Potensi keindahan alam laut, budaya, dan tradisinya memiliki keunikan tersendiri.
Siapa yang tak takjub dengan komodo di
Manggarai Barat. Siapa juga yang tidak heran melihat Danau Tiga Warna
Kelimutu di Ende atau tradisi Pasola yang hanya ditemukan di Pulau
Sumba.
Belum lagi kecantikan alam laut di perairan Komodo, Alor, Laut
Sawu, atau Taman Laut Maumere dan Riung di Ngada. Hampir setiap
wilayah di NTT menyimpan keunikan, apakah alam, budaya, tradisi,
bahasa, makanan, dan sebagainya.
Satu lagi, potensi wisata NTT tersimpan
di Pulau Rote, yang merupakan pulau besar di Kabupaten Rote Ndao.
Pulau Rote ini yang melindungi pulau paling selatan Indonesia, Pulau
Ndana. Siapa pun yang menyusuri Pulau Rote, pasti segera menyadari
berbagai keunikan yang ada di pulau yang berbatasan dengan teritorial
Australia ini.
Rote sudah sejak lama terkenal dengan
alat musik Sasando yang memiliki keunikan tersendiri dengan petikan
nada yang merdu. Alat musik ini pernah mendapat tempat khusus di
Indonesia, ketika menjadi gambar mata uang pecahan Rp 5.000.
Sebenarnya, bukan cuma Sasando karena daerah ini juga memiliki topi
sobrero atau mirip topi koboi yang dikenal dengan topi Ti'i Langga.
Tentu juga tidak boleh dilupakan pohon lontar, yang nyaris tidak ada
bagian yang terbuang, mulai dari batang, daun, pucuk, sampai nira.
Belum lagi varian dari nira yang bisa menjadi gula, tuak sampai
minuman beralkohol.
Pulau Rote dapat dijangkau dengan mudah
dari Kota Kupang. Transportasi laut dari dan ke Rote cukup lancar,
baik menggunakan kapal feri ASDP “lambat” maupun kapal feri
cepat. Kapal feri beroperasi pagi dan sore hari.
Kupang-Rote membutuhkan waktu sekitar
empat jam kalau menggunakan kapal feri ASDP, sedangkan kapal cepat
membutuhkan waktu sekitar dua jam. Kalau menggunakan kapal feri
cepat, akan merapat di Dermaga Ba'a, ibu kota Kabupaten Rote Ndao,
sedangkan kapal feri ASDP merapat di Dermaga Pantai Baru.
Ketika tiba di Ba'a, ada pilihan, boleh
ke arah timur maupun barat. Mari ke arah Timur. Menyusuri arah timur
Pulau Rote pada musim kemarau hanya memperlihatkan rerumputan kering
di perbukitan. Tidak berbeda dengan daerah lain di NTT, tapi Rote
memiliki kekhasan dengan pohon lontar dan pohon gewang.
Namun ketika musim hujan, daerah
perbukitan akan memperlihatkan warna hijau yang sekilas mirip
lapangan golf. Namun, di ujung timur Rote, siapa pun akan takjub
dengan panorama alam laut dengan bibir pasir putih yang diapit
tonjolan batu karang.
Dari kampung nelayan di Pantai Papela,
perjalanan bisa diteruskan ke Mulut Seribu, sebuah teluk di ujung
timur Pulau Rote. Menyusuri sela-sela pulau kecil atau karang ini
menawarkan keunikan tersendiri. Sampan menyusuri selat-selat kecil
dengan tebing batu karang hasil ukir dan pahatan alam. Sekilas mirip
sungai yang meliuk-liuk di antara bebatuan cadas.
Bahkan, wilayah ini
cocok untuk main kucing-kucingan atau petak umpet. Jangan kaget,
kalau kemudian nyasar untuk menemukan jalan pulang.
Untuk itu sangat
penting dipandu warga sekitar yang memahami seluk-beluk Mulut Seribu.
Selain itu, butuh keahlian untuk mengemudikan sampan karena selat
yang sempit kian menyempit lagi. Ini karena di sisi kiri dan kanan
banyak usaha budidaya rumput laut.
Hamparan pulau karang kecil sekilas
tidak berbeda jauh dengan Kepulauan Raja Ampat. Namun, keindahan laut
yang membedakan karena terumbu karang tidak mendapat perhatian yang
cukup di kawasan ini, kalau tidak mau dibilang diabaikan begitu saja.
Kalau saja terumbu karang dan biota laut terjaga, wilayah ini
sebenarnya hanya menunggu waktu untuk menjadi primadona.
Bosan bermain di laut, sampan bisa
merapat ke Desa Daiama terus meluncur ke Desa Soti Mori di Kecamatan
Landu Leko. Di Desa yang berjarak puluhan kilometer dari Ba'a ini
tersimpan Laut Mati. “Kalau mau cari Laut Mati jangan jauh-jauh ke
Timur Tengah. Di Rote ada Laut Mati,” warga Rote, Yos Fanggidae
menjelaskan.
Laut Mati ini sebenarnya merupakan
danau berair asin meski kadar garamnya tidak seperti air laut. Air
danau tidak seasin air laut. Beberapa jenis ikan air tawar justru
bisa hidup di danau ini.
“Ketong Sonde tahu (kami tidak tahu).
Dari dulu su bagitu (sudah begitu). Ikan air tawar bisa hidup,”
tutur Nimrod Hun (75), ketika ditemui di tepi danau, awal November
2013.
Nimrod memperkirakan danau itu memiliki
panjang sekitar 12 kilometer dengan lebar bervariasi. Danau tidak
terhubung dengan laut. Jarak dari pantai sekitar satu kilometer. Dia
memperkirakan kian berkurangnya rasa asin karena ada mata air tawar
di pinggiran danau. “Ternak juga sonde minum air danau karena
asin,” ia memaparkan.
Praktis tidak ada kegiatan apa pun
untuk memanfaatkan air danau ataupun untuk kegiatan wisata. “Air
danau begini-begini saja. Tidak naik, juga tidak berkurang. Ada yang
datang kalau libur, tapi belum terlalu banyak,” Nimrod menjelaskan.
Pantai Nembrala
Setelah menyusuri ujung timur, tidak
ada salahnya menjajal bagian barat Rote. Sejauh ini, wilayah barat
ini yang menjadi sasaran wisatawan mancanegara. Ini karena wilayah
barat Rote memiliki alur gelombang Laut Selatan yang menaikkan
adrenalin para peselancar. Pantai Nembrala dan Pantai Boa merupakan
wilayah favorit bagi peselancar. Bukan hanya gelombang semata,
melainkan pantai ini juga memiliki hamparan pasir putih.
Wilayah Pantai Nembrala sudah
menunjukkan geliat pariwisata karena sejumlah hotel dan cottage
berjejer rapi di sekitar Nembrala.
Bahkan, sepanjang jalan antara
Nembrala dan Boa tampak berbagai aktivitas dan bangunan untuk
menunjang kebutuhan pariwisata. Di balik potensi luar biasa itu,
sebenarnya pemerintah belum memperlihatkan andil untuk mempercepat
pengembangan kawasan ini.
“Kami bisa lihat, akses jalan ke
wilayah Nembrala ini yang tidak mendapat perhatian sekira beberapa
kilometer. Kalau mau jujur, perkembangan wisata di Nembrala ini
karena wisatawan mempromosikan sendiri,” tutur Yos Fanggidae.
Potensi wisata alam dan laut Pulau Rote
tidak kalah dengan daerah lain, tetapi masih ada sejumlah pekerjaan
rumah yang harus dibenahi. Kunjungan ke Pulau Rote datang dari
berbagai negara, seperti Eropa dan Australia.
Namun, kunjungan
wisatawan biasanya sepi pada November-Maret. Kemudian, kembali ramai
bertepatan musim libur di Eropa. Bahkan, ada operasional penginapan
yang ditutup sementara untuk mengantisipasi sepinya pengunjung.
“Sekarang ini mau ditutup dulu. Istirahat karena musim hujan. Nanti
buka lagi kalau kunjungan ramai,” Ida, pelayan hotel di Nembrala
menjelaskan.
Harapan untuk mengembangkan pariwisata
di Rote sebenarnya bisa lebih cepat jika didukung infrastruktur dan
transportasi yang memadai. Apalagi wisatawan yang berkunjung ke Rote
hanya bertahan beberapa hari. Itu juga wisatawan setelah mengunjungi
berbagai daerah.
“Pada 1990-an, pesawat Australia ke Indonesia atau
sebaliknya masih mampir di Kupang. Sekarang ini, pesawat langsung ke
Bali atau sebaliknya, Bali langsung ke Australia,” Gaspar
menjelaskan, warga NTT kepada SH.
Menurut Gaspar, kalau saja pesawat
singgah di Kupang sebelum ke Bali atau dari Bali ke Australia, akan
memberikan peluang lebih cepat berkembangnya pariwisata di NTT. “Ada
banyak potensi wisata, tapi wisawatan masih belum terlalu ramai. Kami
harap pemerintah mengambil kebijakan agar pesawat singgah di Kupang
sebelum ke Australia,” ujarnya.(Daniel Tagukawi)
Perbatasan yang Kaya Hasil Laut
Posisi Pulau Rote yang berbatasan
dengan perairan Australia menyebabkan nelayan di Pulau Rote sering
tidak sadar memasuki wilayah Australia. Tidak jarang, nelayan
digiring ke penjara dan kapal ditenggelamkan.
“Pada masa lalu,
tidak ada masalah kalau ke Pulau Pasir, tapi sejak 1990-an sama
sekali tidak dibolehkan Australia. Kami dulu sering istirahat di
Pulau Pasir tidak ada masalah, sekarang tidak boleh,” kata nelayan
di Papela, Juhdar Asenong yang didampingi Dahlan Asrap beberapa waktu
lalu.
Namun, sekarang sudah hampir tidak ada
lagi nelayan yang ditangkap karena nelayan sudah menggunakan GPS
sehingga tahu mana daerah perbatasan. Misalnya, dari Papela sudah
diketahui jarak perbatasan sekitar 100 mil laut. “Tapi karena
daerah itu kaya ikan, nelayan juga sering memasuki wilayah perairan.
Tapi kalau ada patroli, ya kami masuk ke wilayah Indonesia,”
tuturnya.
Daerah perbatasan itu memang kaya
potensi laut, seperti ikan tuna dan teripang. Bahkan, dulu juga
sering mencari sirip hiu. Tapi, sekarang tidak ada yang mencari
karena sudah dilarang dan harga juga tidak bagus. “Kalau hasil laut
di sini sangat kaya, tapi nelayan kesulitan peralatan tangkap dan
menjual hasil laut. Kalau dijual sangat murah,” tutur Juhdar.
Sumber : Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar