Selasa, 02 Desember 2014

Di Balik Nestapa Hukum Cambuk

Halaman Masjid Agung Bireuen, yang dibangun tahun 1958 di era DI-TII, siang itu, 24 Juni 2005, tampak beda. Masjid yang biasanya hanya dipenuhi ratusan umat Muslim Kota Bireuen saat sholat Jum`at, hari itu terlihat jauh lebih ramai.
Tampak sejumlah pejabat daerah setempat, ratusan media massa dalam dan luar negeri, dan diperkirakan 2 ribu jiwa masyarakat Bireuen dan sekitarnya, semakin menambah sesak halaman masjid seluas lebih dari 1 hektar tersebut. Masjid Bireuen, usai sholat Jum`at 24 Juni lalu, melangsungkan hajatan besar, eksekusi cambuk kepada 15 pelaku maisir atau judi.
Hukum cambuk atau rajam, dalam literatur sejarah Aceh, dipelopori oleh Raja Iskandar Muda yang merajam anaknya sendiri hingga tewas karena dituduh berzina dengan istri perwira istana. Tragedi serupa terulang lagi tahun 1999. seorang pemuda di Aceh Selatan, dirajam karena mengakui telah berzinah dengan kekasihnya.
Babak baru perjalanan sejarah propinsi Nangroe Aceh Darussalam dalam melaksanakan syariat Islam, kembali digoreskan. Peristiwa pecambukan ketiga atau yang pertama kalinya untuk pelaku judi atau maisir itu, kembali diberlakukan. Ini merupakan implementasi dari pemberlakukan Undang-undang Syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam. Dasar hukum yang lain, peraturan Gubernur No. 10 tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Uqubat Cambuk.
Persiapan dilakukan dengan matang. Panggung berukuran 3 x 3 meter persegi telah disiapkan di halaman Masjid Agung Bireuen. Diatas panggung, dibuat garis lingkar berdiameter 1 meter. Disinilah tempat para terhukum dieksekusi. Pagar berjarak 10 meter dari panggung, untuk membatasi penonton, juga telah disiapkan. Mobil ambulance untuk keadaan darurat, telah disiapkan pula.
Pelaksana cambuk, disiapkan 12 algojo dari Wilayatul Hisbah, atau Polisi Syariat Islam. Bahkan mereka telah dibekali dengan petunjuk teknis serta perlengkapan penutup kepala dan wajah. Identitas para algojo ini dirahasiakan.
Satu persatu pelaku judi jenis togel dan kartu joker, dipanggil keatas panggung. Karmidi bin Abdullah, warga Desa Pulo Kiton, menjadi orang pertama yang naik ke panggung. Sesuai dengan keputusan Mahkamah Syariah, masing-masing terhukum paling sedikit akan menerima 6 kali cambukan dan paling banyak 8 kali cambukan dan tetap diharuskan memakai baju tipis yang telah disediakan untuk menutupi aurat.
Cambuk terbuat dari rotan dengan diameter 0,75 cm dan panjang 1 meter itu, diayunkan ke punggung si terhukum atas perintah jaksa. Dari 27 orang pelaku judi, hanya satu terpidana, yang kerap dijuluki sebagai si bandar togel, yang berhasil lolos karena membayar denda 25 juta rupiah. Sedang dari 26 terhukum, hanya 15 orang saja yang dianggap memenuhi syarat untuk menjalani hukuman cambuk. Sisanya, dianggap tidak memenuhi faktor kesehatan.
Pelaksanaan hukuman cambuk merupakan langkah awal usaha panjang pemerintah daerah setempat membersihkan kehidupan di Serambi Mekkah ini dari tindakan maksiat. Perda atau qanun untuk itu sudah disiapkan jauh hari sebelumnya.
Disayangkan, pelaksanaan hukuman cambuk berdasarkan Perda No. 13 Tahun 2003 itu, baru mengatur tiga jenis tindakan hukum, kasus maisir atau judi, khalwat atau mesum, dan khamar atau minuman keras. Sedangkan kasus-kasus lain yang juga kerap merebak seperti pencurian, pembunuhan, bahkan korupsi, tidak diatur. Tak heran, jika dalam prakteknya, hukuman cambuk yang baru pertama kali dilaksanakan itu dan disaksikan jutaan masyarakat, pada akhirnya justru menimbulkan pertanyaan yang mengganjal dalam benak. adilkah ini semua ?
Segmen 2
Desa Pulo Kiton. Pasca pelaksanaan hukuman cambuk, masih menyisakan kepedihan. Di desa yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani inilah, 11 dari 26 terhukum, tinggal.
Salah satunya, Zakaria bin Yusuf. Dari semua terhukum, ia paling tua usianya, memasuki kepala 6. Zakaria tak punya pekerjaan tetap, telah lama ia menganggur. Zakaria terpaksa menjalani hukuman cambuk karena dirinya didakwa melanggar qanun atau Peraturan Daerah No. 13 Tahun 2003 tentang maisir atau judi.
Usai menjalani hukuman cambuk, keletihan itu masih tampak. Bekas luka cambukan sebanyak 6 buah, masih tampak jelas. Rasa perih yang ia rasakan kini, memang tak seberapa dibanding rasa malu yang harus ia tanggung saat menerima hukuman cambuk yang dilakukan di tempat terbuka dan disaksikan masyarakat secara luas selama kurang lebih 15 menit. Peristiwa itu juga menyisakan trauma bagi keluarganya.
Nurhasanah mengaku tak habis pikir suaminya yang sekedar iseng bermain judi seribu rupiah tersebut, bisa mendapat aib hukuman yang begitu besar. Nurhasanah tentu tak terima suaminya dipermalukan di depan khalayak.
Nasi telah menjadi bubur. Zakaria dan 25 terhukum lainnya, ternyata tak tahu menahu bahwa dirinya memiliki hak hukum untuk banding. Alhasil, hukuman cambuk yang diputuskan Mahkamah Syari`ah Bireuen, tak lagi terhindarkan. Padahal sebelumnya, ada yang telah menjalani tahanan badan selama 2 bulan. Menyaksikan itu semua, terhukum dan keluarganya, serta masyarakat Bireuen pun gerah. Marah, sedih, dan kecewa. Ini semua tak adil.
Sejak otonomi diberlakukan, provinsi Nangroe Aceh Darussalam, diberi otonomi khusus untuk memiliki aturan-aturan lokal yang bersumber pada syariat Islam. Pelaksanaan hukuman cambuk adalah satu bukti, syariat Islam sudah diterapkan di Serambi Mekkah. Namun kini, seluruh warga Aceh, menaruh harapan besar, pemerintah daerah di masa mendatang, bisa lebih bersikap adil dan tidak diskriminatif dalam menerapkan hukum cambuk sebagai upaya menegakkan syariat Islam di Tanah Rencong.(http://www.indosiar.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar