Sabtu, 10 Januari 2015

Kampung Kapitan; Sejarah yang Tidak Boleh Dilupakan


Kota Palembang tidak luput dari jejak persinggahan orang-orang Cina. Hal ini dapat dilihat dari jejak peradaban Tionghoa yang ada di Kampung Kapitan. Dulunya kampung kapitan merupakan sebuah kampung cina yang ada di Palembang. Bukan hanya sebagai pemukiman warga Tionghoa saja, tempat ini memiliki sejarah dan budaya etnis Tionghoa sejak masa Kolonial Belanda.
image
Kali ini saya bersama kiki mengarahkan motor ke arah Kelurahan 7 Ulu, tempat kampung ini berada. Awalnya dari bawah Jembatan Ampera kami langsung mengambil rute lurus dekat anjungan sungai musi di dekat Restoran Kampung Kapitan. Ternyata hanya ada akses untuk pejalan kaki dan tidak ada akses bagi kendaraan dari sana untuk bisa memasuki kampung kapitan sehingga kami kembali memutar arah menuju pasar 7 ulu. Kita juga dapat menggunakan alat transportasi sungai yaitu ketek (perahu khas palembang) untuk menuju kampung kapitan, hanya berjalan kaki kurang dari 300 meter setelah perahu atau ketek bersandar kita bisa sampai di rumah kapitan.
Kecepatan motor kami kurangi dan sempat clingukan sebentar, akhirnya plang menuju kampung kapitan kami temukan, tepat di depan Pegadaian pasar 7 ulu. Setelah menelusuri jalan dan gang-gang yang tidak terlalu lebar kami tiba di depan dua buah bangunan besar yang merupakan  bangunan inti di kampung kapitan tersebut yaitu rumah kapitan.
image
Bangunan ini menghadap ke arah Sungai Musi dan memiliki bentuk yang unik. Bagian atapnya mengadopsi gaya rumah limas adat Palembang, sedangkan bagian dalam rumah syarat dengan gaya dan sentuhan budaya cina.
Kapitan sendiri berarti seorang pemimpin di wilayah tersebut yang dipilih Belanda berdasarkan status ekonomi tertinggi di kampung itu. Dulunya, tugas dari Kapitan antara lain mengurus kependudukan, pernikahan, perceraian, serta pembayaran pajak yang nantinya akan disetor ke kompeni Belanda.
Karena status yang ekslusif, sang kapitan memiliki kawasan tinggal yang berbeda. Rumahnya yang kental dengan gaya Cina namun masih bersentuhan dengan Palembang berdiri tegap dan paling besar di kawasan kampung kapitan.
Terdapat 3 bangunan dengan ukuran lebar kurang lebih 24 meter dan panjang kurang lebih 50 meter. Diantara 3 rumah tersebut, rumah yang terletak ditengah-tengah digunakan untk menyimpan abu keluarga yang meninggal yang disebut perabuan. Hingga saat ini rumah tersebut masih ditunggu oleh keluarga Tjoa generasi ke 13.
Kini penduduk di kampung kapitan tidak lagi 100% Tionghoa, namun suasana etnis Tionghoa masih kami rasakan. Disekitar masih terdapat beberapa lampion dan juga anak-anak bermata sipit yang sedang bermain petasan. Pada saat itu pemilik rumah yang merupakan generasi penerus sedang tidak ditempat, beruntung kami bertemu dengan anak dan penjaga rumahnya yang memperbolehkan kami masuk.
image
Saat memasuki ruang pertama, layaknya sebuah ruang tamu, kami mendapati kursi, meja, foto-foto serta lukisan-lukisan. Menjadi sangat berbeda saat kami melihat foto kapitan ke 10 dengan pakaian dinasnya. Foto tersebut tampak seperti 3 dimensi yaitu sang kapitan akan terlihat selalu menghadap ke arah orang yang memandangnya. Saat kami melihat dari sudut kanan foto, maka sang kapitan memang seolah menghadap ke kanan, begitupun sebaliknya. Selain foto, terdapat pula lukisan sang kapitan yang juga terlihat seperti 3 dimensi. Bedanya pada lukisan, hanya sepatu dan mata kapitan yang bergerak mengikuti arah kita memandang.
image
image
Pada ruangan kedua, terdapat tempat sembahyang. Kami juga diperbolehkan masuk. Dikarenakan tempat sembahyang, maka tempat ini dianggap tempat suci. Kami hanya melihat dan mengambil foto sekedarnya.
image
Disebelah rumah kapitan kami melihat sebuah gedung yang terbuat dari beton dengan kondisi rusak dan tak terpakai. Cerita dari penjaga jika dulunya bangunan ini merupakan tempat sang kapitan menerima tamu-tamu bangsa Belanda yang berkunjung dengan berbagai macam tujuan. Sering pula diadakan pesta tahunan yang tentunya merupakan pesta orang-orang yang berstatus sosial dan ekonomi yang tinggi pada saat itu.
Puas melihat-lihat di dalam rumah kapitan, kami singgah dan bercengkrama dengan salah satu penduduk yang dari ceritanya masih memiliki hubungan kekrabatan dengan keluarga Tjoa. Ia bercerita jika hingga saat ini keluarga Tjoa masih menjaga tradisi antara lain mengadakan sedekah kampung yaitu mengadakan sebuah acara selamatan dengan mengundang dan mengajak masyarakat di kampung Kapitan makan bersama setiap tahunnya.
Kampung ini diperkirakan sudah ada sekitar 325 tahun yang lalu, tidak diketahui secara pasti tepatnya, karena hilangnya buku silsilah yang pertama, yaitu buku silsilah generasi 1-7. Sedangkan yang ada hanya buku silsilah generasi ke 8-12. Kapitan terakhir adalah generasi ke 10 yaitu Tjoa Ham Hin (1850) dan diangkat oleh Belanda pada tahun 1880 sampai beliau wafat pada tahun 1921. Saat ini generasi ke 13 masih ada di tempat ini.
Sebelum kami pulang meninggalkan tempat ini, saya memandang dua bangunan besar yang tentu tersohor di zamannya. Rumah kapitan yang berdinding kayu terlihat tua dimakan zaman dan bangunan beton yang tidak terpakai itu ada dan merekam sejarah. Semoga menjadi tanggung jawab bagi pemerintah dan masyarakat untuk melestarikannya agar tetap terukir dan tidak terlupakan pada era dan masa yang akan datang.

Senang bisa berbagi, semoga bermanfaat
Beta Zuchdi.
(https://betazuchdi.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar