Sabtu, 06 Desember 2014

Koteka dan Jati Diri Masyarakat Pribumi Tanah Papua

Bagi masyarakat pribumi tanah Papua, koteka adalah pakaian tradisional masyarakat pribumi Pegunungan Tengah Papua. Siapapun orang, yang tidak menggunakan koteka dianggap atau diklaim telanjang, ketika orang koteka belum berinteraksi dengan orang Melayu dan Eropa. Koteka yang dipakai oleh masyarakat pribumi Pegunungan Tengah Papua juga menjelaskan tentang siapa orang tersebut dari berbagai macam sisi. Artinya, koteka menjelaskan identitas pemakai koteka tersebut, baik secara individu maupun secara kelompok, seperti:
(a)    asal daerah dan suku
(b)    kedudukan social pribadi pemakai
(c)    dan  jenis kegiatan dan jenis koteka yang dipakai
Ketika masyarakat pribumi Pegunungan Tengah Papua mulai mengalami interaksi dengan etnis melayu dan orang bule, khususnya, dengan para pekabar Injil yang datang mengabarkan Injil di daerah orang koteka(Enarotali-Paniai sampai ke Oksibil-Pegunungan Bintang – tanah Papua), pakaian koteka tertranformasi oleh Injil sehingga beberapa orang yang telah menerima Injil mulai memberitakan Injil dengan berpakaian koteka, baik itu melalui penginjilan pribadi maupun dalam ibadah-ibadah resmi gereja sampai kepada Pengkhotbahpun menggunakan koteka lalu menyampaikan pesan-pesan firman Allah.
Sikap inilah yang menyebabkan sehingga masyarakat pribumi menerima Injil secara kolektif dan secara kelompok sehingga tranformasi kehidupan diberbagai bidang kehidupan masyarakat terjadi. Hal ini ditandai dengan adanya perdamai yang tercipta antara satu kelompok masarakat dengan kelompok masyarakat, lalu satu suku dengan suku yang lainnya. Kehidupan yang rukun di antara warga pribumi ini terlihat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Norma-norma hidup bersama sangat berkumandang dalam kehidupan pribadi, kelompok dan suku orang yang menggunakan koteka.

Namun sejak Papua berintegrasi dengan Indonesia – orang, apa yang tidak pernah dilakukan oleh Injil, di lakukan oleh bangsa Indonesia, yakni datang berbagai macam usaha yang amat deras dan dramatis untuk melucuti pakaian tradisional masyarakat pribumi tanah Papua(Koteka) dari tubuh dan kehidupan orang Papua baik secara formal dan non formal. Hal ini terlihat dari:
(a)    Gubernur Frans Kasiepo (1964-1973) mulai mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai pakaian yang sehat, sopan, dan bermartabat dalam sebuah gerekan yang disebut operasi Koteka– barangkali koteka bagi mereka adalah pakaian yang kurang sopan dan bermartabat;
(b)    kemudian dilanjutkan dengan kampanye anti koteka oleh Gubernur Soetran;
(c)    sosialiasi dilanjutkan Acub Zainal, Busiri Suryowironoto, dan Gubernur Isaac Hindom;
(d)    pada masa pemerintahan Gubernur Barnabas Suebu (1988-1993) dan Yacob Pattipi (1993-1998) mulai dilakukan kampanye antikoteka di Pegunungan Tengah. Puluhan ton pakaian dijatuhkan di beberapa kecamatan dan kampung-kampung di Pegunungan Tengah yang merupakan basis koteka;
(e)    usaha memunculkan UU Pornografi-Pornoaksi dan dipaksakan untuk diberlakukan di tanah Papua khususnya ditengah orang koteka;
(f)     terakhir dengan pembunuhan Joker[1], yang direkayasa oleh koran kompas bahwa ia dibunuh karena mabuk(SURYA Online, 9 Pebruari). Pada hal, Joker adalah seorang yang saleh dan pecinta damai. Seorang kepala suku dari orang Papua yang tidak perna menyentuh minuman, rokok dan wanita lain selain istrinya sendiri(Baca.Radar timika). Namun diyakni bahwa pembunuhan Joker merupakan bagian dari usaha pelucutan koteka;  

Usaha-usaha pelucutan koteka seperti di atas dilakukan barangkali karena beberapa sebab:
(a)      Menurut Jos, integrasi Papua ke dalam NKRI pada 1962 merupakan satu titik balik kehidupan masyarakat koteka. Pertemuan para pejabat dari Jakarta dengan masyarakat koteka waktu itu merupakan pertemuan dua budaya yang berbeda, yakni Melanesia dan Polinesia – barangkali maksudnya Melayu-(http://www.infopapua.com/modules.php?);
(b)      Orang Jakarta tidak melihat koteka sebagai pakaian, sementara masyarakat pedalaman Papua melihatnya sebagai pakaian, yang tidak berbeda dengan pakaian yang dikenakan masyarakat Indonesia umumnya;
(c)      koteka dinilai sebagai salah satu bagian dari kemiskinan dan keterbelakangan. Koteka bukan pakaian. Pria yang mengenakan koteka dilihat sebagai pria telanjang dan “tidak beradab”;
(d)      menurut Dominggus Rumbewas, membasmi koteka di Papua serba dilematis. Di satu sisi, koteka sebagai simbol kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan dan ketelanjangan. “Tetapi, pada masa otonomi khusus ini sudah tidak layak lagi orang Papua mengenakan koteka,” tandas Rumbewas;
(e)      anggota DPRD Papua dari PDIP Ramses Walli menyatakan: Budaya dan tradisi yang dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, menghambat pembangunan, dan bertentangan dengan nilai moral, agama, kesopanan dan kehidupan sosial masyarakat hendaknya diperbarui. Salah satunya termasuk koteka. Walli memaparkan, budaya dan tradisi asli yang dinilai tidak mendukung pembangunan nilai moral dan agama di Papua antara lain, koteka, pesta seks pada upacara adat bagi suku tertentu, perlakuan terhadap perempuan yang lebih rendah dibanding kaum pria dalam keluarga dan masyarakat. Adat dan tradisi tua ini sering melahirkan persoalan di kalangan masyarakat;
(f)       di Irian seharusnya mereka diajarkan bagaimana memakai pakaian yang layak dan sempurna tidak malah telanjang atau hanya menutpi kemaluannya saja (Ririh Priyatna Jafar – 085710373769-detikNews)
(g)      Muhammad Amin, Alumnus Pascasarjana UIN Suska Riau menyatakan: koteka digunakan oleh orang Papua hanya di perkambungan mereka, hutan dan dusun(Republika);[2]
Usaha-usaha pelucutan koteka di atas boleh saja dilakukan dengan berbagai macan cara dan dengan berbagai macam alasan menurut orang-orang yang telah berpakaian, baik orang Koteka sendiri mampun non koteka, namun yang hendaknya dipertimbangkan dengan baik adalah jangan sampai usaha-usaha pelucutan koteka di atas merupaka ekspresi langsung dari usaha pelucuti jati diri masyarakat koteka dari persada nusantara ini.
Barangkali karena tidak mau dilucutinya pakaiannya(koteka) dari hidupnya dan usaha ia mempertahankan jadi dirinya sebagai manusia koteka,  Dominikus Douw, Alumni Fakultas Hukum UNTAG 1945 Semarang mengarang sebuah lagu dengan judul: Koteka aniya kagaba.

“Koteka moge Paniai makii,
kou aniiya kagaabanoo,
anii didi kogaa dani totaa kagaabano,”
Lalu apa yang hendaknya di buat oleh pemerintah Pusat dan Propinsi dalam pembangunan orang koteka, ketika orang koteka mempertahankan diri sebagai manusia koteka di bumi?
(a)    Pergilah ke Belanda dan Misionaris Kristen dan belajarlah dari mereka
(b)    Bangunlah pelayanan yang manusiawi sebab suatu saat koteka pasti masuk juga ke museum setelah dimakan oleh kemajuan zaman dan tehnologi namun pasti akan muncul dalam festival-festifal budaya. (http://deateytomawin.wordpress.com/)


Sumber:
  1. DetikNews
  2. http://www.infopapua.com/modules.php
  3. Koran tempo 12 Pebruary 2008
  4. Majalah SELANGKAH
  5. Republika
  6. SURYA Online
[1] Joker adalah seorang kepala suku Moni di Timika yang sehariannya hidup di Timika berjalan keliling timika memakai koteka lengkap dengan atribut tradisional  sambil menerima ajakan foto dari masyarakat pendatang dan Papua, juga yang bekerja sebagai  tukang becak/mengambil penumpang dengan berpakaian koteka pula(Baca. Radar timika)
[2] Jika pak Amin ke Enarotali, Mulia, Karubaga, dan Wamena, pak Amin akan kaget melihat  orang yang berpakaian koteka atau mengenakan koteka ke kantor bupati dan ke tempat public lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar