Setelah
Yogyakarta diduduki oleh Militer Belanda pada 19 Desember 1948,
pimpinan TNI memindahkan MBKD (Markas Besar Komando Djawa) keluar kota,
dan system Wehrkreis dilaksanakan. Wehrkreis adalah bahasa Jerman dan
merupakan siasat perang Gerilya dimana tidak ada front yang tetap.
Kabupaten Wonosobo pada garis besarnya menjadi Sub-Wehrkreis dari
SWKS X yang ditempati oleh pasukan T-Ronggolawe. T berarti “Tjadangan”
atau Reserve. Ronggolawe nama divisi IV TNI di Jawa Tengah yang dipimpin
oleh Djenderal Major Djatikusumo.
Pasukan
T-Ronggolawe adalah pasukan TNI yang terdiri dari para pelajar Sekolah
menengah Atas (SMA), berusia 20 – 21 tahun, duduk di kelas 3, hampir
semua menjadi perwira cadangan berpangkat sama dengan Vaandrig yang
telah mempunyai pengalaman tentara selama 4 tahun. Anggota Pasukan T-
Ronggolawe mempunyai pengalaman tempur melawan tentara Jepang di
Semarang –Pertempuran Lima Hari, 15-20 Oktober 1945- juga melawan
tentara Inggris di Ambarawa, dimana terdapat Kamp Interniran Belanda.
Kemudian oleh Djatikusumo mereka ditarik untuk dilatih dalam “Pasoekan
Opsir Tjadangan” di Salatiga.
SETELAH FRONT SEMARANG DAN AMBARAWA
Keputusan
mengadakan Sekolah Opsir Tjadangan di dasarkan atas prakarsa Djenderal
Major Djatikusumo, untuk membentuk satu korps opsir (perwira) cadangan,
yang anggotanya dibentuk dari guru-guru dan pelajar pejuang yang
kebetulan sudah berada dalam jajaran komandonya. Gagasan ini timbul
setelah melihat kenyataan ketika pertempuran-pertempuran di front
Ambarawa dan Semarang, banyak anak pelajar yang gugur. Beliau
berpendapat bahwa sangat di sayangkan para pelajar yang memiliki
kemampuan yang potensial dan merupakan harapan bangsa yang baru
memproklamasikan kemerdekaannya ini, banyak menjadi korban dalam
pertempuran karena hanya berbekal semangat berjuang besar tidak memiliki
pengetahuan strategi pertempuran.
Program
Sekolah Opsir Tjadangan (SOT) di Salatiga merupakan perpaduan antara
pendidikan perwira cadangan dengan pendidikan umum SMP dan SMT, dengan
pemikiran bahwa para pelajar yang menyelesaikan sekolah disini dapat
meneruskan pelajarannya pada sekolah umum apabila keadaan mengijinkan.
Atas
petunjuk Pak Djatikusumo, kurikulum dibuat oleh Bapak Darsono (bekas
kepala sekolah, lulusan Hollands Inlandse Kweekschool yang menjabat
kepala staf intelejen), Bapak Soemarso (Staf Pribadi Panglima Divisi,
eks-CORO) dan Pak Sukamto (eks-PETA). Pelajaran militer dipimpin
langsung oleh Djendral Major Djatikusumo. Sedangkan pelajaran di bidang
pendidikan umum, diberikan oleh guru-guru lain.
Program
militer terdiri dari: strategi, taktik, pengenalan senjata
(wapenkennis), ilmu senjata (wapenleer), dan beberapa latihan kemahiran
lain. Sedangkan program pendidikan umum lebih menekankan pada pelajaran
eksakta. Tentang keinfanterian banyak juga diajarkan. Bagaimana
perlindungan batalyon dalam keadaan bergerak. Susunan spits (cucuk),
pengamanan depan, pengamanan belakang, dan pengamanan samping (flank),
tugas sappeurs (pembuat parit), mineurs (pemasang dan penjinak ranjau),
dan lain sebaginya.
Pada
perundingan Perdana Menteri Sutan Syahrir dengan utusan khusus Inggris,
Lord Killearn, awal 1946 di Jakarta, disepakati Republik Indonesia c,q.
Tentara Republik Indonesia dilibatkan dalam hal pengurusan tawanan
perang dan interniran. Maka sejak itu sekutu tidak akan begitu saja
masuk ke wilayah RI dan mengambil langsung tawanan perang dan interniran
yang berada dalam daerah kedaulatan RI. Dengan adanya pengaturan ini
maka sekutu (Inggris) telah mengakui secara de facto kedaulatan RI dan
keberadaan Tentara Republik Indonesia. Pelajar Sekolah Opsir Tjadangan
ditugaskan membantu RAPWI (Relief/Recovery of Allied Prisoners of War
and Internees) mengangkut kaum perempuan dan anak-anak Belanda dari Kamp
Interniran di Banyubiru ke Lapangan Terbang Panasan di Solo untuk
seterusnya di terbangkan ke Semarang.
Tugas
ini membawa dampak yang baik bagi Negara Republik Indonesia yang baru
berdiri ini. Memperlihatkan kepada dunia luar bahwa Tentara RI adalah
tentara yang teratur dan memiliki prajurit-prajurit yang berdisiplin dan
berkemampuan komunikasi dalam bahasa asing. Belanda yang membonceng
NICA tidak setuju pengangkutan interniran yang di kawal Tentara RI
langsung dari Banyubiru ke Semarang karena harus melalui front yang
sudah mulai di duduki Belanda. Maka routenya dari Banyubiru ke Panasan
Solo kemudian dengan pesawat terbang Inggris di bawa ke Semarang atau
Jakarta.
Berdasarkan
pertimbangan meredanya pertempuran setelah perundingan Linggarjati,
pada penutupan SOT tanggal 8 Juni 1946 Pak Djatikusumo
mengatakan:"sebaiknya kalian meneruskan sekolah dulu". Sesuai dengan
konsepnya, sekolah opsir cadangan ini hanya akan dikerahkan apabila
keadaan memerlukan. Untuk itu mereka sewaktu-wkatu harus siap bila
dipanggil. Dalam keadaan biasa mereka masing-masing harus melanjutkan
dan menyelesaikan pendidikan umum. Pelajar SOT terdiri dari pelajar yang
sekolahnya mulai SMP kelas 3, SMT kelas 1,2, dan 3. Usianya dari 16
tahun sampai 21 tahun. Pada saat lulus pendidikan dibagikan piagam
kelulusan yang ditandatangani oleh Jenderal Mayor Djatikusumo sebagai
Kepala Divisi IV dan diketahui oleh Kepala MBO (Markas Besar Oemoem)
Letnan Jenderal Urip Sumodiharjo. Hasil kelulusan ada yang letnan satu,
letnan dua, sersan, dan yang paling rendah kopral. Yang semula
berpangkat prajurit naik menjadi kopral semua. Walaupun ini pangkat
terendah keluaran SOT, semua senang.
Pada
waktu pelajar SOT mau kembali ke sekolah di salatiga sudah ada SMT
(Sekolah Menengah Tinggi yang kemudian menjadi SMA/Sekolah Menengah
Atas), yaitu SMT Semarang di Salatiga atas prakarsa guru SMT Semarang
yang berada di Salatiga. Guru-gurunya hampir semua dari Semarang yang
sudah dikenal pelajar SOT waktu mereka menjadi pelajar SMP di Semarang
yang kemudian terlibat dalam pertempuran 5 hari dengan Jepang. Karena
itu pelajar SOT praktis hampir semua masuk SMT ini. Setelah sebagian
pelajar SOT lulus SMT di Magelang, maka mereka melanjutkan ke perguruan
tinggi. Disamping kuliah ada pelajar SOT yang kuliah di perguruan tinggi
di Yogya juga bertugas sebagai staf Oemoem III/MBT (Markas Besar
Tentara) di Yogya. Pelajar SOT yang merupakan adik kelas di SMT Magelang
masih dalam proses menyelesaikan pendidikannya di SMT Magelang.
CLASH KE-1
Sewaktu
Belanda menyerang pada tanggal 21 Juli 1947 (Clash ke-1), Panglima
Divisi V Ronggolawe Kolonel Djatikusumo segera memanggil para perwira
cadangannya yang telah di didik dalam SOT 1946 di Salatiga. Panggilan
disiarkan melalui RRI sehingga dapat diterima oleh hampir semua orang
yang berkepentingan. TAnggapan yang spontan dari eks-SOT atas panggilan
melalui radio membuktikan adanya ikatan bathin yang erat dengan Panglima
Divisi Ronggolawe Kolonel Djatikusumo. Kedatangan mereka ke cepu dari
berbagai tempat menyebar dari Magelang, Yogya, Solo, Klaten, Malang dan
sebagainya diatur oleh mereka sendiri tanpa perlu disediakan sarananya
oleh Divisi Ronggolawe.
Satu
Kompi Pasukan T (Tjadangan), memiliki kekhususan karena terdiri dari
para pelajar berpangkat perwira pertama (hak / kewajiban sbg tentara
& biaya pendidikan sekolah ditanggung oleh negara) dan penggunaannya
tidak pernah dalam hubungan satuan, tetapi penugasannya secara kelompok
atau perorangan dgn tugas2 seperti:
a/
Combat Intelligence dengan mengadakan penyusupan ke daerah-daerah
musuh, b/ Counter Combat Intelligence yaitu mengamati mata-mata musuh di
Wilayah Divisi V Ronggolawe, c/Pembinaan Teritorial dan persiapan
perlawanan dan pertahanan rakyat, e/Persiapan Bumi Hangus, d/ Sebagai
Pasukan Tempur Biasa, e/Tugas Liason Officer, antara lain, mendampingi
perwira peninjau yaitu Kolonel Meyers utusan Jenderal Mac Arthur
Panglima USA dalam PD II di Pacific bermarkas di Tokyo, yang meninjau
untuk melihat kekuatan TNI dan membuktikan bahwa Tentara Nasional
Republik Indonesia di dukung oleh rakyat. Kolonel Meyers dengan seorang
Letnan Kolonel dan seorang Mayor Amerika dikirim Pak Urip Sumodihardjo
dari Markas Besar Tentara Yogyakarta ke Wonosari Cepu menemui Kolonel
Djatikusumo. Perwira yang kebetulan berada bersama Kolonel Djatikusumo
saat itu adalah Tjuk Suwondo, Sunario, dan Moh. Said. Maka Kolonel
Meyers minta diantar Perwira Muda untuk pergi ke front, Perwira Senior
tidak boleh ikut. Pada waktu melewati sebuah jembatan yang dijaga oleh
seorang prajurit, Kolonel Meyers mendekati prajurit itu dan bertanya apa
tugasnya. Prajurit itu menjawab untuk menjaga jembatan. Lalu ditanya
lagi apa kerja sebelum jadi tentara. Prajurit itu menjawab "saya hanya
petani biasa". Dan saat ditanya kenapa masuk tentara. Dia menjawab "saya
malu karena kawan-kawan juga masuk tentara untuk membela tanah air,
jadi saya juga ingin ikut membela negara. Kemudian Kolonel Meyers
memeriksa senjata prajurit tersebut baik dalam maupun luarnya, ternyata
sangat bersih terpelihara dan bagian dalam laras terlihat mengkilap
seperti cermin. Utusan Jenderal Mac Arthur Kolonel Meyers akhirnya
memberi keyakinan dan kepastian bahwa adanya Republik Indonesia memang
di kehendaki dan di dukung oleh seluruh rakyatnya bukan bikinan Soekarno
saja dan TNI bukan gerombolan bersenjata liar seperti isue yang
disebarkan Belanda melainkan TNI adalah tentara yang menjaga kedaulatan
Negara Republik Indonesia dan sudah terorganisir dengan baik. Setelah
itu Amerika mulai mendukung Republik Indonesia terutama di forum PBB.
Peranan Inggris (yang membela Belanda) di UNCI (United Nation Commission
for Indonesia) juga beralih ketangan Amerika.
Tugas
di Cepu antara lain, Front Ronggolawe I, daerah pertahanan Surabaya
Barat dan Utara, yang merupakan wilayah Resimen 30 Bojonegoro. Front
Ronggolawe II, daerah Semarang Timur yang termasuk daerah Resimen 28
Pati. Front Ronggolawe I bermarkas di Deket (Lamongan), Front Ronggolawe
II bermarkas di Kudus. Penugasan di daerah Front Ronggolawe II - Demak
dititikberatkan pada tugas combat intelligence dan counter combat
intelligence, yaitu penyusupan ke daerah penduduk yang dikuasai Belanda
dan mengawasi mata-mata musuh yang menyusup ke wilayah Divisi
Ronggolawe. Kegiatan mata-mata musuh ini memang luar biasa aktifnya.
Kelanjutan menyusup ke daerah musuh biasa dilanjutkan dengan bumi
hangus. Disamping itu mereka bertugas pembinaan teritorial dan
pertahanan rakyat.
Saat
itu terjadi pemberontakan PKI-Muso. Dalam menanggulangi pemborantakan
PKI-Muso di daerah Pati, Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto
mengerahkan pasukan siliwangi untuk membantu pasukan teritorial setempat
seperti Batalyon Chris Sudono Brigade Ronggolawe, yang menghadapi
pasukan-pasukan Brigade SS yang memihak PKI-Muso. Pasukan Siliwangi yang
dikerahkan di daerah Pati adalah Brigade 1/Siliwangi pimpinan Letkol
Kusno Utomo dengan dua batalyonnya: Batalyon Kemal Idris dan Batalyon
Kosasih. Batalyon Ahmad Wiranatakusumah dan Batalyon Daeng Mohamad masih
bertugas di daerah Madiun.
Pasukan
Siliwangi bergerak cepat dalam waktu singkat telah membebaskan
kota-kota. Namun karena gerak cepatnya kadang harus direbut ulang kota
yang sudah dibebaskan itu karena pasukan lawan memasuki kota itu kembali
setelah pasukan siliwangi lewat.
Kolonel
Djatikusumo sudah menjadi KSAD, juga bertugas menjamin berjalannya
pemerintahan sipil. Sedangkan Kolonel AH Nasution sebagai Panglima
Komando Djawa memimpin operasi militer. Dibeberapa daerah di Karesidenan
Pati, pemerintahan sipil mengalami kemacetan sebab bupati, camat dan
lurah digorok oleh PKI, atau melarikan diri menghindari bahaya maut.
Dalam keadaan vakum pemerintahan sipil, maka Pasukan T ditugaskan
berfungsi sebagai, bupati militer, wedana militer, camat militer dan
sebagainya.
Kolonel
GPH Djatikusumo KSAD bekas Panglima Divisi V Ronggolawe segera
memanggil Pasukan T dan diperintahkan menuju Purwodadi dan daerah Pati,
dengan tugas: 1). Diperbantukan kepada pasukan siliwangi (Brigade Kusno
Utomo) untuk fungsi-fungsi liaison dengan rakyat dan pasukan daerah. 2).
Diperbantukan kepada komando teritorial untuk fungsi pemulihan
pemerintahan dan pembinaan teritorial, yang meliputi kegiatan operasi
intelejen, operasi teritorial, bahkan fungsi yang kemudian dikenal
dengan dwi fungsi ABRI.
Pada
suatu pagi anggota Pasukan T dikumpulkan di suatu lapangan dekat hotel
merdeka untuk mendapat penjelasan tentang tugas dari Kapten Arie Supit
seorang perwira dari Brigade Kusno Utomo yang diperbantukan pada Mayor
Kemal Idris. Dalam garis besarnya dijelaskan, anggota Pasukan T akan
dijadikan Wedana Militer pada kewedanan-kewedanan di daerah pati dengan
tugas: 1) mendampingi pemerintah sipil dan berusaha merehabilitasinya
setelah dilumpuhkan oleh pihak PKI 2) Pasifikasi daerah masing-masing
dari sisa-sisa PKI 3) Untuk tugas pasifikasi pada masing-masing wedana
militer akan diperbantukan satu pasukan tentara dari brigade Slamet
Sudiarto untuk pembinaan kembali akibat korban PKI.
Anggota
Pasukan T menganalisis tugas itu sebagai berikut: 1) mendampingi Pak
Wedana dalam melaksanakan tugas pemerintahan sipil agar mendapat
kewibawaan dan kepercayaan rakyat kembali 2) mengadakan patroli-patroli
pembersihan desa-desa yang termasuk wilayah kewadenaan masing-masing
untuk mencari orang yang terlibat gerakan PKI, mencari senjata-senjata
yang disimpan atau disembunyikan PKI, memelihara keamanan wilayah
kewadenaan masing-masing dan mengaktifkan pemerintahan atau pamong desa
3) menginterogasi orang-orang yang terlibat gerakan PKI dan meneliti
laporan-laporan yang masuk dari masyarakat kepada kawedanaan tempat
mereka bertugas 4)mengembalikan hak milik rakyat yang telah diambil PKI
5) mengembalikan ketenangan masyarakat dengan memberikan
penerangan-penerangan kepada rakyat tentang keadaan keamanan di daerah
yang telah dikuasai kembali oleh Pemerintah RI yang sah 6) menganjurkan
agar masyarakat kembali melaksanakan tugasnya masing-masing agar roda
perekonomian pulih kembali.
Djatmiko
dan Hari Bawono ditugaskan di Kabupaten Babat dan ditampung di Kodim
Barat. Sediono dan Hardijono bertugas di Kawedanan Sukodadi. Lettu
Adiwoso sebagai Bupati Militer di Kabupaten Pati. Kawedanan Juwana
ditugaskan Hadi Cahyono dan Sampurno. Wedana Khrisnamurti dan Wakilnya
Subari menjadi Wedana Militer Tayu. Di Kawedanan Jakenan ditugaskan
Pramono dan Waluyo Wijoyokusumo.
Pada
saat tugas pemerintahan sipil, anggota Pasukan T Ronggolawe yang masih
SMA dianggap oleh rakyat di daerah mereka bertugas sebagai mahasiswa.
Rakyat percaya "Tentara tapi kan Mahasiswa". Karena keyakinan rakyat
demikian para tentara yang masih SMA diam saja dan bertingkah seperti
mahasiswa. Pada waktu itu mahasiswa belum banyak di daerah tugas Pasukan
T Jawa Timur. Di Kawedanan Baureno yang bertugas menjadi wedana militer
adalah Djatmiko dan Haribawono yang masih SMA. Mereka berdua berhasil
mendamaikan perselisihan Bapak Wedana Baureno dengan Ketua Pondok
Pesantren disitu yang juga laskar Hizbullah. Hampir saja terjadi
kekerasan. Mereka berdua menjelaskan sistem ketatanegaraan Indonesia
sehingga akhirnya tercapai perdamaian. Kedua anggota Pasukan T ini
berhasil menyelesaikan tugasnya atas bantuan faktor psikologis predikat
"mahasiswa" yang diperoleh dari masyarakat. Juga di Kawedanan Sukodadi
dimana Hardijono dan Sediono bertugas. Pada hari pertama bertugas
sesudah makan siang dihidangi sosok mayat petani korban bacokan dalam
perebutan air untuk pengairan sawah. Di Kawedanan Sukadadi terjadi
persaingan yang meruncing antara laskar Hizbullah dan Pesindo. Oleh
Pasukan T keduanya dikumpulkan dilatih pertahanan rakyat, perang
gerilya, dan pembuatan bom molotov. Persengketaan dilupakan mereka rukun
kembali dan bersatu siap menghadapi musuh bersama yaitu Belanda.
Malam
harinya saat acara pesta rakyat, salah satu acaranya, Sampurno (Pung)
dari Pasukan T Ronggolawe menari gatotkaca dihadapan penduduk yang
berjubel lengkap dengan gamelan pengiring dan pakaian yang entah
diusahkan dari mana. Kesan rakyat sangat baik terhadap Pasukan T
Ronggolawe yang sedang bertugas operasi pembinaan teritorial.
Pada
tahun 1947 pangkat Panglima Divisi diturunkan dari Djenderal Major
menjadi Kolonel termasuk Djatikusumo. Pada waktu itu tidak ada pangkat
Brigadir Jenderal. Divisi IV menjadi Divisi V Ronggolawe. Kemudian tahun
1948 Kolonel GPH Djatikusumo diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan
Darat (KSAD). Maka Pasukan T mulai saat itu secara organik langsung
berada di bawah Komando KSAD dan resmi dinamakan Pasukan T SAD (Pasukan
Tjadangan Staf Angkatan Darat). Semua kesatuan tentara pelajar di
gabungkan ke dalam Brigade XVII/TP kecuali Pasukan T. Hal ini adalah
karena kebijakan Kolonel GPH Djatikusumo sendiri yang selalu mengikuti
dan mengawasi sendiri perkembangan para perwira cadangan yang beliau
bentuk dalam Sekolah Opsir Tjadangan di Salatiga dan di lanjutkan
pembinaannya di Cepu selama bertugas di Divisi Ronggolawe. Beliau
memahami bahwa para pelajar itu sebagian besar tidak akan memililih
berkarier sebagai tentara, namun mereka tetap bertekad besar turut dalam
perjuangan fisik bangsanya, sementara tenaganya sangat di perlukan
dalam tugas-tugas operasional maupun teritorial. Setiap ada kesempatan
untuk belajar, mereka diberikan kesempatan untuk meneruskan pendidikan,
bahkan diperintahkan untuk sekolah, tetapi pada saat diperlukan, mereka
di panggil kembali (Pendidikan yang diselingi penugasan tempur)
KEMBALI KE SEKOLAH SETELAH CLASH KE-1
Setelah
Perjanjian Renville yang mengakhiri Clash ke-1 dan TNI mengatasi
pemberontakan PKI-Muso, oleh Kolonel Djatikusumo (KSAD) Pasukan T
Ronggolawe diberangkatkan dari Cepu ke Magelang untuk mengikuti sekolah
menengah atas peralihan Magelang yang berlokasi di Gedung Biara
(Klooaster), dekat alun-alun. Mereka berkumpul bersama tentara pelajar
dari Semarang, Pati, Kedu Selatan, Purwokerto, Pekalongan dan Siliwangi.
CLASH KE-2
Setelah
dikonfirmasi bahwa Yoyakarta di serang Belanda, segera semua berkumpul
di Asrama, baik Pasukan T, maupun TP Purwokerto, TP Semarang, TP
Siliwangi. Masing-masing berkonsolidasi dan menentukan rencana
berikutnya. Sebagian besar Pasukan T duduk di kelas 2 SMA peralihan,
sehingga terhitung tanggal 20 Desember 1948, mereka telah naik ke kelas 3
SMA. Pasukan T yang berada dibawah perintah SAD (Staf Angkatan Darat)
masih tetap tinggal di kota Magelang untuk kemungkinan datangnya
perintah khusus dari Yogyakarta dalam hal ini KSAD Kolonel Djatikusumo.
Saat itu anggota Pasukan T yang merupakan pelajar SMA Peralihan Magelang
dan juga bergabung beberapa pelajar SMA Negeri Magelang terkumpul
sekitar 60 orang. Karena tidak ada hubungan dengan Pusat Pemerintahan di
Yogyakarta, maka Pasukan T segera mempersiapkan perang gerilya keluar
kota Magelang.
Perlengkapan persenjataan yang berhasil di kumpulkan yang diberikan atau ditinggalkan oleh tentara dan polisi, yaitu:
18 senapan steyr/hembrug manlicher kaliber 6,5 mm (Senapan tua KNIL),
17 senapan arisaka, kaliber 7,7 mm (.303),
3 senapan eddystone kaliber 7,7 mm (.3303),
3 senapan LE (Lee Enfield), kaliber 7,7 mm (.303)
1 senapan springfield, kaliber .30
2 pistol mitrailiur schemeiser kaliber 9 mm
1 senapan beaumont kaliber 0.5 (senapan berburu) dengan 6 peluru
beberapa peti dan tas peluru, berbagai kaliber
1 tekidanto (mortir 5 cm Jepang) dengan 10 granat
beberapa senjata pribadi seperti pistol jenis luger, mauser dan nambu dan revolver colt 38
beberapa peti granat gombyok (granat bikinan yogya)
rata-rata untuk senapan tersebut tersedia kurang lebih 200 peluru/pucuk.
Untuk sumbangan logistik dan lainnya diperoleh dari keluarga-keluarga di Magelang.
Pasukan
T sudah siap lagi, kali ini tidak dalam penugasan-penugasan pribadi
tetapi dalam kesatuan tempur (Combat Unit). Semangat dan suasana
mengingatkan kembali pada tahun 1945/1946 di front Semarang Barat
(Pertempuran 5 hari dengan Jepang), dan tahun 1947 di front Ronggolawe-2
(Demak). Perbedaannya sebelumnya satuan tempur Pasukan T bertempur
secara organik melekat pada induknya yaitu Divisi V Ronggolawe,
sedangkan sekaran Pasukan T SAD di Magelang merupakan satuan yang
berdiri sendiri. Kecuali Letda (Letnan Dua) Sudharmono (Komandan),
semuanya sekarang sudah berpangkat Letnan Muda. Beberapa minggu
sebelumnya mereka masih bertugas secara individual di daerah Pati,
sebagai wedana militer, staf teritorial dan sebagainya. Beberapa hari
sebelumnya mereka masih sekolah di SMA Peralihan Magelang yang aman
tenteram. Sekarang mnereka menjadi pasukan tentara yang siap untuk
berperang dan melaksanakan pengamanan umum yang mendadak berubah
suasananya.
Pasukan
T sejak embrio dan lahirnya telah dibesarkan dalam kondisi lingkungan
perjuangan yang relatif aman dan kemudian dididik serta dilatih untuk
perkembangan situasi perang yang mencekam.
Pemerintah
Daerah Magelang dan Pasukan Angkatan Darat dari Divisi Diponegoro sudah
jauh hari mempersiapkan rencana-rencana untuk menghadapi keadaan
darurat. Segera evakuasi badan-badan pemerintah pusat dan daerah yang
ada di kota Magelang di jalankan. Menjelang tahun 1949 atas perintah
Gubernur Militer III (Divisi Diponegoro), Pasukan T berfungsi sebagai
pasukan pelindung mendekati jalur yang mendekati kota magelang, perintah
ini merupakan pembebasan dari keragu-raguan yang selama ini
menggantung. Dengan perintah ini jelas bahwa Pasukan T tetap tinggal di
daerah Sumbing.
Kehidupan
Tentara Pelajar tidak mudah, di gunung Sumbing yang suhunya dingin
mereka kerap tidur dikandang kerbau yang agak hangat. Makanan mereka
disiapkan oleh dapur umum. Didaerah yang tidak ada beras mereka makan
jagung. Di sebuah desa tempat mereka berhenti, berhari-hari lamanya tak
ada garam, ayam atau kambing, tapi karena lapar, apa saja makanan yang
disuguhkan terasa enak. Kemudian Pasukan T bepindah-pindah tempat
melakukan penghadangan terhadap konvoi Belanda dan melakukan penyerangan
Markas Belanda di sekitar Wonosobo.
Dengan
basis di Marongsari, daerah sasaran Pasukan T adalah jalan besar
Wonosobo-Banjarnegara, ruas Wonosobo-Leksono. Selama tiga bulan
dijalankan aksi penembakan konvoi di jalan besar Tunggoro-Wonosobo
dengan tempat-tempat penghadangan sawangan, leksono, krasak, dan
selomerto. Beberapa kali Pasukan T ke dalam kota Wonosobo pada malam
hari dan sekali untuk menyerang Asrama Alegemeene Politie tetapi gagal.
Pada masa ini hubungan dengan pasukan lain dalam sektor SWKS X semakin
akbrab. Semua aksi yang dijalankan di jalan raya saat itu dilakukan
dengan formasi yang sama. Lini pertama ditempati Pasukan T dan Lini
kedua ditempati Kompi Kapten Gatot Suwagio (kemudian hari dikenal
sebagai Ketua Umum KONI) dengan mitraliur berat dari satuan Peltu Husein
Senaprawira (kemudian hari menjadi Wagub Jabar) sebagai penyangga.
Daerah
Operasi Pasukan T kemudian berpindah ke daerah Kreteg dan Sapuran. Di
daerah itu selain Pasukan T ada pasukan Stafdekking Gubernur Militer III
dibawah pimpinan Lettu Suhardi dan pasukan artileri yang dipimpin Peltu
Husein Senaprawira. Selain itu SWKS X diperkuat dengan Kompi Sukarno
dari batalyon Bintoro, yang sebelumnya beroperasi di lereng timur Gunung
Sindoro. Sektor Mayor Bintoro adalah daerah sekitar Parakan, Temanggung
dan Candiroto.
Aksi
yang dilakukan Pasukan T di Kreteg dan jalan Kreteg-Sapuran dilakukan
bersama dengan kompi Sukarno seperti penembakan pada patroli KL
(Koninklijke Landmacht - Angkatan Darat Belanda yang terdiri atas
Prajurit Wajib Militer) di kedalon setengah perjalanan Kerteg-Sapuran.
Suatu
hari Letnan Muda Aman Soejitno dari Pasukan T bersama Lettu Suhadi dari
kompi staffdeckking Gubernur Militer III, menaiki puncak bukit di atas
banaran, dianggap perlu untuk mencari tempat pertahanan yang sesuai yang
lebih tinggi untuk melindungi pasukan-pasukan TNI. Lettu Suhadi dan Lmd
Aman Soejitno menemukan tempat yang cocok untuk pandangan luas pada
prapatan jalan banaran. Mitraliur dipasang dan bidang tembaknya sudah
pas. Sekonyong terjadi tanda bahaya patroli KL dari Sapuran menuju
Banaran. Langsung anggota pasukan disiapkan ditempatkan di atas bukit
diatas jalan dari arah simpang tiga dari Banaran. Jebakan telah siap
tinggal menunggu. Pasukan KL langsung masuk jebakan suatu killing ground
yang sudah disiapkan. Tembakan-tembakan pertama secara tepat mengenai
sasaran. Baris depan patroli KL dihancurkan. Meskipun pihak Belanda kuat
persenjataannya (Brennya bukan main banyaknya), tetapi pasukan TNI kali
ini memiliki keunggulan medan. Pasukan TNI tidak melakukan serbuan
karena posisi bertahan yang sulit menyerang kebawah. Setelah pertempuran
berdarah berlangsung pendek itu, pasukan KL mundur ke Sapuran dengan
membawa serta yang meninggal dan cedera. Belanda menjebol pintu rumah di
gunakan sebagai brancard untuk mengangkut korban.
Di
banaran tampak bekas-bekas darah, juga ditemukan beberapa sepatu dan
helm yang ditembus peluru. Meskipun bersukaria sukses memukul mundur
pasukan KL, anggota Pasukan T waktu melihat helm yang tertembus peluru
tersentak diam. Di dalam hati, bagaimana sedihnya orang di rumah yang
dikasihi prajurit yang mati ini. Bukankah masing-masing juga ada orang
yang dikasihi di rumah?
Selang beberapa minggu 11 rumah habis dibakar patroli KL di Marongsari dekat bantaran. SEBAGAI BALASAN.
Di
desa-desa dimana anggota Pasukan T sering menetap dalam waktu lama
seperti di Marongsari, Bumitirto, dan kembaran sehingga terjadilah
ikatan keluarga, anggota Pasukan T dengan orang tua asuh mereka. Anggota
Pasukan T diperlakukan seperti anak sendiri.
Ketika
mereka pulang dari suatu operasi badan dan pakaian biasanya berlumpur.
Karena kelelahan tidur tergeletak di balai-balai. Ketika bangun biasanya
telah tersedia semangkuk kopi panas harum baunya, dengan gula batu atau
gula aren secara terpisah. Tempat mereka tidur dirapikan dan di
bereskan untuk ditempati lagi. Memang tidak dapat diungkapkan betapa
kebaikan penduduk kepada Pasukan T, dimana mereka mau membagi miliknya
yang tidak seberapa.
Anggota
Pasukan T SAD beroperasi di daerah Magelang - Wonosobo selama Clash
ke-2. Berdiri ketiga dari kanan adalah Letda Sudharmono, Komandan
Pasukan T SAD.
Pasukan
T SAD berjuang terus sampai akhirnya tiba saat diberlakukan gencatan
senjata antara Tentara Belanda dengan TNI. 9 Agustus 1949 jam 24:00
genjatan senjata mulai di berlakukan. Pasukan T ditunjuk sebagai perwira
penghubung dengan pihak belanda di Wonosobo untuk mempersiapkan
perundingan karena anggotanya menguasai bahasa belanda dan mengenal
daerahnya.Perwira yang ditugaskan adalah Khrisnamurti (diberi pangkat
lokal Letnan Dua) dan Hermawan (diberi pangkat lokal Sersan). Tugas
sebagai Perwira Penghubung tidak mudah karena tanpa alat Komunikasi.
Dalam perundingan di Wonosobo Pihak Republik Indonesia di wakili oleh
Letkol Sarbini Komandan Sub Teritorial Commando. Untuk menemukan Letkol
Sarbini dalam dua hari adalah mission impossible tanpa radio. Namun pada
saat seperti itu sistem WEHRKRIES menunjukan keandalannya. Letkol
Sarbini dan staf hadir di tempat perundingan tepat pada waktunya. Dalam
perundingan dibicarakan bahwa pasukan belanda harus ditarik dari
kabupaten wonosobo. Perundingan serah terima wonosobo dilakukan dengan
Mayor Kardjono selaku komando distrik militer yang saat itu bertindak
sebagai komandan dari SWKS X. Urusan Pemerintahan ditangani oleh Pak
Sumendro Bupati Wonosobo. Maka proses pergantian pasukan mulai
dilaksanakan.
Hubungan
TNI dengan Belanda pada tingkat pimpinan tidak ada masalah, tapi
hubungan antar pasukan tampak kaku. Pihak Belanda masih kurang puas.
Sekalipun sebagai pemenang Pasukan T ingin bergaul dengan Belanda tapi
suasananya kaku. Letda Khrisnamurti mengalami, sewaktu di kamar hotel ia
didatangi Kapten Belanda, tampak sombong sekali ia duduk dihadapannya
kaki diselonjorkan di atas meja. Setelah pembicaraan basa basi, Kris
bertanya mengapa waktu peperangan di Kawengan disamping Belanda merusak
rumah Penduduk juga merampas kuda milik penduduk yang merupakan sarana
transportasi satu-satunya di daerah tersebut. Si Kapten berdiam diri dan
perlahan kakinya diturunkan dengan muka merah menahan malu dan ia pun
lalu pergi.
Kemudian
Kolonel GPH Djatikusumo dari Yogyakarta menginstuksikan agar anggota
Pasukan T eks SOT (Sekolah Opsir Tjadangan) bergabung kembali ke unit
Angkatan Darat, sedangkan mereka yang berasal dari pelajar non SOT di
salurkan ke staf Brigade XVII. Pasukan T kemudian berangkat ke Yogya,
disana para anggota eks SOT di perintahkan untuk menyelesaikan
pendidikan perwira di Akademi Militer dan pindah ke Beteng, anggota
lainnya di tugaskan sebagai staf dekking pada staf Brigade XVII,
diterima oleh Komandan Brigade XVII Letkol Kusno Utomo, di tempatkan di
Asrama Gondokusumo No. 2, diposisikan di seksi V atau Verkenner yang
artinya Pengintai.
SETELAH CLASH KE-2
Pak
Djatikusumo memang orang yang tidak bekerja setengah-setengah. Apa yang
dimulai akan dituntaskan. Pendidikan Opsir Cadangan semula direncanakan
18 bulan, menurut beliau belum selesai. Sebagian dari anak didiknya
masih berpangkat letnan muda. Karena itu kelompok Pasukan T yang masih
berpangkat letnan muda itu di masukan ke MA Yogya untuk menyelesaikan
semester akhir pendidikannya sebagai perwira cadangan. Kelompok ini
menamatkan pendidikannya pada Januari 1950 dan Maret 1950 dilantik
sebagai Letnan Dua di Jakarta. Kemudian mendapat penugasan yang
tersebar. Ada yang di polisi militer, ada yang zeni, perhubungan,
infanteri, kesenjataan dan lainnya. Praktis pada tahun 1951 semua telah
menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya. Ada yang melanjutkan
pendidikannya di bidang militer, maupun ke perguruan tinggi dengan
berbagai disiplin ilmu, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Dengan demikian maka Pasukan T dengan atau tanpa atribut mulai tahun
1950 keberadaannya sebagai satuan tidak ada lagi. Pak Djatikusumo
mengungkapkan pembentukan opsir cadangan yang semula direncanakan hanya
untuk selama 18 bulan, akhirnya menjadi 60 bulan lamanya dari Oktober
1945 di front Semarang sampai di Beteng Vrendenburg Yogya dan dilantik
di Jakarta pada bulan Maret 1950. Pak Djatikusumo mengatakan: "Yang
mestinya merupakan kursus 18 bulan, menjadi 60 bulan lamanya, sixty
months, all-in. Setelah tahun 1950, Pasukan T menjadi nama legendaris
dan diharapkan juga historis. Para anggotanya tersebar di segala bidang
perjuangan. Menengok kembali dan melihat hasilnya, boleh kita katakan:
"It was worthwhile to fight for and to live for".
Sekelumit
kisah perjuangan Tentara Pelajar yang tergabung dalam T-Ronggolawe
dapat dibaca dalam buku berjudul “Met de TNI op stap – De laatste
patrouille van het vergeten leger” (Dengan TNI melangkah – Patroli
terkahir tentara yang dilupakan), karangan Anton P. De Graaf, terbitan
1991. Buku ini di bahasa Indonesiakan oleh S. Hertini Adiwoso, isteri
Peppy Adiwoso, berjudul Napak Tilas Tentara Belanda dengan TNI (1997).
Pada
1949, Penulis Anton P. De Graaf berperan juga sebagai Wajib Militer
Belanda (KL - Koninklijke Landmacht - Angkatan Darat Belanda yang
terdiri atas Prajurit Wajib Militer) yang dikirim ke Indonesia dan
berhadapan dengan TNI di Jawa Tengah. Ketika itu pemerintah Belanda
mengirimkan tentara sebanyak 125.000 personel dengan persenjataan
lengkap dan mutakhir untuk menghancurkan Republik Indonesia. Tapi
sia-sia, tidak berhasil. Kurang lebih 2.500 serdadu Belanda tewas (Yang
ditinggalkan di Indonesia), tapi sang Penulis selamat pulang ke Belanda
dengan mengenang trauma perang yang mengerikan. Dalam buku pertamanya De
Heren Worden Bedankt ia mengisahkan jalan antara Kreteg dan Sapuran
sebagai jalan maut.
AGRESI MILITER BELANDA
Tentara kerajaan: 120.000 tentara
Kerajaan Hindia Belanda (KNIL): 70.000 prajurit
Angkatan Laut: 15.000 prajurit
Pada
27 Desember 1949 konflik diakhiri dengan pengakuan Belanda terhadap
kemerdekaan Indonesia. Ada hampir 6.000 tentara dalam pelayanan Kerajaan
telah tewas. Lebih dari 150.000 tentara kembali ke Belanda, dan/atau
menetap di Indonesia. (http://s-kisah.blogspot.com)
Sumber :
1. Petite historie Indonesia (karya Rosihan Anwar, terbitan 2005);
2. Met de TNI op stap – De laatste patrouille van het vergeten leger” (Anton P. De Graaf, terbitan 1991);
3. Hoort Gij die donder niet (Dr. Daniel Van Der Moullen, terbitan 1977)
4. http://forum.detik.com/showthread.php?t=52350&page=11
5.
Pasukan T Ronggolawe, Perjalanan Sejarah Sekelompok Pemuda Pelajar
Semarang, Himpunan Pas T Ronggolawe, Pustaka Sinar Harapan Jakarta 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar