ADEKRAWIE.WORDPRESS.COM
Di balik mulusnya jalan di sepanjang Pantura menyimpan sejarah panjang yang kelam. Jalan sepanjang 1000 kilometer dari Anyer sampai Panarukan merupakan jalan terpanjang dan terbagus di masanya. Jalan Raya Pos atau lebih dikenal dengan nama Jalan Deandels ini dibangun (lebih tepatnya diperbaiki dan diperlebar) pada tahun 1808. Pemrakarsa jalan tersebut adalah Gubernur Hindia Belanda, Daendels. Oleh karena itu Jalan Pos lebih dikenal dengan nama Jalan Daendels.
Pramoedya Ananta Toer sebagai seorang sastrawan nusantara tidak hanya cakap bercerita tentang kisah-kisah manusia. Buku sejaran bertajuk Jalan Raya Pos, Jalan Daendels ini membuktikan bahwa ia juga pandai menuturkan sejarah kelam bangsa ini. Namun ciri has Pramoedya tidak lepas dalam buku ini, yaitu rasa kemanusiaan. Berbeda dengan buku sejarah lainnya, buku ini bernuansa tuturan. Membaca buku ini seperti membaca novel yang mudah dicerna.
Daendels lahir dari pasangan Burchard Johan Daendels dan Josina Christiana Van Tulleken pada 21 Oktober 1762 di kota kecil Hattem, Gelderland, Belanda. Pada tahun 1808 ditunjuk sebagai Gubernur Hindia Belanda oleh Raja Belanda Louis Napoleon, adik kaisar prancis Napoleon Bonaparte. Pada tahun itu pula Daendels berangkat ke Hindia Belanda tepatnya pada 5 Januari ia tiba di Anyer. Tidak lama setelah itu ia menuju Semarang yang ditempuh 10 hari dari Bogor, tempat kediaman Gubernur Jenderal.
Waktu itulah dalam benaknya terpikir untuk meneruskan pembangunan jalan tersebut ke timur. Daendels menulis surat ke Belanda untuk memperbaiki jalan di Jawa. Jalan Cisarua-Karangsembung dibangun dengan biaya pemerintah. Selebihnya, jalan sepanjang 850 km ia memerintahkan pada (5 Mei 1808) aparat pemerintah negeri Jawa untuk mengerahkan pekerja rodi. Di sinilah awal mula penderitaan kesengsaraan orang Indonesia.
Awalnya, Daendels membutuhkan pekerja sebanyak seribu orang yang diambil dari Banten. 500 orang dikirimkan, namun tak seberapa lama semua orang itu tewas termasuk pasukan belanda yang mengiringi akibat beratnya pekerjaan dan malaria. Karena itu Sultan Banten meminta keringanan, namun bukan keringanan yang didapat, Daendels meminta seribu orang lagi untuk dipekerjakan.
Sampai di daerah Ciherang, Sumedang, jalan semakin keras hingga dikenal dengan Cadas Pangeran. Di sini, para pekerja rodi harus menetak pegunungan karang dengan peralatan sederhana berupa kapak. 25 Mei 1808 Daendels memerintahkan agar saat berkunjung kembali, tempat ini harus sudah berbentuk kota. Para mayat pekerja yang meninggal tidak dikubur dengan layak. Di mana ada pekerja meninggal di pinggir pembangunan jalan lah mayat mereka ditanam. Konsep pekuburan semacam ini menjadikan jalan raya pos sebagai kuburan terpanjang di dunia.
Daendels tampak sebagai Diktator Bengis, Jenderal Kejam, hingga terkenal dengan sebutan Tuan Besar Guntur, Marsekal Besi, bahkan di Jawa Barat disebut Mas Galak. Di tangannya banyak orang Indonesia menemui ajalnya. Jalan sepanjang 1000 km ini diselesaikan hanya dalam jangka satu tahun. Sangat singkat, merupakan prestasi besar, karena ini pula namanya dikenal mendunia.
Kebengisan Daendels terdengar ke penjuru tanah Jawa dan menimbulkan kebencian di mata masyarakat. Sebab itu, banyak pengaduan yang ditujukan pada Louis Napoleon. Hasilnya, pada tahun 1811 Daendels berakhir menjabat Gubernur Hindia Belanda dan ditarik kembali ke Belanda. Gubernur berikutnya bernama J.W. Janssens. Pada tahun 1818 Daendels meninggal dalam keadaan keterasingan dan kesepian.
Karya ini merupakan titik nadzir keadaan bangsa Hindia Belanda. Bangsa ini memang seharusnya tidak melupakan sejarah masa lalu yang kelam. Dengan mengetahui masa lalu dapat menambah rasa cinta pada negeri ini. Sejarah bak kaca spion untuk memandang masa depan dengan lebih cerah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, Jas Merah!
Judul Buku : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Cetakan : 9, April 2012
Tebal : 145 halaman
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Cetakan : 9, April 2012
Tebal : 145 halaman
Peresensi: Achmad Marzuki, Pegiat Farabi Institute, Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang.
(http://esq-news.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar