SEBUAH
anugerah tiba-tiba muncul di depan mataku. Aku beroleh kesempatan bersua dan
ngobrol panjang-lebar dengan seorang pemimpin daerah. Sampai-sampai, dalam
obrolan untuk menambah data primer penulisan biografinya, sang pemimpin daerah
itu curhat bahwa selama tiga tahun kepemimpinannya masih ada saja orang-orang
yang ‘mengganggu’ jalannya implementasi visi-misi, kebijakan dan strategi
pembangunan yang telah dia teguhkan sebelum terpilih menjadi kepala daerah.
Ada saja gangguan ketika sang pemimpin daerah
ingin membangun apa yang dibutuhkan bagi sebuah kabupaten hasil pemekaran. Mulai
dari lahan yang telah bertuan, tak ada penanam modal yang mau masuk, sampai urusan
dana dari pemerintah pusat yang seret mengucur.
Di akhir perbincangan, secara tidak langsung dia
menyebut-nyebut nama seorang pensiunan jenderal yang sangat dekat dengan
dirinya. Bahkan, dia merasa akrab sangat jauh sebelum dirinya memuncaki kursi
kepala daerah. Bagai kura-kura dalam perahu, aku tak terlalu mendalami lebih
jauh hubungan kedekatan sang pemimpin daerah dan pak jenderal pensiunan.
Lalu, mulailah aku menulis biografi sang pemimpin
daerah. Tiba-tiba, orang dekat sang pemimpin daerah meneleponku. “Bang, jangan
lupa wawancara pak jenderal! Harus dapat wawancara itu, kalau toh tidak keburu
masuk ke dalam naskah buku, dibuat terpisah lalu diselipkan juga tak mengapa,” katanya.
Aku sedikit kelimpungan karena waktu penulisan dan
pencetakan sangat sempit. Syukur, akhirnya, aku bisa memperoleh nomor ponsel
pak jenderal pensiunan. Tanpa ada aral yang berarti, pak jenderal pensiunan
yang baru pulang liburan akhir tahun bersedia menerima diriku untuk suatu
perbincangan di rumahnya.
Hasil ini kemudian kusampaikan kepada orang dekat
sang pemimpin daerah. “Terima kasih Bang, pak kepala daerah pasti senang.
Beliau masih ingin memimpin daerah ini sampai akhir periode kepemimpinannya.
Syukur-syukur bisa maju untuk periode kedua,” ucap orang kepercayaan sang
pemimpin daerah.
Aku sedikit mafhum. Kadang untuk membangun rasa
aman, seorang pemimpin daerah tidak cukup hanya dekat dengan rakyat yang
dipimpin, tapi tetap harus ada jalinan kuat-merekat dengan yang punya ‘pasukan
dan senjata’. (Budi Nugroho, rakyat jelata, tinggal di Bekasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar