Sampit adalah ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur di
Kalimantan Tengah, Indonesia. Sampit merupakan salah satu permukiman tertua di
Kabupaten Kotawaringin Timur, nama kota ini sudah ada disebut di dalam Kakawin
Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 maupun di dalam Hikayat Banjar yang
bagian terakhirnya ditulis pada tahun 1663.Sampit sebagai Ibukota Kabupaten
Kotawaringin Timur merupakan salah satu kota terpenting di Provinsi Kalimantan
Tengah.
Di samping karena
secara ekonomis merupakan daerah kabupaten yang relatif maju juga karena
terletak di posisi yang strategis. Dilihat dari peta regional Kalimantan
Tengah, kota Sampit sebelumnya terletak di tengah-tengah dan ini menyebabkan
posisinya sangat strategis. Misalnya, warga dari Buntok mau ke Pulau Jawa, maka
akan lebih dekat jika melewati Kota Sampit daripada harus ke Kota Banjarmasin.
Begitu pun kalau dari Palangkaraya, Kuala Pembuang, maupun Kasongan. Jadi,
posisi strategis tersebut akan meningkatkan keunggulan komparatif pelabuhan laut
Sampit yang dimiliki daerah ini, terutama akan menarik perekonomian dari
kabupaten yang ada di sekitar wilayah Kotawaringin Timur.
Batang Danum Kupang
Bulan
Kota Sampit terletak di tepi Sungai Mentaya. Dalam bahasa
Dayak Ot Danum, Sungai Mentaya itu disebut batang danum kupang bulan
(Masdipura; 2003). Sungai Mentaya ini merupakan sungai utama yang dapat
dilayari perahu bermotor, walaupun hanya 67 persen yang dapat dilayari. Hal ini
disebabkan karena morfologi sungai yang sulit, endapan dan alur sungai yang
tidak terpelihara, endapan gosong, serta bekas-bekas potongan kayu.
Hingga kini, yang masih menjadi pertanyaan banyak orang
adalah asal kata Sampit itu sendiri. Versi Pertama menyatakan bahwa orang
pertama yang membuka daerah kawasan Sampit pertama kali adalah orang yang
bernama Sampit yang berasal dari Bati-Bati, Kalimantan Selatan, sekitar awal
tahun 1700-an. Sebagai bukti sejarah, makam Datu Sampit
sendiri dapat ditemui di sekitar Basirih.
Datu Sampit mempunyai dua orang anak yaitu
Alm. Datu Djungkir dan Datu Usup Lamak. Makam
keramat Datu Djungkir dapat ditemui di daerah pinggir sungai mentaya di Baamang
Tengah, Sampit, dengan nisan bertuliskan Djungkir bin Sampit. Sedangkan makam
Datu Usup Lamak berada di Basirih.
Menurut sumber lainnya, kata
Sampit berasal dari bahasa Tionghoa yang berarti 31 (sam=3, it=1).
Disebut 31, karena pada masa itu yang datang ke daerah ini adalah rombongan 31
orang Tionghoa yang kemudian melakukan kontak dagang serta membuka usaha
perkebunan (Masdipura; 2003). Hasil usaha-usaha perdagangan perkebunan
ketika itu adalah rotan, karet, dan gambir. Salah satu areal perkebunan karet
yang cukup besar saat itu yakni areal di belakang Golden dan Kodim saat ini.
Benua Usang
Pada 1836, penduduk kemudian pindah ke Seranau yang dulunya
bernama Benua Usang (sekarang: Mentaya Seberang) di mana para pedagang-pedagang
Tionghoa waktu itu juga mulai berdatangan dan menetap di sana. Namun, sesuai
kepercayaan masyarakat Tionghoa, bahwa suatu kota harus dibangun menghadap
matahari terbit. Sedangkan Seranau menghadap matahari terbenam,yang menurut
perhitungan hongsui Tionghoa dianggap kurang baik. Karena itulah, mereka
membangun pemukiman baru diseberang Seranau (Sampit sekarang) yang menghadap
matahari terbit.
Kerajaan Sungai
Sampit
Versi lain, menurut legenda rakyat setempat yang masih hidup
kini, bahwa Sampit pada masa itu berbentuk sebuah kerajaan bernama Kerajaan
Sungai Sampit dan diperintah oleh Raja Bungsu. Sang baginda memiliki dua putra
masing-masing Lumuh Sampit (laki-laki) dan Lumuh Langgana (perempuan).
Diceritakan, kerajaan Sungai Sampit akhirnya musnah akibat perebutan kekuasaan
antara saudara kandung tersebut.
Lokasi kerajaan Sungai Sampit ini diperkirakan sekitar
perusahaan PT Indo Belambit sekarang (Desa Bagendang Hilir). Beberapa tahun
lampau, tiang bendera kapal bekas kerajaan yang terbuat dari kayu ulin besar
masih ada dan terkubur lumpur di bawah dermaga PT Indo Belambit tersebut.
Bukti-bukti lain yang menguatkan dugaan ini,bahwa di lokasi tersebut pernah
pula ditemukan pecahan keramik takala dilakukan penggalian alur parit. Bukti
ini kian menguatkan dugaan bahwa di lokasi ini pernah ada Kerajaan Sungai
Sampit yang pada masa itu sudah mengadakan kontak dagang dengan bangsa-bangsa
luar seperti dari Tiongkok, India bahkan Portugis. Diperkirakan, Kerajaan Sungai
Sampit berdiri pada masa kekuasaan Dinasti Ming di Tiongkok (abad ke-13). Hal
ini dapat dicermati dari ramainya lalu lintas perdagangan dari Tiongkok yang
demikian maju sampai kemudian runtuhnya Dinasti Ming dan mereka banyak yang
lari ke arah selatan (Kalimantan).
Diceritakan
pula, bahwa Puteri Junjung Buih, istri dari Pangeran Suryanata, pernah pula
berkunjung ke kerajaan sungai Sampit. Seperti diketahui, Pangeran Suryanata
(berkuasa antara 1400-1435) adalah seorang pangeran dari kerajaan Majapahit
pada masa pemerintahan Prabu Wirakarrama Wardhana sekitar 1389-1435 (Masdipura;
2003). Putri Junjung Buih Bila ditelisik lebih jauh, Kerajaan Sungai Sampit ini
usianya lebih tua dari Negara Dipa (abad ke-14),sehingga di buku
Negarakertagama, Kesultanan Banjar (1526) tidak tertulis karena merupakan
dinasti penerus dari Kerajaan Negara Dipa, kerajaan Hindu yang terletak di tepi
sungai Tabalong. Terbukti pula, kala Putri junjung Buih hendak dikawinkan
dengan Pangeran Suryanata, 40 kerajaan besar dan kecil pada waktu itu
bermufakat untuk menyerang Negara Dipa. Namun, mereka dapat ditaklukkan dan
sejak itulah kerajaan-kerajaan itu menjadi vazal Kerajaan Banjar.
Bukti-bukti ini dapat ditelusuri pada Traktat Karang Intan di
mana Sampit sebagai salah satu wilayah yang diserahkan kepada VOC. Kota Sampit
juga pernah disebut-sebut di dalam buku kuno Negarakertagama. Pada masa itu
disebutkan, terutama pada masa keemasan Kerajaan majapahit, yang diperintah
oleh Raja Hayam Wuruk dengan mahapatihnya yang tersohor yaitu Gajah Mada.Di salah satu bagian buku yang
ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365 itu disebutkan, bahwa pernah dilakukan
ekspedisi perjalanan Nusantara di mana salah satu tempat yang mereka singgahi
adalah Sampit dan Kuala Pembuang.
Kata Dayak dalam bahasa lokal Kalimantan berarti orang yang
tinggal di hulu sungai. Hal ini mengacu kepada tempat tinggal mereka yang
berada di hulu sungai-sungai besar. Agak berbeda dengan kebudayaan Indonesia
lainnya yang pada umumnya bermula di daerah pantai, masyarakat suku Dayak
menjalani sebagian besar hidupnya di sekitar daerah aliran sungai pedalaman
Kalimantan. Dalam pikiran orang awam, suku Dayak hanya ada satu jenis. Padahal
sebenarnya mereka terbagi ke dalam banyak sub-sub suku.
Menurut J.U. Lontaan, terdapat sekitar 405 sub suku Dayak
yang memiliki kesamaan sosiologi kemasyarakatan namun berbeda dalam
adat-istiadat, budaya dan bahasa yang digunakan. Perbedaan tersebut disebabkan
oleh terpencarnya masyarakat Dayak menjadi kelompok-kelompok kecil dengan
pengaruh masuknya kebudayaan luar. Setiap sub suku Dayak memiliki budaya yang
unik dan memberi ciri khusus pada komunitasnya. Misalnya tradisi memanjangkan
telinga yang dilakukan oleh wanita suku Dayak Kenyah, Kayan dan Bahau. Lalu ada
juga tradisi kayau atau perburuan kepala tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi
musuh suku Dayak Kendayan.
Itulah sekilas warna-warni sub suku Dayak yang menghuni
pulau Borneo. Semoga dengan makin mengenal keragaman budaya bangsa makin
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Suku Dayak Sampit adalah subetnis Dayak Ngaju yang mendiami
sepanjang tepian daerah aliran sungai Sampit atau sungai Mentaya di Kabupaten
Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Suku Dayak Sampit merupakan suku baru
yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 9,57% dari penduduk
Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Sampit tergabung ke dalam suku Dayak pada
sensus 1930.
Suku Dayak Ngaju (Biaju) adalah suku asli di Kalimantan
Tengah. Suku Ngaju merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan
merupakan 18,02% dari penduduk Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Ngaju
tergabung ke dalam suku Dayak dalam sensus 1930.
Kebudayaan Dayak
Sampit
Bahasa Sampit Bahasa
Sampit adalah sebuah bahasa Melayu Dayak/Malayic Dayak (Austroanesi) yang
dituturkan di kecamatan Baamang, Seranau dan Mentawa Baru, Kabupaten
Kotawaringin Timur, provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia. Bahasa Sampit salah
satu dari 9 bahasa dominan yang terdapat di Kalimantan Tengah. Bahasa Sampit
adalah sebuah bahasa yang wilayah pemakaiannya meliputi kecamatan Baamang,
Mentawa Baru dan Seranau di kabupaten Kotawaringin Timur yaitu salah satu
kabupaten di propinsi Kalimantan Tengah. (dari beberapa sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar