Nama
Sengkuni di Indonesia, kerapkali dikonotasikan dengan kelicikan,
kebejatan moral, hasut, dan lain-lain. Akhir-akhir ini pun, entah siapa
yang memulai, nama Sengkuni dipakai lagi di panggung politik, untuk
menyerang orang-orang yang berperilaku licik dan hasut dalam politik.
Hal
ini sebenarnya banyak dipengaruhi oleh penggambaran karakter dalam
pewayangan Jawa. Semua karakter digambarkan serba hitam putih. Di satu
sisi, digambarkan ada karakter baik tanpa cela, yang walaupun berbuat
kesalahan, tetap dipuja karena tujuan dari perbuatannya adalah baik. Di
sisi lain, ada karakter jahat, yang selalu digambarkan salah, walaupun
dia berperang dengan etika perang yang benar, tetap saja digambarkan
salah.
Begitulah
kelemahan pewayangan Jawa, lebih mengutamakan hasil akhir ketimbang
proses. Hal ini di sisi lain juga menimbulkan kecenderungan untuk
melakukan tindakan menghalalkan segala cara, yang penting menang.
Karakter
Sengkuni dalam pewayangan Jawa digambarkan sebagai seorang penghasut
yang memicu perang besar sesama keturunan dinasti kuru, yang terkenal
dengan nama Bharata Yuda.
Siapa
saja yang dihasut Sengkuni? Pertama, adalah Destrata/Dhritarashtra,
putra tertua dinasti kuru saat itu, yang seharusnya dinobatkan menjadi
raja, tetapi tidak jadi, karena memiliki cacat fisik, yaitu
kebutaan/tidak bisa melihat.
Sengkuni
kemudian menghasut Destarata, mengatakan bahwa seharusnya ialah
(Destarata) yang layak jadi raja, karena dia merupakan putra tertua
dinasti Kuru. Perpecahan pun terjadi antar saudara, antara Destarata dan
Pandu.
Orang
kedua, yang dihasut oleh Sengkuni adalah Duryodana, yang merupakan
Putra tertua Destarata dan istrinya, Gandhari. Dari kecil, Sengkuni
menanamkan kebencian pada Duryodana terhadap keturunan Pandu. Beragam
tipu daya dilakukan oleh Duryodana dan saudara-saudaranya untuk
melenyapkan para putra Pandu, yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula,
dan Sadewa.
Tapi
sebenarnya, dari semua tindakan “negatif” Sengkuni ini, mungkin hanya
segelintir orang Indonesia umumnya, atau Jawa khususnya, yang paham
mengapa ia (Sengkuni) berbuat seperti ini. Ini semua dikarenakan
ketidaklengkapan penceritaan kisah Mahabharata oleh para narator
pewayangan Jawa. Sehingga rakyat kebanyakan hanya paham versi hitam
putih dari Mahabharata, padahal dalam versi asli India, boleh dikata,
semua karakter tidak sepenuhnya baik, begitu pula sebaliknya, tidak ada
karakter yang seratus persen jahat. Semua abu-abu sifatnya, seperti
halnya semua manusia.
Sengkuni
atau Shakuni, adalah seorang Pangeran Gandhara (sekarang Afghanistan),
Kerajaan Gandhara pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Hastinapura, dalam
sebuah operasi militer. Pasca penaklukkan ini, seluruh laki-laki
Gandhara dipenjara, dan mereka hanya diberi makan sebutir beras perhari,
untuk tiap-tiap orangnya. Karena semua laki-laki Gandhara yang ditahan
menyepakati bahwa satu orang harus hidup untuk membalaskan dendam
mereka, maka seluruh butir beras yang mereka terima diberikan pada
Sengkuni. Tujuannya adalah supaya Sengkuni menuntaskan dendam rakyat
Gandhara terhadap Hastinapura.
Ayah
Sengkuni, yaitu Raja Subala akhirnya mengaku takluk pada Hastinapura,
hal yang kemudian membuat seluruh laki-laki yang dipenjara dan masih
hidup, dibebaskan. Walaupun demikian, dendam Gandhara terhadap
Hastinapura belumlah tuntas. Sengkuni sebagai sang pembalas dendam
tersebut, juga merasa dihinakan oleh lamaran pernikahan Hastinapura
terhadap adiknya, Gandhari. Ia merasa terhina, karena yang melamar
adalah kerajaan yang pernah menyengsarakan dan membunuh rakyatnya.
Karena itulah Sengkuni bersumpah untuk menghancurkan klan Bhisma (tetua
Hastinapura), atau wangsa kuru, yang memerintah Hastinapura. Karena
tidak punya pasukan yang cukup kuat untuk menaklukkan balatentara
Hastinapura, maka Sengkuni memilih menghancurkan dengan operasi senyap.
Perang
Bharata Yuda, sebenarnya adalah hasil dari operasi senyap Sengkuni,
untuk menghancurkan wangsa kuru yang dibencinya. Perang saudara ini
kemudian menimbulkan banyak korban jiwa dari wangsa kuru. Walaupun
Sengkuni akhirnya terbunuh, tetapi tujuannya untuk menghancurkan wangsa
Kuru, hampir sepenuhnya berhasil. Praktis hanya segelintir wangsa Kuru
yang bertahan hidup pasca perang Bharata Yuda.
Bagaimana
dengan Kresna? Dalam plot kisah Mahabharata, karakter Kresna ini adalah
titisan Dewa Wisnu. Tugasnya adalah untuk memerangi “angkara
murka/kejahatan”, seperti halnya Sengkuni, Kresna atau Krishna juga
berasal dari bangsa yang tertindas. Perbedaannya kalau bangsa, Sengkuni
(Gandhara) dijajah bangsa luar, sementara bangsa Kresna, yaitu wangsa
Yadawa, ditindas oleh Tiran yang berasal dari bangsa sendiri, seperti
Indonesia di bawah kekuasaan diktator Soeharto dan orde barunya.
Tiran
yang menindas wangsa Yadawa itu adalah Kansa, Kansa ini merupakan
saudara laki-laki dari ibu, Kresna, yang bernama Dewaki. Dewaki ini
adalah putri dari Raja Ugrasena yang merupakan raja Kerajaan wangsa
Yadawa, yaitu Mathura (Mandura). Kansa, kemudian mengkudeta ayahnya
sendiri, dan mengangkat dirinya sebagai raja Kerajaan Mathura. Karena
takut akan prediksi bahwa ia (Kansa) akan dibunuh oleh keturunan ke-8,
Dewaki dan suaminya, Wasudewa, maka Kansa memenjarakan Dewaki dan
Wasudewa. Selanjutnya, Kansa membunuhi enam anak Dewaki dan Wasudewa,
sementara anak yang ketujuh, secara gaib ditransfer ke rahim Rohini,
istri pertama, Wasudewa. Anak yang ketujuh ini kemudian lahir dengan
nama Balarama (Baladewa). Kresna, yang merupakan keturunan ke-8,
kemudian diselundupkan oleh ayahnya, Wasudewa, ke luar sel. Kresna
kemudian dibesarkan oleh pasangan suami istri, Nanda dan Yasoda.
Setelah
dewasa, duet Kresna dan Balarama ini kemudian berhasil menghabisi nyawa
Kansa, dan mengembalikan tahta kerajaan Mathura pada raja sebelumnya,
yaitu Ugrasena. Dalam perkembangan berikutnya, Kresna kemudian
mendirikan kerajaan baru yang bernama Dwaraka, ia juga membawa serta
wangsa Yadawa ke kerajaan baru tersebut.
Kresna
memiliki kedekatan dengan para pandawa, karena ia (Kresna) adalah
sepupu mereka (para pandawa). Sepanjang persahabatannya dengan para
pandawa ini, Kresna melakukan tindakan yang kurang lebih sama dengan
Sengkuni.
Sebagai
seorang titisan Dewa Wisnu, Kresna dikisahkan sudah paham bahwa perang
besar akan terjadi. Oleh karena itu, sikapnya kemudian bukanlah mencegah
perang itu, sebaliknya ia berusaha untuk menyingkirkan musuh-musuh para
pandawa, dengan operasi senyap maupun dengan tipu daya terang-terangan.
Salah
satu contoh tipu daya Kresna, adalah usahanya untuk memperdayai Guru
Dorna, dengan cara membuat Yudhistira, karakter terjujur dalam kisah
Mahabharata, untuk berbohong pada gurunya ini. Jadi ketika perang tengah
memanas, dan pihak kurawa yang dipimpin oleh Dorna sebagai panglima
perang, berhasil memorak-morandakan pasukan pandawa.
Dorna
dengan kesaktiannya, memang tak mungkin dikalahkan, bahkan oleh Arjuna,
sang jago panah sekalipun. Kresna kemudian membuat skenario kebohongan,
Bima disuruh membunuh seekor gajah yang bernama sama dengan anak Dorna,
Aswatama. Kemudian setelah membunuh gajah tersebut Bima berteriak
keras-keras pada Dorna bahwa ia telah membunuh Aswatama. Karena tidak
mau percaya begitu saja, maka Dorna bertanya kepada orang yang dia
anggap paling jujur, yaitu Yudhistira, putra tertua Pandu. Yudhistira
kemudian dengan sangat berat hati, terpaksa berbohong pada gurunya itu.
Dorna yang sangat mempercayai kata-kata Yudhistira, kemudian kehilangan
semangat, dan akhirnya dibunuh dengan mudah oleh Drestajumena.
Tidak
hanya itu saja, pada perang hari terakhir, yaitu duel gada antara Bima
dan Duryodana. Duryodana yang dianugerahi ilmu kebal oleh Gandhari,
ibunya, ternyata tidak mempan dipukuli berkali-kali oleh Bima dengan
gadanya. Gandhari yang bersumpah untuk menutup matanya sebagai rasa
solidaritas terhadap suaminya, dianugerahi kesaktian oleh Dewa Siwa.
Dengan matanya, Gandhari bisa membuat semua bagian tubuh yang
dipandanginya menjadi kebal dari berbagai senjata. Hanya saja, Duryodana
yang malu bagian vitalnya dipandang oleh ibunya sendiri, ternyata
menutupi area sekitar pahanya.
Karena itu, bagian sekitar paha tersebut, menjadi tidak kebal.
Akan
tetapi, berdasarkan etika perang gada, bagian paha tersebut, tidak
boleh dipukuli. Barang siapa yang memukuli bagian itu, maka dianggap
kalah. Kresna yang memahami hal itu, kemudian membuat isyarat supaya
Bima memukuli paha Duryodana dengan gada, sebagai perwujudan sumpahnya
(Bima) untuk mematahkan paha Duryodana. Balarama, kakak Kresna, yang
berjiwa ksatria, tidak terima dan marah besar melihat hal itu. Baginya
kemenangan Bima tidak sah, karena melanggar etika perang gada.
Usaha
Kresna yang paling terkenal, untuk merealisasikan perang Bharata Yuda,
adalah “petuah”nya pada Arjuna, yang tengah galau, karena tidak mau
memerangi saudara-saudaranya sendiri. Petuah Kresna terhadap Arjuna,
sebelum perang besar ini, terkenal dengan nama Bhagawat Gita. Isi petuah
itu intinya adalah supaya Arjuna tidak ragu melakukan tugasnya, untuk
memerangi kubu kurawa.
Kutukan
Gandhari, yang melihat bahwa Kresna tidak berusaha mengakhiri perang,
membuat Kresna dan wangsa Yadawa musnah dengan cara mengenaskan. Kutukan
Gandhari ini merupakan karma bagi semua muslihat dan tipu daya yang
dilakukan oleh Kresna. Kresna kemudian meninggal karena terkena panah
nyasar seorang pemburu, sementara wangsa Yadawa musnah akibat saling
bunuh.
Itulah
sekelumit kisah dua karakter dalam epik Mahabharata. Keduanya memiliki
persamaan dan perbedaan. Persamaan utama antara Sengkuni dan Kresna,
adalah metode muslihat dan tipu daya yang digunakan oleh keduanya untuk
menghancurkan musuh.
Sayang
sekali, persamaan ini kurang begitu dipahami oleh orang Indonesia
umumnya, atau orang Jawa khususnya. Hal ini terlihat pada pemberian nama
anak pada masyarakat Jawa. Orang Indonesia, atau orang Jawa lebih
senang menamai anaknya dengan nama Kresna, karena menganggap bahwa
Kresna adalah titisan Wisnu, yang sakti mandraguna, dan membela pandawa
yang dianggap baik. Belum ada yang menyadari, atau minimal berusaha
menyadari bahwa Sengkuni dan Kresna adalah setali tiga uang dalam
penggunaan metode muslihat dan tipu daya untuk mengalahkan musuh.
Hal
inilah yang kemudian mendorong para politisi atau beberapa orang yang
memiliki kepentingan politik, untuk memberi stigma “Sengkuni” pada
lawan-lawan politiknya. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasikan
musuhnya sebagai “kubu hitam” atau kubu jahat yang harus dimusnahkan.
Padahal Kresna, sebenarnya juga kurang lebih sama liciknya dengan
Sengkuni.
Untuk
seluruh rakyat Indonesia, berhentilah memandang suatu figur/tokoh
secara hitam putih. Karena karakter hitam putih itu hanya ada dalam
dongeng murahan. Tidak ada tokoh yang sepenuhnya hitam, sebaliknya tidak
ada tokoh putih seratus persen. Semua manusia itu pada dasarnya
abu-abu.
Pola
pikir yang memandang figur/tokoh dengan sudut pandang hitam putih ini
hanyalah membuat bangsa Indonesia dengan mudah untuk bersimpati pada
tokoh yang dianggap baik atau dizalimi. Padahal di sisi lain, mungkin
saja tokoh tersebut sebenarnya memiliki rencana yang luar biasa jahat.
Yang
membedakan manusia atau kelompok satu dan lainnya adalah keberpihakan,
baik itu keberpihakan pada kaum tertindas, maupun penindas. Keberpihakan
tersebut bisa terlihat dari kesesuaian antara kata dan perbuatan.
Tujuan seorang tokoh atau suatu kelompok terlihat dari program-program
ekonomi politik yang disampaikannya, dan kebijakan-kebijakan ekonomi
politik yang dikeluarkan, sebagai perwujudan program-program tersebut.
Jangan
mudah terjebak dengan figur merakyat, yang tidak pernah menjelaskan
tujuan dan program politiknya, padahal pada kenyataannya, sang tokoh
tersebut, tidak memenuhi janji-janji surga tentang ekonomi politik yang
telah disampaikannya sebelumnya. (http://tikusmerah.com)
*) Penulis adalah pengacar Etika Politik di Universitas 17 Agustus 1975 Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar