(esai ini dapat dibaca pula di WARTA
KOTA, 9 April 2015 hal. 7)
PESAN singkat (SMS) seorang sahabat lawas
masuk ke ponselku. Isinya cukup menggelitik nuraniku. Bahwa “... sejak semula saya tidak bisa menerima posisi
Komisaris Utama Bank ... Saya tidak bisa menerima pekerjaan dengan kepala
kosong ...”
Di tengah
zaman hedonistik dan banyak orang
berburu jabatan tanpa menyadari kompetensi dan kemampuan ini rasanya pesan
sahabat ini cukup menyejukkan. Aku tahu, sepanjang karir sahabatku itu tidak
pernah “mampir” di lembaga perbankan. Dari segi pendidikan pun, sahabatku tidak
pernah menggali ilmu keuangan dan pernah. Dia lebih banyak bersentuhan dengan
jagad penelitian sosial dan politik.
Sahabatku
berusaha tahu diri. Dia tidak mau menerima amanah mengemban jabatan Komut bank
plat merah itu karena sepengetahuannya performa bank itu sangat baik. Kalau dia
masuk, padahal hatinya tidak berada di situ dan kepalanya kosong tanpa konsep hal-ihwal
perbankan, maka dia merasa tidak akan produktif dan akhirnya hanya menjadi
beban bank yang cukup besar itu.
Hari-hari
belakangan ini memang santer kabar banyak politisi dan intelektual yang tahun 2014
lalu ikut menjadi relawan atau tim sukses presiden terpilih menerima kursi
empuk di sejumlah BUMN. Soal kompetensi nyaris tidak diperhatikan. Kata Menteri
BUMN Rini Soemarno bahwa komisaris perusahaan (BUMN) tidak perlu uji kepatutan
dan kelayakan, berbeda dengan posisi direktur. Menurutnya, apa pun pendidikan
dan keilmuan yang dimiliki pasti akan bermanfaat. Misalkan pakar pendidikan
sumber daya manusia sangat dibutuhkan di semua perusahaan.
Aku memang
awam soal perkomisarisan perusahaan. Tapi, ada satu pengalaman menarik dari seorang
mantan komisaris sebuah perusahaan BUMN retail yang ujung-ujung menjadi beban.
Karena merasa tidak tertarik pada bidang BUMN, komisaris BUMN era 1990-an itu
hanya ketika mengambil upah atau gaji bulanan. Nyaris tidak memberi arti
apa-apa bagi perusahaan.
Aku pikir
keberadaan komisaris di perusahaan tetaplah harus memberi arti. Bila seorang
direktur atau dewan direksi menjalankan perusahaan secara sembarangan maka
komisaris atau dewan komisaris bisa meminta pertanggung-jawaban. Bagaimana
komisaris atau dewan komisaris minta pertanggung-jawaban kalau mereka tidak
tahu apa-apa. Bagaimana juga seorang komisaris harus tahu arah dan peta jalan
perusahaan.
Jadi sikap
sahabat lawas yang menolak mengemban amanah sebagai komisaris utama bank plat
merah sebagaimana saya sampaikan di awal tulisan ini kiranya tepat. Dia tahu
diri bahwa kepalanya kosong ilmu dan pengetahuan hal-ihwal perbankan. Dan dia
tidak mau bekerja dengan kepala kosong lantaran justru akan menjadi beban bagi
jalannya perusahaan. Ya akan menjadi beban, gaji komisaris pada sebuah
perusahaan (BUMN) tentu tidaklah kecil dalam ukuran orang kebanyakan, apalagi orang
pinggiran seperti aku ini.
Kadang
banyak orang abai terhadap beban karena, misalkan, hanya satu komisaris dan
komisaris (sendirian) dianggap tidak bisa menerbitkan sebuah kebijakan
perusahaan. Bila kita abai terhadap hal “kecil” ini maka tidak dapat
diperkirakan akan semakin mudah abai terhadap banyak hal “kecil”. Kata pepatah
sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Abai terhadap banyak hal “kecil”
perusahaan jelas akan berumuara pada kehancuran perusahaan.
Agaknya
kita dapat belajar banyak dari pesan bijak Rasulullah Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam yang bersabda: “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang
bukan ahlinya maka kehancuranlah yang akan datang.” (HR Imam Muslim nomor 59)
(Budi N. Soemardji, orang pinggiran
Bekasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar