Minggu, 26 Oktober 2014

Siri' Berganjar Nyawa


Judul Film             :   Badik Titipan Ayah
Dirilis                   :   2 Oktober 2010
Durasi                  :    01:22:05 (terbagi atas 11 bagian)
Sutradara              :   Dedi Setiadi
Penulis Naskah     :   Taufik Daraming Tahir
Desain Produksi    :   Deddy Mizwar
Produser                   :    Zairin Zain dan Mudzakir Rifai
Produksi                   :   Citra Sinema
Pemain Utama      : 

Tika Bravia             : Andi Tenri (putri tunggal Karaeng Tiro/kekasih A. Firman)
Reza Rahadian       : Andi Aso (putra tunggal Karaeng Tiro)
Guntara Hidayat    : Andi Firman (kekasih Andi Tenri)

Pemain Lain        :

Aspar Paturusi       : Karaeng Tiro (ayah Andi Aso dan Andi Tenri)
Widyawati             : Karaeng Caya (isteri karaeng Tiro/ibu A. Aso & A. Tenri)
Ilham Anwar         : Limpo (anak angkat Karaeng Tiro)
Laksmi Aspar        : Daeng Kanang
Edwin Sukmono    : Chandra
Cut Adis                : Dewi (kekasih Andi Aso)


Siri’ Berganjar Nyawa

Film televisi (FTV) ini merupakan sebuah produk yang sangat bagus karena mengangkat tema tentang budaya siri’ yang dijunjung tinggi dan sangat dijaga oleh masyarakat suku Bugis-Makasaar. Film yang diprakarsai oleh Deddy Mizwar ini merupakan suatu karya yang jarang ditemukan karena menguak tentang kearifan budaya lokal Bugis-Makassar. Film ini memicu animo dan antusias penonton terutama di daerah Makassar karena merasa penasaran dengan judul yang diusung oleh produser. Nuansa kedaerahan sangat kental di dalam karya ini, penggambaran tentang bagaimana masyarakat Bugis-Makassar menyikapi dan menyelesaikan masalah yang sangat fatal yang menyangkut harkat dan martabat keluarga.
Diceritakan, putri  tunggal Karaeng Tiro dan Karaeng Caya yaituAndi Tenri memutuskan untuk kawin lari (silariang) bersama kekasihnya Andi Firman yang telah menghamilinya atas permintaannya sendiri. Alasan mengapa ia melakukan kawin lari (silariang) adalah karena ia sadar bahwa rencananya untuk menjadikan bayi yang ada di dalam kandungannya sebagai alasan untuk menyatukan cintanya bersama Andi Firman akan sia-sia dan bahkan akan memicu kemarahan tettanya, Karaeng Tiro.
Mengetahui bahwa keluarganya telah dipermalukan (nipakasiri’) karena putri semata wayangnya Andi Tenri kawin lari (silariang) bersama kekasihnya, Karaeng Tiro lalu meminta putra tunggalnya Andi Aso untuk menyelesaikan persoalan tersebut sesuai dengan cara dan prinsip suku Bugis-Makassar yaitu dengan menggunakan badik. Karaeng Tiro mewariskan badik pusaka I La Sanrego yang merupakan warisan keluarga yang telah memakan banyak darah musuh dan penghianat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bagi orang Bugis-Makassar, persoalan siri’adalah persoalan adat, dan harus diselesaikan secara adat.
Perasaan dilema yang melanda Andi Aso antara rasa sayang kepada adik perempuannya dan upaya melaksanakan amanah tersirat sang ayahanda untuk menyelesaikan permasalahan ini demi menegakkan kembali harga diri dan martabat keluarga yang telah dinodai oleh Andi Tenri bersama kekasihnya Andi Firman.
Andi Aso didampingi oleh anak angkat Karaeng Tiro bernama Limpo kemudian mencari Andi Tenri dan Andi Firman hingga ke kota Makassar.
Beberapa waktu beselang Karaeng Tiro Wafat karena serangan jantung akibat dipermalukan oleh seorang warga yang menanyakan keberadaan Andi Tenri ketika menuju ke acara perkawinan kerabatnya. Mendengar kabar bahwa tettanya mennggal dunia Andi Tenri dan sang suami (sambil membawa bayi mereka yang baru lahir) nekad datang ke Bira, kampung halamannya untuk melihat jenazah tettanya untuk yang terakhir kalinya.  Andi Aso dan Daeng Limpo menyambut kedatangan mereka dengan amarah yang membara. Badikpun dihunus oleh Andi Aso, bersiap melakukan perhitungan dengan Andi Firman yang juga sudah menghunus badiknya.
“Ingat, badik yang sudah dikeluarkan dari sarungnya, pantang dimasukkan kembali sebelum melaksanakan tugasnya!,” tegas Daeng Limpo dengan mata menyala. Keadaan menjadi sangat tegang. Tanpa rasa takut sedikitpun, Andi Tenri maju menghadapi Badik yang terhunus di tangan sang kakak, siap menghadapi kemungkinan terburuk sebagai wujud tanggungjawab dan resiko atas perbuatannya.
Dengan wajah yang murung dan tetesan air mata di pipinya yang belum mengering, Karaeng Caya melerai konflik batin antar kedua anaknya beserta menantunya. Kemudian menghampiri jenazah suaminya sambil menggendong cucu pertamanya dari ramin putri tunggalnya dan memohon kepada jenazah suaminya agar memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh putri tunggal mereka.
Pada akhirnya Limpo menghunuskan serta menancapkan ujung badik di perutnya, sebagai tindakan karena ia tidak mampu mengemban tugas untuk memulihkan Siri’  yang menjadi aib bagi keluarga Karaeng Tiro dan agar badik I La Sanrego dapat kembali masuk kedalam sarungnya karena telah melaksanakan yaitu dengan meneteskan darah. Selesai.
Film ini sangat bermanfaat karena film ini dapat menjadi penjelasan bagi masyarakat diluar sulawesi selatan yang mengaggap masyarakat Bugis-Makassar sebagai suku yang kasar bahwa masyarakat Bugis-Makassar tidak akan melakukan tindakan anarkis tanpa sebab, suku Bugi-makassar akan bertindak keras apabiala menerima perlakuan yang tak semestinya karena kami masyarakat bugis makassar menjungjung tinggi Siri’ na pacce sebagai falsafah yang harus diterapkan.
Tapi, dalam penggarapan film ini tentunya ada kekurangan seperti penggunaan beberapa kata berlogat yang agak aneh ditelinga orang bugis-makassar, hal ini dapat dimaklumi karena tidak semua pemeran berasal dari lokasi yang melatar belakangi film ini. selain pengunaan logat, cara memegang senjata tradisional badik juga salah.
Film ini layak ditonton bagi seluruh masyarakat indonesia. Bagi masyarakat di luar sulawesi selatan dimaksudkan agar mengetahui adat masyarakat sulawesi selatan yang menjungjung tinggi budaya siri’ na pacce. Bagi masyarakat sulawesi selatan khususnya suku Bugis-Makassar agar kembali memperdalam dan menghayati makna siri’ na pacce yang mulai tergeser akibat arus modernisasi. (http://andijaya27.blogspot.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar