RUMAH gadang di Sumatera Barat adalah rumah ibu, rumah suku, dan rumah adat orang Minangkabau yang mendasari perikehidupan mereka sehari-hari. Sebagai sebuah bangunan, rumah gadang sudah tidak sebanyak di masa lampau.
Namun, sebagai suatu simbol matrilineal dan kekukuhan adat nagari yang berninik mamak, orang-orang Minang masih pulang ke ”rumah gadang”.
Inilah negeri yang membuat tokoh Zainuddin, dalam karangan Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tersiksa lahir batin lantaran cintanya ditolak oleh ninik mamak atau tetua kekasihnya, Hayati. Zainuddin yang merintih, karena merasa anak yang terbuang dan tidak diakui adatnya lantaran bapaknya orang buangan, seolah mengatakan tak ada lelaki semalang dirinya, lelaki berbapak Minang, tetapi tak beribu orang Minang. Karena itu, jika mengikuti aturan kekerabatan merunut garis ibu atau matrilineal, Zainuddin bukan orang Minang. Kepada dirinya pun tak bisa dikenakan adat dan aturan Minang.
Begitu halnya di rumah gadang, setiap lelaki, bahkan anak sendiri, hanyalah ”tamu”. Pada usia balig, anak laki-laki harus tinggal di surau. Ketika beranjak dewasa, ia pun dituntut merantau untuk memperbesar harta pusaka, bekerja, atau menuntut ilmu di luar sukunya, di luar kampungnya. Posisi suami di rumah gadang adalah ”tamu terhormat” atau urang sumando. Oleh Amir MS dalam bukunya yang berjudul Adat Minangkabau (2011), suami diibaratkan abu di ateh tungku atau abu di atas tungku yang sangat lemah kedudukannya sehingga sekali tiup saja beterbanganlah abu itu ke udara.
Kedudukan mamak dalam rumah gadang, yakni kakak atau adik ibu yang laki-laki, sebaliknya sangat kuat meski ia tak berhak mewarisi harta pusaka, seperti tanah dan rumah. ”Sesuai adat, ini semua diwariskan kepada saudara perempuan saya. Selanjutnya, kemenakan perempuan sayalah yang akan mewarisi harta pusaka ini. Saya tak mendapatkan apa-apa. Saya (mamak) berkewajiban mengawasi kemenakan,” kata Mardalis Datuk Itam (61), Wali Nagari Batipuh Baruah, Kabupaten Tanah Datar, Jumat (25/4/2014).
Datuk Itam menunjukkan rumah gadang milik keluarganya, Suku Si Kumbang, yang sudah sembilan generasi ini dihuni. Berada di tepi jalan kampung, rumah gadangnya adalah satu dari tiga rumah gadang di sana. Satu rumah gadang dilengkapi dengan ukiran warna-warni dan dilapisi semen. Satu rumah gadang lainnya adalah milik kerabat Datuk Itam, yang masih satu nenek atau satu suku. Rumah gadang itu, seperti halnya milik keluarga Datuk Itam, terbuat dari kayu dan dinding belakangnya dari anyaman bambu.
Panjang rumah Datuk Itam sekitar 15 meter, terdiri atas lima bilik atau ruangan. Empat bilik itu adalah kamar dan satu bilik di tengah merupakan jalan menuju dapur. Pada bilik tengah terdapat tangga menuju ke lantai atas dan lantai bawah.
Di lantai atas orang bisa berdiri, tetapi terbatas, tidak seperti di ruang bawah. Ruangan lantai atas berbau apak dan agaknya kurang terawat. Di sana terhampar gabah kering yang sebagian rusak karena dimakan tikus. ”Padi itu hasil panen tanah pusaka. Disimpan di sana untuk kebutuhan makan sehari-hari,” tutur Datuk.
Satu tangga lainnya di ruang tengah menjulur ke lantai bawah yang beralas tanah. Lantai bawah itu lapang dan cukup bagi orang untuk berdiri. Lantai itu dimanfaatkan untuk menyimpan perkakas, mesin jahit, dan baju-baju yang disampirkan pada tali jemuran. Kadang kala keluarga juga memasak di situ, yakni saat ada acara adat yang besar, seperti upacara memotong rambut anak, kelahiran, pertemuan keluarga, atau ketika ada kematian. Pada zaman dulu, lantai bawah dimanfaatkan untuk ternak.
Bentuk fisik rumah gadang lainnya di Sumbar tidak jauh berbeda dari milik keluarga Datuk Itam. Ada beberapa ciri yang membedakan rumah gadang dari satu daerah dengan daerah lain, misalnya tangga menuju pintu masuk ke rumah dan ada atau tidaknya anjungan di kanan-kiri rumah. Ada rumah yang pintu masuknya di tengah, seperti milik keluarga Datuk Itam. Namun, seperti ditemui di Kabupaten Limapuluh Kota, rumah-rumah gadang di sana pintu masuknya dari samping kanan atau berdekatan dengan anjungan di sisi kanan.
Sekalipun ada sebagian ciri yang membedakan, makna rumah gadang bagi orang Minang sama: ’rumah bagi perempuan’. Bahkan, ketika banyak generasi muda Minang yang membangun rumah modern, ”sifat rumah gadang” tidak ditinggalkan.
Farianti (45), guru SD yang mewarisi rumah gadang dari ibunya, Halimah (76), di Nagari Tarantang, Kabupaten Limapuluh Kota, misalnya, mendirikan rumah modern di samping rumah gadang. Pintu masuk rumah gadang di anjungan kanan dihubungkan dengan ruang tamu rumah modernnya.
Namun, rumah modern itu tetap akan diwariskan kepada anak perempuan. Adat yang dikandung seperti halnya di dalam rumah gadang masih dipakai. ”Rumah ini milik anak perempuan. Anak lelaki pulang ke rumah istrinya,” kata Farianti.
Bukti kekukuhan adat
Eko Alvares Z, pengajar arsitektur pada Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Bung Hatta, Padang, melihat hal ini sebagai bukti kekukuhan adat matrilineal Minang. ”Ada pepatah berbunyi, ’adat dipakai baru, baju dipakai usang’, yang menunjukkan bekerjanya hal ini. Adat terus dipakai dan diperbarui. Orang Minang sesungguhnya adaptif karena bisa menerima perubahan, tetapi di sisi lain tidak meninggalkan ciri khasnya yang mendasar,” ungkapnya.
Daya lenting adat yang tak lekang oleh waktu dan tak lapuk oleh hujan inilah yang membuat Eko bersemangat membangun kembali rumah gadang. Orang Minang masih pulang ke rumah gadang dalam artian fisik dan maksud filosofisnya sebagai rumah ibu. Bersama dengan kolega dan mahasiswanya, Eko merintis pembangunan kembali lima rumah gadang di Nagari Sumpur, Kabupaten Tanah Datar, yang terbakar Mei 2013.
Banyak rumah gadang di Minang yang kosong ditinggal merantau. Namun, saat Lebaran tiba, orang Minang punya adat pulang basamo, pulang ke rumah gadang, pulang ke rumah ibu, pulang ke nagari asal... (Rini Kustiasih dan Ismail Zakaria/http://travel.kompas.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar