Sabtu, 19 Juli 2014

Rawa-rawa Sosialita

Cerpen budi nugroho

SECANGKIR teh ginastel menemani Pak Handoyo melewatkan pagi berseri di bumi yang asri sebelum berangkat ngantor. Tak perlu terburu-buru seperti orang Jakarta yang usai shalat subuh harus sudah berangkat mengejar bus kota atau omprengan plat hitam yang mengantarnya ke pusat-pusat bisnis dan pemerintahan.
Ditemani perkutut dan beo kesayangannya, Pak Handoyo menghabiskan paginya dengan dahi berkerut membaca surat kabar Warto Jowo Tengah yang hari itu mengangkat isu utama penggusuran warga tak beridentitas yang membangun dan menempati rumah-rumah semi-permanen di salah satu bibir situ kebanggaan warga kota asri itu.
“Pak, mau berangkat jam berapa? Nanti keburu kesiangan, anak-anak sudah nunggu di meja makan,” ucap Bu Handoyo membuyarkan perhatian suaminya yang lagi serius membaca koran pagi.
“Sudahlah, nanti dibaca di kantor saja,” kembali Bu Handoyo berucap sekali lagi sembari menarik lengan suaminya. Mau tak mau Pak Handoyo mengikuti langkah isterinya ke meja makan. Bersamaan itu rupa-rupanya kedua anaknya telah selesai menyarap.
“Pak, Bu, Erna berangkat ya,” ujar anak sulung Keluarga Handoyo berpamitan.
“Agung juga mau berangkat Pak,” sambung si bungsu Agung.
“Ah, kalian curang nggak mau menunggu Bapak. Hati-hati di jalan ya,” kata Pak Handoyo.
Erna dan Agung pun berlalu meninggalkan rumahnya yang cukup mentereng di jalan protokol jantung kota asri itu. Wajar saja, Pak Handoyo pejabat teras di pemerintahan daerah itu. Satu jabatan yang melekat pada orang terpandang di kota itu. Satu jabatan yang kadang memberi keistimewaan.
Kedua kakak-beradik yang bersekolah di SMA favorit kebanggaan warga kota campur sari itu langsung menghidupnya motor mereka. Dan, mereka lalu melaju meninggalkan Pak Handoyo yang sedikit termangu di ruang makan.
“Pak, tadi sepertinya Bapak begitu  serius membaca koran pagi, memangnya ada berita yang menyangkut kepentingan Bapak atau dinas yang Bapak pimpin,” tanya Bu Handoyo sembari membuatkan roti tawar berlapis keju dan mentega kesukaan Pak Handoyo setelah mengemban amanah kepala dinas. Dulu, sebelum menjadi pejabat teras, Pak Handoyo lebih suka menyarap nasi pecel atau nasi sambal tumpang.
Nggak ada apa-apa, berita kan begitu-begitu saja. Kalau bukan acara peresmian penggunaan jembatan, pengguntingan pita pembukaan gedung, yah pelantikan pejabat di kantor kabupaten,” jawab Pak Handoyo sedikit mengalihkan perhatian.
“Ah, nggak biasanya Bapak membaca koran seserius itu, sampai-sampai melupakan acara menyarap bersama anak-anak,” ucap Bu Handoyo masih dengan rasa ingin tahu.
“Sekali lagi tidak ada apa-apa Bu. Ibu tidak tidak perlu terlalu khawatir. Suamimu ini kan masih lama masa pensiunnya dan rasanya tidak mungkin dimutasi ke daerah terpencil di lerenga Jayawijaya,” kata Pak Handoyo berusaha menghibur isterinya.
Dengan sentuhan lembut Bu Handoyo menghidangkan roti tawar berlapis keju dan mentega yang baru selesai dibuatnya. “Kalau ada apa-apa terbuka saja Pak, apa sih kekurangan kita? Rumah sudah ada, anak-anak tidak membawa masalah. Mobil sedan juga punya, perkutut kesayangan menghibur saban pagi. Apa lagi yang Bapak cari sih? Ibu tidak neko-neko kok,” Bu Handoyo terus bertanya-tanya.
“Sudah lah Bu, pagi-pagi tidak elok dibawa ngaco,” ujar Pak Handoyo.
***
PAK Handoyo berupaya menenangkan diri. Dia habis lapis demi lapis roti berlapis keju dan mentega kegemarannya. Matanya, yang telah menunjukkan tanda-tanda ketuaan dan dibantu dengan kaca mata plus tiga itu, tak tertuju ke isterinya. Matanya menyapu satu per satu, sdutu demi sudut di ruang makan rumahnya. Lemari es terbaru mereka paling top kokoh berdiri di sudut ruangan. Pun meja makan yang terbuat dari marmer Tulungagung lengkap dengan  lapis pemutar pemberian seorang kolega yang selalu mengerjakan proyek-proyek di dinas yang dia pimpin.
Di balik pintu, berbatasan dengan dapur, di garasinya terparkir sedan merek terkenal keluaran terbaru yang mampu menjadi jawaban tersendiri atas gengsi dan status keluarga Pak Handoyo di mata sekeliling rumahnya.
“Ternyata cukup mewah juga gaya hidupku. Dari mana isteriku bisa membeli barang-barang ini ya. Belum lagi arisan bersama-sama dengan ibu-ibu pejabat yang tergabung dalam sosialita kota asri ini. Rasanya, aku tak memberikan seluruh penghasilan ke isteriku. Dan, faktanya, isteriku tidak bekerja, hanya mengandalkan pemasukan dari gajiku,” tak sadar Pak Handoyo bergumam lirih hanyut diterpa suara gebukan Yu Ponirah yang tengah mencuci sprei di tempat cucian yang bersebelahan dengan ruang makan. Kendati begitu dia tetap mencoba menghabiskan roti yang tersisa satu-dua gigitan.
“Apakah ini ada hubungan dengan berita koran pagi ini?” Pak Handoyo berkerut kening.
“Ada apa sih, Pak? Bapak kok kelihatan gelisah, khawatir, kacau pikiran dan tidak bisa menikmati berkah hari ini,” Bu Handoyo menebak-nebak.
“Tidak ada apa-apa, tidak ada yang perlu dirisaukan. Sudah ya Bu, Bapak berangkat ke kantor sekarang,” Pak Handoyo pamit.
***
DITEMANI sopir pribadinya Sakimun, Pak Handoyo berangkat ke kantor dengan sedannya yang terbaru. Dari rumahnya di kawasan Kebon Asri, cukup dengan waktu tempuh tak lebih dari 15 menit.
“Pagi ini kita ke mana, Pak?” tanya Sakimun.
“Mampir ke Ngrandu dulu kita,” jawab Pak Handoyo. Sakimun mafhum. Waktu-waktu tertentu, bosnya acap menghabiskan sedikit waktunya di Ngrandu, rumah Ningrum, isteri muda Pak Handoyo yang sampai sekarang belum pernah tercium oleh Bu Handoyo. Dan, Sakimun menjaga betul rahasia bosnya.
Sakimun memacu sedan sedang-sedang saja. Jalan utama kota asri itu tidak terlalu padat setelah bus antarkota-antarprovinsi dialihkan melewati pinggiran kota. Jangan hanya diramaikan anak-anak sekolah bersepeda hendak menuju sekolah masing-masing. Ditambah becak-becak yang membawa pulang ibu-ibu sepulang belanda dari Pasar Bunder.
Tidak lebih dari 20 menit, Sakimun sudah memarkir sedan bosnya di garasi rumah Ningrum. “Nggak biasanya Mas Handoyo datang pagi-pagi begini,” ujar Ningrum begitu menyambut kedatangan Pak Handoyo.
“Tidak ada apa-apa, cuma ingin mampir saja,” kata Pak Handoyo.
“Ah, aku ndak percaya. Mas Han pasti sedang ada masalah sampai-sampai takut pergi ke kantor,” ucap Ningrum sedikit manja.
Nggak ada apa-apa, aku cuma ingin ketemu si kecil Nina saja. Selama ini aku kan hanya ketemu siang-siang, tak pernah memandikan. Boleh kan pagi ini aku memandikannya,” pinta Pak Handoyo. Pasangan Handoyo dan Ningrum rupanya telah dikaruniai se kecil Nina yang belum genap berumur dua tahun.
“Boleh-boleh saja, tapi dia belum bangun, Mas. Cuma aku heran, ndak biasanya, kok sampai-sampai Mas Han ingin memandikan Nina segala. Firasatku mengatakan Mas Han pasti sedang ada masalah dengan isteri tua atau persoalan dengan kantor,” Ningrum menebak-nebak. Ia lantas masuk ke dalam kamarnya menengok Nina yang masih terlelap.
Pak Handoyo berusaha menghilangkan bayang-bayang kabar gusuran yang menjadi menu utama koran pagi ini. Dia ingin bercanda ria dengan Nina. Dia tahu betul kabar itu sangat memukul karir dan masa depan keluarganya. Gara-gara kabar itu bisa-bisa dia harus merelakan jabatannya secara tidak hormat. Lantaran kabar empat kolom di halaman satu itu, besar kemungkinan, keluarganya berantakan dan segala aibnya terlepas ke khalayak.
“Mas Han, nih Nina sudah bangun,” ujar Ningrum sekeluar dari kamarnya.
“Siapkan air mandinya, biar Nina sebentar bersamaku,” balas Pak Handoyo.
Pak Handoyo pun asyik menimang-nimang Nina. Dia bercana ria dengan yang baru bisa ngomong satu-dua patah kata. Raut muka Pak Handoyo tempak sedikit terhibur meski tetap menyiratkan problematika yang dihadapinya.
“Air mandinya Nina sudah siap Mas Han,” kata Ningrum.
Pak Handoyo bergegas membopong Nina ke kamar mandi. Dia mengajak Nina bermain-main air hangat sejenak. Tidak lebih dari 10 menit, Pak Handoyo sudah mendandani Nina dengan baju terbaru yang dibelikannya dua hari lalu di Pasar Kota. Sementara Ningrum menyiapkan sarapan pagi.
“Mas, ayo menyarap bersama Nina,” pinta Nungrum.
“Aku tadi sudah menyarap, nanti malah sakit perut,” Pak Handoyo menolak halus ajakan Ningrum.
“Ayo.. Pa .. sekali-sekali menemani Nina,” ajak Nina dengan nada terpatah-patah.
“Papa sudah menyarap sayang, Papa berangkat dulu ...ya. Nanti siang main-main lagi,” sekali lagi Pak Handoyo menolak halus.
***
SAKIMUN menghidupkan sedannya. Dengan santun, dibukanya pintu sedan dan mempersilakan Pak Handoyo masuk. Sakimun lalu memacu sedannya memasuki kota yang asri dari sisi timur.
“Ke mana kita, Pak?” tanya Sakimun basa-basi.
“Ya, ke kantor, memangnya aku masih punya simpenan di Ngrampal, Sambungmacan atau Kedung Banteng. Seperti nggak tahu kartu bos saja,” Pak Handoyo menimpali.
Enggak, Pak. Barangkali Pak Handoyo ada keperluan lain,” Sakimun merasa sedikit bersalah.
“Mun..Mun..jangan ke kantor dulu deh. Kita lihat rawa-rawa di selatan kota dulu, kita lihat apakah rawa-rawa itu masih menghasilkan ikan air tawar,” pinta Pak Handoyo.
Sakimun langsung membelokkan stir ke kiri sesampai di terminal lama, langsung ke arah Kedawung. Tepat di rawa-rawa yang dituju, Sakimun menghentikan sedan yang dikendarainya. Namun Pak Handoyo tak hendak turun. Dia hanya memandangi pinggiran rawa-rawa milik dinas yang dipimpinnya yang dipimpinnya yang ditumbuhi bedeng-bedeng, gubuk-gubuk setengah permanen, dan sejumlah pos keamanan. Pun tampak ada langgar, bangunan sepintas seperti balai RW, dan kabel aliran listrik resmi. Bahkan, ada beberapa satuan sambungan telepon masuk ke beberapa rumah orang-orang yang dianggap terpandang di situ.
Pak Handoyo tetap tak hendak turun. Dilihatnya warga berkerumun, beramai-ramai keluar dari rumah masing-masing. Mereka memandang aneh pada sedan Pak Handoyo.
“Mengapa mereka seolah curiga pada kita, Mun?” ucap Pak Handoyo spontan.
“Yah, barangkali mereka tidak suka pada kehadiran kita. Kedatangan kita mereka anggap sebagai malapetaka,” kata Sakimun sekenanya.
“Malapetaka?” tanya Pak Handoyo.
“Ya, menganggap kita akan menguasai tanah bekas rawa-rawa itu dengan ganti rugi alakadarnya,” jawab Sakimun.
Lho, mereka kan menyerobot tanah negara, kok minta ganti rugi?” Pak Handoyo keheranan.
“Memangnya tanah miliki siapa, Pak?” kembali Sakimun bertanya.
“Tanah Dinas Ikan-ikanan,” jelas Pak Handoyo.
Sakimun mengangguk-angguk. Sementara Pak Handoyo larut dalam bayang-bayang kemarahan warga yang sudah lima tahun belakangan menguruk lalu menempati tanah bekas rawa-rawa itu.
Puluhan warga beramai-ramai mendekati sedan Pak Handoyo sembari membentangkan poster bernada protes, “Jangan kami ditindas, kami sudah berjuang mati-matian menguruk rawa itu.” Pada poster lain tertulis, “Jangan kami dipersulit memperpanjang KTP, kami butuh identitas.” Lalu poster yang lain lagi, “Beri kami KTP seperti warga kampung lain, kami sudah bayar semuanya.” Satu lagi poster yang membuat Pak Handoyo kehilangan daya, “Bu Kepala Dinas Ikan-ikanan, mohon perjuangkan kami. Kami sudah bayar pada Ibu lebih dari cukup saban bulan. Jangan kami hanya diperas demi kemewahan gaya hidup Ibu. Jangan biarkan kami hidup tanpa identitas.”
Pak Handoyo tercenung melihat poster paling besar dan mencolok yang seperti menohok ulang isteri tuanya selama ini. Dia merasa tidak tahu kalau isterinya memanfaatkan rawa-rawa itu buat memenuhi gaya hidupnya. “Benarkah isteriku membuat kemewahan dari rawa-rawa ini? Jangan-jangan Ningrum juga memanfaatkan rawa-rawa yang lain buat memenuhi gaya hidup sosialita di kota yang asri ini? ....” Pak Handoyo dalam sejuta tanda tanya dan meminta Sakimun cepat-cepat tancap gas. ***           
Sragen, September 1995    

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar