Kini Tinggal di Desa, Isi Hari Tua dengan Berjualan Rokok Eceran
Saat Jalani Hukuman, Istri Direbut Teman Sendiri
TABRAKAN maut KA Argo Bromo Anggrek dengan KA Senja Utama di Stasiun
Petarukan, Pemalang, Jawa Tengah, Sabtu lalu mengingatkan masyarakat
akan peristiwa semacam pada 1987. Saat itu, 19 Oktober 1987, KA 225
(Rangkasbitung-Jakarta Kota) yang dimasinisi Slamet Suradio bertabrakan
secara frontal dengan KA 220 (Tanah Abang-Merak) di kawasan Bintaro,
Tangerang.
Akibatnya, 156 orang tewas mengenaskan dan sekitar 300 korban lain
mengalami luka-luka. Tragedi Bintaro itu dinilai sebagai kecelakaan
terburuk dalam sejarah perkeretaapian Indonesia.
Slamet lalu ditetapkan sebagai salah seorang tersangka dalam insiden
tersebut. Dia akhirnya divonis lima tahun penjara. Dia dianggap
bersalah. Selain Slamet menjalani hukuman di balik terali besi, karir
sebagai masinis langsung mandek. Dia diberhentikan dari pekerjaan itu.
Setelah menuntaskan hukuman, dia memilih pulang ke kampung halaman di
Purworejo.
Slamet kini tinggal di sebuah rumah sederhana di Dusun Krajan Kidul, RT
02/RW 02 Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo. Dia
menghabiskan sisa hidupnya dalam kemiskinan dengan berjualan rokok
eceran di rumah itu.
"Hingga kini saya masih sering trauma dan miris jika mendengar kabar
kecelakaan kereta api. Sebagai mantan masinis, saya bisa membayangkan
apa yang dirasakan oleh seorang masinis yang mendapatkan musibah hebat
seperti itu," kenang dia.
Saat ditemui Radar Jogja (Grup JPNN) di rumah tersebut, lelaki lanjut
usia itu masih mampu mengingat dengan jelas detail tragedi Bintaro yang
melibatkan dirinya. Slamet mengisahkan, tragedi Bintaro terjadi Senin
Pon, 19 Oktober 1987, pukul 07.30. Saat kejadian, Slamet berada di
lokomotif KRD 225.
Di depannya, di rel yang sama, muncul KA 220 yang melaju dari Tanah
Abang menuju Merak. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh Slamet saat
maut berada di depan matanya. Dia hanya mampu mengucapkan
astagfirullahaladzim berulang-ulang sambil mencoba sekuat tenaga
mengerem dan membunyikan "klakson" kereta.
Slamet baru tersadar ketika sudah berada di ruang ICU RS Kramat Jati
dengan luka-luka di sekujur tubuh. Kaki kanannya patah. Kulit pinggulnya
sobek. Selain itu, semua giginya rontok gara-gara terhantam handle rem
kereta. Begitu tabrakan terjadi, tubuh Slamet terlempar hingga belakang
jok masinis.
"Saya melihat sinyal aman ketika memasuki halte Pondok Bitung. Namun,
secara bersamaan, dari arah berlawanan tiba-tiba muncul KA 220, lalu
derrr...! Tabrakan maut itu tidak bisa terhindarkan," tutur dia.
Kecepatan kereta yang dikemudikan oleh Slamet saat itu sekitar 40
km/jam. "Saya langsung tidak sadar dengan luka-luka di banyak bagian.
Saya baru sadar ketika berada di rumah sakit," ungkap pria yang pernah
tercatat sebagai pegawai negeri sipil dengan NIP 120033237 itu.
Selaku mantan masinis, Slamet secara gamblang bisa membayangkan apa yang
dirasakan oleh masinis KA Argo Bromo Anggrek M. Halik Rusdianto, yang
bernasib serupa dengannya. "Dalam setiap kecelakaan KA, masinis selalu
menjadi kambing hitam utama. Pertimbangannya, perannya sangat vital.
Saya yakin bahwa Pak Halik pasti mendapatkan interogasi panjang setelah
kejadian," tuturnya.
Untuk itu, Slamet berpesan kepada Halik untuk menceritakan apa adanya.
"Setahu saya, seorang masinis baru menjalankan kereta atau memasuki
stasiun ketika ada sinyal aman dari petugas pemberitahuan tentang
persilangan (PTP)," tambah dia.
"Jika itu yang terjadi di Petarukan, Pemalang, secara pribadi saya tidak
terima kalau masinis dikambinghitamkan. Jika diminta menjadi saksi ahli
dalam sidang nanti, saya bersedia," ungkap bapak yang ke mana-mana
selalu membawa surat-surat penting kenangannya selama menjadi masinis
dan dokumen proses peradilan yang menjadikannya terdakwa dalam tragedi
Bintaro itu.
Tak Mudah Cari Rumah Slamet
MENCARI Slamet Suradio di Purworejo memang tidak mudah. Radar Jogja
(Grup JPNN) tak punya alamat detail rumahnya. Bahkan, nama masinis yang
pernah menggemparkan Indonesia itu tidak terdata di PT KA (Kereta Api)
Kutoarjo.
Petugas di Stasiun Besar Kutoarjo malah terkejut saat diberita tahu
bahwa masinis KA 225 (Rangkasbitung-Jakarta) yang terlibat tabrakan
dengan KA 220 (Tanah Abang-Merak) dan menewaskan 156 orang itu tinggal
di Purworejo.
Alamat Slamet akhirnya ditemukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kabupaten Purworejo. Slamet Suradio tercatat sebagai warga RT 01, RW
02, Dusun Krajan Kidul, Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Purworejo.
Saat didatangi di rumahnya Senin (4/10), laki-laki yang oleh warga
sekitar lebih akrab disapa Slamet Bintaro itu sedang tidak ada. Rumahnya
sepi. Tetangganya memberi tahu bahwa Slamet sedang berjualan rokok
keliling di perempatan besar dekat BRI Cabang Kutoarjo (bukan berjualan
rokok di rumah seperti diberitakan kemarin, Red).
Tapi, ketika pangkalan Slamet didatangi, bapak tiga anak itu ternyata
sudah pergi. "Wong, barusan dia di sini. Mungkin masih di sekitar sini
saja," kata seorang tukang becak.
"Lha itu" orang yang pakai baju biru berjalan ke timur. Ya, itu Slamet
Bintaro," tambah si tukang becak sambil menunjuk ke arah pria gaek yang
berjalan sambil membawa kotak rokok di dadanya.
Slamet yang mengenakan baju biru lusuh dan topi biru berjalan di trotoar
dengan tertatih-tatih. Di pundaknya tergantung tas berisi beberapa
bungkus rokok yang dijual keliling. Dia kaget ketika disapa dengan nama
"Slamet Bintaro".
Namun, setelah diajak makan di sebuah warung, dengan antusias Slamet
menceritakan tragedi kecelakaan kereta yang terjadi pada Senin Pon, 19
Oktober 1987, pukul 07.30 tersebut. Tabrakan frontal dua KA itu dianggap
sebagai kecelakaan terburuk dalam sejarah perkeretaapian Indonesia.
Selain menewaskan 156 orang, tabrakan tersebut melukai sekitar 300
penumpang lainnya.
Dalam kasus itu, Slamet akhirnya dihukum lima tahun penjara. Begitu
bebas dari Lapas Cipinang pada 1993, Slamet masih boleh ngantor, meski
hanya disuruh apel pagi. Namun, pada 1994, dia diberhentikan dengan
tidak hormat. Secara otomatis dia tidak mendapatkan uang pensiun.
Padahal, Slamet mulai mengabdi di PJKA (kini PT KA, Red) sejak 1964 dan
mulai 1971 menjadi masinis.
"Pengabdian saya selama puluhan tahun seperti tidak berarti," ujar suami
Tuginem, 45, itu dengan nada kelu. Tuginem merupakan istri kedua
Slamet. Istri pertamanya, Kasmi, kimpoi lagi dengan masinis kawan Slamet
ketika laki-laki berkulit hitam legam itu menjalani hukuman di Lapas
Cipinang.
Slamet kemudian membongkar isi tas cangklongnya. Selain rokok, ternyata
Slamet ke mana-mana membawa "surat-surat penting" yang menjadi saksi
bisu pengabdian dirinya sebagai masinis. Di antaranya, surat tanda
pengenal masinis dan surat pemberhentian dirinya oleh Kementerian
Perhubungan.
Dia tampak terluka. Selain merasa menjadi kambing hitam dalam tragedi
Bintaro, dia mendapatkan tekanan dari mana-mana. Dia menjalani
pemeriksaan yang melelahkan dan membuatnya stres.
Dia juga tiga kali pindah rumah sakit saat menjalani pengobatan
luka-luka akibat kecelakaan itu. Pertama, dia dirawat di RS Pelni
Jakarta. Namun, lantaran mendapat teror dari massa "korban Bintaro",
Slamet kemudian diamankan dan dipindahkan ke RS Cipto Mangunkusumo,
sebelum dipindah lagi ke RS Kramat Jati.
Di ICU RS Kramat Jati, Slamet dirawat tiga bulan. Selama menjalani
perawatan itu, dia masih sering dimintai keterangan oleh aparat
kepolisian. "Bahkan, saya pernah diinterograsi dengan todongan pistol
agar mengakui apa yang tidak saya lakukan. Namun, saya tetap kukuh
karena saya menjalankan kereta setelah mendapat sinyal aman ketika masuk
Bintaro. Saya sempat bilang, tembak saja Pak. Saya rela mati karena
saya merasa tidak melakukan kesalahan," paparnya mengenang.
Meski demikian, Slamet Bintaro tetap menjadi terdakwa. Jaksa penuntut
umum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat itu menuntut Slamet
dengan hukuman 14 tahun penjara. Namun, hakim menjatuhi hukuman 5 tahun
penjara.
Setelah bebas dari Lapas Cipinang, Slamet Bintaro pulang ke kampung
halaman, menemani istrinya yang bekerja sebagai buruh dan perajin
emping. Slamet memilih berprofesi menjadi pengasong rokok keliling untuk
mengisi hari-harinya.
Di perempatan BRI Kutoarjo yang letaknya tidak jauh dari Stasiun
Kutoarjo, saban hari dia dia menghabiskan waktu bersama para tukang
becak dan tukang ojek yang mangkal di situ.
"Yang penting, pekerjaan saya halal. Saya tidak mencuri dan korupsi,"
tutur Slamet yang sehari rata-rata hanya mendapatkan penghasilan sekitar
Rp 5.000. (*/c6/ari)
Sumber dari http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5505249
Tidak ada komentar:
Posting Komentar