fiksi
budi nugroho
SEBAGAIMANA
galibnya, Desa Puro di pinggiran kota itu senantiasa marak bilamana salah
seorang warganya punya hajat. Entah hanya sunatan, pengantinan, kenduri
sepasaran bayi, atau juga kenduri kematian. Tua, muda, lelaki dan perempuan
selalu ikut dalam keramaian.
Desa yang salah satu
sudutnya kini telah ditumbuhi perumahan itu tetap menyisakan banyak tradisi
dalam siklus kehidupan dan kematian anak manusia. Tatkala seorang ibu selamatan
melahirkan bayi langsung disambut kenduri lahir, lima hari berselang ada
kenduri sepasaran bayi. Lalu, si jabang bayi memasuki usia 35 hari ada kenduri
selapanan. Semua ini sebagai bentuk rasa syukur atas karunia Gusti Allah.
Pun demikian ketika
anak manusia pulang ke kampung akherat. Ada kenduri tiga hari setelah geblake si ahli mayit. Lantas, kenduri
tujuh hari, kenduri 40 hari, 100 hari, setahun, dua tahun dan nyewu. Tradisi kenduri seputar kematian
anak manusia ini begitu lekat dalam kehidupan warga Desa Puro.
Tiada hari
terlewatkan tanpa selametan dan kenduri di Desa Puro. Ada saja warga desa itu
yang seolah ketiban giliran slametan dan kendurian dalam siklus kehidupan dan
kematian anak manusia.
Agaknya tradisi ini
tidak hanya hidup di tengah-tengah masyarakat Desa Puro asli. Merambah pula ke
warga perumahan masa kini yang sedikit menggusur warga setempat.
***
MALAM
itu, Pak Wasno menggelar kenduri tiga hari kematian Karno Teklek –adik iparnya.
Semua kerabat dan kawan-kawan sepermainan Karno Teklek tumplek di rumah Pak
Wasno, mantan Kepala Desa Puro.
Karno Teklek
meninggal tiga hari lalu sepulang dari rumah Pak Kandar yang malam itu
menggelar kenduri 1.000 hari kematian ayahnya.
Sudah menjadi
kebiasaan warga setempat, kenduri kematian diawali dengan tahlilan yang
dipimpin oleh Pak Kaum. Lalu dilanjutkan dengan pesta semalam suntuk untuk
menjaga agar arwah orang yang meninggal tetap tenang dan tidak kesepian.
Kala itu Karno Teklek
ke rumah Pak Kandar seusai acara tahlilan. Maklum, dia tidak mengerti
bacaan-bacaan tahlilan. Dia cuma ingin mengikuti pesta-pesta selepas tahlilan.
Buat mengusir rasa
kantuk orang-orang yang begadang, Pak Kandar menggelar tujuh meja permainan
kartu remi dan kartu ceqi dengan cuk kecil-kecilan. Yah, satu putaran
dengan empat pemain cukuplah dengan taruhan seribu rupiah tiap pemain.
Bersama tiga temannya
yang masih muda-muda usia, Karno Teklek mengambil satu meja. Putaran demi
putaran permainan kartu ceqi mereka
lalui dengan tegukan minuman khas lokal Bekonang berlabel Singa Duduk. Puluhan botol Pak Kandar siapkan untuk menjamu
tetamunya semalam suntuk.
Rupanya Kanro Teklek
tidak puas dengan sajian minuman khas lokal Bekonang. Dari rumah dia sudah
membawa beberapa botol minuman berenergi, alkohol pembersih luka, dan sedikit
obat kuat. “Ah, kalau cuma Singa Duduk bisa
kuhabiskan sendirian,” ujar Karno Teklek pada kawan-kawan semejanya.
Empat botol yang
disediakan khusus buat meja Karno Teklek –meja-meja yang lain hanya dijatah
satu botol—langsung dioplos oleh Karno dengan minuman yang dibawanya dari
rumah. Pelan sambil menyabet karti ceqi,
keempat botol itu telah menyatu menjadi minuman oplosan nan menyegarkan.
Seteguk, dua teguk,
terus berjalan sampai sepuluh teguk masuk kerongkongan Karno Teklek. Sementara
tiga kawannya baru menghabiskan tiga teguk. Permainan terus berputar. Tak
terasa, Karno Teklek minum tiga setengah botol dan fajar mulai menyingsing di
ufuk timur.
Permainan pun harus
disudahi. Karno Teklek langsung sempoyongan. Tak lagi kuat berjalan. Tak lagi
bertenaga setelah minum minuman oplosan penambah energi. Dipapah oleh tiga kawannya,
dia pulang ke rumah Pak Wasno.
Tiba di rumah Pak
Wasno, nyawa telah meregang dari dari raga Karno Teklek. Anak-anak muda Desa
Puro kehilangan sosok pengoplos yang amat terampil meramu minuman kesukaan
mereka.
***
“EH, Min, tadi kamu
ke mana? Masa tidak ikut mengubur Karno Teklek,” tanya Kardi Blantik pada
Tukimin yang baru saja tiba di halaman depan rumah Pak Wasno.
“Ah, yang bener saja,
tadi siapa yang menyiramkan Singa Duduk
ke liang lahat Karno Teklek” Kamu yang justru tidak aku lihat,” tukas Tukimin.
“Ayo masuk semua,
jangan ngobrol di sini. Masuklah, tahlilan baru saja dimulai. Semua ikut
talilan, ya. Jangan hanya mau main ceqi
dan minum Singa Duduk-nya saja. Itu
nanti-nanti setelah Pak Kaum pulang, masa belum-belum sudah membicarakan Singa Duduk, nanti apa kata Pak Kaum
yang mimpin tahlilan,” pinta Pak Wasno sembari menarik tangan Kardi Blantik dan
Tukimin.
“Aku nggak bisa ngaji, Pak Wasno. Malu rasanya pada Pak Kaum. Saban hari aku ini
sudah diwejangi Pak Kaum,” jawab Tukimin yang rumahnya bersebelahan dengan
rumah Pak Kaum, satu-satunya santri di Desa Puro.
“Iya, Pak Wasno.
Apalagi aku ini orang yang tak pernah menyentuh pengajian. Adzan maghrib
berkumandang di radioku saja, radio langsung aku matikan. Bagaimana aku bisa
ikut tahlilan,” ucap Kardi Blantik polos.
“Yah, pokoknya
meramaikan saja. Siapa tahu, salah satu dari kalian besok malam ditahlilkan,”
Pak Wasno berseloroh.
“Ah, bisa-bisanya Pak
Wasno. Aku ini masih muda, sehat lagi, Pak. Malam ini aku mau minum berapa
botol pun tak bakal sekarat,” Kardi Blantik sedikit meninggi.
“Lho, Karno Teklek,
iparku itu kemarin malam masih pesta oplosan di rumah Pak Kandar. Masa
omonganku mengada-ada, hidup dan mati itu kan urusan kuasa Gusti Allah,” Pak
Wasno yang telah cukup umur itu sedikit mengingatkan.
Pak Wasno kini tidak
seperti sepuluh tahun silam, ketika dia masih menjadi Kepala Desa Puro. Waktu
itu setiap kali menggelar kenduri, dia selalu menyediakan minuman khas lokal
Bekonang dalam jumlah melimpah dan memanggil Tayuban. Dia pun ikut menceburkan diri dalam pesta penuh syahwat.
Pada pesta kenduri malam ini dia cuma menyediakan minuman khas Bekonang buat
Tukimin, Kardi Blantik dan beberapa kawan setia Karno Teklek.
“Ayolah, pokoknya
ikut komat-kamit saja cukup. Terserah mantra apa yang kalian komat-kamtikan.
Yang penting, kalian mesti melancarkan jalannya tahlilan tiga hari kematian
Karno Teklek. Kalian semua kan kawan dekat Karno, masa tidak mau mendoakan,”
Pak Wasno sekali lagi mengajak Kardi Blantik dan Tukimin.
“Biarlah yang tua-tua
saja yang ikut tahlilan Pak Wasno. Kami meninggu di luar sampai tahlilan
selesai, barulah kami masuk, menikmati Singa
Duduk,” ucap Tukimin yang tak sabar lagi menunggu keluarnya Singa Duduk. Tiada malam tanpa minuman
khas lokal Bekonang bagi seorang Tukimin.
“Pak Wasno telah
menyiapkan minuman kesukaan kita? Biasa, Singa
Duduk, kacang goreng dan kartu ceqi,”
Kardi Blantik mengalihkan perhatian Pak Wasno.
“Dari dulu kamu ini
belum berubah juga,” ucap Pak Wasno.
“Senyampang masih
muda, Pak. Nanti kalau sudah sedikit berumur seperti Pak Wasno sekarang ini,
tidak lagi mendekati minuman khas lokal Bekonang. Coba Pak Wasno menoleh ke
belakang, ketika seumuran aku, juga gandrung pada Singa Duduk yang asal Bekonang itu kan,” Kardi Blantik, yang gagal
mencalonkan Kepala Desa Puro 1992-2000 ini, menyindir.
“Kamu tahu dari mana,
kalau masa mudaku begitu?” Pak Wasno balik bertanya.
“Sumber informasiku
cukup dapat dipercaya dan tahu persis perjalanan hidup Pak Wasno,” jawab Kardi
Blantik.
“Sudahlah, yang lalu
biar berlalu, mari kita ini sisa umur ini dengan yang baik-baik. Tak usah
mengungkit-ungkit masa laluku, kalau memang tak mau ikut tahlilan, tunggu saja
sampai selesai,” ujar Pak Wasno sedikit kesal, sembari masuk ke lingkaran
lesehan tahlilan di ruang tengah rumahnya.
“Di, mana kawan-kawan
kita yang lain?” Tukimin membuka percakapan selepas Pas Wasno pergi.
“Mungkin masih
kecapekan. Tadi siang, kawan-kawan kita sendiri kan yang mengubur Karno Teklek.
Belum lagi, setelah penguburan, kita langsung minum-minum oplosan warisan Karno
Teklek yang botol-botolnya dipakai buat nisan kuburannya,” Kardi Blantik
menjawab sekenanya.
“Ah, biarpun lelah,
kalau mereka mendengar ada kunduri di rumah Pak Wasno, nggak pernah telat apalagi ketinggalan. Pasti ada sesuatu,” Tukimin
menduga-duga.
“Jangan terlalu
was-was kawan, kita ini masih muda-muda dan sehat. Kalau Cuma mengubur satu
mayat macam Karno Teklek saja nggak
bakal kelelahan. Paling-paling mereka ketiduran,” ucap Kardi Blantik.
Benar, apa yang
diucapkan oleh Kardi Blantik. Ketika tengah berdua asyik ngobrol, empat orang
karib-akrab mereka datang ke rumah Pak Wasno. Secara spontan keempat anak muda
yang baru datang itu mempertanyakan kesiapan tuan rumah ihwal pengediaan satu
krat minuman khas lokal Singa Duduk
Bekonang. Mereka juga sudah menyiapkan minuman pengoplos.
Tak lama berselang,
acara tahlilan yang dipimpin Pak Kaum usai. Kardi Blantik, Tukimin dan empat
temannya langsung masuk ke ruang tengah rumah Pak Wasno. Mereka langsung duduk
bersila di satu bangku bundar lesehan di pojok ruangan.
“Pak Wasno, mana
jatah saya?” Tukimin langsung menagih janji.
“Sebentarlah sabar,
orang-orang yang tahlilan saja belum semuanya pulang,” ucap Pak Wasno.
“Tunggu apa lagi Pak
Wasno,” Kardi Blantik tidak sabar lagi.
“Tolong bereskan dulu
ruangan ini, baru kalian boleh main-main,” pinta Pak Wasno.
Kardi Blantik dan
kawan-kawan langsung membersihkanruangan. Tak tersisa sedikit pun bekas bungkus
makanan sajian acara tahlilan. Mereka langsung menggelar tikar dan meja bundar
trandisional buat main kartu ceqi.
“Bih, buat kalian,
saya sediakan sepuluh botol untuk malam ini,” ucap Pak Wasno memberi bukti.
Kelima anak muda tadi
langsung pesta ria bersama oplosan Singa
Duduk karya Tukimin. Sebelum Karno Teklek tewas, dia sudah mewariskan
keahliannya ke Tukimin.
“Oplosanmu kurang
mantap, Min,” ujar Kardi Blantik sembari menyabetkankartu ceqi ke meja.
“Ah, yang betul. Aku
cuma menerapkan resepnya Karno Teklek, masa beda rasa?” jawab Tukimin setengah
bertanya.
“Betul, agak beda,
sedikit enteng. Bisa-bisa, saya habiskan semua sendirian,”Kardi Blantik
melanjutkan.
“Terserah kamu lah,
kalau kamu memang mau menghabiskan semuanya sendirian,” Tukimin pasrah.
***
TAK terasa Kardi
Blantik sudah menghabiskan dua botol oplosan. Permainan terus berputar menuju
dinihari. Kardi Blantik pun sampai menenggak lima botol.
“Eh, Kardi, kamu mau
mati konyol pagi ini?” tandas Pak Wasno saat melihat Kardi Blantik teler berat.
“Mana jatah saya
lagi,” jawab Kardi terbata-bata.
“Sudahlah, kamu tidak
kuat lagi,” ucap Pak Wasno.
“Aku masih
kuuu....aat,” suara Kardi Blantik melirih.
Kardi Balntik
tertelungkup di meja bundar berputar. Tak kuat lagi menyabet kartu ceqi. “Naan...ti jaaa...ngaaan luuu...pa guuu....yuur ....kan di
kuuu...buurku,” pesan Kardi Blantik pada teman-temannya. ***
Bekasi,
1995-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar