AKARPADINEWS.COM | Dia dikenal sebagai meastro musik
kontemporer Indonesia. Gelar itu tak membuatnya jumawa. Dia selalu setia
dengan kesederhanaan dan senang membagikan ilmu dan pengalaman.
Di rumah orang tuanya di antara gang becek di Surabaya, Jawa Timur, dia
tinggal dan berkarya. Di sanalah, sejumlah karya diciptakannya, mulai
dari musik kontemporer, musik eksperimental, hingga musik Avant Garde (garda depan).
Sang maestro itu kini telah tiada. Maut menjemputnya di usia 79 tahun.
Dia adalah Slamet Abdul Sjukur (SAS). September 2014 lalu, rupanya
menjadi momen terindah untuk terakhir kali baginya. Kala itu,
rekan-rekannya yang berprofesi sebagai musisi, bersama Komite
Musik-Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menggagas hajatan kesenian untuk
memperingati ulang tahun SAS ke-79. Acara bertajuk Sluman Slumun Slamet yang
digelar di Taman Ismail Marzuki itu dihiasi serangkaian kegiatan,
seperti diskusi, pagelaran musik hingga Kursus Kilat Komposisi
(KUKIKO).
SAS menghembuskan nafas terakhir sekitar pukul 06.00 usai menjalani
perawatan medis di Graha Amerta Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr
Soetomo Surabaya, Selasa (24/3). Jenazahnya lalu disemayamkan di rumah
duka, Jalan Pringadi Nomor 3, Surabaya.
Sejumlah sahabat dan murid-muridnya tersentak mendengar kabar itu.
Apalagi, mereka sebelumnya berencana melakukan penggalangan dana untuk
membantu biaya operasi pangkal paha SAS yang patah. Sangat miris jika
sekelas maestro, pendidik dan anggota Akademi Jakarta itu masih
membutuhkan bantuan dana.
Memang, selama 35 tahun, sejak kepulangannya dari Prancis hingga wafat,
SAS yang didewakan itu selalu setia dengan laku hidup yang sederhana.
Wafatnya SAS menuai ucapan bela sungkawa berbagai kalangan. Kiprah SAS
memang luar biasa. Dia adalah pionir musik kontemporer. Baginya, musik
adalah cinta abadi.
Komponis yang bernama asli Soekandar itu dilahirkan pada 30 Juni 1935
di Surabaya, anak tertua dari dua bersaudara ini berasal dari keluarga
pedagang. Namun, SAS mengenal musik atas motivasi sang nenek yang
mengarahkanya untuk les piano. Tujuannya agar SAS tidak bermain di luar
sehingga terhindar dari orang-orang yang mencela kakinya yang cacat,
akibat salah pijat ketika sakit panas di usia enam bulan.
SAS merupakan lelaki tangguh. Meski kekurangan fisik menderanya, tidak
menjadi kendala untuk terus berkarya dan mengasah bakatnya. Untuk lebih
menggali potensi seninya, SAS lalu mengali ilmu di Sekolah Musik
Indonesia (SMIND) di Yogyakarta (1952-1956). Selanjutnya, SAS
melanjutkan mimpi bermusiknya di kota cinta, Paris, Prancis di
Conservatoire National Superieur de Musique dan memperdalam piano, musik
kamar, harmoni, kontrapung, dan komposisi di Ecole Normale de Musique.
Selama 14 tahun, SAS berguru kepada komposer terkenal Olivier Messiaen
dan Henri Dutilleux, hingga dia dipanggil ke Indonesia untuk mengajar di
Institut Kesenian Jakarta. Di kampus tersebut, SAS pernah dipercaya
menjabat Ketua Departemen Musik Institut Kesenian Jakarta tahun 1981.
Namun, dia dipecat di tahun 1983. Pemecatan itu menimbulkan pro dan
kontra dari banyak pihak. Pada tahun 1992, SAS diangkat menjadi anggota
Akademi Jakarta seumur hidup.
Sejak tahun 1958 hingga tahun 2013, SAS telah menghasilkan 54
komposisi musik. Kebanyakan karyanya adalah pesanan acara nasional
hingga internasional. Berbagai penghargaan musik internasional diraihnya
seperti medali perunggu dari Festival de Jeux d'Automne di Perancis
(1974), piringan emas dari Académie Charles Cros di Perancis (1975)
untuk karyanya yang berjudul Angklung, dan medali Zoltan Kodaly dari Hongaria (1983).
Hingga akhir hayatnya, intensitas SAS dalam berkarya dan menjadi guru
bagi masyarakat masih berlanjut. Kreativitas SAS terus terasah karena
dia memilih mendobrak zona nyaman.
“Kita berupaya supaya kreatif. Caranya tidak ada jalan lain, selain
menyisihkan hal-hal yang sifatnya rutin, rutin itu sesuatu yang nyaman,
tapi tanpa kita sadari rutinitas itu membuat kita jadi seperti zombie,”
ucap SAS saat acara peringatan ulang tahunnya ke-79, tahun 2014 lalu.
Selain menekankan pentingnya kreatifitas, SAS juga mengingatkan
pentingnya mengkritik karya yang telah dihasilkan. “Kita harus
mengkritik apa yang sudah kita bikin, karena itu pertanda, kita
mempunyai keperdulian terhadap sekitar kita,” imbuh SAS yang dikenal
oleh kawan-kawannya sebagai seniman serius sekaligus humoris.
Untuk mengasilkan komposisi musik minimax, SAS mencurahkan waktunya
minimal 17 jam sehari untuk membuat komposisi. Anehnya, SAS tidak
menggunakan alat musik. Komposisi dibuatnya berdasarkan ingatan di
kepalanya. “Tidak hanya musiknya yang kontemporer, tapi kehidupannya
juga kontemporer,” tutur Michael Asmara, komponis asal Yogyakarta saat
ulang tahun SAS ke-79.
SAS menikah dengan Siti Soeharsini tahun 1960 dan mempunyai anak
perempuan Tiring Mayang Sari, yang memberinya dua cucu. Sayang,
pernikahannya dengan Siti hanya berlangsung sekitar delapan tahun. SAS
kemudian menikah dengan Francoise Mazureak yang memberinya anak
laki-laki bernama Svara. Istri dan anaknya itu tinggal di Paris.
Sementara SAS tinggal di Surabaya
Di antara kebisingan kota dan gaung musik komersil, SAS bergerilya
dengan misi membawa musik yang berenergi untuk mencerdaskan masyarakat.
Untuk menancapkan misinya itu, dia menggelar pertemuan musik di Surabaya
hingga melatih orang-orang di kampungnya. “Sebagai seniman, dalam
berkarya sangat jujur, konsisten, itu seniman sejati,” ujar Suka
Hardjana, pemusik yang dikenal sebagai kritikus musik menanggapi sosok
SAS.
Begitulah sosok SAS. Seniman yang berbeda dengan seniman umumnya. SAS
telah meraih pencapaian dalam hidupnya, di mana karyanya selalu sesuai
dengan laku hidupnya. Sang maestro itu telah berpulang. Namun, karyanya
akan selalu dinikmati para pencinta musik di tanah air. Selamat jalan
Mas SAS!
Ratu Selvi Agnesia
(http://akarpadinews.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar