Hari ini, 10 November 2010, negeri yang dilanda berbagai bencana memperingati Hari Pahlawan ke-65. Sebuah hari bersejarah yang barangkali sudah terlupa di tanah gempa dan gunung api sana. Lalu, bagaimana dengan Kalteng? Tulisan ini coba mengingatkan salah satu pejuang Dayak.
Namanya Tijel Djelau. Lahir di Kasongan, 10 Agustus 1927. Oleh keluarga dan para kemenakannya, dia sering dipanggil Mamang Dangek. Sesuai kebiasaan orang Dayak Ngaju, Tijel juga kerap disapa Bapa Dino, sedang istrinya, Indu Dino. Mereka bertempat tinggal di Jalan Beruk Angis Palangka Raya, dan Jalan Raya Katunen, Kasongan, Kabupaten Katingan.
Sosok Tijel tercatat sebagai salah satu tokoh pejuang veteran kemerdekaan yang memberikan dharma bakti, pengabdian, baik dalam perjuangan mempertahankan proklamasi maupun ikut mengisi kemerdekaan dengan pembangunan. Termasuk upaya membangun daerah Kalteng.
Usai mengenyam pendidikan Zending Vervolgschool di Kasongan (1936- 1941), Kioin Joseijo Sekolah Guru zaman Jepang di Sampit (1942–1944), dan kursus Kader Kementerian Penerangan RI di Yogyakarta (1949), Tijel diangkat menjadi guru sekolah dasar--dulu disebut Sekolah Rendah (SR)--ditempatkan di Rantau Pulut, Kecamatan Seruyan Tengah, Kabupaten Seruyan, 1944-1947.
Pada tahun 1948, ia kemudian dipindahkan ke Samba Bakumpai, Tumbang Samba, Kecamatan Katingan Tengah, Katingan. Sang guru muda Tijel atas panggilan jiwanya melakukan gerakan perjuangan menentang penjajah NICA/Belanda dan bergabung dengan pasukan MN 1001/MTKI (Mohammad Noor 1001/Mandau Telawang Kalimantan Indonesia) untuk kawasan Sungai Seruyan.
Saat melaksanakan tugas sebagai guru di Tumbang Samba awal 1948, oleh ALRI Divisi-IV dari Banjarmasin--tentu saja secara rahasia--Tijel ditunjuk sebagai Perwakilan ALRI Divisi-IV Daerah Katingan, berkedudukan di Tumbang Samba.
Sebagai anggota pasukan MN 1001/MTKI, dengan pangkat Kapten, Tijel melaksanakan tugas mempersiapkan pembentukan Markas Pedalaman di Sepan Biha-hulu Sungai Manjul, anak Sungai Seruyan.
TT Suan, pemerhati sejarah budaya Kalteng, kepada Tabengan menceritakan, pada pertengahan 1946, ada seorang lelaki datang menemui Tijel Djelau seraya memperkenalkan diri bernama “Tjilik Riwut”.
Tjilik adalah saudara sepupu Tijel, sangat mengenal kakak sepupunya itu. Maka, saat “perkenalan” itu, membuat Tijel senyum dikulum. Orang yang menyebut dirinya “Tjilik Riwut” itu pun buka kartu, bahwa dia adalah Kapten Mulyono, PMC (Penyelidik Militer Chusus MBT/TNI) mendapat tugas rahasia dari Tjilik untuk menemui Tijel.
Rombongan Kapten Mulyono datang dari Jawa berjumlah 11 orang, di antaranya Opsir Muda AURI Marconi R. Mangkin yang asal muasalnya warga domestik etnik Dayak, juga dari suku Dayak Ngaju. Pasukan itu meneruskan perjalanan ke Tumbang Manjul, selanjutnya menuju Sepan Biha tempat latihan militer MN 1001.
Dalam kurun waktu 1945-1949, Tijel menjadi “langganan” penangkapan dan penyiksaan, ditahan, dihukum, serta mengalami penderitaan berat akibat tindakan pasukan NICA/KNIL Belanda. Penguasa NICA/KNIL Belanda memang cukup repot dan “pusing” atas gerakan “ekstremis” pemuda Tijel itu.
Betapa tidak, pada Oktober 1945, ketika rombongan PETA/BPRI dari Surabaya tiba di Kuala Pembuang membentuk Pemerintahan RI, Tijel sebagai anggota sekaligus melatih para pemuda mengikuti latihan pelajaran baris berbaris dengan senjata bambu runcing.
Desember 1945, datang pasukan NICA/KNIL menggempur. Tijel ditangkap lalu dibawa ke Sampit, diperiksa dan disiksa. Pada 17 September 1946, Pasukan MN 1001/TKR, dipimpin Kapten Mulyono dengan persenjataan senapan dan mandau, tengah malam menyergap pasukan KNIL/KL yang bercokol di Sanggrahan Tumbang Manjul.
Di pihak KNIL/KL banyak yang gugur dan pihak MN 1001 pun jatuh korban. Setelah pertempuran itu, Kapten Mulyono kembali ke Jawa melaporkan perkembangan perjuangan di Kalimantan. Sementara pasukannya diperintahkan kembali ke markas di pedalaman, siap sedia mempertahankan daerah Seruyan dari serangan NICA/Belanda.
Dari Rantau Pulut, Kapten Mulyono menulis surat kepada Kapten FJ Hips, Wakil Kontrolir (Controleur) Onderafdeling Sampit di Sampit. Tijel diminta mengantar surat itu ke Sampit. Isi surat itu antara lain menyatakan pertempuran di Tumbang Manjul, yang bertanggung jawab Kapten Mulyono/pasukan MN 1001/TKR. Hips jangan menyakiti rakyat yang tidak berdosa. Setelah surat itu disampaikan setangan ke alamatnya, tak ayal Tijel pun ditangkap sang Kapten KNIL si Hips. Tijel menjadi bulan-bulanan penyiksaan. Rakyat dan pasukan MN 1001 di Seruyan banyak terbunuh akibat operasi militer KNIL/KL yang berlangsung sampai awal tahun 1947.
Menjelang akhir 1949, Tijel menerima berita adanya gencatan senjata. Sewaktu pergi dan tiba di Kasongan, dia ditangkap oleh serdadu Belanda, lalu diikat di tiang bendera di depan Kantor HPB (Hoofd van Plaatselijk Bestuur) Kasongan selama dua hari dua malam. Namun, pada malam ketiga, datanglah kapal dari Sampit menjemput pasukan KNIL di Katingan. Bersamaan itu, diterima surat dari Kapten Mulyono ditujukan kepada Tijel. Surat itu memberitahukan, Sampit telah menjadi daerah kekuasaan RI dan agar Tijel segera mengatur roda pemerintahan RI di Kasongan. Maka, segera pimpinan HPB membebaskan Tijel.
Tindakan mengatur kelancaran pemerintahan, oleh Tijel diserahkan sepenuhnya kepada HPB (Kiai Kepala), dan Tijel segera melaksanakan tugas lain di daerah Katingan.
Atas jasa-jasanya kepada negara dan bangsa, Tijel telah dianugerahi tanda jasa dan penghargaan dari pemerintah, berupa Bintang Gerilya, Bintang Sewindu, Satya Lencana PPK (Peristiwa Perang Kemerdekaan) I dan II, Satya Lencana Kesetiaan VIIII tahun, Bintang Legiun Veteran RI, dan Satya Lencana Legiun Veteran RI.
Hingga wafatnya pada 6 September, dua bulan lalu, gelar pejuang masih melekat padanya, seperti Ketua/Anggota Pengurus Markas Daerah Legiun Veteran RI Kalteng dan Anggota Pengurus Dewan Harian Daerah Angkatan-45 Kalteng. Tijel wafat pada usia 83 tahun, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sanaman Lampang, Jalan Tjilik Riwut Km2,5 Palangka Raya.
Sumber : Harian Umum Tabengan, 10 Nopember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar