Kawasan Glodok, Jakarta Barat, selain terkenal dengan pusat perdagangan elektronik dan kawasan pemukiman kaum Tionghoa, rupanya juga mempunyai cerita unik tersendiri.
Petak Sembilan, sebuah kawasan pecinan tua yang mempunyai sejarah panjang yang sampai kini masih bertahan. Sisa-sisa kejayaan perdagangan ini masih dapat kita lihat dari bangunan-bangunan bekas rumah toko yang sepi dan tak terawat. Beberapa masih beroperasi walau jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari.
Saya selalu tertarik dengan kebudayaan Tionghoa. Bentuk-bentuk bangunan dan tradisi-tradisi mereka begitu unik dan tetap menarik untuk dinikmati. Keinginan ini lah yang membuat saya mendatangi kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat, beberapa hari setelah perayaan Cap Go Meh. Saya sengaja datang pada hari biasa karena memang ingin melihat lebih dekat aktivitas keseharian warga Petak Sembilan.
Menuju ke kawasan ini sangatlah mudah. Dengan menggunakan busway TransJakarta, kita turun di halte Glodok, kemudian keluar dan berbelok ke arah kiri (ke barat) dan menelusuri jalan gang sempit yang terlihat. Bila masih bingung, tanya saja kepada orang-orang di sekitar dan mereka akan menunjukkannya.
Sebuah bangunan klenteng besar langsung menyita perhatian saya ketika sampai di kawasan ini. Klenteng Dharma Bhakti yang merupakan salah satu klenteng besar dan tua di kawasan ini seakan memanggil-manggil saya untuk segera masuk.
Klenteng yang dulunya bernama Klenteng Jin De Yuan (Kim Tek Ie) dan dikelola oleh Gong Guan, semacam dewan opsir Tionghoa di Batavia. Bahkan pada masanya, bersama dengan 3 klenteng lainnya, yaitu Kelenteng Da Bo Gong di Ancol, Kelenteng Tanjung (sudah tidak ada lagi), dan Kelenteng Wan Ji Sie (Wan Kiap Si) di Jalan Lautze, keempat klenteng ini sering disebut dengan “Empat Klenteng Besar”.
Klenteng ini bisa dikatakan sangat tua karena menurut Adolf Heuken pada tulisan Historical Sites of Jakarta (1989) yang mengutip dari catatan Les Chinois de Jakarta: Temples et Vie Collectives (1977) tulisan Claudine Salmon dan Denys Lombard, menyatakan bahwa pada sekitar tahun 1650, seorang letnan Tionghoa bernama Guo Xun Guan (Kwee Hoen) mendirikan sebuah klenteng untuk menghormati Guan Yin (Dewi Kwan Im) di Glodok.
Awalnya klenteng ini disebut dengan Klenteng Guan Yin Ting (Kwan Im Teng) atau berarti kediaman Guan Yin. Namun sayangnya hampir seabad kemudian klenteng ini dirusak serta dibakar dalam peristiwa Tragedi Pembantaian Angke pada tahun 1740. Pada tahun 1755 seorang kapten Tionghoa menamai kembali klenteng yang sempat dirusak lalu dipugar kembali ini dengan nama Jin De Yuan (Kim Tek Ie) yang berarti “Klenteng Kebajikan Emas”.
Ada sejarah kecil yang menarik mengenai asal kata Glodok. Konon kata Glodok berasal dari kesalahan ucap orang Tionghoa untuk menyebut kata “grojok” karena daerah ini dulunya merupakan daerah reservoir air milik pemerintah Batavia dan sering terdengar suara air mengalir yang berbunyi “grojok-grojok”. Kata “grojok” diucapkan “glodok” sehingga sekarang dijadikan nama tempat.
Kompleks klenteng ini cukup luas, sekitar 3000 meter persegi dan menghadap ke selatan yang secara Fengshui berarti membelakangi laut dan menghadap gunung. Di kompleks ini juga ada 3 buah klenteng kecil yang menjadi semacam klenteng pendahulu sebelum masuk ke klenteng utama jika kita masuk dari arah selatan.
Memasuki halaman klenteng utama, saya melihat ada 2 patung singa Bao Gu Shi yang berasal dari Provinsi Kwangtung di Tiongkok Selatan yang didatangkan pada tahun 1812. Sebuah tempat pembakaran uang-uangan kertas yang disebut dengan Jin Lu dengan bentuk atap dan hiasan pada dasarnya berbentuk bunga Lotus yang begitu cantik. Jin Lu ini adalah Jin Lu pengganti dari Jin Lu tua yang dibuat di Kwangtung pada tahun yang sama dengan singa Bao Gu Shi. Jin Lu tua yang asli ini lalu dipindahkan letaknya di halaman belakang.
Sebelum masuk, saya mengamati dengan cermat bangunan klenteng ini. Ujung-ujung atapnya dibuat melengkung dengan hiasan naga dan ornamen-ornamen dari porselen dengan genteng mengkilap berbentuk seperti ombak. Bila kita melihat ke arah kanan dan kiri sebelum masuk melalui pintu, kita akan menemukan gambar Men Shen, sang dewa penjaga pintu. Dua buah jendela kayu berbentuk lingkaran dengan ukiran Qi Lin, binatang seperti kuda namun mempunyai cula, sebagai lambang hewan keberuntungan.
Di samping pintu, terdapat ukiran burung phoenix dan naga, simbol kaisar dan ratu. Empat lentera kayu menggantung nampak menghiasi pintu depan klenteng ini. Tulisan pada papan kayu diatas pintu masuk yang menunjukan nama kelenteng ini ditulis oleh ketua klenteng pada saat itu. Begitu pula dengan tulisan di kanan dan kiri pintu masuk yang merupakan sebuah syair.
Saya pun memasuki bangunan klenteng utama. Asap hio dan lilin serta lampu minyak langsung menyeruak. Buat yang tidak tahan dengan asap pasti tidak akan betah berlama-lama di dalamnya. Berpuluh-puluh lilin raksasa berdiameter sepelukan orang dewasa tampak berdiri gagah dengan api yang menjilat-jilat. Belum lagi ukuran hio mulai dari seukuran lidi hingga yang sebesar jempol tangan orang dewasa juga menancap di pot khusus.
Beberapa meja dan altar dengan berbagai dewa dan persembahan juga tampak memenuhi ruangan. Maklum saja karena klenteng ini merupakan klenteng dari berbagai aliran agama, yaitu Tao, Konghucu, dan Budha. Inilah keunikan dari klenteng ini, meski berada di dalam satu ruangan, namun berbagai ibadah agama dilakukan bersamaan tanpa saling mengganggu.
Ada beberapa patung dewa di dalam klenteng ini. Begitu masuk, kita akan bertemu dengan dewa yang dari sosoknya saya menduga dewa ini adalah dewa kekayaan. Kemudian kita bisa melihat patung dewa San Yuan yang diduga berasal dari abad ke-17, patung dewi Guan Yi (Kwan Im), dan 3 buah patung di tembok paling belakang yang melambangkan San Zun Fo Zu, semacam tritunggal dalam agama Budha, yang disertai sejumlah patung lebih kecil, yang sebagian berasal dari abad ke-18. Di samping kanan dan kiri, ada berderet patung dalam kotak kaca yang bila dihitung berjumlah 18 buah.
Beberapa orang nampak khusyuk beribadah, memejamkan mata sambil menunduk dengan tangan memegang dan sesekali menggoyang-goyangkan hio yang dibakar ujungnya sebelum menancapkannya ke dalam pot berwarna emas di depan altar. Beberapa lagi sedang melakukan tradisi Tjiamsi, yaitu tradisi meminta petunjuk kepada dewa. Tak ketinggalan, saya pun mencoba Tjiamsi dan menurut ramalan Tjiamsi tersebut, nasib saya sedang baik.
Tjiamsi dilakukan dengan mengocok 32 buah batang bambu bernomor di dalam sebuah kotak bambu hingga jatuh sebuah batang. Kemudian setelah mendapatkan nomor, kita harus “bertanya” kepada dewa apakah nomor Tjiamsi kita cocok dengan menjatuhkan sepasang pueh. Jika pueh jatuh dalam posisi tertelungkup dan terbuka, maka nomor tersebut cocok, namun bila kedua pueh jatuh dalam posisi terbuka semua atau telungkup semua maka nomor itu tidak cocok dan kita bisa mengulangi lagi. Setelah nomor cocok, kita akan diberi kertas berisi ramalan sesuai dengan nomor yang kita dapatkan tadi.
Karena saya ndak tahan dengan asap yang ada di dalam ruangan, saya pun keluar melalui pintu samping kiri klenteng. Menarik, rupanya masih ada bangunan lain mengelilingi bangunan klenteng utama yang berada di sisi barat, utara, dan timur. Bangunan-bangunan ini ujung bumbungannya mencuat ke atas dan terbelah dua dalam gaya yang disebut “gaya ekor walet”, karena bentuknya mirip ekor burung walet yang ujung ekornya terbelah dua. Dulu bentuk ujung bumbungan seperti ini, bersama sepasang singa batu, hanya boleh dipakai untuk menghiasi bangunan klenteng dan gedung-gedung para pemuka masyarakat Tionghoa. Makanya jumlah gedung dengan gaya ekor walet seperti ini ndak banyak ditemukan.
Dalam gedung samping kiri (barat) terdapat bekas kamar-kamar para rahib. Beberapa nama mereka masih tertulis pada beberapa lempeng batu. Dalam kamar pertama terdapat altar paling tua dari seluruh klenteng. Kamar kedua diisi patung dewa Tao Fu De Zheng Shen (Hok Tek Tjen Sin), dewa bumi dan kekayaan.
Di gedung belakang (utara), di dalam ruangan tengah, terdapat patung dewa setempat yang dihormati yang bernama Ze Hai Zhen Ren (Cek Hay Cen Ren). Namun nama sesungguhnya adalah Guo Liuk Kwan (Kwee Lak Kwa). Selain itu sebuah lonceng buatan tahun 1825 nampak teronggok manis di pojok kanan halaman belakang yang merupakan lonceng tertua dari semua klenteng di Jakarta.
Akhirnya di sayap kanan (timur), ada 2 ruangan yang berisi altar untuk menghormati Qing Shui Zu Shi, yang berarti “tuan karang terjal yang disebut Qing Shui Yan”. Nama sesungguhnya Chen Pu Zu dan dihormati juga di kelenteng Tanjungkait di utara Tangerang. Di sayap timur ini banyak orang sedang mempersiapkan persembahan, mulai dari buah apel, telor asin, hingga kertas-kertas bertuliskan huruf-huruf cina.
Saya kembali masuk ke bangunan klenteng utama untuk keluar dari pintu gerbang utama di mana saya masuk tadi. Saya sempat melihat sebuah pinggan yang berisi kue kranjang yang sudah digoreng berbalur telur. Kue ini boleh diambil dan dimakan, namun karena khawatir dengan kehalalannya, saya ndak mengambil dan hanya mengamati.
Saya keluar menuju ke 3 klenteng pendamping di depan. Masing-masing klenteng ini dipersembahkan kepada 3 dewa, yaitu Hui Ze Miao (kelenteng untuk leluhur Hakka), Di Cang Wang Miao (dipersembahkan kepada dewa neraka), dan Xuan Tan Gong, yang dipersembahkan kepada dewa pemberi kekayaan.
Di luar klenteng saya menemukan banyak penjual burung. Berbagai burung dijual di sini, mulai dari burung gereja hingga burung gelatik. Ada kepercayaan dari kaum Tionghoa, yaitu jika kita membebaskan burung sejumlah usia kita maka usia kita akan dipanjangkan dan harapan kita akan dikabulkan.
Saya pun pulang dengan menyusuri kembali kawasan Petak Sembilan. Transaksi ala pasar nampak terlihat di beberapa sudut. Beberapa hiasan sisa-sisa perayaan imlek masih nampak tergantung di beberapa sudut. Bau masakan yang menggoda membuat perut menjadi lapar. Namun saya mengurungkan niat karena di kawasan ini banyak makanan yang berbahan dasar babi.
sumber: http://jengjeng.matriphe.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar