Minggu, 26 Oktober 2014

SIRI’ SEBAGAI SIKAP DAN FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT BUGIS MAKASSAR



Oleh : Abdi eL_Machete

Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau De’ni gaga Siri’na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e (seperti binatang). Petuah Bugisberkata: Siri’mi Narituo (karena malu kita hidup). Untuk orang Bugis Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri’) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya daripada hidup tanpa Siri’.
Nilai Siri’ orang Bugis dan Makassar juga sangat mirip dengan semangat Bushido kaum Samurai Jepang. Kedua nilai tersebut mulai ditinggalkan namun dengan tingkat emosi berbeda. Jepang dengan harakirinya memiliki fislosofi rasa malu harus berakhir dengan kematian di tangan sendiri. Ini berbeda dengan Siri’ dari bugis-makassar yangberarti tidak selamanya harus mati, tapi masalah itu harus tuntas setuntas-tuntasnya,tidak ada kata pasrah, justru merekapun menganggap mati berarti pasrah dan tak mampu lagi mengatasi masalah. Dan tentunya karena latar belakang Religius maka hal tersebut tidak diperbolehkan.
Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabatmanusia, rasa dendam ( dalam hal-hal yang berkaitan dengan kerangka pemulihan harga diri yang dipermalukan ). Jadi Siri' adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam interaksi dengan orang lain.Telah diiuraikan dalam lontara masyarakat Bugis Makassar terdahulu yang telah diwariskan kepada masyarakat masa kini bahwa watak atau falsafah hidup yang dipegangi oleh masyarakat bugis Makassar itu sebagaimana tergambarkan sebagaiberikut:
Aja mupakasiriwi, matei tu
(janganlah dipermalukan dia, sebab dia akanlebih memilih mati daripada dipermalukan)
 “Aja mullebbaiwi, nabokoiko tu
(janganlah kecewakan dia, sebab bila diadikecewakan pasti dia akan meninggalkan anda)Hal tersebut diatas adalah memiliki hubungan yang sangat erat dengan prinsiporang-orang bugis Makassar, antara lain:
Iamua narisappa warangparange, nasaba’rialai pallawasiri’ narekko siri’ ba’na lao, sungenatu naranreng
(sesungguhnya hartabenda sengaja dicari dan disediakan untuk menutup malu. Jika kita dipermalukan,maka harta tak ada gunanya lagi, tetapi yang akan bicara adalah nyawa/mayat). Hal ini diperjelas lagi oleh ungkapan untuk seorang perempuan bugis bila dia dikecewakan oleh suaminya yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah : “ kecintaanku yang tulus dan ikhlas kepadamu bagaikan benteng kokoh, namun ia dapat dirobohkan oleh rasa kecewa yang timbul”
 Jadi, proses kepribadian yang menjiwai orang Bugis Makassar yakni: jangan dipermalukan. Sebab ia akan lebih baik memilh mati daripada dipermalukan,kemudian jangan sampai ia dihina serta jangan sampai ia dikecewakan karena pastiakan meninggalkan anda.
Siri’ sebagai Falsafah Masyarakat Bugis Makassar
 Layaknya sebuah tradisi, maka secara turun temurun ini akan menjadipegangan serta pedoman. Bila mana pada suatu generasi penafsirannya meleset, makaakan berdampak ke generasi berikutnya. Jika terjadi disintegrasi terhadap penafsiran tentang nilai Siri’ ini, maka tentunya akan berdampak kepada kelanjutan eksistensi falsafah kepada generasi yang akan datang, inilah yang menjadi salah satu kekhawatiran banyak pihak termasuk saya pribadi sehingga harus diluruskan agar ke depannya ini tetap bisa menjadi pedoman, pegangan serta cii khas masyarakatBugis-Makassar  ke depannya. Dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan orang-orang BugisMakassar untuk senantiasa hidup baik di negeri sendiri atau negeri orang lain adalahmenjadi manusia yang perkasa dalam menjalani kehidupan. Setiap manusia keturunan Bugis Makassar dituntut harus memiliki keberanian, pantang menyerah menghadapi lawan ataupun ujian hidup. Itulah sebabnya maka setiap orang yang mengaku sebagai orang Bugis Makassar memiliki orientasi ke arah delapan penjuru mata angin, yakni mampu menghadapi apapun.Hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur nenek moyang orang Bugis Makassar yang tersimpul dengan “duai temmallaiseng, tellui temmasarang” (duabahagian yang tak terpisahkan dan tiga bahagian yang tak terceraikan)
Nilai siri’ dapat dipandang sebagai suatu konsep kultural yang memberikan impak aplikasi terhadap segenap tingkah laku nyata. Tingkah laku itu dapat diamati sebgai pernyataan ataupun perwujudan kehidupan masyarakat Bugis Makassar.Apabila kita mengamati pernyataan-pernyataan dari nilai siri’ ini atau lebih konkritnya mengamati kejadian-kejadiannya berupa tindakan,perbuatan atau tingkah laku yang katanya dimotivasi oleh siri’ maka akan timbul kesan bahwa nilai siri’ itu pada bagian terbesar unsurnya dibangun oleh perasaan, sentimentality oleh emosi dan sejenisnya. Kemudian penafsiran yang berpijak kepada melihat kejadian-kejadian yang timbul akibat penafsiran siri’, misalnya: malu-malu, aib, iri hati, kehormatandan harga diri, dan kesusilaan. Cara melihat seperti ini jelas merupakan sebuah carapandang yang kurang lengkap terutama apabila hendak mengamatinya dari sudutkonfigurasi kebudayaan. Sebab hal tersebut merupakan sebuah nilai yang bukan hanya sebuah nilai kebudayaan akan tetapi juga merupakan sebuah nilai/falsafah hidup manusia. Kemudian, hakikat kebenaran dari falsafah inilah yang mulai surut dalam setiap tingkah laku maupun tindakan kolektif masyarakat Bugis - Makassar. Sebagai seorang putera Bugis asli, disintegrasi semacam ini sudah lama terlihat oleh mata kepala sendiri. Bagaimana rasa malu yang tidak ditempatkan pada tempat semestinya,mendahulukan rasa amarah ketimbang sikap rasional dalam memahami suatu permasalahan. Jika kita berkaca pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di Provinsi Sulawesi-Selatan. Mulai dari demonstrasi yang selalu berakhir dengan chaos, sampai kepada perilaku bermasyarakat yang mulai berujung kepada konflik-konflik. Distintegrasi seperti inilah yang kemudian berpotensi untuk melahirkan ketidakstabilan dalam kehidupan sosial  bermasyarakat dimasa yang akan datang.
Kemudian, apabila kita ingin mendalami makna siri’ dengan segenap permasalahannya, antara lain dapat diketahui dari lontara La Toa. Di mana dalam lontara ini berisi pesan-pesan dan nasehat-nasehat yang merupakn kumpulan petuahuntuk dijadikan sebagai suri teladan. Kata La Toa sendiri sejatinya memiliki artipetuah-petuah yang dimana juga memilki hubungan yang erat dengan peranan siri’ dalam pola hidup atau adat istiadat orang Bugis Makassar (sebuah falsafah hidup).Misalnya dapat kita lihat beberapa poin dalam lontara tersebut :
-          Siri’ sebagai harga diri ataupun kehormatan
 - Mapappakasiri’ artinya dinodai kehormatannya
- Ritaroang Siri’ yang artinya ditegakkan kehormatannya
 - Passampo Siri’ yang artinya penutup malu
 - Siri’ sebagi perwujudan sikap tegas demi sebuah kehormatan hidup.

 Kata siri dapat juga diartikan sebagai pernyataan sikap yang tidak serakah dan sebagai sebuah pendirian (prinsip hidup) didaerah bugis Makassar. Ungkapan-ungkapan seperti : siri’ na ranreng (siri’ dipertaruhkan demi kehormatan), palaloi siri’nu (tantang bagi orang yang melawanmu/mempermalukanmu), tau de’ siri’na (orang tak memiliki malu tak memiliki harga diri) merupakan semboyan-semboyan falsafah hidup orang-orang Bugis Makassar. Bahkan berbagai petuah-petuah yang kesemuanya tergambar dalam La Toa memiliki nilai sastra yang sangat tinggi sebab disusun oleh pujangga yang terbaik di zamannya. Karenanya dapat disimpulkan bahwa kata silariang (minggat) adalah salah satu aspek daripada siri’ tersebut. Juga sangat erat hubungannya dengan harga diri dalam artian yang luas ( aspek-aspek identitas keagungan pribadi bangsa pemiliknya. Selain itu, siri’ dalam falsafah hidup orang bugis Makassar juga mengandung nilai-nilaikehormatan atau kebanggaan serta sebagai sebuah identitas orang-orang Bugis Makassar.  (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar