Minggu, 05 Juli 2015

Mandra dan Main-main Proyek



Komedian Betawi Mandra Naih (49) ketiban apes. Maksud hati dia sekadar menjual tiga filmnya yang pernah diputar di stasiun tv swasta ke TVRI melalui jasa broker dan penghubung. Untuk tiga filmnya –Jenggo (26 episode), Gue Sayang (20 episode) dan Zoro (25 episode)—dia menerima pembayaran Rp1,6 miliar. Namun, dalam berkas transaksi, ketiga film tersebut dibanderol Rp15,3 miliar. Lebih parah lagi, Kejaksaan Agung (10/2/2015) menetapkan Mandra sebagai tersangka kasus dugaan korupsi program siap siar di TVRI senilai Rp40 miliar.
Tampak jelas angka-angka proyek yang digelembungkan, berapa yang diterima oleh yang berhak dan berapa pula yang tercantum dalam proyek. Saya tak hendak menyoroti esensi perkara siapa yang salah, siapa yang bermain dan bagaimana posisi Mandra dalam perkara ini. Saya hanya ingin berbagi sebuah pengalaman yang boleh jadi fenomena lama ini masih terus mewabah di dalam permainan proyek di lingkungan pemerintah daerah, pemerintah provinsi sampai pemerintah pusat.
Suatu hari beberapa tahun silam, masuk pemberitahuan melalui email saya. Isinya, seorang kepala bagian (Kabag) pada pemerintah kabupaten di Sumatera meminta saya membuatkan majalah sekali terbit untuk kepentingan promosi daerah dan pembukaan rute baru penerbangan. Tidak banyak, majalah cuma 16 halaman dan dicetak dalam jumlah minimal. Setelah dihitung-hitung lalu ketemu ongkos kerja sekaligus cetak Rp8,5 juta --angka yang relatif kecil untuk ukuran sebuah proyek.
Dan angka itu pun disetujui oleh sang Kabag. Sampailah pada satu kesepakatan tenggat waktu penyelesaian dan saya tepati pula. Di saat yang telah disepakati, kami bertemu di satu hotel di Jakarta untuk paraf persetujuan isi majalah untuk naik cetak dan pembayaran uang. Sang kabag sampaikan bahwa hari itu dia akan berikan uang muka dan sisanya dibayar setelah majalah sampai di tangannya. Lantaran masih ada urusan di tempat lain, sang Kabag minta saya menemui stafnya di hotel pempatnya menginap. Saya katakan “ok”.
Saya pun bersua staf sang Kabag. Si staf menyodorkan dua kuitansi: satu kuitansi pembayaran senilai Rp8,5 juta dan satu kuitansi senilai Rp40 juta. Dan saya diminta menanda-tangani dua-duanya. Spontan saya protes. Saya hanya mau tanda-tangan sesuai kesepakatan Rp8,5 juta. Lantas si staf mengontak sang Kabag. Setelah agak alot akhirnya sang Kabag menyetujui bahwa saya cukup tanda tangan pada kuitansi Rp8,5 juta.
Satu hal menarik. Ketika hendak memulai pekerjaan ini, sang Kabag berjanji akan memberikan proyek lain berupa pekerjaan penulisan buku profil daerah. Rupanya, kekerasan hati saya menolak menanda-tangani kuitansi Rp40 juta berbuntut. Proyek yang dijanjikan itu pun tak berkabar sampai sekarang.
Sungguh dilematis. Terlebih bagi orang yang hanya mengandalkan pekerjaan lepas dari proyek ke proyek. Bila diterima maka hati dirundung rasa bersalah, jika tidak diterima maka nihil penghasilan.
Sebagai orang yang meyakini bahwa rezeqi sudah ada yang mengatur, saya memilih menuruti kata hati. Memang terasa pahit. Tapi, hati terasa plong lepas dari permainan penggelembungan proyek. Bersyukur, sampai sekarang pekerjaan terus mengalir dari waktu ke waktu. Selesai pekerjaan yang satu, menyusul pekerjaan berikutnya.
Melalui kasus Mandra ini bisa ditarik pelajaran bahwa kita mesti hati-hati dalam bermain dengan proyek-proyek pemerintah. Penyakit lama penggelembungan proyek belum juga sembuh. Mari kita mulai dari diri kita sendiri untuk mengatakan “tidak” pada permainan penggelembungan proyek. Mari kita komit membersihkan birokrasi perproyekan lewat diri kita yang ada di luar pengambil kebijakan proyek. Sulit rasanya kita berharap banyak perubahan perilaku dan mental pada pelaku-pelaku internal perproyekan, broker dan penghubung. Banyak di antara mereka yang masih saja mengedepankan mental dan perilaku pemburu rente.  (*)  
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar