Rabu, 24 Desember 2014

Pemilihan Kepala Desa Dari Jaman Belanda sampai Jaman Reformasi

Sungguh ironis, di era reformasi sekarang ini dimana kran demokrasi dan kebebasan dibuka seluas-luasnya pemilihan kepala desa justru mengalami degradasi yang luar biasa. Pilkades sudah terkontaminasi ulah para elit politik yang sering dipertontonkan di berbagai media, sehingga putra-putri terbaik desa yang tidak punya modal tertutup kemungkinannya untuk menjadi kepala desa. Money politik sudah terjadi secara masif dan terang-terangan padahal pilkades pada jaman dahulu, dimana demokrasi masih sebatas mimpi justru pilkades berlangsung demokratis dan berkualitas. Untuk membandingkan kondisi ini marilah kita menengok kebelakang melihat bagaimana proses Pilkades dari waktu ke waktu.

Pengertian Desa 
Menurut Undang-undang No.32 Tahun 2004, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Struktur Pemerintahan Desa 
Pemerintah Desa dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Dalam menjalankan tugasnya kepala desa dibantu oleh seorang Sekretaris Desa dan beberapa Perangkat Desa lainnya. Karena desa bersifat otonom maka sejak jaman penjajahan Belanda sampai sekarang Kepala Desa dan seluruh Perangkat Desa selalu dipilih secara langsung oleh masyarakat baik melalui musyawarah mufakat maupun pemilihan langsung secara demokratis seperi pemilukada.

Pemilihan Kepala Desa 
Sejak jaman penjajahan belanda pemerintah tidak pernah ikut mengatur cara pemilihan kepala desa dan perwakilan desa, tidak mengatur masa jabatan kepala desa dan perwakilan desa, tidak pernah mengatur tugas tugas dan tanggungjawab pemerintah desa, bahkan tidak pernah juga mengambil hak pengangkatan dan penghentian kepala desa. Semuanya dilaksanakan sesuai adat istiadat yang berlaku secara turun temurun. Baru pada tahun 1979 pada masa orde baru pemerintah mulai mengatur mengenai tatacara pemilihan kepala desa dan perangkat desa termasuk membatasi masa jabatannya dengan terbitnya Undang-Undang No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa.

Model Pemilihan Kepala Desa 
Pada awal berdirinya, desa hanya dihuni oleh puluhan keluarga yang masih terikat dengan ikatan tali kekeluargaan/kekerabatan, sejak saat itu 10 kepala keluarga tersebut dengan cara musyawarah dan mufakat menunjuk seorang pemimpinya, yang mana pemimpin tersebut diberi nama Panepuluh. Kriteria pilihan didasarkan pada umur/usia, kecakapan, pengalaman dan kesaktian, karena seorang Panepuluh harus bertanggung jawab atas keamanan & ketertiban dari sepuluh kepala keluarga dimaksud. Seorang Panepuluh juga disebut Buyut apabila dasar terpilihnya karena atas pertimbangan usia. Di Jawa, seorang Panepuluh disebut Danyang apabila beliau adalah merupakan orang pertamayang berdomisili di sebuah desa. Pun bagi desa-desa lainya diluar Jawa memiliki penamaan dan sebutan sesuai dengan adat, budaya dan kearifan lokalnya masing-masing . Seorang pemimpin desa diberi nama Penatus apabila memimpin 100 kepala keluarga didalam sebuah desa, tata cara pemilihanya masih dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat yang diwakili oleh masing-masing kepala keluarga. Biasanya seorang tokoh yang terpilih dengan kriteria, cukup dalam usia, bijak dalam bertindak, memahami adat istiadat penduduk desa yang dipimpinya, memiliki kelebihan dalam hal kesaktian. Panewu adalah seorang pemimpin sebuah desa yang telah dihuni oleh 1.000 kepala keluarga, cara pemilihanya masih dengan cara musyawarah dan mufakat, kriterianya dari seorang Panewu jauh lebih ketat dari pada kriteria seorang Panepuluh dan Penatus, sebab seorang Panewu ketika meninggal dunia akan digantikan oleh anak tertuanya yang lahir laki-laki untuk melanjutkan estafet kepemimpinan orang tuanya. Demikianlah ilustrasi kecil dan sangat sederhana sejarah pemilihan kepala desa pada awal terbentuknya kepemimpinan desa. Pemerintah Hindia Belanda memberi otonomi kepada desa seluas-luasnya, menyangkut kelestarian hak adat, hukum adat dan adat istiadat yang berlaku secara turun- temurun dimasing-masing desa. Termasuk diantaranya adalah masalah tata cara pemilihan kepala desa, dalam hal pemilihan kepala desa, seorang kepala desa tidak lagi dipilih secara musyawarah dan mufakat dan hanya dipilih oleh para kepala keluarga saja, tetapi dipilih secara langsung oleh seluruh penduduk desa yang telah dewasa dan dianggap cakap hukum. Model pemilihan kepala desa yang paling sederhana pada jaman penjajahan Belanda adalah dengan cara masing-masing pemilih dan pendukung calon kepala desa membuat barisan adu panjang ditanah lapangan, sehingga memunculkan pendukung inti yang namanya GAPIT /nama lainya, yang pada saat ini dikenal dengan tim sukses masing-masing kandidat kepala desa. Calon kepala desa terpilih adalah yang barisan pemilih/pendukungnya paling panjang. Model pemilihan seperti ini rawan sekali adanya konflik horisontal secara terbuka antara pendukung calon yang satu dengan calon lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya untuk mencegah adanya konflik terbuka antar pendukung maka model pemilihan kepala desa dilaksanakan dengan pemilihan langsung secara tertutup. Pemungutan suara dilaksanakan dengan menggunakan lidi (bahasa jawa = biting) yang diberi tanda khusus oleh panitia kemudian dimasukan didalam "bumbung" yang diletakkan didalam bilik tertutup. Bumbung adalah sepotong batang bambu yang dilubangi untuk memasukkan lidi. Jumlah "bumbung" disesuaikan dengan jumlah calon yang ada. Masing-masing bumbung ditandai dengan simbol berupa hasil bumi atau palawija. Misalnya calon kepala desa si "A" menggunakan simbol "Jagung", calon si "B" menggunakan simbol "Padi" dan seterusnya. Setiap pemilih yang menggunakan hak pilihnya menerima satu "biting"/lidi dan dibawa masuk ke dalam bilik tertutup. Didalam bilik pemilih tadi memasukkan lidi kedalam "bumbung" sesuai pilihannya, misalnya memilih si A maka pemilih akan memasukkan lidi kedalam "bumbung" bergambar jagung. Hasil pemungutan suara dihitung berdasarkan jumlah lidi pada masing-masing "bumbung" tadi. Jika terdapat calong tunggal maka ada 2 bumbung didalam bilik pemungutan suara yaitu bumbung dengan simbol calon kepala desa yang ada dan satu bumbung lagi tanpa simbol apapun yang disebut "bumbung kosong". Jika hasil penghitungan lidi dari bumbung kosong jumlahnya lebih banyak berarti calon tunggal tadi kalah dengan bumbung kosong dan dia dinyatakan tidak terpilih. Periode berikutnya setelah Indonesia merdeka pemilihan kepala desa sudah mengalami peningkatan yaitu dengan menggunakan pemilihan tertutup dalam bilik suara dengan mennggunakan kartu suara. Karena pada saat itu belum banyak orang yang bisa membaca alias masih banyak orang yang buta huruf maka kartu suara tidak bertuliskan nama tetapi menggunakan gambar hasil bumi atau palawija. Sama seperti pada model sebelumnya gambar yang digunakan adalah gambar hasil bumi/palawija. Pemilih yang menggunakan hak pilihnya menerima satu lembar kartu suara kemudian membawanya kedalam bilik tertutup dan mencoblos gambar salah satu calon yang dikehendakinya. Hasil penghitungan suara, calon yang mendapat suara terbanyak itulah yang terpilih sebagai kepala desa. Di era reformasi sekarang ini, model pemilihan kepala desa mengalami perkembangan yaitu menggunakan kartu suara berisi foto dan nama calon. Pemilih dalam menggunakan hak pilihnya harus mencoblos gambar/foto calon yang dipilihnya. Hasil penghitungan suara masih sama dengan cara sebelumnya yaitu calon yang memperoleh suara terbanyak itulah pemenangnya.

Money Politik dalam Pemilihan Kepala Desa 
Sebagai ajang pesta demokrasi, pemilihan kepala desa pasti tidak lepas dari taktik dan strategi. Pada jaman dahulu tidak ada money politik dalam pemilihan kepala desa. Penentuan pilihan seseorang banyak dipengaruhi oleh kedekatan kekerabatan dan hubungan emosional lainnya. Kecakapan seorang calon kepala desa tidak ditentukan oleh kemampuan managerial atau akademis tetapi lebih ditentukan oleh sikap atau tingkah laku, memahami adat istiadat desa dan memiliki kelebihan dalam hal kesaktian. Pada masa itu belum banyak orang yang berpendidikan sehingga model-model kampanye visi dan misi belum dikenal. Biasanya calon yang terpilih adalah orang yang dianggap tetua atau orang yang berwibawa yang mempunyai kharisma di desanya. Pada era Orde Lama tidak banyak perubahan paradigma pada masyarakat desa dalam menentukan kriteria calon kepala desa yang mereka pilih. Setidaknya ada 3 faktor utama yang menjadi alasan seseorang untuk menjatuhkan pilihannya yaitu kedekatan kekerabatan, tingkah laku (kepribadian / kharisma) dan rasa kedaerahan atau kedusunan. Dusun adalah bagian lebih kecil dari sebuah desa. Satu Desa biasanya terdiri dari beberapa dusun. Ikatan emosional kedusunan ini dimanfaatkan oleh calon kepala desa untuk membangkitkan sentimen primordial yang terbukti cukup efektif. Masyarakat desa biasanya lebih menyukai kepala desa yang berasal dari dusun yang sama dengan tempat mereka tinggal. Pada masa ini money politik hampir tidak ada sama sekali, mengingat kondisi ekonomi pada masa itu masih sangat rendah. Pada masa Orde Baru, money politik relatif masih belum ada, kalaupun ada hanyalah pemberian berupa barang atau pakaian dan itupun secara sembunyi-sembunyi. Kriteria penentuan pilihan masih sama dengan pada masa order lama yaitu faktor tingkah laku (kepribadian/kharisma), hubungan kekerabatan, rasa kedusunan ditambah lagi untuk generasi muda sudah mulai mempertimbangkan faktor kecakapan atau kemampuan. Selain itu ada pengaruh eksternal dari para penjudi taruhan (botoh) yang kadang-kadang rela membagi-bagikan uang agar pemilih bisa mengikuti kehendaknya demi kemenangan taruhan. Pada Jaman Reformasi terjadi perubahan besar-besaran dalam proses pemilihan kepala desa. Masyarakat desa sudah mulai terkontaminasi ulah elit politik yang sering menggunakan money politik dalam mencapai tujuan. Desa yang kita harapkan sebagai benteng terakir kerusakan pranata negara, ternyata juga terkontaminasi pragmatisme politik yang tidak kalah parahnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk dapat terpilih menjadi kepala desa didalam pilkades harus dengan biaya ratusan juta rupiah bahkan dibeberapa desa bisa mencapai angka milyaran rupiah. Pada masa ini money politik sudah terjadi secara masiv dan terang-terangan. Selain itu para penjudi/botoh yang taruhan dalam acara pilkades berani tampil terang-terangan seakan-akan negeri ini sudah menjadi rimba raya dengan hukum rimbanya, siapa yang kaya akan menelan yang miskin, yang kuat menerkam yang lemah dan rakyat desa mayoritas mendukung kondisi ini terus menerus terjadi. Akibatnya lambat laun hanya pemodal besar yang bisa duduk sebagai kepala desa, penjudi bisa mengatur seseorang berhasil atau gagal duduk sebagai kepala desa. Putra-putri terbaik desa yang kurang modal tertutup kemungkinanya untuk bisa mengabdi kepada desanya masing-masing. (http://pilkadesgrenden2013.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar