Oleh : Abdi eL_Machete
Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah
masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral. Begitu sakralnya
kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau De’ni gaga
Siri’na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia.
Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e
(seperti binatang). Petuah Bugisberkata: Siri’mi Narituo (karena malu kita
hidup). Untuk orang Bugis Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang
lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya, dan kalau mereka tersinggung atau
dipermalukan (Nipakasiri’) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk
memulihkan Siri’nya daripada hidup tanpa Siri’.
Nilai Siri’ orang Bugis dan Makassar juga sangat mirip
dengan semangat Bushido kaum Samurai Jepang. Kedua nilai tersebut mulai
ditinggalkan namun dengan tingkat emosi berbeda. Jepang dengan harakirinya
memiliki fislosofi rasa malu harus berakhir dengan kematian di tangan sendiri.
Ini berbeda dengan Siri’ dari bugis-makassar yangberarti tidak selamanya harus
mati, tapi masalah itu harus tuntas setuntas-tuntasnya,tidak ada kata pasrah,
justru merekapun menganggap mati berarti pasrah dan tak mampu lagi mengatasi
masalah. Dan tentunya karena latar belakang Religius maka hal tersebut tidak
diperbolehkan.
Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi
harkat dan martabatmanusia, rasa dendam ( dalam hal-hal yang berkaitan dengan
kerangka pemulihan harga diri yang dipermalukan ). Jadi Siri' adalah sesuatu
yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam interaksi dengan orang
lain.Telah diiuraikan dalam lontara masyarakat Bugis Makassar terdahulu yang
telah diwariskan kepada masyarakat masa kini bahwa watak atau falsafah hidup
yang dipegangi oleh masyarakat bugis Makassar itu sebagaimana tergambarkan
sebagaiberikut:
“Aja mupakasiriwi,
matei tu”
(janganlah dipermalukan dia, sebab dia akanlebih memilih
mati daripada dipermalukan)
“Aja mullebbaiwi, nabokoiko tu”
(janganlah kecewakan dia, sebab bila diadikecewakan pasti dia
akan meninggalkan anda)Hal tersebut diatas adalah memiliki hubungan yang sangat
erat dengan prinsiporang-orang bugis Makassar, antara lain:
“Iamua narisappa
warangparange, nasaba’rialai pallawasiri’ narekko siri’ ba’na lao, sungenatu
naranreng”
(sesungguhnya hartabenda sengaja dicari dan disediakan untuk
menutup malu. Jika kita dipermalukan,maka harta tak ada gunanya lagi, tetapi
yang akan bicara adalah nyawa/mayat). Hal ini diperjelas lagi oleh ungkapan
untuk seorang perempuan bugis bila dia dikecewakan oleh suaminya yang artinya
dalam bahasa Indonesia adalah : “ kecintaanku yang tulus dan ikhlas kepadamu
bagaikan benteng kokoh, namun ia dapat dirobohkan oleh rasa kecewa yang timbul”
Jadi, proses
kepribadian yang menjiwai orang Bugis Makassar yakni: jangan dipermalukan.
Sebab ia akan lebih baik memilh mati daripada dipermalukan,kemudian jangan
sampai ia dihina serta jangan sampai ia dikecewakan karena pastiakan
meninggalkan anda.
Siri’ sebagai
Falsafah Masyarakat Bugis Makassar
Layaknya sebuah
tradisi, maka secara turun temurun ini akan menjadipegangan serta pedoman. Bila
mana pada suatu generasi penafsirannya meleset, makaakan berdampak ke generasi
berikutnya. Jika terjadi disintegrasi terhadap penafsiran tentang nilai Siri’
ini, maka tentunya akan berdampak kepada kelanjutan eksistensi falsafah kepada
generasi yang akan datang, inilah yang menjadi salah satu kekhawatiran banyak
pihak termasuk saya pribadi sehingga harus diluruskan agar ke depannya ini
tetap bisa menjadi pedoman, pegangan serta cii khas masyarakatBugis-Makassar ke depannya. Dasar falsafah hidup yang
menjiwai dan menjadi pegangan orang-orang BugisMakassar untuk senantiasa hidup
baik di negeri sendiri atau negeri orang lain adalahmenjadi manusia yang
perkasa dalam menjalani kehidupan. Setiap manusia keturunan Bugis Makassar
dituntut harus memiliki keberanian, pantang menyerah menghadapi lawan ataupun
ujian hidup. Itulah sebabnya maka setiap orang yang mengaku sebagai orang Bugis
Makassar memiliki orientasi ke arah delapan penjuru mata angin, yakni mampu
menghadapi apapun.Hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur nenek moyang
orang Bugis Makassar yang tersimpul dengan “duai
temmallaiseng, tellui temmasarang” (duabahagian yang tak terpisahkan dan
tiga bahagian yang tak terceraikan)
Nilai siri’ dapat dipandang sebagai suatu konsep kultural
yang memberikan impak aplikasi terhadap segenap tingkah laku nyata. Tingkah
laku itu dapat diamati sebgai pernyataan ataupun perwujudan kehidupan masyarakat
Bugis Makassar.Apabila kita mengamati pernyataan-pernyataan dari nilai siri’
ini atau lebih konkritnya mengamati kejadian-kejadiannya berupa
tindakan,perbuatan atau tingkah laku yang katanya dimotivasi oleh siri’ maka
akan timbul kesan bahwa nilai siri’ itu pada bagian terbesar unsurnya dibangun
oleh perasaan, sentimentality oleh
emosi dan sejenisnya. Kemudian penafsiran yang berpijak kepada melihat
kejadian-kejadian yang timbul akibat penafsiran siri’, misalnya: malu-malu,
aib, iri hati, kehormatandan harga diri, dan kesusilaan. Cara melihat seperti
ini jelas merupakan sebuah carapandang yang kurang lengkap terutama apabila
hendak mengamatinya dari sudutkonfigurasi kebudayaan. Sebab hal tersebut
merupakan sebuah nilai yang bukan hanya sebuah nilai kebudayaan akan tetapi
juga merupakan sebuah nilai/falsafah hidup manusia. Kemudian, hakikat kebenaran
dari falsafah inilah yang mulai surut dalam setiap tingkah laku maupun tindakan
kolektif masyarakat Bugis - Makassar. Sebagai seorang putera Bugis asli, disintegrasi
semacam ini sudah lama terlihat oleh mata kepala sendiri. Bagaimana rasa malu
yang tidak ditempatkan pada tempat semestinya,mendahulukan rasa amarah
ketimbang sikap rasional dalam memahami suatu permasalahan. Jika kita berkaca
pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di Provinsi Sulawesi-Selatan. Mulai dari
demonstrasi yang selalu berakhir dengan chaos, sampai kepada perilaku
bermasyarakat yang mulai berujung kepada konflik-konflik. Distintegrasi seperti
inilah yang kemudian berpotensi untuk melahirkan ketidakstabilan dalam
kehidupan sosial bermasyarakat dimasa
yang akan datang.
Kemudian, apabila kita ingin mendalami makna siri’ dengan
segenap permasalahannya, antara lain dapat diketahui dari lontara La Toa. Di mana
dalam lontara ini berisi pesan-pesan dan nasehat-nasehat yang merupakn kumpulan
petuahuntuk dijadikan sebagai suri teladan. Kata La Toa sendiri sejatinya
memiliki artipetuah-petuah yang dimana juga memilki hubungan yang erat dengan
peranan siri’ dalam pola hidup atau adat istiadat orang Bugis Makassar (sebuah
falsafah hidup).Misalnya dapat kita lihat beberapa poin dalam lontara tersebut
:
-
Siri’ sebagai
harga diri ataupun kehormatan
- Mapappakasiri’ artinya dinodai
kehormatannya
- Ritaroang Siri’ yang artinya ditegakkan kehormatannya
- Passampo Siri’ yang artinya penutup malu
- Siri’ sebagi perwujudan sikap tegas demi
sebuah kehormatan hidup.
Kata siri dapat juga
diartikan sebagai pernyataan sikap yang tidak serakah dan sebagai sebuah
pendirian (prinsip hidup) didaerah bugis Makassar. Ungkapan-ungkapan seperti :
siri’ na ranreng (siri’ dipertaruhkan demi kehormatan), palaloi siri’nu (tantang bagi orang yang melawanmu/mempermalukanmu),
tau de’ siri’na (orang tak memiliki
malu tak memiliki harga diri) merupakan semboyan-semboyan falsafah hidup orang-orang
Bugis Makassar. Bahkan berbagai petuah-petuah yang kesemuanya tergambar dalam
La Toa memiliki nilai sastra yang sangat tinggi sebab disusun oleh pujangga
yang terbaik di zamannya. Karenanya dapat disimpulkan bahwa kata silariang
(minggat) adalah salah satu aspek daripada siri’ tersebut. Juga sangat erat
hubungannya dengan harga diri dalam artian yang luas ( aspek-aspek identitas
keagungan pribadi bangsa pemiliknya. Selain itu, siri’ dalam falsafah hidup
orang bugis Makassar juga mengandung nilai-nilaikehormatan atau kebanggaan
serta sebagai sebuah identitas orang-orang Bugis Makassar. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar