebetulan berada di belakang kantornya. Aku ingin memastikan kepulangan Joni yang tiba-tiba. Dan kuminta secarik kertas yang menerangkan jalan pulang Joni. Ini penting, agar aku tidak ketumpuhan salah.
Dokter yang menerima jasad Joni meyakinkan kalau Joni sudah benar-benar pulang, dengan sebutan klinis: ada bekuan darah tiba-tiba menyerang syaraf ke otak. Tanpa meminta sepeser pun, dokter memberiku surat keterangan kepulangan Joni.
***
Aku mesti membawa jasad Joni untuk disemayamkan di rumahnya yang asri. Tapi, masa aku mesti memboncengkannya pakai motor butut. Rumah sakit merasa kesulitan menyediakan ambulance jenazah. Lima unit ambulance milik rumah sakit sedang berjalan mengambil korban-korban adu jangkrik di jalan tol Jakarta-Cikampek. Sukar dipastikan kapan sampai karena jalan sekitar lokasi kecelakaan adu jangkir total macet. Padahal, Joni yang pulang secara mendadak mesti lekas-lekas diantar ke rumah duka, diurus dan cepat-cepat dibawa ke liang lahat agar tidak menyusahkan hidung orang-orang yang ditinggalkan.
Aku berusaha mencari-cari pinjaman ke orang rumah sakit. Nihil yang bersedia memberikan jasa angkut. Aku usaha lagi ke tetangga-tetangga. Tetap saja nihil hasil. Ada yang yang sedang dipakai ke kantor, buat berbelanja ke pasar, telanjur disewakan, ada pula yang memang tidak mau meminjamkan.
Oh, mengapa begini? Setahuku, dari cerita isteriku di meja makan, Joni termasuk cukup dermawan di mata tetangga-tetangganya. Mobilnya, bilamana tengah nongkrong di garasi, boleh dipinjam siapa saja, apalagi untuk mengantar orang sakit, tanpa meminta uang bensin. Masih cerita isteriku di meja makan, rumah Joni terbuka bagi siapapun yang tengah dirundung nestapa busung perut. Pun tanpa embel-embel uang beras.
Coba-coba aku menyetop mobil yang lewat jalan raya di depan halaman rumah sakit. Sebuah minibus menghampiriku. Kusampaikan maksudku, eh si sopir langsung atncap gas tanpa permisi.
Kulambaikan tangan, sebuah mobil boks barang berhenti. Kuceritakan maksudku. Oh, si sopir langsung putar arahmenjauhiku tiada terucap sepatah kata.
Lalu sebuah mobil bak terbuka, kosong. Stop. Kututurkan keinginan. Dengan mimik ketakutan, si sopir mengunjak pedal gas tunggang langgang.
Oh, apakah yang satu ini pun harus kuminta berhenti? Dari kejauhan sudah tercium aromanya. Bahkan, sepanjang jalan senantiasa mengumbar bau bacin, menjadi pangkal umpatan orang-orang yang berpapasan atau terpaksa mengekorinya.
Yah, daripada semakin menyusahkan. Kulambaikan tangan. Di sopir terkaget-kaget bukan alang kepalang manakal kusampaikan maksud. “Ah, yang bener Pak, masa mau diantar pakai mobil begini?” tanya si sopir penuh keheranan.
“Maaf Bang, aku sudah cari ke mana-mana, tidak ada yang sudi!”
“Ok kalau maunya begitu Pak. Tapi, sebentar Pak, saya ketempat cucian mobil dulu agar tidak terlalu bau. Tadi saya usai mengangkut bangkai-bangkai kucing, tikus dan anjing yang diangkat dari pintu air Manggarai.”
“Tak perlu Bang, langsung saja sekarang. Saya takut kalau kelamaan semakin banyak aib.” ***

Jaka Mulya, 2003   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar