Minggu, 08 Februari 2015

Sengkuni dan Kresna

Oleh: Harsa Permata*)
Nama Sengkuni di Indonesia, kerapkali dikonotasikan dengan kelicikan, kebejatan moral, hasut, dan lain-lain. Akhir-akhir ini pun, entah siapa yang memulai, nama Sengkuni dipakai lagi di panggung politik, untuk menyerang orang-orang yang berperilaku licik dan hasut dalam politik.
Hal ini sebenarnya banyak dipengaruhi oleh penggambaran karakter dalam pewayangan Jawa. Semua karakter digambarkan serba hitam putih. Di satu sisi, digambarkan ada karakter baik tanpa cela, yang walaupun berbuat kesalahan, tetap dipuja karena tujuan dari perbuatannya adalah baik. Di sisi lain, ada karakter jahat, yang selalu digambarkan salah, walaupun dia berperang dengan etika perang yang benar, tetap saja digambarkan salah.
Begitulah kelemahan pewayangan Jawa, lebih mengutamakan hasil akhir ketimbang proses. Hal ini di sisi lain juga menimbulkan kecenderungan untuk melakukan tindakan menghalalkan segala cara, yang penting menang.
Karakter Sengkuni dalam pewayangan Jawa digambarkan sebagai seorang penghasut yang memicu perang besar sesama keturunan dinasti kuru, yang terkenal dengan nama Bharata Yuda.
Siapa saja yang dihasut Sengkuni? Pertama, adalah Destrata/Dhritarashtra, putra tertua dinasti kuru saat itu, yang seharusnya dinobatkan menjadi raja, tetapi tidak jadi, karena memiliki cacat fisik, yaitu kebutaan/tidak bisa melihat.
Sengkuni kemudian menghasut Destarata, mengatakan bahwa seharusnya ialah (Destarata) yang layak jadi raja, karena dia merupakan putra tertua dinasti Kuru. Perpecahan pun terjadi antar saudara, antara Destarata dan Pandu.
Orang kedua, yang dihasut oleh Sengkuni adalah Duryodana, yang merupakan Putra tertua Destarata dan istrinya, Gandhari. Dari kecil, Sengkuni menanamkan kebencian pada Duryodana terhadap keturunan Pandu. Beragam tipu daya dilakukan oleh Duryodana dan saudara-saudaranya untuk melenyapkan para putra Pandu, yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.
Tapi sebenarnya, dari semua tindakan “negatif” Sengkuni ini, mungkin hanya segelintir orang Indonesia umumnya, atau Jawa khususnya, yang paham mengapa ia (Sengkuni) berbuat seperti ini. Ini semua dikarenakan ketidaklengkapan penceritaan kisah Mahabharata oleh para narator pewayangan Jawa. Sehingga rakyat kebanyakan hanya paham versi hitam putih dari Mahabharata, padahal dalam versi asli India, boleh dikata, semua karakter tidak sepenuhnya baik, begitu pula sebaliknya, tidak ada karakter yang seratus persen jahat. Semua abu-abu sifatnya, seperti halnya semua manusia.
Sengkuni atau Shakuni, adalah seorang Pangeran Gandhara (sekarang Afghanistan), Kerajaan Gandhara pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Hastinapura, dalam sebuah operasi militer. Pasca penaklukkan ini, seluruh laki-laki Gandhara dipenjara, dan mereka hanya diberi makan sebutir beras perhari, untuk tiap-tiap orangnya. Karena semua laki-laki Gandhara yang ditahan menyepakati bahwa satu orang harus hidup untuk membalaskan dendam mereka, maka seluruh butir beras yang mereka terima diberikan pada Sengkuni. Tujuannya adalah supaya Sengkuni menuntaskan dendam rakyat Gandhara terhadap Hastinapura.
Ayah Sengkuni, yaitu Raja Subala akhirnya mengaku takluk pada Hastinapura, hal yang kemudian membuat seluruh laki-laki yang dipenjara dan masih hidup, dibebaskan. Walaupun demikian, dendam Gandhara terhadap Hastinapura belumlah tuntas. Sengkuni sebagai sang pembalas dendam tersebut, juga merasa dihinakan oleh lamaran pernikahan Hastinapura terhadap adiknya, Gandhari. Ia merasa terhina, karena yang melamar adalah kerajaan yang pernah menyengsarakan dan membunuh rakyatnya. Karena itulah Sengkuni bersumpah untuk menghancurkan klan Bhisma (tetua Hastinapura), atau wangsa kuru, yang memerintah Hastinapura. Karena tidak punya pasukan yang cukup kuat untuk menaklukkan balatentara Hastinapura, maka Sengkuni memilih menghancurkan dengan operasi senyap.
Perang Bharata Yuda, sebenarnya adalah hasil dari operasi senyap Sengkuni, untuk menghancurkan wangsa kuru yang dibencinya. Perang saudara ini kemudian menimbulkan banyak korban jiwa dari wangsa kuru. Walaupun Sengkuni akhirnya terbunuh, tetapi tujuannya untuk menghancurkan wangsa Kuru, hampir sepenuhnya berhasil. Praktis hanya segelintir wangsa Kuru yang bertahan hidup pasca perang Bharata Yuda.
Bagaimana dengan Kresna? Dalam plot kisah Mahabharata, karakter Kresna ini adalah titisan Dewa Wisnu. Tugasnya adalah untuk memerangi “angkara murka/kejahatan”, seperti halnya Sengkuni, Kresna atau Krishna juga berasal dari bangsa yang tertindas. Perbedaannya kalau bangsa, Sengkuni (Gandhara) dijajah bangsa luar, sementara bangsa Kresna, yaitu wangsa Yadawa, ditindas oleh Tiran yang berasal dari bangsa sendiri, seperti Indonesia di bawah kekuasaan diktator Soeharto dan orde barunya.
Tiran yang menindas wangsa Yadawa itu adalah Kansa, Kansa ini merupakan saudara laki-laki dari ibu, Kresna, yang bernama Dewaki. Dewaki ini adalah putri dari Raja Ugrasena yang merupakan raja Kerajaan wangsa Yadawa, yaitu Mathura (Mandura). Kansa, kemudian mengkudeta ayahnya sendiri, dan mengangkat dirinya sebagai raja Kerajaan Mathura. Karena takut akan prediksi bahwa ia (Kansa) akan dibunuh oleh keturunan ke-8, Dewaki dan suaminya, Wasudewa, maka Kansa memenjarakan Dewaki dan Wasudewa. Selanjutnya, Kansa membunuhi enam anak Dewaki dan Wasudewa, sementara anak yang ketujuh, secara gaib ditransfer ke rahim Rohini, istri pertama, Wasudewa. Anak yang ketujuh ini kemudian lahir dengan nama Balarama (Baladewa). Kresna, yang merupakan keturunan ke-8, kemudian diselundupkan oleh ayahnya, Wasudewa, ke luar sel. Kresna kemudian dibesarkan oleh pasangan suami istri, Nanda dan Yasoda.
Setelah dewasa, duet Kresna dan Balarama ini kemudian berhasil menghabisi nyawa Kansa, dan mengembalikan tahta kerajaan Mathura pada raja sebelumnya, yaitu Ugrasena. Dalam perkembangan berikutnya, Kresna kemudian mendirikan kerajaan baru yang bernama Dwaraka, ia juga membawa serta wangsa Yadawa ke kerajaan baru tersebut.
Kresna memiliki kedekatan dengan para pandawa, karena ia (Kresna) adalah sepupu mereka (para pandawa). Sepanjang persahabatannya dengan para pandawa ini, Kresna melakukan tindakan yang kurang lebih sama dengan Sengkuni.
Sebagai seorang titisan Dewa Wisnu, Kresna dikisahkan sudah paham bahwa perang besar akan terjadi. Oleh karena itu, sikapnya kemudian bukanlah mencegah perang itu, sebaliknya ia berusaha untuk menyingkirkan musuh-musuh para pandawa, dengan operasi senyap maupun dengan tipu daya terang-terangan.
Salah satu contoh tipu daya Kresna, adalah usahanya untuk memperdayai Guru Dorna, dengan cara membuat Yudhistira, karakter terjujur dalam kisah Mahabharata, untuk berbohong pada gurunya ini. Jadi ketika perang tengah memanas, dan pihak kurawa yang dipimpin oleh Dorna sebagai panglima perang, berhasil memorak-morandakan pasukan pandawa.
Dorna dengan kesaktiannya, memang tak mungkin dikalahkan, bahkan oleh Arjuna, sang jago panah sekalipun. Kresna kemudian membuat skenario kebohongan, Bima disuruh membunuh seekor gajah yang bernama sama dengan anak Dorna, Aswatama. Kemudian setelah membunuh gajah tersebut Bima berteriak keras-keras pada Dorna bahwa ia telah membunuh Aswatama. Karena tidak mau percaya begitu saja, maka Dorna bertanya kepada orang yang dia anggap paling jujur, yaitu Yudhistira, putra tertua Pandu. Yudhistira kemudian dengan sangat berat hati, terpaksa berbohong pada gurunya itu. Dorna yang sangat mempercayai kata-kata Yudhistira, kemudian kehilangan semangat, dan akhirnya dibunuh dengan mudah oleh Drestajumena.
Tidak hanya itu saja, pada perang hari terakhir, yaitu duel gada antara Bima dan Duryodana. Duryodana yang dianugerahi ilmu kebal oleh Gandhari, ibunya, ternyata tidak mempan dipukuli berkali-kali oleh Bima dengan gadanya. Gandhari yang bersumpah untuk menutup matanya sebagai rasa solidaritas terhadap suaminya, dianugerahi kesaktian oleh Dewa Siwa. Dengan matanya, Gandhari bisa membuat semua bagian tubuh yang dipandanginya menjadi kebal dari berbagai senjata. Hanya saja, Duryodana yang malu bagian vitalnya dipandang oleh ibunya sendiri, ternyata menutupi area sekitar pahanya.
Karena itu, bagian sekitar paha tersebut, menjadi tidak kebal.
Akan tetapi, berdasarkan etika perang gada, bagian paha tersebut, tidak boleh dipukuli. Barang siapa yang memukuli bagian itu, maka dianggap kalah. Kresna yang memahami hal itu, kemudian membuat isyarat supaya Bima memukuli paha Duryodana dengan gada, sebagai perwujudan sumpahnya (Bima) untuk mematahkan paha Duryodana. Balarama, kakak Kresna, yang berjiwa ksatria, tidak terima dan marah besar melihat hal itu. Baginya kemenangan Bima tidak sah, karena melanggar etika perang gada.
Usaha Kresna yang paling terkenal, untuk merealisasikan perang Bharata Yuda, adalah “petuah”nya pada Arjuna, yang tengah galau, karena tidak mau memerangi saudara-saudaranya sendiri. Petuah Kresna terhadap Arjuna, sebelum perang besar ini, terkenal dengan nama Bhagawat Gita. Isi petuah itu intinya adalah supaya Arjuna tidak ragu melakukan tugasnya, untuk memerangi kubu kurawa.
Kutukan Gandhari, yang melihat bahwa Kresna tidak berusaha mengakhiri perang, membuat Kresna dan wangsa Yadawa musnah dengan cara mengenaskan. Kutukan Gandhari ini merupakan karma bagi semua muslihat dan tipu daya yang dilakukan oleh Kresna. Kresna kemudian meninggal karena terkena panah nyasar seorang pemburu, sementara wangsa Yadawa musnah akibat saling bunuh.
Itulah sekelumit kisah dua karakter dalam epik Mahabharata. Keduanya memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan utama antara Sengkuni dan Kresna, adalah metode muslihat dan tipu daya yang digunakan oleh keduanya untuk menghancurkan musuh.
Sayang sekali, persamaan ini kurang begitu dipahami oleh orang Indonesia umumnya, atau orang Jawa khususnya. Hal ini terlihat pada pemberian nama anak pada masyarakat Jawa. Orang Indonesia, atau orang Jawa lebih senang menamai anaknya dengan nama Kresna, karena menganggap bahwa Kresna adalah titisan Wisnu, yang sakti mandraguna, dan membela pandawa yang dianggap baik. Belum ada yang menyadari, atau minimal berusaha menyadari bahwa Sengkuni dan Kresna adalah setali tiga uang dalam penggunaan metode muslihat dan tipu daya untuk mengalahkan musuh.
Hal inilah yang kemudian mendorong para politisi atau beberapa orang yang memiliki kepentingan politik, untuk memberi stigma “Sengkuni” pada lawan-lawan politiknya. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasikan musuhnya sebagai “kubu hitam” atau kubu jahat yang harus dimusnahkan. Padahal Kresna, sebenarnya juga kurang lebih sama liciknya dengan Sengkuni.
Untuk seluruh rakyat Indonesia, berhentilah memandang suatu figur/tokoh secara hitam putih. Karena karakter hitam putih itu hanya ada dalam dongeng murahan. Tidak ada tokoh yang sepenuhnya hitam, sebaliknya tidak ada tokoh putih seratus persen. Semua manusia itu pada dasarnya abu-abu.
Pola pikir yang memandang figur/tokoh dengan sudut pandang hitam putih ini hanyalah membuat bangsa Indonesia dengan mudah untuk bersimpati pada tokoh yang dianggap baik atau dizalimi. Padahal di sisi lain, mungkin saja tokoh tersebut sebenarnya memiliki rencana yang luar biasa jahat.
Yang membedakan manusia atau kelompok satu dan lainnya adalah keberpihakan, baik itu keberpihakan pada kaum tertindas, maupun penindas. Keberpihakan tersebut bisa terlihat dari kesesuaian antara kata dan perbuatan. Tujuan seorang tokoh atau suatu kelompok terlihat dari program-program ekonomi politik yang disampaikannya, dan kebijakan-kebijakan ekonomi politik yang dikeluarkan, sebagai perwujudan program-program tersebut.
Jangan mudah terjebak dengan figur merakyat, yang tidak pernah menjelaskan tujuan dan program politiknya, padahal pada kenyataannya, sang tokoh tersebut, tidak memenuhi janji-janji surga tentang ekonomi politik yang telah disampaikannya sebelumnya. (http://tikusmerah.com)
*) Penulis adalah pengacar Etika Politik di Universitas 17 Agustus 1975 Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar