Di dunia seni tari Jawa klasik, Retno Maruti adalah maestro. Ia telah membawa kesenian ini jauh melampaui batas waktu dan generasi. Ia telah menari di hampir sepanjang usianya yang 65 tahun, menampilkan seni tari tradisi ini dalam kebaruan. Ia memberi ruh pada tari Jawa klasik yang selama ini selali dianggap kuno dan membosankan. Tak heran aras prestasinya ini, tahun 2002 lalu Raja Surakarta Paku Buwono XII memberi pernghargaan kepada perempuan yang masih terlihat ayu ini gelar Kanjeng Mas Ayu (KMA) Kumalaningrum.
Seni tari memang bukan sesuatu yang asing bagi perempuan ini. Ia lahir dan tinggal di dalam lingkungan tembok keraton, Baluwarti. Ayahnya, Soesiloatmadja, adalah seorang dalang dan guru SMA Konservatori (Sekolah Menengah Kerawitan Indonesia, sekarang SMK 8 Solo). Sejak kecil, Maruti sudah bisa duduk semalam suntuk di dekat kotak wayang menyaksikan ayahnya mendalang. Sedangkan ibunya mengajarkan cara membatik dan merias pengantin.
Kedekatannya dengan lingkungan seni tradisi inilah yang kemudian membuat perempuan bernama lengkap Theodora Retno Maruti belajar tari, gamelan, wayang, dan tembang sejak usia lima tahun. Ia beruntung karena bisa belajar langsung para maestro seni tradisi di keraton Solo.
Selain dari ayahnya, ia belajar tari Jawa klasik dari KRT Koesoemokesowo, Ray Sukorini, Basuki Kusworogo, dan RAy Laksminto Rukmini, Basuki Kuswarogo, dan Bagong Kussudiarjo. Sedangkan untuk tembang, Maruti mendapat didikan langsung dari Bei Mardusari dan Sutarman.
“Mereka adalah orang-orang yang paling berjasa menjadikan saya seperti sekarang. Saya merasa sangat beruntung bisa belajar dari mereka,” ujar perempuan kelahiran 8 Maret 1947.
Ia tampil pertama kali di luar keraton ketika usianya masih 14 tahun dalam Sendratari Ramayana Prambanan tahun 1961. Perannya sebagai penari Kijang Kencana ketika itu mendapat banyak pujian, bahkan oleh Presiden Soekarno. Perjalanan pertamanya ke luar negeri ia lakukan pada tahun 1964 ketika masuk dalam rombongan misi kesenian Pemerintah RI ke Amerika Serikat dalam ajang New York World Fair.
“Setelah pementasan di Amerika itu, saya semakin yakin bahwa tari adalah jalan hidup saya,” kata perempuan yang pernah bercita-cita menjadi sekretaris ini.
Pada gilirannya Maruti tak hanya menari, tapi juga mencipta.Karya pertamanya Langendriyan Damarwulan lahir tahun 1969 dalam bentuk opera Jawa. Setahun kemudian, ia membawakan karya opera pertamanya ini ke pentas Osaka World Exposition, Jepang.
Bersama suaminya, Arcadius Sentot Sudiharto yang dinikahinya tahun 1976, Maruti mendirikan sanggar tari Padnecwara. Lewat Padnecwara inilah lahir karya-karya besarnya, seperti Damarwulan, Abimanyu Gugur, Roro Mendut, Sawitri, Sekar Pembayun, Keong Emas, dan Begawan Ciptoning, dan Alap-alap Sukesi.
Hampir semua karyanya yang diambil dari sejarah kerajaan, legenda, dan epos besar Ramayana-Mahabarata menyuarakan tentang perjuangan tokoh perempuan.
“Saya adalah perempuan yang lahir dan tumbuh di tengah budaya Jawa yang kental sehingga karya yang lahir tidak akan jauh dari lingkungan saya. Sebagai perempuan, saya akan lebih memahami keperempuanan karena saya seperti bercerita tentang diri sendiri,” kata Maruti yang juga Dosen Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Persentuhannya yang erat dengan sastra Jawa, tembang, dan wayang membuat tari Jawa klasik yang selama ini dianggap kuno tampil dengan sentuhan-sentuhan baru, sehingga memukau penonton dari berbagai zaman.
Kebaruan itu, misalnya, terlihat dalam dalam lakon Roro Mendut yang ia ciptakan tahun 1979. Maruti tidak menampilkan tokoh Roro Mendut seperti dalam versi umum, yaitu penjual rokok. Sebaliknya tokoh Wiraguna pun tidak muncul dalam sosok lelaki tua yang mulai rapuh.
Dalam Sekar Pembayun, Maruti menampilkan tokoh utama, Sekar Pembayun, bukan sebagai perempuan yang diam menerima perintah ayahnya, melainkan sebagai sosok perempuan yang mampu berargumentasi kepada ayahnya sendiri, Panembahan Senopati –pendiri Dinasti Mataram, meski pada akhirnya tetap kalah.
“Saya ingin perempuan bersuara, beraspirasi, dan berjuang. Kalah atau menang itu perkara lain,” kata ibu dari penari Genoveva Rury Nostalgia.
Kekuatan lain Maruti sebagai koreagrafer adalah kemampuannya memadukan latar belakang budaya lain ke dalam budaya Jawa. Ia banyak bergaul dengan koreografer lain dari berbagai latar belakang, termasuk belajar tari kontemporer, tari Minang, Bali, dan Sunda.
“Pengayaan itu penting dalam melahirkan karya. Membuat karya kolaborasi dengan koreografer lain itu cara saya membuka diri untuk belajar dari orang lain,” ujar perempuan yang juga terlibat sebagai penari dalam film Opera Jawa karya Garin Nugroho (2006).
Lakon Bedaya Legong Calonarang adalah salah satu karya kolaborasi Maruti dengan koreografer asal Bali, Bulantrisna Djelantik. Karya ini memadukan tari bedaya Jawa dengan tari legong dari Bali. Selain dipentaskan di Jakarta (2006), Bedaya Legong Calonarang juga tampil di Festival Singapura di Singapura ( 2007), Festival Shcouwburg (2009), dan Pesta Kesenian Bali (2009).
“Masing-masing koreografer pasti memiliki ciri khas, itulah yang membuat masing-masing dari mereka berbeda. Perbedaan itu jangan dihilangkan karena justru menjadi kekuatan karya kolaborasi. Dalam berkarya yang penting harus jujur,” ujar perempuan yang mendapatkan Anugerah Kebudayaan dari Departemen Kesenian dan Kebudayaan RI tahun 2003.
Bagi Maruti, menari bukan sekadar gerak. Dengan menari, ia melakukan olah batin, belajar mengendalikan diri, belajar saling menghargai, dan bekerja sama. Menari, kata dia, adalah latihan mengendapkan diri untuk mencapai rasa damai dan tenteram.
“Hampir semua tarian Jawa itu diawali dengan gerakan menyembah. Bagi saya, gerakan itu bermakna sebagai sikap mengagungkan Tuhan, menghormati orang tua, orang yang lebih tua dari kita, guru-guru kita, dan mereka yang menyaksikan kita menari,” kata koregrafer yang tahun 2005 lalu menerima penghargaan Akademi Jakarta.
Di usianya yang sudah kepala enam, Maruti tetap menari. Lewat sanggar tari Padnecwara, ia dan suaminya mengajak anak-anak muda untuk mencintai dan belajar tari Jawa klasik. Dalam perkembangannya, sanggar ini juga memproduksi puluhan pertunjukan tari sekaligus mengembangkan dan melestarikan tari Jawa klasik.
“Memberikan interprestasi terhadap karya-karya warisan luluhur adalah cara kami melestarikan seni budaya Jawa. Kami bersyukur Padnecwara masih bertahan hingga sekarang,” ujar Maruti yang tahun 2008 menerima penghargaan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Maruti memang bukan lagi seorang Putri Solo yang kesulitan melangkah karena terbebat kain panjang. Ia telah menjelma menjadi “kijang kencana” yang lincah dan bebas menebar keindahan tari tari Jawa klasik. Ia telah menjadi seorang maestro.
“Saya optimistis akan banyak penari yang melanjutkan keindahan tari Jawa klasik ini. Dulu saya sempat khawatir karena banyak koreografer muda yang lebih memilih tari kontemporer. Tapi beberapa tahun belakangan ini saya merasa lega, karena mulai bermunculan anak-anak muda yang tertarik tari tradisi,” ujar Maruti. (http://soloraya.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar