(esai ini ada di WARTA KOTA, 8 Mei 2014 halaman 7)
Sebuah
pesan singkat masuk ke ponsel saya. Kalimatnya begini, “Mengenai Penyetoran Angsuran Anda Bulan ini sebelum di transfer harap
hubungi pimpinan saya dulu di hp: 085242349797 soal nya ada perubahan
rekening.maksh.” Pada kali lain, dari pengirim yang berbeda, masuk pula
pesan singkat dengan nada kalimat yang relatif sama.
Pesan
singkat semacam itu relatif sering masuk ke ponsel setelah saya membuka
rekening di sebuah bank terkenal –untuk keperluan pekerjaan—beberapa waktu lalu.
Rasanya cukup mengganggu juga. Karena, pesan singkat itu kadang masuk tidak
kenal waktu, misalkan di tengah malam.
Sementara
itu saya tidak memiliki utang pada bank terkenal, bank keliling atau lembaga
yang biasa memberi utang. Rasanya ingin tidak peduli pada pesan singkat semacam
itu namun lama-kelamaan terganggu. Dalam benak saya bertanya, “dari mana mereka
mendapatkan nomor ponsel saya?” Seorang teman menuturkan bahwa data pribadi
aplikasi nasabah buka rekening dijual oleh oknum orang dalam bank ke
pihak-pihak yang berkepentingan.
Ah, saya
tidak ingin berpikir negatif. Lantaran sudah demikian mengganggu, sekali waktu
saya lalu membalas, “Saya tidak punya
hubungan utang-piutang dengan Anda. Semoga Tuhan memberi hidayah dan Anda
kembali ke jalan yang benar.” Setelah itu pesan singkat bergaya teror
penagih utang tidak datang-datang lagi.
Rupanya
tidak hanya penagih utang yang masuk ke ponsel saya. Suatu waktu pun masuk
pesan singkat penawaran pinjaman utang dengan proses cepat. Salah satunya
begini, “Proses cepat, rate 1,49%, min
20jt-500jt,Syrt Kartu Kredit / kendaraan pribadi / Perusahaan th98 hub Astrid
08129841053-087875595060 salam.” Pun cukup banyak pesan singkat semacam itu
masuk ke ponsel saya.
Sekali
lagi, saya tidak mau terbelit pada utang yang membelit. Karena, dengan utang, kita
akan menjadi dekat dengan kebohongan dan ucapan berbohong. Sebagaimana pesan
singkat bergaya teror penagih utang, pesan singkat penawaran utang itu
kerapkali pula datang tidak mengenal waktu. Sungguh mengganggu.
Saya
berpikir bagaimana menyetop agar penawaran utang itu tidak masuk lagi ke
ponsel. Seorang rekan menyarankan agar melaporkan nomor pengirim ke operator
atau otoritas untuk diblokir. Saya pikir terlalu ribet. Akhirnya saya balas
dengankalimat sederhana, “Ngapunten, mbah
kakung ora pengin mati ngowo utang.” Yang artinya, “Maaf, kakek tidak ingin
mati membawa utang.” Setelah balasan
itu, tawaran utang pun jauh berkurang.
Ah,
kehidupan kita ini sudah dipenuhi teroris penagih utang dan dikepung pemberi
utang. Tak salah memang, warga masyarakat memang sangat gemar berutang.
Sampai-sampai belanjat Rp50 ribu sampai Rp100 ribu ke minimarket saja pakai
kartu kredit. (Budi Nugroho, rakyat
biasa, tinggal di Bekasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar