Berjalan di sebuah jalan tua dengan pepohonan bambu yang rapat dan pohon-pohon besar yang membuat sinar matahari terhalang, membuat pikiran kita berkelana ke masa silam. Sehingga di antara lamunan, apabila mendengar suara ketipak-ketipuk kaki kuda dan seseorang penunggang berpakaian ksatria jaman Pajajaran, mungkin kita tidak akan terlalu kaget karenanya. Suasana sangat mendukung, bak setting film untuk kisah cerita radio terkenal sepanjang jaman, Brama Kumbara.
Tempat dengan sepotong jalan kuno yang tersisa itu sebagai penghubung antara Pajajaran Majapahit adalah Situs Karang Kamulyan. Situs Karangkamulyan adalah tempat wisata sejarah purbakala dan situs arkeologi dengan corak Hindu Buddha yang berada di Desa Karangkamulyan, Cijeunjing, Ciamis, Jawa Barat. Dari arah Jakarta menuju Pantai Pangandaran, akan melewati desa ini, di sebelah kanan jalan raya Ciamis - Banjar.
Patokan untuk situs Karangkamulyan ini adalah sekitar km 17 setelah melewati kota Ciamis, setelah melewati Rumah Makan Padang Sederhana yang besar sekali di pinggir jalan, yang secara ironis menunjukkan bahwa bangunannya jauh dari kata sederhana, beberapa ratus meter setelahnya sebelah kanan jalan terdapat pintu masuk dengan area parkir yang cukup luas dengan tulisan Karang Kamulyan.
Seperti halnya tempat wisata lainnya di Indonesia, di pintu masuk berderet warung-warung makan, dan penjaja aneka souvenir, dan aneka makanan kecil berbungkus plastik, yang menurut saya sampahnya, sangat luar biasa menjengkelkan karena banyak ditinggalkan pengunjung di setiap sudut tempat ini. Walaupun tempat sampah bukannya tidak disediakan, namun rupanya kesadaran yang kurang untuk sekedar membuang sampah di tempat seharusnya.
Tiket masuk sebesar Rp 2300,- per kepala. Di jalanan pintu masuk banyak monyet-monyet berbulu abu-abu yang bermain-main dan bergelantungan di pohon atau berlarian di jalan. Monyet-monyet ini tidak mengganggu pengunjung, hanya terkadang meminta makanan atau minuman yang kita bawa. Jenis monyet ini adalah monyet ekor panjang alias Macaca fascicularis yang merupakan monyet asli Asia Tenggara.
Situs bersejarah biasanya tak lepas dari legenda cerita rakyat setempat. Demikian pula dengan situs Karang Kamulyan. Legenda Ciung Wanara berasal dari sini. Ciung Wanara yang sering dikisahkan sebagai cerita rakyat Jawa Barat dan menjadi salah satu cerita untuk Pantun Sunda, selain cerita Mundinglaya Dikusumah dan Lutung Kasarung.
Ciung Wanara adalah nama seorang putra mahkota yang terbuang akibat iri dengki istri kedua sang raja yang berkuasa saat itu, Dewi Pangrenyep yang telah memiliki putera, Hariang Banga. Saat kelahiran Ciung Wanara, ibunya Dewi Pohaci Naganingrum dibuang karena fitnah, bayi lelakinya ditukar dengan bayi anjing oleh Dewi Pangrenyep, sementara Ciung Wanara yang baru lahir diperintahkan untuk dihanyutkan di leuwi Sipatahunan, yaitu lubuk di sungai Citanduy. Sang Permana Dikusumah dibunuh dan digantikan oleh Sang Tamperan yang kemudian berkuasa bersama Dewi Pangrenyep.
Geger Sunten menjadi desa yang diceritakan sebagai tempat penggalangan kekuatan dan pelatihan prajurit yang disiapkan untuk merebut kembali kekuasaan oleh Ciung Wanara dan Aki Balangantrang. Berbekal ayam sabungan, mereka turut serta dalam pertandingan sabung ayam yang saat itu sedang dijadikan pertandingan kebanggaan kerajaan, mungkin seperti hausnya para petinggi kerajaan akan pertandingan berdarah ala gladiator di colloseum. Hanya ini bedanya menggunakan ayam. Dan tidak di gedung dengan model ampitheater, tapi lapangan kecil dengan tanah yang sangat rata, yang digunakan sebagai arena. Sampai saat ini arena sabung ayam bersejarah ini masih ada di Karang Kamulyan.
Lengahnya para Raja Tamperan, Hariang Banga dan pasukan kerajaan akan pesta dan pertandingan sabung ayam ini, menyebabkan pasukan Ciung Wanara dan Aki Balangantrang mudah menyusup. Ibaratnya kisah perang Troya, dimana patung kuda kayu berisi prajurit menyusup masuk ke dalam kerajaan. Cuma disini tidak pakai patung kuda raksasa persembahan bagi Poseidon, hanya menyusup saja.
Saat pasukan Tamperan lengah dan mabuk arak dan pesta pora, saat itu pasukan Ciung Wanara menyerbu dan menduduki kerajaan Galuh. Antara Ciung Wanara terjadi perkelahian seru melawan saudara tirinya Hariang Banga, sampai saat Ciung Wanara memenangkan pertandingan, namun ia tak kuasa membunuh saudara tiri lain ibu ini, sehingga Hariang Banga dilempar ke seberang sungai Cipamali yang kemudian menjadi batas dua kerajaan. Galuh yang dibagi dua, antara Ciung Wanara (yang kemudian bergelar Sang Manarah) dan Hariang Banga.
Kisah Ciung Wanara ini terjadi pada abad ke 8 Masehi dan menurut telisik sejarah tercatat saat kerajaan Galuh terpisah dari kerajaan Sunda dan merupakan turunan dari kerajaan Tarumanegara. Situs Karang Kamulyan sendiri menurut penggalian arkeologi ditemukan bukti pecahan keramik Dinasti Ming dari abad ke 9 yang menjadi bukti bahwa adanya kehidupan bersejarah di daerah tersebut.
Karang Kamulyan menempati area sekitar 25 ha, banyak ditumbuhi bambu dan rapat oleh tumbuhan dan pepohonan lainnya, rotan pun banyak tumbuh tergelantung dari pepohonan disana. Jalanan sunyi dari tanah yang dipinggiri bebatuan, menjadikan area ini seperti sepotong taman dari masa lalu yang terawetkan. Di depan dekat pintu masuk ada tumpukan bebatuan berupa sisa struktur bangunan yang disebut sebagai Pangcalikan atau Singgasana. Berbelok ke kanan menuruni jalan, kita akan sampai ke Sipatahunan, lubuk sungai tempat cerita bayi Ciung Wanara dihanyutkan. Sungai tampak sepi dengan air yang terlihat jernih.
Selain itu disana terdapat area dengan batu berukir khas Hindu yang disebut Lambang Peribadatan, bentuknya seperti fragmen candi. Mata air Cikahuripan disana dikatakan tak pernah kering, banyak orang mengambil air disana dalam botol atau dipakai untuk mencuci wajah dan tangan, mengharap berkah. Di area itu pula terdapat batu dolmen dan menhir yang disebut sebagai Panyandaan, dipercaya sebagai tempat Dewi Pohaci Naganingrum melahirkan Ciung Wanara, dan bersandar disana selama 40 hari untuk memulihkan kekuatan. Di ujung jalan lainnya terdapat makam Adipati Panaekan, keturunan Kerajaan Galuh yang mendapat gelar Adipati dari Kerajaan Mataram.
Wisata yang ditawarkan oleh Korea Selatan pun beraneka, dari melihat pembuatan keramik dan teh, wisata jalan dan bersepeda di kota tua, sampai menginap di desa kuno dengan bangunan rumah dari bahan yang alami. Gyeongju tercatat sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO.
Lalu bagaimana dengan kita? Peninggalan bersejarah kita punya, kejayaan kerajaan masa lalu kita ada, desa kuno dengan bangunan rumah adat dari bambu dan kayu kita tak kalah pula. Namun apakah kita bisa menjaga warisan sejarah kita? Dapatkah kita menjualnya menjadi daerah berpotensi wisata yang layak dikunjungi wisatawan mancanegara yang tertarik pada budaya dan sejarah bangsa kita? Mengurus sampah di tempat wisata saja kita tampaknya belum mampu. (http://wisata.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar