Dewasa
ini, Klaten sedang giat-giatnya mempercantik kota. Misalnya, dalam
penataan sebuah kawasan, agar lebih memiliki nilai seni, maka
dibangunlah sebuah patung. Harapannya pembangunan sebuah patung tidak
hanya menyenangkan secara visual (sedap di mata), namun juga mampu
memberi pengaruh pada kehidupan. Misalnya menjadi sebuah identitas
wilayah ketika orang berkunjung di Klaten.
Salah
satunya patung Ki Narto Sabdo. Patung yang terletak di jantung kota
Klaten ini menimbulkan kontroversi. Polemik tentang “pantas tidaknya”
patung fullbody yang menggantikan patung dada dalang kondang era 80-an ini semakin meruncing.
Ki
Manteb Sudharsono pun ikut berkomentar. Sebagai seniman dari
Karanganyar namun paham tentang sosok empu dalang Nartosabdo, karena
pernah bertahun-tahun menjadi cantrik Ki Nartosabdo. Ia merasa sakit
hati saat melihat patung Nartosabdo yang sekarang dipajang di Monumen,
karena sama sekali tidak mencerminkan sosok Ki Nartosabdo. Untuk itu,
pihaknya minta agar patung tersebut segera disingkirkan. Ki Manteb
menyatakan siap iuran, jika seniman Klaten akan membuat patung baru.
Sementara
itu, kartunis senior GM Sudarta pun juga ikut berkomentar. Menurutnya,
detail patung itu dinilai tidak mewakili Ki Narto Sabdo semasa hidupnya.
“Patung itu tidak mirip sosok Ki Narto Sabdo. Sikap Ki Narto pada
patung itu menyerupai abdi dalem. Pembuat patung juga terlalu memaksakan
dengan mengenakan kain lurik pada tubuh Ki Narto Sabdo. Padahal semasa
hidup beliau tak pernah memakai lurik, tapi biasa memakai beskap. Dia
juga tak pernah memakai batik motif parang,” tandas GM Sudarta mewakili
Paguyuban Senirupawan Klaten.
Sedangkan,
tujuh pematung Seniman Merdeka bermarkas di Sanggar Seni Lima Benua di
Desa Belangwetan, Klaten Utara selaku pembuat patung menyatakan,
pihaknya telah melakukan penelitian sebelum membuat patung Ki Narto
Sabdho. Mereka telah melakukan penelitian dua bulan sebelum
melaksanakannya.
Menurut Humas Seniman Merdeka, Hari Purnama, adanya kesalahan pandang,
pihaknya membuat patung bukan merenovasi monumen. Pihaknya melihat foto
dan mencari rekomendasi tentang sosok yang mirip. “Ada tujuh patung yang
kami buat, beberapa diantaranya setengah badan, namun itu ayng dipilih
oleh pihak yang memberi kami pekerjaan,” ungkap Hari Purnama.Lebih lanjut dia menjelaskan, foto-foto lama Ki Nato Sabdho dikumpulkan dan diolah untuk mendapatkan gambaran paling sesuai. Pihaknya juga melihat patung dalang yang ada di Semarang dan TMII. Setelah muncul polemik tersebut, pihaknya sudah mendatangi seniman yang mengeluhkan karyanya. Dia menyatakan, sebenarnya pihaknya sebagai seniman hanya diminta membuat patung, bukan membuat monumen. Antara patung dan monumen itu yang menjadi salah paham, dan pihaknya telah mengupayakan jalan yang disebut rekonsiliasi seniman.
“Kami hanya pihak pelaksana dari pengguna anggaran (PT Tetrako),” tandas Hari Purnama.
Jika
merunut lebih dalam, ada perbedaan pemahaman tentang patung dan
monumen. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Patung memiliki
arti, “tiruan bentuk orang, hewan, dsb dibuat (dipahat dsb) dr batu, kayu, dsb.” Sedangkan Monumen, “bangunan atau tempat yg mempunyai nilai sejarah yang penting dan karena itu dipelihara dan dilindungi negara.”
Menurut
penulis, tidak hanya patung Ki Narto Sabdo saja yang menimbulkan
polemik. Pembangunan patung orang sedang membatik dengan Alat Tenun
Bukan Mesin (ATBM) di lokasi bekas Tugu Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari),
juga sarat kontroversi. Dengan dalih memperindah kota, pemkab Klaten
melupakan sejarah. Selain dua patung tersebut, pemkab Klaten juga telah
merampungkan pemugaran trotoar yang ada di sepanjang jalan Pemuda.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan, penguasa (baca: pemkab Klaten) sedang membentuk
memori kolektif yang diinginkan dengan mengkondisikan atau membangun
ruang publik. Selain itu, penguasa beserta pihak yang berkepentingan
juga ikut dalam melepaskan ingatan masyarakat. Dengan demikian, ruang
publik tidak hanya sebagai tempat pembentukan memori kolektif, tetapi
juga sebagai tempat pembentukan wacana lupa.
Akhir kata penulis meminjam istilahnya Abidin Kusno, arsitek sekaligus penulis buku, yang mengatakan, “ruang publik menjadi ruang yang aktif mengontrol dan membentuk kesadaran masyarakat. Dimana
ruang publik tidak pernah bebas dari pemaknaan oleh berbagai pihak yang
mengisi ruang tersebut. Ruang publik yang diisi dan dihiasi dengan
berbagai benda, monumen, bangunan, pengumuman, spanduk, pagar, tembok,
dan sebagainya melahirkan pemaknaan yang membentuk persepsi, pengalaman,
dan tindakan sosial. Pemaknaan ini mengarah pada dua hal, yakni antara
mengingat dan melupakan.” (adtitya wijaya/http://sejarah.kompasiana.com)
http://krjogja.com/read/158965/ki-manteb-merasa-sakit-hati.kr
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news_solo/2013/01/24/142780/Datangi-Bupati-Seniman-Minta-Patung-Narto-Sabdo-Dibongkar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar