Cerpen
budi nugroho
SECANGKIR
teh ginastel menemani Pak Handoyo
melewatkan pagi berseri di bumi yang asri sebelum berangkat ngantor. Tak perlu
terburu-buru seperti orang Jakarta yang usai shalat subuh harus sudah berangkat
mengejar bus kota atau omprengan plat hitam yang mengantarnya ke pusat-pusat bisnis
dan pemerintahan.
Ditemani perkutut dan beo kesayangannya, Pak
Handoyo menghabiskan paginya dengan dahi berkerut membaca surat kabar Warto Jowo Tengah yang hari itu
mengangkat isu utama penggusuran warga tak beridentitas yang membangun dan
menempati rumah-rumah semi-permanen di salah satu bibir situ kebanggaan warga
kota asri itu.
“Pak, mau berangkat jam berapa? Nanti keburu
kesiangan, anak-anak sudah nunggu di meja makan,” ucap Bu Handoyo membuyarkan
perhatian suaminya yang lagi serius membaca koran pagi.
“Sudahlah, nanti dibaca di kantor saja,” kembali
Bu Handoyo berucap sekali lagi sembari menarik lengan suaminya. Mau tak mau Pak
Handoyo mengikuti langkah isterinya ke meja makan. Bersamaan itu rupa-rupanya
kedua anaknya telah selesai menyarap.
“Pak, Bu, Erna berangkat ya,” ujar anak sulung
Keluarga Handoyo berpamitan.
“Agung juga mau berangkat Pak,” sambung si bungsu
Agung.
“Ah, kalian curang nggak mau menunggu Bapak.
Hati-hati di jalan ya,” kata Pak Handoyo.
Erna dan Agung pun berlalu meninggalkan rumahnya
yang cukup mentereng di jalan protokol jantung kota asri itu. Wajar saja, Pak
Handoyo pejabat teras di pemerintahan daerah itu. Satu jabatan yang melekat
pada orang terpandang di kota itu. Satu jabatan yang kadang memberi
keistimewaan.
Kedua kakak-beradik yang bersekolah di SMA favorit
kebanggaan warga kota campur sari itu langsung menghidupnya motor mereka. Dan,
mereka lalu melaju meninggalkan Pak Handoyo yang sedikit termangu di ruang
makan.
“Pak, tadi sepertinya Bapak begitu serius membaca koran pagi, memangnya ada
berita yang menyangkut kepentingan Bapak atau dinas yang Bapak pimpin,” tanya
Bu Handoyo sembari membuatkan roti tawar berlapis keju dan mentega kesukaan Pak
Handoyo setelah mengemban amanah kepala dinas. Dulu, sebelum menjadi pejabat
teras, Pak Handoyo lebih suka menyarap nasi pecel atau nasi sambal tumpang.
“Nggak
ada apa-apa, berita kan begitu-begitu saja. Kalau bukan acara peresmian
penggunaan jembatan, pengguntingan pita pembukaan gedung, yah pelantikan
pejabat di kantor kabupaten,” jawab Pak Handoyo sedikit mengalihkan perhatian.
“Ah, nggak
biasanya Bapak membaca koran seserius itu, sampai-sampai melupakan acara
menyarap bersama anak-anak,” ucap Bu Handoyo masih dengan rasa ingin tahu.
“Sekali lagi tidak ada apa-apa Bu. Ibu tidak tidak
perlu terlalu khawatir. Suamimu ini kan masih lama masa pensiunnya dan rasanya
tidak mungkin dimutasi ke daerah terpencil di lerenga Jayawijaya,” kata Pak
Handoyo berusaha menghibur isterinya.
Dengan sentuhan lembut Bu Handoyo menghidangkan
roti tawar berlapis keju dan mentega yang baru selesai dibuatnya. “Kalau ada
apa-apa terbuka saja Pak, apa sih kekurangan kita? Rumah sudah ada, anak-anak
tidak membawa masalah. Mobil sedan juga punya, perkutut kesayangan menghibur
saban pagi. Apa lagi yang Bapak cari sih? Ibu tidak neko-neko kok,” Bu Handoyo terus bertanya-tanya.
“Sudah lah Bu, pagi-pagi tidak elok dibawa ngaco,” ujar Pak Handoyo.
***
PAK Handoyo berupaya menenangkan diri. Dia habis
lapis demi lapis roti berlapis keju dan mentega kegemarannya. Matanya, yang
telah menunjukkan tanda-tanda ketuaan dan dibantu dengan kaca mata plus tiga
itu, tak tertuju ke isterinya. Matanya menyapu satu per satu, sdutu demi sudut
di ruang makan rumahnya. Lemari es terbaru mereka paling top kokoh berdiri di
sudut ruangan. Pun meja makan yang terbuat dari marmer Tulungagung lengkap
dengan lapis pemutar pemberian seorang
kolega yang selalu mengerjakan proyek-proyek di dinas yang dia pimpin.
Di balik pintu, berbatasan dengan dapur, di
garasinya terparkir sedan merek terkenal keluaran terbaru yang mampu menjadi
jawaban tersendiri atas gengsi dan status keluarga Pak Handoyo di mata
sekeliling rumahnya.
“Ternyata cukup mewah juga gaya hidupku. Dari mana
isteriku bisa membeli barang-barang ini ya. Belum lagi arisan bersama-sama
dengan ibu-ibu pejabat yang tergabung dalam sosialita kota asri ini. Rasanya,
aku tak memberikan seluruh penghasilan ke isteriku. Dan, faktanya, isteriku
tidak bekerja, hanya mengandalkan pemasukan dari gajiku,” tak sadar Pak Handoyo
bergumam lirih hanyut diterpa suara gebukan Yu Ponirah yang tengah mencuci
sprei di tempat cucian yang bersebelahan dengan ruang makan. Kendati begitu dia
tetap mencoba menghabiskan roti yang tersisa satu-dua gigitan.
“Apakah ini ada hubungan dengan berita koran pagi
ini?” Pak Handoyo berkerut kening.
“Ada apa sih, Pak? Bapak kok kelihatan gelisah,
khawatir, kacau pikiran dan tidak bisa menikmati berkah hari ini,” Bu Handoyo
menebak-nebak.
“Tidak ada apa-apa, tidak ada yang perlu
dirisaukan. Sudah ya Bu, Bapak berangkat ke kantor sekarang,” Pak Handoyo
pamit.
***
DITEMANI sopir pribadinya Sakimun, Pak Handoyo
berangkat ke kantor dengan sedannya yang terbaru. Dari rumahnya di kawasan
Kebon Asri, cukup dengan waktu tempuh tak lebih dari 15 menit.
“Pagi ini kita ke mana, Pak?” tanya Sakimun.
“Mampir ke Ngrandu dulu kita,” jawab Pak Handoyo.
Sakimun mafhum. Waktu-waktu tertentu, bosnya acap menghabiskan sedikit waktunya
di Ngrandu, rumah Ningrum, isteri muda Pak Handoyo yang sampai sekarang belum
pernah tercium oleh Bu Handoyo. Dan, Sakimun menjaga betul rahasia bosnya.
Sakimun memacu sedan sedang-sedang saja. Jalan
utama kota asri itu tidak terlalu padat setelah bus antarkota-antarprovinsi dialihkan
melewati pinggiran kota. Jangan hanya diramaikan anak-anak sekolah bersepeda
hendak menuju sekolah masing-masing. Ditambah becak-becak yang membawa pulang
ibu-ibu sepulang belanda dari Pasar Bunder.
Tidak lebih dari 20 menit, Sakimun sudah memarkir
sedan bosnya di garasi rumah Ningrum. “Nggak
biasanya Mas Handoyo datang pagi-pagi begini,” ujar Ningrum begitu menyambut
kedatangan Pak Handoyo.
“Tidak ada apa-apa, cuma ingin mampir saja,” kata
Pak Handoyo.
“Ah, aku ndak
percaya. Mas Han pasti sedang ada masalah sampai-sampai takut pergi ke kantor,”
ucap Ningrum sedikit manja.
“Nggak
ada apa-apa, aku cuma ingin ketemu si kecil Nina saja. Selama ini aku kan hanya
ketemu siang-siang, tak pernah memandikan. Boleh kan pagi ini aku
memandikannya,” pinta Pak Handoyo. Pasangan Handoyo dan Ningrum rupanya telah
dikaruniai se kecil Nina yang belum genap berumur dua tahun.
“Boleh-boleh saja, tapi dia belum bangun, Mas.
Cuma aku heran, ndak biasanya, kok
sampai-sampai Mas Han ingin memandikan Nina segala. Firasatku mengatakan Mas
Han pasti sedang ada masalah dengan isteri tua atau persoalan dengan kantor,”
Ningrum menebak-nebak. Ia lantas masuk ke dalam kamarnya menengok Nina yang
masih terlelap.
Pak Handoyo berusaha menghilangkan bayang-bayang
kabar gusuran yang menjadi menu utama koran pagi ini. Dia ingin bercanda ria
dengan Nina. Dia tahu betul kabar itu sangat memukul karir dan masa depan
keluarganya. Gara-gara kabar itu bisa-bisa dia harus merelakan jabatannya
secara tidak hormat. Lantaran kabar empat kolom di halaman satu itu, besar
kemungkinan, keluarganya berantakan dan segala aibnya terlepas ke khalayak.
“Mas Han, nih
Nina sudah bangun,” ujar Ningrum sekeluar dari kamarnya.
“Siapkan air mandinya, biar Nina sebentar
bersamaku,” balas Pak Handoyo.
Pak Handoyo pun asyik menimang-nimang Nina. Dia
bercana ria dengan yang baru bisa ngomong
satu-dua patah kata. Raut muka Pak Handoyo tempak sedikit terhibur meski tetap
menyiratkan problematika yang dihadapinya.
“Air mandinya Nina sudah siap Mas Han,” kata
Ningrum.
Pak Handoyo bergegas membopong Nina ke kamar
mandi. Dia mengajak Nina bermain-main air hangat sejenak. Tidak lebih dari 10
menit, Pak Handoyo sudah mendandani Nina dengan baju terbaru yang dibelikannya
dua hari lalu di Pasar Kota. Sementara Ningrum menyiapkan sarapan pagi.
“Mas, ayo menyarap bersama Nina,” pinta Nungrum.
“Aku tadi sudah menyarap, nanti malah sakit
perut,” Pak Handoyo menolak halus ajakan Ningrum.
“Ayo.. Pa .. sekali-sekali menemani Nina,” ajak
Nina dengan nada terpatah-patah.
“Papa sudah menyarap sayang, Papa berangkat dulu
...ya. Nanti siang main-main lagi,” sekali lagi Pak Handoyo menolak halus.
***
SAKIMUN menghidupkan sedannya. Dengan santun,
dibukanya pintu sedan dan mempersilakan Pak Handoyo masuk. Sakimun lalu memacu
sedannya memasuki kota yang asri dari sisi timur.
“Ke mana kita, Pak?” tanya Sakimun basa-basi.
“Ya, ke kantor, memangnya aku masih punya simpenan di Ngrampal, Sambungmacan atau
Kedung Banteng. Seperti nggak tahu
kartu bos saja,” Pak Handoyo menimpali.
“Enggak,
Pak. Barangkali Pak Handoyo ada keperluan lain,” Sakimun merasa sedikit
bersalah.
“Mun..Mun..jangan ke kantor dulu deh. Kita lihat rawa-rawa di selatan
kota dulu, kita lihat apakah rawa-rawa itu masih menghasilkan ikan air tawar,”
pinta Pak Handoyo.
Sakimun langsung membelokkan stir ke kiri sesampai
di terminal lama, langsung ke arah Kedawung. Tepat di rawa-rawa yang dituju, Sakimun
menghentikan sedan yang dikendarainya. Namun Pak Handoyo tak hendak turun. Dia
hanya memandangi pinggiran rawa-rawa milik dinas yang dipimpinnya yang
dipimpinnya yang ditumbuhi bedeng-bedeng, gubuk-gubuk setengah permanen, dan
sejumlah pos keamanan. Pun tampak ada langgar, bangunan sepintas seperti balai
RW, dan kabel aliran listrik resmi. Bahkan, ada beberapa satuan sambungan
telepon masuk ke beberapa rumah orang-orang yang dianggap terpandang di situ.
Pak Handoyo tetap tak hendak turun. Dilihatnya
warga berkerumun, beramai-ramai keluar dari rumah masing-masing. Mereka
memandang aneh pada sedan Pak Handoyo.
“Mengapa mereka seolah curiga pada kita, Mun?”
ucap Pak Handoyo spontan.
“Yah, barangkali mereka tidak suka pada kehadiran
kita. Kedatangan kita mereka anggap sebagai malapetaka,” kata Sakimun
sekenanya.
“Malapetaka?” tanya Pak Handoyo.
“Ya, menganggap kita akan menguasai tanah bekas
rawa-rawa itu dengan ganti rugi alakadarnya,” jawab Sakimun.
“Lho,
mereka kan menyerobot tanah negara, kok
minta ganti rugi?” Pak Handoyo keheranan.
“Memangnya tanah miliki siapa, Pak?” kembali
Sakimun bertanya.
“Tanah Dinas Ikan-ikanan,” jelas Pak Handoyo.
Sakimun mengangguk-angguk. Sementara Pak Handoyo
larut dalam bayang-bayang kemarahan warga yang sudah lima tahun belakangan
menguruk lalu menempati tanah bekas rawa-rawa itu.
Puluhan warga beramai-ramai mendekati sedan Pak
Handoyo sembari membentangkan poster bernada protes, “Jangan kami ditindas,
kami sudah berjuang mati-matian menguruk rawa itu.” Pada poster lain tertulis,
“Jangan kami dipersulit memperpanjang KTP, kami butuh identitas.” Lalu poster
yang lain lagi, “Beri kami KTP seperti warga kampung lain, kami sudah bayar
semuanya.” Satu lagi poster yang membuat Pak Handoyo kehilangan daya, “Bu
Kepala Dinas Ikan-ikanan, mohon perjuangkan kami. Kami sudah bayar pada Ibu
lebih dari cukup saban bulan. Jangan kami hanya diperas demi kemewahan gaya
hidup Ibu. Jangan biarkan kami hidup tanpa identitas.”
Pak Handoyo tercenung melihat poster paling besar
dan mencolok yang seperti menohok ulang isteri tuanya selama ini. Dia merasa
tidak tahu kalau isterinya memanfaatkan rawa-rawa itu buat memenuhi gaya
hidupnya. “Benarkah isteriku membuat kemewahan dari rawa-rawa ini?
Jangan-jangan Ningrum juga memanfaatkan rawa-rawa yang lain buat memenuhi gaya
hidup sosialita di kota yang asri ini? ....” Pak Handoyo dalam sejuta tanda
tanya dan meminta Sakimun cepat-cepat tancap gas. ***
Sragen,
September 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar