fiksi
budi nugroho
Rasanya
baru kemarin sore aku membayar uang kontrak rumah ini. Tak terasa waktu satu
tahun tinggal hitungan hari. Pemilik rumah meneleponku, jam delapan kurang lima
menit, meminta kepastian aku menyudahi ataukah memperpanjang kontrak rumahnya.
Waktu, yang rasanya sudah sangat terlambat buat berangkat ke pasar.
Tak
sempat terucap kata-kata yang bisa kusampaikan buat memberi kepastian. Belum
terbayang jawaban apa yang harus kusampaikan. Karena memang belum ada uang
sebesar itu di tanganku. Terlebih, pemilik rumah ini menaikkan harga sewa
kontrak sejuta lebih mahal daripada kontrak setahun sebelumnya. “Bukan baik Pak, ini cuma menyesuaikan diri dengan tingkat
inflasi yang dua digit tahun lalu,” begitu alasan si
pemilik rumah.
Sekalipun demikian aku sudah telanjur jatuh
hati pada rumah ini. Tidak seperti rumah-rumah sebelumnya yang aku kontrak,
rumah ini besar dan bersih. Terdiri dari dua lantai dengan tiga ruang tidur dan
dua kamar mandi, sangat pas untuk keluarga besarku.
Letaknya pun, menurut feng shui, cukup membawa
keberuntungan. Nyaman untuk tinggal, dikelilingi tetangga baik-baik, dan bebas
banjir meski hujan mengguyur semalam suntuk. Kawasan cukup bergengsi di
perbatasan Jakarta-Bekasi.
Begitu
pula, anak-anak dan cucuku yang baru semata wayang tak mau lagi kalau aku
berpindah-pindah rumah. Meski, sekarang banyak penjual jasa pindah rumah yang
mengobral janji bahwa perabotan yang dibawaserta pindah nggak bakal rusak.
Tetap saja banyak perabotan jadi rusak. Belum lagi capek yang luar biasa, tidak
hilang dalam tempo sepekan. Ditambah pula, aku pasti kehilangan hak untuk
mencalonkan diri menjadi ketua RT.
Di usia
yang menjelang magrib ini memang malu rasanya kalau terus-menerus hidup nomad.
Mending kalau pindahnya karena membeli rumah baru yang lebih luas dan
berkualitas, lha ini ngontrak lagi ngontrak lagi.
Kuurungkan niatku ke pasar. Niarlah bos mau
berkata apa. Nanti aku kirim saja faks surat keterangan tidak sehat ke sana.
Lantas, aku menujuk meja makan. Isteriku, Jeng Lastri, sudah sedari tadi setia
menunggu kendati sudah merasa sangat lapar. Tak salah aku memilih wanita Jawa
tulen yang maih keturunan jauh keraton ini. Santun, miyayeni, luwes dan supel.
Padahal, aku lelaki Tionghoa yang cuma kuli terpercaya agen alat tulis kantor
di Pasar Jatinegara.
Pagi
ini isteriku tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Semalam ia rupanya juga
menerima telepon dari pemilik rumah, meminta kepastian yang sama.
“Bagaimana Pa, mau perpanjang tidak?”
ucap Jeng Lastri menahan rasa bingung.
“Inginnya sih perpanjang!” jawabku
singkat.
“Uang dari mana buat menutup sewa kontrak sebesar itu.
Apalagi Papa sering mangkir belakangan ini,” isteriku
masih berusaha menahan sesak nafas.
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, nanti asma Mama kambuh
lagi,” ucapku sambil menyantap mi ayam kesukaanku.
Aku tak
terlalu memedulikan pertanyaan-pertanyaan isteriku lagi. Terus saja aku
menikmati mi ayam sampai habis. Isteriku hanya diam seribu bahasa, mi ayam di
mangkuknya tak sedikitpun disentuh.
Tidak
ada yang perlu dikhawatirkan. Toh, tinggal si bungsu yang membutuhkan biaya
sekolah. Tiga anakku yang lain sudah bisa mencari uang sendiri. Si sulung Tina
sekarang mengajar kursus Bahasa Prancis yang makin diminati banyak orang.
Tarno, anak kedua, sudah terbang ke Jepang, menjadi juruwarta khusus liputan
Liga Jepang. Lalu, anak ketiga, Tami, sudah bekerja sebagai tenaga administrasi
perusahaan garmen di pinggiran Bekasi.
Biaya
pendidikan buat si bungsi Titi bisa ditanggung-renteng ketiga kakaknya. Dan,
aku coba arahkan anakku yang satu ini menjadi pedagang sukses. Setidak-tidaknya
ada bakat dagang dari darah Tionghoa-ku. Ini terlihat dari kemauannya
menawarkan dagangan yang dibawa kakaknya ke toko di depan rumah dan berhasil.
Ia bisa menjual dan menerima pesanan.
Entah
mengapa aku tidak merasa khawatir atau bingung menghadapi telepon pemilik
rumah. Cuma isteriku dan Tami anakku nomor tiga yang memperlihatkan raut sedih,
murung dan bingung, “habis bulan ini mesti tinggal di
mana lagi.” Begitu sering kudengar gumaman mereka.
Melibatkan Tarno untuk masalah ini, aku sudah tak tega lagi. Baru tiga bulan
yang lalu ia mengirim uang buat dibelikan televisi dan vcd yang baru. Biar papa
tidak harus bertengkar dengan Tasya –cucuku—berebut channel. Si sulung, seperti biasa, acuh tak acuh, karena dari dulu selalu
begitu. Setelah berpisah dengan suaminya, ia sudah terlalu sibuk membiayai
anaknya yang baru masuk sekolah TK kelas A. sedang si bungsu belum terlalu
mengerti apa arti kesudahan atau perpanjangan kontrak rumah.
Aku
merasa punya keyakinan bahwa rumah ini membawa keberuntungan. Banyak sekali
yang aku dapat setelah menempati rumah ini. Tarno ditugaskan ke Jepang, si
Sulung diberi kewenangan memimpin di kantor cabang yang baru. Dan aku, diberi
kepercayaan yang lebih dari bos.
Sebelumnya aku tidak menghiraukan cerita
orang-orang sekitar rumah ini. Mereka banyak bercerita kalau rumah ini ada
penunggunya. Yang pernah mengontrak rumah ini tak pernah tanah lebih dari
setahun. Bahkan, keluarga yang mengontrak sebelum aku, cuma tanah enam bulan.
Isteri atau anak perempuannya, setiap malam, terutama malam Jumat Kliwon,
selalu ada yang menakut-nakuti. Didatangi bayang-bayang makhluk hitam tinggi
besar, berambut gondrong. Dan, makhluk itu tidak sekadar menampakkan diri, tapi
juga menyentuh dan mencium penghuninya yang cantik-cantik.
Kisah
ini dialami terutama pada penghuni yang memiliki status sebagai isteri yang
kurang jelas, entah isteri simpanan, isteri ketiga atau selir. Dan, kebetulan
beberapa kali ganti penghuni, selalu bermasalah. Isteri simpanan atau isteri ke
sekian. Karena, menurut cerita para tetangga, kepala keluarganya hampir tak
pernah di rumah. Sekalinya ada, hanya sekian jam dalam sepekan.
Sekali
tempo, tetangga depan rumah ini bercerita ihwal bagaimana ketakutannya seorang
perempuan yang cuma tinggal berdua bersama seorang anak-perempuannya. Sampai
perempuan itu habis kontrak, tak pernah melewatkan malam-malamnya bersama
seorang suami. Padaha, dalam pelaporannya ke Pak RT, tercantum jelas dia
sebagai isteri dari seseorang bernama Tjahjadi Oedi. Menurutnya sih seorang
bandar di kawasan Jakarta Kota. Sewaktu memindahkan isterinya, lantaran masa
kontrak habis, sang bandar ini mengerahkan sebuah truk hijau serdadu dan tiga
orang serdadu tanpa senjata. Dan, sekali-sekalinya itulah tetangga depan rumah melihat
sang kepala rumah tangga.
Tetangga depan rumah ini bercerita pernah
suatu tengah malam, isteri Tjahjadi Oedi menelepon dirinya. Dia minta ditemani,
gara-gara ada makhluk tinggi besar berambut gondrong menyambangi tempat
tidurnya. “Telepon saja suamimu,”
jawab tetangga depan rumah, heran. Rupanya bukan hanya tetangga depan rumah
seorang yang mendapat telepon di tengah malam seperti itu. Beberapa tetangga
lain pun pernah mendapat ajakan serupa dengan alasan yang sama.
Masih
cerita tetangga depan rumah ini, setelah peristiwa telepon tengah malam itu,
isteri Tjahjadi Oedi menjadi berubah tingkah. Dia mengalami ketakutan luar
biasa. Untuk menutup tirai jendela pun ia tak berani. Sehingga, segala
aktivitas dalam rumahnya terlihat dari luar.
Makanya
rumah ini cukup lama dibiarkan kosong oleh pemiliknya, sebelum aku
menempatinya. Pemiliknya tahu kalau rumah ini ada yang menunggui. Permiliknya
juga tahu jika sang penunggu biasa memperlihatkan diri pada wanita cantik yang
ditinggal suami di malam hari atau pada wanita yang diseliri.
Sebelum aku menanda-tangani kontrak setahun
silam, pemiliknya bercerita panjang lebar soal itu. Bahkan, pemilik rumah ini
mengaku dirinya sudah mengerahkan paranormal hebat buat mengusir makhlus halus
yang suka mengganggu wanita cantik itu.
“Ibu tak perlu kahwatir, rumah ini sudah bebas dari
pengganggu,” janji pemilik rumah kepada isteriku.
Aku
sendiri tidak terlalu memusingkan kehadirn makhluk halus sebagaimana dikisahkan
pada tetangga dan pemilik rumah ini. Siapapun percaya bahwa di setiap rumah
pasti ada penunggunya. Dan ketika pada kenyataannya kami menemui
makhluk-makhluk halus tersebut, kami seperti menerima kehadirannya. Beruntung
juga anak-anak dan cucuku, tak ada yang takut apalagi sampai histeris manakala
makhluk halus itu menampakkan diri.
Ada
empat makhluk penunggu di rumah ini, yang kerap menampakkan diri. Dan mereka
ada di empat tempat ruang terpisah. Salah satu yang rutin dan paling sering
terlihat oleh Tasya cucuku adalah yang bernama Tomi. Tomi dan kawan-kawannya tidak
suka mengganggu, paling sekadar mengajak bercanda si Tasya.
Pernah
sekali tengah malam, datanglah makhluk lain di luar keempat itu. Walau tidak
sempat membuat kaget seisi rumah, muncul juga rasa khawatir. Aku memikirkan
anak-anak perempuanku dan cucuku yang memang cantik-cantik.
Ketika
aku tanyakan pada teman yang kebetulan seorang paranormal, ia mengatakan bahwa
itu adalah kawan Tomi yang sudah diusir ke pohon besar di seberang rumah ini
oleh seorang paranormal kondang yang dibayar namun ingin kembali lagi.
Lalu,
serta merta aku memasang cermin segidelapan dan tiga lidi kemenyan –yang biasa
kupakai bersembahyang di vihara—di atas pintu utama rumah ini. Rupanya ia tidak
takut pada cermin segidelapan dan tiga lidi kemenyan. Beberapa kali ia tetap
datang ke rumah ini.
Satu
yang tak pernah aku dan seisi rumah lupakan, saat aku iseng menanyakan empat
angka Togel Singapura yang bakal keluar esok hari. Dan, benar angka-angka yang
ia berikan tepat sasaran. Aku langsung jadi jutawan. Tapi, hasil tembakan Togel
itu habis dipakai buat berfoya-foya.
Dari
kejadian itu aku mulai berhitung. Dengan empat kali tembak empat angka tepat
sasaran, aku bisa membeli rumah ini. Aku berharap kawan Tomi itu mau memberikan
nomor-nomor pada tiga kali penarikan Togel berikutnya.
Sebelum
ini menjadi kenyataan, kolegaku dari Surabaya yang tahu seluk-beluk dunia
makhluk halus kumintakan nasihat. Aku minta tolong agar bisa mengajak kawan
Tomi ke pusat judi rolet di Jakarta Kota. Aku ingin menguras bandar rolet di
sana. Permainan rolet di sana sebenarnya jujur-jujur saja, cuma jinnya aku
tidak tahan.
Namun,
rupanya, kawan Tomi itu kalah kuat melawan jin-jin piaraan bandar rolet di
sana. Aku gagal menguras kantong bandar rolet.
Aku
pulang dengan tangan hampa. Rasanya dadaku menjadi penuh sesak. Nyaris putus
asa, beruntung siteriku sangat mengerti. Ia tidak marah dan tidak pula
menyalahkan aku. Soal kekalahan dalam judi, baginya yang penting uang belanja
harian tercukupi.
Sekarang satu-satunya harapanku adalah bisa
membayar uang kontrakan untuk satu tahun ke depan. Kawan Tomi belum juga
menampakkan diri. Aku menunggu dengan gelisah, sekalipun aku sangat yakin kalau
aku akan berhasil memanfaatkannya.
Sampai
pemilik rumah ini meneleponku tadi jam delapan kurang lima menit, kawan Tomi
itu belum memberiku nomor yang jitu.
Pemilik
rumah ini akan menelepon setengah jam lagi, karena, enam hari lagi sudah
benar-benar mati kontrak. Baru kali ini aku merasa kebingungan menjawab
kepastian perpanjangan kontrak rumah. Jika saja kawan Tomi itu sudah memberiku
angka-angka jitu maka aku tak perlu pusing-pusing menerima telepon pemilik rumah
ini.
Baru
selesai aku menghabiskan mi, telepon berdering lagi. Isteriku beranjak dari
kursinya, langsung menyambar gagang telepon. Benar saja, pemili rumah ini
kembali meminta kepastian kontrak baru.
“Bagaimana Pa, diperpanjang tidak?”
tanya isteriku sembari menutup salahs atu sisi gagang telepon.
“Oke, diperpanjang,” jawabku singkat
dan ringan. Entah kekuatan dari mana, aku dapat lancar menjawab itu. Ya, semoga
saja aku mendapat nomor jitu lagi, sehingga aku bisa memperpanjang kontrak
rumah ini, atau aku beli?
Bekasi, awal 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar