Jumat, 17 April 2015

Menolak Lupa Ki Narto Sabdo

Hasil gambar untuk patung ki narto sabdo
Dewasa ini, Klaten sedang giat-giatnya mempercantik kota. Misalnya, dalam penataan sebuah kawasan, agar lebih memiliki nilai seni, maka dibangunlah sebuah patung. Harapannya pembangunan sebuah patung tidak hanya menyenangkan secara visual (sedap di mata), namun juga mampu memberi pengaruh pada kehidupan. Misalnya menjadi sebuah identitas wilayah ketika orang berkunjung di Klaten.
Salah satunya patung Ki Narto Sabdo. Patung yang terletak di jantung kota Klaten ini menimbulkan kontroversi. Polemik tentang “pantas tidaknya” patung fullbody yang menggantikan patung dada dalang kondang era 80-an ini semakin meruncing.
Ki Manteb Sudharsono pun ikut berkomentar. Sebagai seniman dari Karanganyar namun paham tentang sosok empu dalang Nartosabdo, karena pernah bertahun-tahun menjadi cantrik Ki Nartosabdo. Ia merasa sakit hati saat melihat patung Nartosabdo yang sekarang dipajang di Monumen, karena sama sekali tidak mencerminkan sosok Ki Nartosabdo. Untuk itu, pihaknya minta agar patung tersebut segera disingkirkan. Ki Manteb menyatakan siap iuran, jika seniman Klaten akan membuat patung baru.
Sementara itu, kartunis senior GM Sudarta pun juga ikut berkomentar. Menurutnya, detail patung itu dinilai tidak mewakili Ki Narto Sabdo semasa hidupnya. “Patung itu tidak mirip sosok Ki Narto Sabdo. Sikap Ki Narto pada patung itu menyerupai abdi dalem. Pembuat patung juga terlalu memaksakan dengan mengenakan kain lurik pada tubuh Ki Narto Sabdo. Padahal semasa hidup beliau tak pernah memakai lurik, tapi biasa memakai beskap. Dia juga tak pernah memakai batik motif parang,” tandas GM Sudarta mewakili Paguyuban Senirupawan Klaten.
Sedangkan, tujuh pematung Seniman Merdeka bermarkas di Sanggar Seni Lima Benua di Desa Belangwetan, Klaten Utara selaku pembuat patung menyatakan, pihaknya telah melakukan penelitian sebelum membuat patung Ki Narto Sabdho. Mereka telah melakukan penelitian dua bulan sebelum melaksanakannya.
Menurut Humas Seniman Merdeka, Hari Purnama, adanya kesalahan pandang, pihaknya membuat patung bukan merenovasi monumen. Pihaknya melihat foto dan mencari rekomendasi tentang sosok yang mirip. “Ada tujuh patung yang kami buat, beberapa diantaranya setengah badan, namun itu ayng dipilih oleh pihak yang memberi kami pekerjaan,” ungkap Hari Purnama.
Lebih lanjut dia menjelaskan, foto-foto lama Ki Nato Sabdho dikumpulkan dan diolah untuk mendapatkan gambaran paling sesuai. Pihaknya juga melihat patung dalang yang ada di Semarang dan TMII. Setelah muncul polemik tersebut, pihaknya sudah mendatangi seniman yang mengeluhkan karyanya. Dia menyatakan, sebenarnya pihaknya sebagai seniman hanya diminta membuat patung, bukan membuat monumen. Antara patung dan monumen itu yang menjadi salah paham, dan pihaknya telah mengupayakan jalan yang disebut rekonsiliasi seniman.
“Kami hanya pihak pelaksana dari pengguna anggaran (PT Tetrako),” tandas Hari Purnama.
Jika merunut lebih dalam, ada perbedaan pemahaman tentang patung dan monumen. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Patung memiliki arti, “tiruan bentuk orang, hewan, dsb dibuat (dipahat dsb) dr batu, kayu, dsb.” Sedangkan Monumen, “bangunan atau tempat yg mempunyai nilai sejarah yang penting dan karena itu dipelihara dan dilindungi negara.”
Menurut penulis, tidak hanya patung Ki Narto Sabdo saja yang menimbulkan polemik. Pembangunan patung orang sedang membatik dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) di lokasi bekas Tugu Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), juga sarat kontroversi. Dengan dalih memperindah kota, pemkab Klaten melupakan sejarah. Selain dua patung tersebut, pemkab Klaten juga telah merampungkan pemugaran trotoar yang ada di sepanjang jalan Pemuda.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan, penguasa (baca: pemkab Klaten) sedang membentuk memori kolektif yang diinginkan dengan mengkondisikan atau membangun ruang publik. Selain itu, penguasa beserta pihak yang berkepentingan juga ikut dalam melepaskan ingatan masyarakat. Dengan demikian, ruang publik tidak hanya sebagai tempat pembentukan memori kolektif, tetapi juga sebagai tempat pembentukan wacana lupa.
Akhir kata penulis meminjam istilahnya Abidin Kusno, arsitek sekaligus penulis buku, yang mengatakan, “ruang publik menjadi ruang yang aktif mengontrol dan membentuk kesadaran masyarakat. Dimana ruang publik tidak pernah bebas dari pemaknaan oleh berbagai pihak yang mengisi ruang tersebut. Ruang publik yang diisi dan dihiasi dengan berbagai benda, monumen, bangunan, pengumuman, spanduk, pagar, tembok, dan sebagainya melahirkan pemaknaan yang membentuk persepsi, pengalaman, dan tindakan sosial. Pemaknaan ini mengarah pada dua hal, yakni antara mengingat dan melupakan.” (adtitya wijaya/http://sejarah.kompasiana.com)
http://krjogja.com/read/158965/ki-manteb-merasa-sakit-hati.kr
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news_solo/2013/01/24/142780/Datangi-Bupati-Seniman-Minta-Patung-Narto-Sabdo-Dibongkar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar