Kamis, 31 Juli 2014

RUMAH KONTRAKAN

fiksi budi nugroho

 Rasanya baru kemarin sore aku membayar uang kontrak rumah ini. Tak terasa waktu satu tahun tinggal hitungan hari. Pemilik rumah meneleponku, jam delapan kurang lima menit, meminta kepastian aku menyudahi ataukah memperpanjang kontrak rumahnya. Waktu, yang rasanya sudah sangat terlambat buat berangkat ke pasar.
 Tak sempat terucap kata-kata yang bisa kusampaikan buat memberi kepastian. Belum terbayang jawaban apa yang harus kusampaikan. Karena memang belum ada uang sebesar itu di tanganku. Terlebih, pemilik rumah ini menaikkan harga sewa kontrak sejuta lebih mahal daripada kontrak setahun sebelumnya. Bukan baik Pak, ini cuma menyesuaikan diri dengan tingkat inflasi yang dua digit tahun lalu, begitu alasan si pemilik rumah.
 Sekalipun demikian aku sudah telanjur jatuh hati pada rumah ini. Tidak seperti rumah-rumah sebelumnya yang aku kontrak, rumah ini besar dan bersih. Terdiri dari dua lantai dengan tiga ruang tidur dan dua kamar mandi, sangat pas untuk keluarga besarku.
 Letaknya pun, menurut feng shui, cukup membawa keberuntungan. Nyaman untuk tinggal, dikelilingi tetangga baik-baik, dan bebas banjir meski hujan mengguyur semalam suntuk. Kawasan cukup bergengsi di perbatasan Jakarta-Bekasi.
 Begitu pula, anak-anak dan cucuku yang baru semata wayang tak mau lagi kalau aku berpindah-pindah rumah. Meski, sekarang banyak penjual jasa pindah rumah yang mengobral janji bahwa perabotan yang dibawaserta pindah nggak bakal rusak. Tetap saja banyak perabotan jadi rusak. Belum lagi capek yang luar biasa, tidak hilang dalam tempo sepekan. Ditambah pula, aku pasti kehilangan hak untuk mencalonkan diri menjadi ketua RT.
 Di usia yang menjelang magrib ini memang malu rasanya kalau terus-menerus hidup nomad. Mending kalau pindahnya karena membeli rumah baru yang lebih luas dan berkualitas, lha ini ngontrak lagi ngontrak lagi.
 Kuurungkan niatku ke pasar. Niarlah bos mau berkata apa. Nanti aku kirim saja faks surat keterangan tidak sehat ke sana. Lantas, aku menujuk meja makan. Isteriku, Jeng Lastri, sudah sedari tadi setia menunggu kendati sudah merasa sangat lapar. Tak salah aku memilih wanita Jawa tulen yang maih keturunan jauh keraton ini. Santun, miyayeni, luwes dan supel. Padahal, aku lelaki Tionghoa yang cuma kuli terpercaya agen alat tulis kantor di Pasar Jatinegara.
 Pagi ini isteriku tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Semalam ia rupanya juga menerima telepon dari pemilik rumah, meminta kepastian yang sama.
 Bagaimana Pa, mau perpanjang tidak? ucap Jeng Lastri menahan rasa bingung.
 Inginnya sih perpanjang! jawabku singkat.
 Uang dari mana buat menutup sewa kontrak sebesar itu. Apalagi Papa sering mangkir belakangan ini, isteriku masih berusaha menahan sesak nafas.
 Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, nanti asma Mama kambuh lagi, ucapku sambil menyantap mi ayam kesukaanku.
 Aku tak terlalu memedulikan pertanyaan-pertanyaan isteriku lagi. Terus saja aku menikmati mi ayam sampai habis. Isteriku hanya diam seribu bahasa, mi ayam di mangkuknya tak sedikitpun disentuh.
 Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Toh, tinggal si bungsu yang membutuhkan biaya sekolah. Tiga anakku yang lain sudah bisa mencari uang sendiri. Si sulung Tina sekarang mengajar kursus Bahasa Prancis yang makin diminati banyak orang. Tarno, anak kedua, sudah terbang ke Jepang, menjadi juruwarta khusus liputan Liga Jepang. Lalu, anak ketiga, Tami, sudah bekerja sebagai tenaga administrasi perusahaan garmen di pinggiran Bekasi.
 Biaya pendidikan buat si bungsi Titi bisa ditanggung-renteng ketiga kakaknya. Dan, aku coba arahkan anakku yang satu ini menjadi pedagang sukses. Setidak-tidaknya ada bakat dagang dari darah Tionghoa-ku. Ini terlihat dari kemauannya menawarkan dagangan yang dibawa kakaknya ke toko di depan rumah dan berhasil. Ia bisa menjual dan menerima pesanan.
 Entah mengapa aku tidak merasa khawatir atau bingung menghadapi telepon pemilik rumah. Cuma isteriku dan Tami anakku nomor tiga yang memperlihatkan raut sedih, murung dan bingung, habis bulan ini mesti tinggal di mana lagi. Begitu sering kudengar gumaman mereka. Melibatkan Tarno untuk masalah ini, aku sudah tak tega lagi. Baru tiga bulan yang lalu ia mengirim uang buat dibelikan televisi dan vcd yang baru. Biar papa tidak harus bertengkar dengan Tasya –cucuku—berebut channel. Si sulung, seperti biasa, acuh tak acuh, karena dari dulu selalu begitu. Setelah berpisah dengan suaminya, ia sudah terlalu sibuk membiayai anaknya yang baru masuk sekolah TK kelas A. sedang si bungsu belum terlalu mengerti apa arti kesudahan atau perpanjangan kontrak rumah.
 Aku merasa punya keyakinan bahwa rumah ini membawa keberuntungan. Banyak sekali yang aku dapat setelah menempati rumah ini. Tarno ditugaskan ke Jepang, si Sulung diberi kewenangan memimpin di kantor cabang yang baru. Dan aku, diberi kepercayaan yang lebih dari bos.
 Sebelumnya aku tidak menghiraukan cerita orang-orang sekitar rumah ini. Mereka banyak bercerita kalau rumah ini ada penunggunya. Yang pernah mengontrak rumah ini tak pernah tanah lebih dari setahun. Bahkan, keluarga yang mengontrak sebelum aku, cuma tanah enam bulan. Isteri atau anak perempuannya, setiap malam, terutama malam Jumat Kliwon, selalu ada yang menakut-nakuti. Didatangi bayang-bayang makhluk hitam tinggi besar, berambut gondrong. Dan, makhluk itu tidak sekadar menampakkan diri, tapi juga menyentuh dan mencium penghuninya yang cantik-cantik.
 Kisah ini dialami terutama pada penghuni yang memiliki status sebagai isteri yang kurang jelas, entah isteri simpanan, isteri ketiga atau selir. Dan, kebetulan beberapa kali ganti penghuni, selalu bermasalah. Isteri simpanan atau isteri ke sekian. Karena, menurut cerita para tetangga, kepala keluarganya hampir tak pernah di rumah. Sekalinya ada, hanya sekian jam dalam sepekan.
 Sekali tempo, tetangga depan rumah ini bercerita ihwal bagaimana ketakutannya seorang perempuan yang cuma tinggal berdua bersama seorang anak-perempuannya. Sampai perempuan itu habis kontrak, tak pernah melewatkan malam-malamnya bersama seorang suami. Padaha, dalam pelaporannya ke Pak RT, tercantum jelas dia sebagai isteri dari seseorang bernama Tjahjadi Oedi. Menurutnya sih seorang bandar di kawasan Jakarta Kota. Sewaktu memindahkan isterinya, lantaran masa kontrak habis, sang bandar ini mengerahkan sebuah truk hijau serdadu dan tiga orang serdadu tanpa senjata. Dan, sekali-sekalinya itulah tetangga depan rumah melihat sang kepala rumah tangga.
 Tetangga depan rumah ini bercerita pernah suatu tengah malam, isteri Tjahjadi Oedi menelepon dirinya. Dia minta ditemani, gara-gara ada makhluk tinggi besar berambut gondrong menyambangi tempat tidurnya. Telepon saja suamimu, jawab tetangga depan rumah, heran. Rupanya bukan hanya tetangga depan rumah seorang yang mendapat telepon di tengah malam seperti itu. Beberapa tetangga lain pun pernah mendapat ajakan serupa dengan alasan yang sama.
 Masih cerita tetangga depan rumah ini, setelah peristiwa telepon tengah malam itu, isteri Tjahjadi Oedi menjadi berubah tingkah. Dia mengalami ketakutan luar biasa. Untuk menutup tirai jendela pun ia tak berani. Sehingga, segala aktivitas dalam rumahnya terlihat dari luar.
 Makanya rumah ini cukup lama dibiarkan kosong oleh pemiliknya, sebelum aku menempatinya. Pemiliknya tahu kalau rumah ini ada yang menunggui. Permiliknya juga tahu jika sang penunggu biasa memperlihatkan diri pada wanita cantik yang ditinggal suami di malam hari atau pada wanita yang diseliri.
Sebelum aku menanda-tangani kontrak setahun silam, pemiliknya bercerita panjang lebar soal itu. Bahkan, pemilik rumah ini mengaku dirinya sudah mengerahkan paranormal hebat buat mengusir makhlus halus yang suka mengganggu wanita cantik itu.
 Ibu tak perlu kahwatir, rumah ini sudah bebas dari pengganggu, janji pemilik rumah kepada isteriku.
 Aku sendiri tidak terlalu memusingkan kehadirn makhluk halus sebagaimana dikisahkan pada tetangga dan pemilik rumah ini. Siapapun percaya bahwa di setiap rumah pasti ada penunggunya. Dan ketika pada kenyataannya kami menemui makhluk-makhluk halus tersebut, kami seperti menerima kehadirannya. Beruntung juga anak-anak dan cucuku, tak ada yang takut apalagi sampai histeris manakala makhluk halus itu menampakkan diri.
 Ada empat makhluk penunggu di rumah ini, yang kerap menampakkan diri. Dan mereka ada di empat tempat ruang terpisah. Salah satu yang rutin dan paling sering terlihat oleh Tasya cucuku adalah yang bernama Tomi. Tomi dan kawan-kawannya tidak suka mengganggu, paling sekadar mengajak bercanda si Tasya.
 Pernah sekali tengah malam, datanglah makhluk lain di luar keempat itu. Walau tidak sempat membuat kaget seisi rumah, muncul juga rasa khawatir. Aku memikirkan anak-anak perempuanku dan cucuku yang memang cantik-cantik.
 Ketika aku tanyakan pada teman yang kebetulan seorang paranormal, ia mengatakan bahwa itu adalah kawan Tomi yang sudah diusir ke pohon besar di seberang rumah ini oleh seorang paranormal kondang yang dibayar namun ingin kembali lagi.
 Lalu, serta merta aku memasang cermin segidelapan dan tiga lidi kemenyan –yang biasa kupakai bersembahyang di vihara—di atas pintu utama rumah ini. Rupanya ia tidak takut pada cermin segidelapan dan tiga lidi kemenyan. Beberapa kali ia tetap datang ke rumah ini.
 Satu yang tak pernah aku dan seisi rumah lupakan, saat aku iseng menanyakan empat angka Togel Singapura yang bakal keluar esok hari. Dan, benar angka-angka yang ia berikan tepat sasaran. Aku langsung jadi jutawan. Tapi, hasil tembakan Togel itu habis dipakai buat berfoya-foya.
 Dari kejadian itu aku mulai berhitung. Dengan empat kali tembak empat angka tepat sasaran, aku bisa membeli rumah ini. Aku berharap kawan Tomi itu mau memberikan nomor-nomor pada tiga kali penarikan Togel berikutnya.
 Sebelum ini menjadi kenyataan, kolegaku dari Surabaya yang tahu seluk-beluk dunia makhluk halus kumintakan nasihat. Aku minta tolong agar bisa mengajak kawan Tomi ke pusat judi rolet di Jakarta Kota. Aku ingin menguras bandar rolet di sana. Permainan rolet di sana sebenarnya jujur-jujur saja, cuma jinnya aku tidak tahan.
 Namun, rupanya, kawan Tomi itu kalah kuat melawan jin-jin piaraan bandar rolet di sana. Aku gagal menguras kantong bandar rolet.
 Aku pulang dengan tangan hampa. Rasanya dadaku menjadi penuh sesak. Nyaris putus asa, beruntung siteriku sangat mengerti. Ia tidak marah dan tidak pula menyalahkan aku. Soal kekalahan dalam judi, baginya yang penting uang belanja harian tercukupi.
 Sekarang satu-satunya harapanku adalah bisa membayar uang kontrakan untuk satu tahun ke depan. Kawan Tomi belum juga menampakkan diri. Aku menunggu dengan gelisah, sekalipun aku sangat yakin kalau aku akan berhasil memanfaatkannya.
 Sampai pemilik rumah ini meneleponku tadi jam delapan kurang lima menit, kawan Tomi itu belum memberiku nomor yang jitu.
 Pemilik rumah ini akan menelepon setengah jam lagi, karena, enam hari lagi sudah benar-benar mati kontrak. Baru kali ini aku merasa kebingungan menjawab kepastian perpanjangan kontrak rumah. Jika saja kawan Tomi itu sudah memberiku angka-angka jitu maka aku tak perlu pusing-pusing menerima telepon pemilik rumah ini.
 Baru selesai aku menghabiskan mi, telepon berdering lagi. Isteriku beranjak dari kursinya, langsung menyambar gagang telepon. Benar saja, pemili rumah ini kembali meminta kepastian kontrak baru.
 Bagaimana Pa, diperpanjang tidak? tanya isteriku sembari menutup salahs atu sisi gagang telepon.
 Oke, diperpanjang, jawabku singkat dan ringan. Entah kekuatan dari mana, aku dapat lancar menjawab itu. Ya, semoga saja aku mendapat nomor jitu lagi, sehingga aku bisa memperpanjang kontrak rumah ini, atau aku beli?
                                                                                                                       Bekasi, awal 2002


Tidak ada komentar:

Posting Komentar