Sabtu, 06 Juni 2015

Indu Palui Ditelan Batu Manganga

Pada suatu ketika di sebuah desa tinggallah sebuah keluarga kecil yang terdiri atas seorang ibu dan kedua orang anaknya. Oleh penduduk desa, ibu itu dipanggil dengan sebutan Indu Palui, sebab anaknya yang sulung bernama Palui. Suami Indu Palui telah lama meninggal dunia, sehingga ia harus merawat kedua orang anaknya sendirian. Untuk menghidupi keluarganya, Indu Palui sehari-hari bekerja di ladang sayuran yang terletak di belakang rumahnya. Setiap hari ia bekerja keras di ladang demi kedua anaknya. Ia merasa kasihan pada anak-anaknya, sebab Palui dan adiknya telah kehilangan sosok seorang ayah semenjak mereka masih kecil. Oleh karena itu, Indu Palui bertekad akan berjuang demi kebahagiaan kedua anaknya. Namun sayang, kerja keras Indu Palui tersebut disalahartikan oleh Palui dan adiknya. Karena terlalu dimanja Palui tumbuh menjadi seorang pemuda yang malas, sedangkan adiknya menjadi anak yang cengeng, terutama apabila keinginannya tidak dapat terpenuhi.
            Suatu hari, seperti biasanya Indu Palui ada di ladangnya untuk bekerja. Hari itu ia membersihkan rerumputan yang tumbuh liar di ladangnya. Tiba-tiba, ia menemukan seekor sangkalap montak, yaitu belalang yang ukurannya sangat besar. Indu Palui sangat senang. Ia bergegas membawa sangkalap itu ke dapur rumahnya. Ia meminta Palui mengurung sangkalap itu, untuk dijadikan makan siang mereka nantinya. Melihat sangkalap yang ditemukan ibunya, timbul selera Palui untuk segera memakan sangkalap tersebut. Ia kemudian berpikir, bagaimana caranya agar ia dapat menikmati sangkalap tersebut, tanpa membuat ibunya marah. Terpikirlah oleh Palui suatu cara. Ia menghampiri adiknya yang sedang asyik bermain, kemudian dari jarak yang agak jauh, dilontarkannya batu kecil kepada adiknya dengan ketapel. Batu yang melontar itu berhasil mengenai punggung adik Palui. Merasa kesakitan, adik Palui menangis sangat nyaring. Mendengar tangisan anak bungsunya, maka berteriaklah Indu Palui dari tempatnya bekerja, “ O, Palui! Kenapa adikmu menangis?”. Palui pun menjawab ibunya, “Adik menangis karena ingin memakan sangkalap montak itu tadi, Umai”. Mendengar hal itu Indu Palui merasa iba dengan anaknya, kemudian ia berseru lagi kepada Palui, “ Kalau begitu masak saja sangkalap montak itu untuk adikmu, Palui. Agar ia berhenti menangis”. Merasa rencananya berhasil, Palui pun menjawab ibunya dengan bersemangat,” Baiklah, Umai!”
            Maka Palui memasak sangkalap montak itu. Setelah sangkalap masakannya telah siap, ia memberikan sedikit bagian kepada adiknya, sedangkan baginya sendiri ia ambil bagian yang paling banyak. Kedua bersaudara tersebut dengan lahap menghabiskan makanan lezat tersebut. Mereka tidak menyisakan sedikit bagian pun bagi sang ibu. Sungguh tega!
            Siang harinya, Indu Palui kembali ke rumahnya. Ia merasa kelelahan setelah bekerja begitu keras di ladang. Dalam hatinya, ia mengidamkan untuk memakan sangkalap montak yang lezat sebagai makan siang sembari mengistirahatkan tubuhnya yang sangat lelah. Setibanya di rumah Indu Palui mencari masakan yang diidam-idamkannya tersebut. Karena tidak menemukannya di dapur, ia pun menjadi bingung. Ia kemudian memanggil Palui dan menanyakan kemana masakan sangkalap montak yang dimasak oleh Palui. “Lui, Palui! Ke sini, nak! Umai ingin memakan sangkalap montak yang kau masak tadi, nak. Dimanakah kamu simpan masakannya, Palui?” begitu Indu Palui bertanya. Palui menjawab dengan enteng,” Sudah habis, Mai. Tadi kami berdua adik yang menghabiskannya”. Indu Palui kaget dan merasa kecewa, tetapi ia mencoba bersabar dan berkata lagi kepada Palui,” Kalau begitu bekasnya pun tak apa, nak. Umai hanya ingin merasakan sedikit saja sangkalap montak itu”. “Sudah habis juga, Mai. Tadi kami berdua adik menghabiskannya hingga tak tersisa sedikit pun”, ujar Palui yang sudah mulai jengah menghadapi pertanyaan ibunya. Alangkah miris hati Indu Palui, begitu tahu bahwa tak ada secuil pun makanan yang disisakan baginya. Ia sangat kecewa kepada anak-anaknya yang begitu tega kepadanya. Merasa sangat sedih, Indu Palui pun lari ke hutan. Ia menemui sebuah Batu Manganga, yaitu batu berukuran sangat besar yang memiliki rongga yang berbentuk seperti mulut. Konon, batu tersebut adalah batu sakti, yang bisa menelan manusia ke dalamnya.
            Indu Palui meratap tersedu-sedu di depan Batu Manganga itu. Ia sangat putus asa, sehingga ia berkata kepada Batu Manganga, “ Sungguh malang nasibku. Hidup menjanda ditinggal mati suamiku. Kedua anakku pun tidak menyayangiku. Apalah gunanya aku hidup di dunia ini lagi, tanpa seorang pun yang peduli padaku. Telan saja aku, wahai Batu Manganga!” Mendengar tangisan Indu Palui, Batu Manganga itu pun menelan tubuh Indu Palui.
            Sementara itu di desa, adik Palui menangis karena mencari ibunya yang tak kunjung datang. Tak tahan mendengar adiknya menangis, Palui pun mencari-cari kemana ibunya pergi. Ia mencari sang ibu ke seluruh pelosok desa. Namun hingga petang, ia tidak bisa menemukan ibunya. Palui pun mulai merasa cemas. Ia kebingungan. Sebab tanpa ibunya tak ada apapun yang bisa diperbuatnya. Palui mulai berpikir, apakah ibunya marah karena perbuatannya tadi siang. Tiba-tiba Palui merasa bersalah. Bersama adiknya, ia mencari sang ibu hingga ke hutan. Kedua bersaudara itu sampai kepada Batu Manganga yang ada di hutan tersebut. Mereka bertanya pada Batu Manganga yang pertama, “ Tuan Batu Manganga adakah kau melihat ibu kami?” Batu Manganga itu menjawab, “ Tidak ada. Lagipula untuk apa gerangan seorang ibu lari ke hutan belantara ini”. Palui kemudian menemui Batu Manganga yang kedua, lalu berkata,” Wahai Tuan Batu Manganga, adakah kau lihat ibuku?” Batu Manganga kedua itu pun menjawab,” Tidak ada. Aku tak kenal kepada ibumu.”  Akhirnya sampailah Palui kepada Batu Manganga yang ketiga. Pada saat itu Palui melihat bahwa Batu Manganga itu menutup mulutnya. Dalam hatinya ia merasa heran sekaligus berharap Batu Manganga yang terakhir tersebut tahu dimana ibunya berada. Maka bertanyalah Palui, “Tuan Batu Manganga, adakah kau melihat ibu kami?”. Batu Manganga itu balik bertanya kepada Palui, “ Siapa namamu?!”. “Nama saya Palui, tuan. Saya kebingungan mencari ibu saya yang tak ada pulang semenjak siang. Adik saya yang kecil ini pun menangis karena kelaparan dan ingin bertemu dengan ibu kami”. Mendengar perkataan Palui itulah Batu Manganga tahu bahwa wanita yang ditelannya siang tadi adalah ibu dari Palui dan adiknya, maka berkatalah ia dengan suara yang menggelegar kepada Palui, “ Ho, rupanya kalian berdua ini anak yang durhaka kepada ibu sendiri! Ibu kalian sudah bekerja keras untuk membesarkan kalian, tetapi kalian tidak pernah mengiba kepadanya! Tahukah kalian, bahwa ibu kalian sudah aku telan. Dan ia tidak bisa keluar lagi, sebab kesedihannya terlalu mendalam!” Mendengar Batu Manganga itu, Palui merasa takut. “Ampun tuan, saya merasa sangat menyesal telah membuat ibu kami bersedih. Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan saya lagi. Ampun tuan, tolong keluarkan ibu kami. Tidakkah tuan kasihan kepada adik saya yang masih kecil ini…?” “ Aku tidak bisa Palui! Ibumu sendiri yang memintaku untuk menelan dirinya. Hanya mantra dari tiga tukang tenung sakti yang bisa mengeluarkan ibumu. Carilah Indu Bubut, Indu Ampit, dan Indu Balida!”, Batu Manganga itu memberikan penjelasan kepada Palui. Segera setelah mendengar hal tersebut, Palui dan adiknya berlari untuk memanggil ketiga tukang tenung yang disebutkan oleh Batu Manganga. Beberapa lama kemudian, mereka kembali bersama ketiga tukang tenung sakti tersebut. Mantra-mantra pun mulai dilontarkan untuk mengeluarkan tubuh Indu Palui. Tukang tenung pertama, Indu Bubut mengucapkan jampi-jampinya: “ But,but,but!!! Majuhut Indu Palui bara rumbak Batu Ngangaa!!!”. Ajaib! Keluarlah kedua tangan dan ujung kaki Indu Palui. Kemudian Indu Ampit mengucapkan jampi-jampinya: “ Pit,pit,pit!!! Majijit Indu Palui bara rumbak Batu Ngangaa!!!”. Separuh badan Indu Palui keluar dari mulut Batu Manganga. Kemudian, tukang tenung yang terakhir, Indu Balida mengucapkan jejampinya,” Da,da,da!!!! Manunda Indu Palui bara rumbak Batu Ngangaa!!!”. Akhirnya Indu Palui keluar dari dalam Batu Manganga tersebut.
            Bukan main senangnya hati Palui dan kedua adiknya. Mereka segera memeluk ibunya, kemudian meminta ampun atas segala kesalahan yang selama ini mereka perbuat kepada ibunya. Setelah peristiwa itulah, kedua bersaudara tersebut menjadi anak yang baik dan penyayang kepada ibunya. Perubahan sikap kedua anaknya tersebut membawa kebahagiaan bagi sang ibu. Indu Palui menjadi semakin menyayangi kedua anaknya dan kehidupan dalam keluarga kecil itu pun berubah jauh lebih baik dari sebelumnya. Segala kebahagiaan tersebut tak lupa mereka bagikan kepada ketiga tukang tenung yang telah membantu mengeluarkan Indu Palui pada saat ditelan Batu Manganga. Sebagai rasa syukur dan terima kasihnya, keluarga Palui memberikan hadiah kepada ketiga tukang tenung yang juga siluman binatang tersebut. Kepada Indu Balida, yang merupakan siluman Ikan Belida, Palui memberikan pilus (jarum), oleh karena itulah konon Ikan Belida memiliki banyak tulang-tulang kecil di dalam tubuhnya. Kepada Indu Bubut, yang merupakan siluman Burung Bubut diberikan oleh Palui minyak, karena itulah konon Suku Dayak menggunakan minyak Burung Bubut yang dipercaya memiliki khasiat kesembuhan. Dan terakhir kepada Indu Ampit, yang Merupakan siluman Burung Ampit, Palui memberinya kain berwarna coklat kemerahan, oleh karena itu Burung Ampit bulunya berwarna coklat kemerahan. (http://anastasiaevira.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar