Jumat, 01 Agustus 2014

Kenduri Tiga Hari

fiksi budi nugroho

SEBAGAIMANA galibnya, Desa Puro di pinggiran kota itu senantiasa marak bilamana salah seorang warganya punya hajat. Entah hanya sunatan, pengantinan, kenduri sepasaran bayi, atau juga kenduri kematian. Tua, muda, lelaki dan perempuan selalu ikut dalam keramaian.
Desa yang salah satu sudutnya kini telah ditumbuhi perumahan itu tetap menyisakan banyak tradisi dalam siklus kehidupan dan kematian anak manusia. Tatkala seorang ibu selamatan melahirkan bayi langsung disambut kenduri lahir, lima hari berselang ada kenduri sepasaran bayi. Lalu, si jabang bayi memasuki usia 35 hari ada kenduri selapanan. Semua ini sebagai bentuk rasa syukur atas karunia Gusti Allah.
Pun demikian ketika anak manusia pulang ke kampung akherat. Ada kenduri tiga hari setelah geblake si ahli mayit. Lantas, kenduri tujuh hari, kenduri 40 hari, 100 hari, setahun, dua tahun dan nyewu. Tradisi kenduri seputar kematian anak manusia ini begitu lekat dalam kehidupan warga Desa Puro.
Tiada hari terlewatkan tanpa selametan dan kenduri di Desa Puro. Ada saja warga desa itu yang seolah ketiban giliran slametan dan kendurian dalam siklus kehidupan dan kematian anak manusia.
Agaknya tradisi ini tidak hanya hidup di tengah-tengah masyarakat Desa Puro asli. Merambah pula ke warga perumahan masa kini yang sedikit menggusur warga setempat.
***
MALAM itu, Pak Wasno menggelar kenduri tiga hari kematian Karno Teklek –adik iparnya. Semua kerabat dan kawan-kawan sepermainan Karno Teklek tumplek di rumah Pak Wasno, mantan Kepala Desa Puro.
Karno Teklek meninggal tiga hari lalu sepulang dari rumah Pak Kandar yang malam itu menggelar kenduri 1.000 hari kematian ayahnya.
Sudah menjadi kebiasaan warga setempat, kenduri kematian diawali dengan tahlilan yang dipimpin oleh Pak Kaum. Lalu dilanjutkan dengan pesta semalam suntuk untuk menjaga agar arwah orang yang meninggal tetap tenang dan tidak kesepian.
Kala itu Karno Teklek ke rumah Pak Kandar seusai acara tahlilan. Maklum, dia tidak mengerti bacaan-bacaan tahlilan. Dia cuma ingin mengikuti pesta-pesta selepas tahlilan.
Buat mengusir rasa kantuk orang-orang yang begadang, Pak Kandar menggelar tujuh meja permainan kartu remi dan kartu ceqi dengan cuk kecil-kecilan. Yah, satu putaran dengan empat pemain cukuplah dengan taruhan seribu rupiah tiap pemain.
Bersama tiga temannya yang masih muda-muda usia, Karno Teklek mengambil satu meja. Putaran demi putaran permainan kartu ceqi mereka lalui dengan tegukan minuman khas lokal Bekonang berlabel Singa Duduk. Puluhan botol Pak Kandar siapkan untuk menjamu tetamunya semalam suntuk.
Rupanya Kanro Teklek tidak puas dengan sajian minuman khas lokal Bekonang. Dari rumah dia sudah membawa beberapa botol minuman berenergi, alkohol pembersih luka, dan sedikit obat kuat. “Ah, kalau cuma Singa Duduk bisa kuhabiskan sendirian,” ujar Karno Teklek pada kawan-kawan semejanya.
Empat botol yang disediakan khusus buat meja Karno Teklek –meja-meja yang lain hanya dijatah satu botol—langsung dioplos oleh Karno dengan minuman yang dibawanya dari rumah. Pelan sambil menyabet karti ceqi, keempat botol itu telah menyatu menjadi minuman oplosan nan menyegarkan.
Seteguk, dua teguk, terus berjalan sampai sepuluh teguk masuk kerongkongan Karno Teklek. Sementara tiga kawannya baru menghabiskan tiga teguk. Permainan terus berputar. Tak terasa, Karno Teklek minum tiga setengah botol dan fajar mulai menyingsing di ufuk timur.
Permainan pun harus disudahi. Karno Teklek langsung sempoyongan. Tak lagi kuat berjalan. Tak lagi bertenaga setelah minum minuman oplosan penambah energi. Dipapah oleh tiga kawannya, dia pulang ke rumah Pak Wasno.
Tiba di rumah Pak Wasno, nyawa telah meregang dari dari raga Karno Teklek. Anak-anak muda Desa Puro kehilangan sosok pengoplos yang amat terampil meramu minuman kesukaan mereka.
***
“EH, Min, tadi kamu ke mana? Masa tidak ikut mengubur Karno Teklek,” tanya Kardi Blantik pada Tukimin yang baru saja tiba di halaman depan rumah Pak Wasno.
“Ah, yang bener saja, tadi siapa yang menyiramkan Singa Duduk ke liang lahat Karno Teklek” Kamu yang justru tidak aku lihat,” tukas Tukimin.
“Ayo masuk semua, jangan ngobrol di sini. Masuklah, tahlilan baru saja dimulai. Semua ikut talilan, ya. Jangan hanya mau main ceqi dan minum Singa Duduk-nya saja. Itu nanti-nanti setelah Pak Kaum pulang, masa belum-belum sudah membicarakan Singa Duduk, nanti apa kata Pak Kaum yang mimpin tahlilan,” pinta Pak Wasno sembari menarik tangan Kardi Blantik dan Tukimin.
“Aku nggak bisa ngaji, Pak Wasno. Malu rasanya pada Pak Kaum. Saban hari aku ini sudah diwejangi Pak Kaum,” jawab Tukimin yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Pak Kaum, satu-satunya santri di Desa Puro.
“Iya, Pak Wasno. Apalagi aku ini orang yang tak pernah menyentuh pengajian. Adzan maghrib berkumandang di radioku saja, radio langsung aku matikan. Bagaimana aku bisa ikut tahlilan,” ucap Kardi Blantik polos.
“Yah, pokoknya meramaikan saja. Siapa tahu, salah satu dari kalian besok malam ditahlilkan,” Pak Wasno berseloroh.
“Ah, bisa-bisanya Pak Wasno. Aku ini masih muda, sehat lagi, Pak. Malam ini aku mau minum berapa botol pun tak bakal sekarat,” Kardi Blantik sedikit meninggi.
“Lho, Karno Teklek, iparku itu kemarin malam masih pesta oplosan di rumah Pak Kandar. Masa omonganku mengada-ada, hidup dan mati itu kan urusan kuasa Gusti Allah,” Pak Wasno yang telah cukup umur itu sedikit mengingatkan.
Pak Wasno kini tidak seperti sepuluh tahun silam, ketika dia masih menjadi Kepala Desa Puro. Waktu itu setiap kali menggelar kenduri, dia selalu menyediakan minuman khas lokal Bekonang dalam jumlah melimpah dan memanggil Tayuban. Dia pun ikut menceburkan diri dalam pesta penuh syahwat. Pada pesta kenduri malam ini dia cuma menyediakan minuman khas Bekonang buat Tukimin, Kardi Blantik dan beberapa kawan setia Karno Teklek.
“Ayolah, pokoknya ikut komat-kamit saja cukup. Terserah mantra apa yang kalian komat-kamtikan. Yang penting, kalian mesti melancarkan jalannya tahlilan tiga hari kematian Karno Teklek. Kalian semua kan kawan dekat Karno, masa tidak mau mendoakan,” Pak Wasno sekali lagi mengajak Kardi Blantik dan Tukimin.
“Biarlah yang tua-tua saja yang ikut tahlilan Pak Wasno. Kami meninggu di luar sampai tahlilan selesai, barulah kami masuk, menikmati Singa Duduk,” ucap Tukimin yang tak sabar lagi menunggu keluarnya Singa Duduk. Tiada malam tanpa minuman khas lokal Bekonang bagi seorang Tukimin.
“Pak Wasno telah menyiapkan minuman kesukaan kita? Biasa, Singa Duduk, kacang goreng dan kartu ceqi,” Kardi Blantik mengalihkan perhatian Pak Wasno.
“Dari dulu kamu ini belum berubah juga,” ucap Pak Wasno.
“Senyampang masih muda, Pak. Nanti kalau sudah sedikit berumur seperti Pak Wasno sekarang ini, tidak lagi mendekati minuman khas lokal Bekonang. Coba Pak Wasno menoleh ke belakang, ketika seumuran aku, juga gandrung pada Singa Duduk yang asal Bekonang itu kan,” Kardi Blantik, yang gagal mencalonkan Kepala Desa Puro 1992-2000 ini, menyindir.
“Kamu tahu dari mana, kalau masa mudaku begitu?” Pak Wasno balik bertanya.
“Sumber informasiku cukup dapat dipercaya dan tahu persis perjalanan hidup Pak Wasno,” jawab Kardi Blantik.
“Sudahlah, yang lalu biar berlalu, mari kita ini sisa umur ini dengan yang baik-baik. Tak usah mengungkit-ungkit masa laluku, kalau memang tak mau ikut tahlilan, tunggu saja sampai selesai,” ujar Pak Wasno sedikit kesal, sembari masuk ke lingkaran lesehan tahlilan di ruang tengah rumahnya.
“Di, mana kawan-kawan kita yang lain?” Tukimin membuka percakapan selepas Pas Wasno pergi.
“Mungkin masih kecapekan. Tadi siang, kawan-kawan kita sendiri kan yang mengubur Karno Teklek. Belum lagi, setelah penguburan, kita langsung minum-minum oplosan warisan Karno Teklek yang botol-botolnya dipakai buat nisan kuburannya,” Kardi Blantik menjawab sekenanya.
“Ah, biarpun lelah, kalau mereka mendengar ada kunduri di rumah Pak Wasno, nggak pernah telat apalagi ketinggalan. Pasti ada sesuatu,” Tukimin menduga-duga.
“Jangan terlalu was-was kawan, kita ini masih muda-muda dan sehat. Kalau Cuma mengubur satu mayat macam Karno Teklek saja nggak bakal kelelahan. Paling-paling mereka ketiduran,” ucap Kardi Blantik.
Benar, apa yang diucapkan oleh Kardi Blantik. Ketika tengah berdua asyik ngobrol, empat orang karib-akrab mereka datang ke rumah Pak Wasno. Secara spontan keempat anak muda yang baru datang itu mempertanyakan kesiapan tuan rumah ihwal pengediaan satu krat minuman khas lokal Singa Duduk Bekonang. Mereka juga sudah menyiapkan minuman pengoplos.
Tak lama berselang, acara tahlilan yang dipimpin Pak Kaum usai. Kardi Blantik, Tukimin dan empat temannya langsung masuk ke ruang tengah rumah Pak Wasno. Mereka langsung duduk bersila di satu bangku bundar lesehan di pojok ruangan.
“Pak Wasno, mana jatah saya?” Tukimin langsung menagih janji.
“Sebentarlah sabar, orang-orang yang tahlilan saja belum semuanya pulang,” ucap Pak Wasno.
“Tunggu apa lagi Pak Wasno,” Kardi Blantik tidak sabar lagi.
“Tolong bereskan dulu ruangan ini, baru kalian boleh main-main,” pinta Pak Wasno.
Kardi Blantik dan kawan-kawan langsung membersihkanruangan. Tak tersisa sedikit pun bekas bungkus makanan sajian acara tahlilan. Mereka langsung menggelar tikar dan meja bundar trandisional buat main kartu ceqi.
“Bih, buat kalian, saya sediakan sepuluh botol untuk malam ini,” ucap Pak Wasno memberi bukti.
Kelima anak muda tadi langsung pesta ria bersama oplosan Singa Duduk karya Tukimin. Sebelum Karno Teklek tewas, dia sudah mewariskan keahliannya ke Tukimin.
“Oplosanmu kurang mantap, Min,” ujar Kardi Blantik sembari menyabetkankartu ceqi ke meja.
“Ah, yang betul. Aku cuma menerapkan resepnya Karno Teklek, masa beda rasa?” jawab Tukimin setengah bertanya.
“Betul, agak beda, sedikit enteng. Bisa-bisa, saya habiskan semua sendirian,”Kardi Blantik melanjutkan.
“Terserah kamu lah, kalau kamu memang mau menghabiskan semuanya sendirian,” Tukimin pasrah.
***
TAK terasa Kardi Blantik sudah menghabiskan dua botol oplosan. Permainan terus berputar menuju dinihari. Kardi Blantik pun sampai menenggak lima botol.
“Eh, Kardi, kamu mau mati konyol pagi ini?” tandas Pak Wasno saat melihat Kardi Blantik teler berat.
“Mana jatah saya lagi,” jawab Kardi terbata-bata.
“Sudahlah, kamu tidak kuat lagi,” ucap Pak Wasno.
“Aku masih kuuu....aat,” suara Kardi Blantik melirih.
Kardi Balntik tertelungkup di meja bundar berputar. Tak kuat lagi menyabet kartu ceqi. “Naan...ti jaaa...ngaaan  luuu...pa guuu....yuur ....kan di kuuu...buurku,” pesan Kardi Blantik pada teman-temannya. ***

 Bekasi, 1995-2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar