Senin, 01 Juni 2015

Sahabatku Tahu Diri

(esai ini dapat dibaca pula di WARTA KOTA, 9 April 2015 hal. 7)

PESAN singkat (SMS) seorang sahabat lawas masuk ke ponselku. Isinya cukup menggelitik nuraniku. Bahwa “... sejak semula saya tidak bisa menerima posisi Komisaris Utama Bank ... Saya tidak bisa menerima pekerjaan dengan kepala kosong ...”
Di tengah zaman hedonistik  dan banyak orang berburu jabatan tanpa menyadari kompetensi dan kemampuan ini rasanya pesan sahabat ini cukup menyejukkan. Aku tahu, sepanjang karir sahabatku itu tidak pernah “mampir” di lembaga perbankan. Dari segi pendidikan pun, sahabatku tidak pernah menggali ilmu keuangan dan pernah. Dia lebih banyak bersentuhan dengan jagad penelitian sosial dan politik.
Sahabatku berusaha tahu diri. Dia tidak mau menerima amanah mengemban jabatan Komut bank plat merah itu karena sepengetahuannya performa bank itu sangat baik. Kalau dia masuk, padahal hatinya tidak berada di situ dan kepalanya kosong tanpa konsep hal-ihwal perbankan, maka dia merasa tidak akan produktif dan akhirnya hanya menjadi beban bank yang cukup besar itu.
Hari-hari belakangan ini memang santer kabar banyak politisi dan intelektual yang tahun 2014 lalu ikut menjadi relawan atau tim sukses presiden terpilih menerima kursi empuk di sejumlah BUMN. Soal kompetensi nyaris tidak diperhatikan. Kata Menteri BUMN Rini Soemarno bahwa komisaris perusahaan (BUMN) tidak perlu uji kepatutan dan kelayakan, berbeda dengan posisi direktur. Menurutnya, apa pun pendidikan dan keilmuan yang dimiliki pasti akan bermanfaat. Misalkan pakar pendidikan sumber daya manusia sangat dibutuhkan di semua perusahaan.
Aku memang awam soal perkomisarisan perusahaan. Tapi, ada satu pengalaman menarik dari seorang mantan komisaris sebuah perusahaan BUMN retail yang ujung-ujung menjadi beban. Karena merasa tidak tertarik pada bidang BUMN, komisaris BUMN era 1990-an itu hanya ketika mengambil upah atau gaji bulanan. Nyaris tidak memberi arti apa-apa bagi perusahaan.
Aku pikir keberadaan komisaris di perusahaan tetaplah harus memberi arti. Bila seorang direktur atau dewan direksi menjalankan perusahaan secara sembarangan maka komisaris atau dewan komisaris bisa meminta pertanggung-jawaban. Bagaimana komisaris atau dewan komisaris minta pertanggung-jawaban kalau mereka tidak tahu apa-apa. Bagaimana juga seorang komisaris harus tahu arah dan peta jalan perusahaan.
Jadi sikap sahabat lawas yang menolak mengemban amanah sebagai komisaris utama bank plat merah sebagaimana saya sampaikan di awal tulisan ini kiranya tepat. Dia tahu diri bahwa kepalanya kosong ilmu dan pengetahuan hal-ihwal perbankan. Dan dia tidak mau bekerja dengan kepala kosong lantaran justru akan menjadi beban bagi jalannya perusahaan. Ya akan menjadi beban, gaji komisaris pada sebuah perusahaan (BUMN) tentu tidaklah kecil dalam ukuran orang kebanyakan, apalagi orang pinggiran seperti aku ini.
Kadang banyak orang abai terhadap beban karena, misalkan, hanya satu komisaris dan komisaris (sendirian) dianggap tidak bisa menerbitkan sebuah kebijakan perusahaan. Bila kita abai terhadap hal “kecil” ini maka tidak dapat diperkirakan akan semakin mudah abai terhadap banyak hal “kecil”. Kata pepatah sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Abai terhadap banyak hal “kecil” perusahaan jelas akan berumuara pada kehancuran perusahaan.   
Agaknya kita dapat belajar banyak dari pesan bijak Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda: “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang bukan ahlinya maka kehancuranlah yang akan datang.” (HR Imam Muslim nomor 59)
(Budi N. Soemardji, orang pinggiran Bekasi)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar