Komedian Betawi Mandra Naih (49) ketiban apes. Maksud hati dia
sekadar menjual tiga filmnya yang pernah diputar di stasiun tv swasta ke TVRI
melalui jasa broker dan penghubung. Untuk tiga filmnya –Jenggo (26 episode),
Gue Sayang (20 episode) dan Zoro (25 episode)—dia menerima pembayaran Rp1,6
miliar. Namun, dalam berkas transaksi, ketiga film tersebut dibanderol Rp15,3
miliar. Lebih parah lagi, Kejaksaan Agung (10/2/2015) menetapkan Mandra sebagai
tersangka kasus dugaan korupsi program siap siar di TVRI senilai Rp40 miliar.
Tampak jelas angka-angka proyek yang digelembungkan, berapa
yang diterima oleh yang berhak dan berapa pula yang tercantum dalam proyek.
Saya tak hendak menyoroti esensi perkara siapa yang salah, siapa yang bermain
dan bagaimana posisi Mandra dalam perkara ini. Saya hanya ingin berbagi sebuah
pengalaman yang boleh jadi fenomena lama ini masih terus mewabah di dalam
permainan proyek di lingkungan pemerintah daerah, pemerintah provinsi sampai
pemerintah pusat.
Suatu hari beberapa tahun silam, masuk pemberitahuan melalui
email saya. Isinya, seorang kepala bagian (Kabag) pada pemerintah kabupaten di Sumatera
meminta saya membuatkan majalah sekali terbit untuk kepentingan promosi daerah
dan pembukaan rute baru penerbangan. Tidak banyak, majalah cuma 16 halaman dan
dicetak dalam jumlah minimal. Setelah dihitung-hitung lalu ketemu ongkos kerja
sekaligus cetak Rp8,5 juta --angka yang relatif kecil untuk ukuran sebuah
proyek.
Dan angka itu pun disetujui oleh sang Kabag. Sampailah pada
satu kesepakatan tenggat waktu penyelesaian dan saya tepati pula. Di saat yang
telah disepakati, kami bertemu di satu hotel di Jakarta untuk paraf persetujuan
isi majalah untuk naik cetak dan pembayaran uang. Sang kabag sampaikan bahwa
hari itu dia akan berikan uang muka dan sisanya dibayar setelah majalah sampai
di tangannya. Lantaran masih ada urusan di tempat lain, sang Kabag minta saya
menemui stafnya di hotel pempatnya menginap. Saya katakan “ok”.
Saya pun bersua staf sang Kabag. Si staf menyodorkan dua
kuitansi: satu kuitansi pembayaran senilai Rp8,5 juta dan satu kuitansi senilai
Rp40 juta. Dan saya diminta menanda-tangani dua-duanya. Spontan saya protes. Saya
hanya mau tanda-tangan sesuai kesepakatan Rp8,5 juta. Lantas si staf mengontak
sang Kabag. Setelah agak alot akhirnya sang Kabag menyetujui bahwa saya cukup
tanda tangan pada kuitansi Rp8,5 juta.
Satu hal menarik. Ketika hendak memulai pekerjaan ini, sang
Kabag berjanji akan memberikan proyek lain berupa pekerjaan penulisan buku
profil daerah. Rupanya, kekerasan hati saya menolak menanda-tangani kuitansi
Rp40 juta berbuntut. Proyek yang dijanjikan itu pun tak berkabar sampai
sekarang.
Sungguh dilematis. Terlebih bagi orang yang hanya mengandalkan
pekerjaan lepas dari proyek ke proyek. Bila diterima maka hati dirundung rasa
bersalah, jika tidak diterima maka nihil penghasilan.
Sebagai orang yang meyakini bahwa rezeqi sudah ada yang
mengatur, saya memilih menuruti kata hati. Memang terasa pahit. Tapi, hati
terasa plong lepas dari permainan penggelembungan proyek. Bersyukur, sampai
sekarang pekerjaan terus mengalir dari waktu ke waktu. Selesai pekerjaan yang
satu, menyusul pekerjaan berikutnya.
Melalui kasus Mandra ini bisa ditarik pelajaran bahwa kita
mesti hati-hati dalam bermain dengan proyek-proyek pemerintah. Penyakit lama
penggelembungan proyek belum juga sembuh. Mari kita mulai dari diri kita
sendiri untuk mengatakan “tidak” pada permainan penggelembungan proyek. Mari kita
komit membersihkan birokrasi perproyekan lewat diri kita yang ada di luar
pengambil kebijakan proyek. Sulit rasanya kita berharap banyak perubahan
perilaku dan mental pada pelaku-pelaku internal perproyekan, broker dan
penghubung. Banyak di antara mereka yang masih saja mengedepankan mental dan
perilaku pemburu rente. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar