Bila Anda berlibur ke Jogjakarta, tetapi tidak sempat mencicipi makanan ini, niscaya kunjungan Anda akan sia-sia. Makanan ini rasanya manis dan biasa dijual pada malam hari. Makanan apakah yang dimaksud? Ya, Gudeg.
Gudeg atau dalam bahasa Jawa ‘gudheg’ merupakan salah satu makanan khas Jogja dan Jawa Tengah. Gudeg terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan selama berjam-jam agar rasanya kuat. Selain itu, daun jati juga dimasukan dalam proses pembuatannya. Dari daun jati itulah mengapa Gudeg kemudian berwarna cokelat. Selain menggunakan santan, ada juga yang mengolah Gudeg dengan menggunakan manggar (pondoh kelapa) atau ada juga yang menggunakan rebung (anakan pohon bambu).
Jika sudah matang, Anda dapat menikmati gudeg biasanya dapat dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tahu dan sambal goreng krecek. Ada dua jenis Gudeg yang dikenal saat ini: Gudeg kering dan Gudeg basah. Gudeg kering biasanya hanya memiliki sedikit santan sementara Gudeg basah mencakup lebih banyak susu kelapa atau santan. Rasa Gudeg pun bervariasi. Meskipun biasanya manis, Gudeg kadang juga memiliki rasa yang pedas seperti yang terdapat pada wilayah Jawa Timur.
Lalu, dari manakah nama ‘Gudeg’ itu berasal?
Ada dua cerita yang populer mengenai ini, tetapi keduanya masih belum dapat dikatakan sebagai sumber yang kredibel. Oleh karenanya, dimohon bagi para pembaca untuk tidak langsung mempercayai kedua cerita yang dipaparkan pada tulisan ini.
Cerita pertama:
Pada masa penjajahan Inggris di Indonesia sekitar tahun 1812, terdapatlah seorang warga negara Inggris yang memiliki istri seorang perempuan Jawa dan tinggal di Jogja. Untuk menghormati tradisi masyarakat Jawa, warga negara Inggris tersebut memanggil istrinya—yang notabene seorang ibu rumah tangga biasa—dengan sebutan “dek”.
Pada suatu hari, ketika sang suami sedang pergi bekerja, sang istri bingung ingin memasak apa untuk suaminya. Hingga akhirnya dia teringat resep turun temurun keluarganya yang menggunakan bahan dari nangka muda tersebut. Ketika sang suami tiba di rumah, ia langsung menuju ruang makan karena tergoda oleh wangi dari masakan sang istri. Ia pun lantas melahap makanan yang ada.
Sang suami yang belum pernah memakan makanan seenak itu lalu berkata agak keras kepada sang istri. “It is good, dek!”, katanya dengan ekspresi senang. Sang istri terkejut dan mulai menceritakan ke tetangga dan teman-temannya kalau sang suami senang sekali dimasakkan resep turun temurun itu. Sejak saat itu, setiap kali selesai makan makanan tersebut, sang suami dia selalu bilang “good,dek”. Dari situlah makanan itu mulai disebut GUDEG sebagai metomorfosis dari kata “good dek”.
Cerita kedua:
Beberapa pandangan mengkaitkan Gudeg sebagai makanan dari Kraton Yogyakarta, sementara lainnya berpandangan bahwa Gudeg telah lama ada sejak penyerbuan pertama ke Batavia pada 1726-1728 oleh pasukan Sultan Agung. Belum ada sumber literasi yang menguatkan dugaan kedua asums tersebut. Pun demikian, banyak masyarakat Jogja—khususnya pada orang tua—yang berpendapat bahwa Gudeg adalah makanan masyarakat jaman dulu karena bahan baku utamanya (seperti nangka muda, manggar, atau rebung) mudah ditemukan di pekarangan sekitar rumah warga. Bahan-bahan tersebut tersebut kemudian diolah dan dikembangkan sehingga menjadi Gudeg makanan khas masyarakat Jogja sampai saat ini.
Nah, berdasarkan dua versi sejarah ini, Anda lebih percaya yang mana? (http://beritajogja.co.id/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar