Rabu, 10 September 2014

Pangkalan Berandan, Kota Minyak Pertama di Indonesia, Bahkan Dunia



Agak miris membaca berita Kompas beberapa waktu lalu. Menteri ESDM, Darwin Zahedy membeberkan fakta bahwa cadangan minyak bumi Indonesia hanya bisa bertahan hingga 23 tahun ke depan. Bila pemakaian tak efisien, usia cadangan pun akan terpangkas lebih dini. Saat ini cadangan terbukti minyak bumi yang tersimpan di perut bumi Indonesia “hanya” 8,4 miliar barel, dengan kapasitas produksi 384 juta barel per tahun atau sekitar 1 juta barel per hari.
Kondisi ini sangat berbeda dengan situasi era tahun 80-an dimana Indonesia pernah menjadi negara yang disegani dalam memproduksi minyak. Saat itu Indonesia mampu memproduksi 1,7 juta barel minyak per hari, melalui PT Pertamina. Dulu Indonesia adalah anggota OPEC, alias negara pengekspor kebutuhan miyak dunia.
Namun pada tahun 2008, Indonesia telah men-DO-kan diri dari keanggotaan. Indonesia sekarang ini tidak lagi menjadi oil exporting country dalam arti nett yang betul-betul mengekspor lebih banyak. Indonesia sekarang juga menjadi oil importing country. Memang Indonesia masih mengekspor minyak, tapi impor juga dilakukan dan melebihi jumlah ekspor.
Konsumsi yang melebihi batas produksi menjadi pemicu utama. Ditambah lagi dengan belum ditemukannya atau belum dibukanya sumber minyak baru. Memang sudah ada beberapa area potensial sumber minyak baru, namun masih terkendala masalah dana dan teknis. Saat ini, PERTAMINA masih mempertahankan sumber-sumber minyak tua yang masih berproduksi untuk menyuplai kebutuhan dalam negeri.
Di antara sumber minyak tua, tersebut, kilang minyak PERTAMINA Pangkalan Berandan masih berfungsi sebagai tempat “cooking”, sekaligus sebagai agen pemasaran untuk wilayah SUMUT. Ternyata kilang minyak itu memiliki nilai historis yang tinggi terkait dengan sejarah perminyakan Indonesia.
Minyak Pertama
Inilah sekelumit kisah tentang Pangkalan Berandan, wilayah pertama ditemukannnya minyak komersial, persisnya di Desa Telaga Said, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, sekitar 110 kilometer barat laut Medan, ibukota Sumatera Utara. Penemu sumur minyak pertama ini adalah seorang warga Belanda bernama Aeliko Janszoon Zijlker, yang merupakan ahli perkebunan tembakau pada Deli Tobacco Maatschappij, perusahaan perkebunan yang ada di daerah ini pada masa itu. Penemuan itu sendiri merupakan buah perjalanan waktu dan ketabahan yang mengagumkan. Prosesnya dimulai setelah Zijlker mengetahui adanya kemungkinan kandungan minyak di daerah tersebut. Ia pun menghubungi sejumlah rekannya di Belanda untuk mengumpulkan dana guna melakukan eksplorasi minyak di Langkat. Begitu dana diperoleh, perizinan pun diurus. Persetujuan konsesi dari Sultan Langkat masa itu, Sultan Musa, diperoleh pada 8 Agustus 1883. Tak membuang waktu lebih lama, eksplorasi pertama pun segera dilakukan Zijlker.
Pada 17 November 1884, setelah pengeboran berlangsung sekitar dua bulan, minyak yang diperoleh hanya sekitar 200 liter. Semburan gas yang cukup tinggi dari sumur Telaga Tiga, membuyarkan harapan untuk mendapatkan minyak yang banyak. Namun Zijlker dan kawan-kawan tidak berhenti sampai di situ. Mereka kemudian mengalihkan kegiatannya ke daerah konsesinya yang berada di sebelah timur. Untungnya memang konsesi yang diberikan Sultan Musa cukup luas, mencakup wilayah pesisir Sei Lepan, Bukit Sentang sampai ke Bukit Tinggi, Pangkalan Berandan, sehingga bisa mencari lebih banyak titik pengeboran. Pilihan kedua jatuh ke Desa Telaga Said. Di lokasi kedua ini, pengeboran mengalami sedikit kesulitan karena struktur tanah lebih keras jika dibandingkan dengan struktur tanah di Telaga Tiga.
Usaha memupus rintangan struktur tanah yang keras itu akhirnya membuahkan hasil. Saat pengeboran mencapai kedalaman 22 meter, berhasil diperoleh minyak sebanyak 1.710 liter dalam waktu 48 jam kerja. Saat mata bor menyentuh kedalaman 31 meter, minyak yang dihasilkan sudah mencapai 86.402 liter. Jumlah itu terus bertambah hingga pada 15 Juni 1885, ketika pengeboran mencapai kedalaman 121 meter, tiba-tiba muncul semburan kuat gas dari dalam berikut mintak mentah dan material lainnya dari perut bumi. Sumur itu kemudian dinamakan Telaga Tunggal I. Penemuan sumur minyak pertama di Nusantara ini berjarak sekitar 26 tahun dari penemuan sumur minyak komersial pertama di dunia pada 27 Agustus 1859 di Titusville, negara bagian Pennsylvania, yang diprakarsai Edwin L. Drake dan William Smith dari Seneca Oil Company.
Nama Aeliko Janszoon Zijlker pun tercatat dalam Sejarah Pertambangan dan Industri Perminyakan Indonesia, sebagai penemu sumur minyak pertama dalam sejarah perminyakan di Indonesia yang telah berberusia 119 tahun hingga saat ini. Telaga Tunggal I itu sendiri akhirnya akhirnya berhenti operasi pada tahun 1934 setelah habis minyaknya disedot pemerintah Belanda yang mengelola ladang minyak ini melalui perusahaan Bataafsche Petroleum Matschappij (BPM). Ketika ditinggalkan pada tahun 1934, jutaan barel minyak sudah berhasil dikeluarkan dari bumi Langkat melalui Sumur Telaga Tunggal. Beberapa sumur lainnya juga ditemukan di sekitar areal Telaga Tunggal I, namun juga sudah ditinggalkan sejak lama. Setidaknya ada empat bekas sumur minyak di sekitar itu. Tetapi setelah 119 tahun, sejak pemboran pertamanya, sumur itu ternyata tidak benar-benar kering. Beberapa tahun belakangan, minyak menetes dari pompa minyak yang terdapat di situ. Tetesan minyak dari sumur-sumur di kawasan itu masih ada sampai sekarang. Sementara di beberapa sudut, minyak juga merembes, membasahi daun-daun kering dan rumput di sekitarnya. Tetesan minyak ini bukannya tidak berguna. Warga sekitar yang mengumpulkannya dalam drum, lantas dijual kepada kilang minyak Pertamina di Pangkalan Berandan untuk diolah menjadi BBM
Membicarakan Sumur Minyak Telaga I tidak bisa lepas dengan Kilang Minyak Pangkalan Berandan. Keduanya saling berkaitan. Catatan sejarah perjuangan bangsa juga melekat di sini. Kilang Pangkalan Berandan yang dikelola Unit Pengolahan (UP) I Pertamina Berandan, merupakan salah satu dari sembilan kilang minyak yang ada di Indonesia, delapan lainnya adalah, Dumai, Sungai Pakning, Musi (Sumatera), Balikpapan (Kalimantan), Cilacap, Balongan, Cepu (Jawa), dan Kasim (Papua). Ketika dibangun N.V. Koninklijke Nederlandsche Maatschappij pada tahun 1891 dan mulai berpoduksi sejak 1 Maret 1892, kondisi Kilang minyak Pangkalan Berandan, tentu saja tidak sebesar sekarang sekarang ini. Waktu itu peralatannya masih terbilang sederhana dan kapasitas produksi juga masih kecil. Bandingkan dengan kondisi sekarang, kilang yang berada di Kecamatan Babalan Langkat saat ini berkapasitas 5.000 barel per hari, dengan hasil produksi berupa gas elpiji sebanyak 280 ton per hari, kondensat 105 ton per hari, dan beberapa jenis gas dan minyak.
Kondisi Sekarang
Pangkalan Berandan adalah ibukota Kecamatan Babalan, Kecamatan Sei. Lepan,Kecamatan Brandan Barat, dan Kecamatan Brandan Timur, Kabupaten Langkat,Sumatra Utara. Terletak di pesisir pantai timur pulau Sumatera, sekitar 60 km di sebelah utara Kota Binjai atau 80 km dari Medan. Kelurahan ini terletak strategis karena dilalui oleh Jalan Raya Lintas Sumatera dan merupakan pintu gerbang provinsiSumatera Utara relatif dari Aceh.
Jumlah penduduk berkisar 40.000 ribu jiwa. Penduduknya heterogen, mulai dari Melayu yang berdomisili di pesisir, ada juga Jawa, Batak, Aceh, dan sebagainya. Cuaca cukup panas karena dipengaruhi wilayah pinggir pantai. Banyak terdapat pulau kecil di sekitaran teluk. Nama pulau –pulau tersebut agak ke-Malaysia-an, seperti pulau Perlis, Kelantan. Ada juga pulau Kampai, Pulau Sembilan, dan masih banyak pulau kecil lainnya. Potensi wisata di kawasan ini patut dikembangkan.
Pada tahun 2007, Pertamina menutup unit pengolahan minyak Pangkalan Berandan. Penutupan terkait tidak tersedianya stok minyak dan gas yang akan diolah. Walhasil karyawan yang bekerja di unit pengolahan dipindahkan ke unit Pertamina di wilayah lain, seperti Dumai. Tak sedikit yang diputuskan hubungan kerjanya (PHK). Tercatat ribuan karyawan tidak tetap terpaksa harus mencari pekerjaan lain karena penutupan tersebut.
Aset-aset Pertamina Pangkalan menjadi terbengkalai. Mesin-mesin diposisikan dalam keadaan stand by. Perumahan-perumahan karyawan ditinggalkan tidak berpenghuni. Rumah tersebut telah ditumbuhi ilalang setinggi genteng. Keluarga monyet membuat komunitas di sana. Bahkan mungkin masyarakat dedemit bertengger di area tersebut.
Alhamdulillah sekarang unit Pengolahan Minyak Pangkalan Berandan dibuka kembali. Pengolahan ditujukan kepada sisa gas bumi yang masih ada. Lapangan kerja menjadi terbuka. Perumahan Karyawan yang dulunya tak berpenghuni, sekarang ditempati oleh [ara prajurit TNI Angkatan Laut. Kota hidup kembali.
Denyut perekonomian agaknya akan semakin mengencang di wilayah Teluk Haru ini. Di kota Pangkalan Susu, 45 menit perjalan darat dari Pangkalan Berandan, sedang dibangun proyek PLTU. Proyek tersebut merupakan bagian dari program “10.00 megawatt”. Tidak tanggung-tanggung, akan dibangun sekitar tiga proyek. Di samping itu, juga ada wacana Pangkalan Susu akan dijadikan Pelabuhan Internasional, menggantikan Belawan sebagai pintu perdagangan Sumatera Utara. Juga pernah tercetus akan dibuka semacam akademi maritim di Pangkalan Berandan, tepatnya di bekas Rumah Sakit Tangkahan Lagan.
Semoga kejayaan itu kembali kita rebut, Pangkalan Berandan. (irvan sembiring, http://sosbud.kompasiana.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar