Jumat, 19 Februari 2016

Penyair Alwy, Kenangan dalam 100 Hari

ALWY__14558-crop

FOTO

ALWY, dia biasa dipanggil teman seusianya. Lelaki tak begitu tinggi dan tak juga pendek ini kelahiran Cirebon, 26 Agustus 1962. Anak keluarga pesantren, menempuh studi dan lulus dari IAIN (kini UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Semasa di Yogya, penyair seangkatan Hamdy Salad, Mathowi A Elwa, Ulfatin Ch.–untuk menyebut beberapa nama saja–ini, tak asing di jagad sastra Indonesia.
Pada 1987, penyair bernama lengkap Ahmad Syubbanuddin Alwy ini menjadi “duta” Yogyakarta mengikuti Temu Penyair Indonesia 87 yang ditaja Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Bersama sekira 80-an penyair muda se Indonesia.
Alwy sudah menunjukkan sebagai penyair masa depan, kala itu. Puisi-puisinya yang pada masa itu cenderung sufistik-islami telah “membetot” para penyair senior, seperti Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Abrar Yusra.
Selepas “nyantri’ di UIN Yogyakarta, Alwy kembali ke kota kelahirannya: Cirebon. Di sini ia makin “menggila” dalam menjaga dan membangun proses kreatif kepenyairannya.
Sebuah puisi panjang ihwal Cirebon ia tulis. Puisi “sejarah” itu ia beri tajuk “Cirebon, 630 Tahun Kemudian” amat menggetarkan. Entah, apakah puisi ini kemudian masuk dalam buku puisi dia. Sebab, Alwy memang bukan tipe penyair “suka” menerbitkan buku puisi. Puisi-puisi dia tersebar dan terdokumentasi di media massa maupun buku-buku antologi puisi bersama.
Alwy di luar kepenyairannya, adalah manusia humoris dan “jahil” terhadap kawan-kawan. Siapa pun yang berjumpa dengannya, apalagi penyair di bawah usia darinya, pasti mendapat “olok-olok” seorang sahabat.
Bagi yang telinganya tipis dan hati tak sekuat besi, niscaya akan mudah tersinggung. Bahkan, membara dan berang, dan bisa-bisa tak seenakan. Ini pun pernah saya alami, saat rehat di malam hari pada Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) di Johor Bahru, Malaysia, dua puluhan tahun silam.
Tetapi, Alwy ternyata bukanlah tipe pemberang. Ia juga tak mudah terpengaruh, ketika kawan yang dicandainya sedang emosi. Ia akan tertawa (cengengesan, Red). Lalu diam, dan beberapa jenak kemudian ia kembali mengajak berbicara. Bercanda lagi.
Sepertinya, tiada hari tanpa canda dan mencandai kawan-kawannya. Almarhum Hamid Jabbar, hampir tak mampu menahan emosi karena “dicandai” Alwy saat jeda hendak ke PSN di Batam.
Begtulah Alwy. Suasana tak ramai jika tiada dia. Hampir setiap perhelatan sastra, Alwy langganan ditunjuk jadi pembawa acara (MC). Saat menyebut sastrawan yang hendak membacakan karyanya di panggung, narasi Alwy bisa membuat pengunjung “gerr” dan yang dicandai “mesem-mesem” menahan amarah.
Semasa hidup, Alwy bukan saja dikenal sebagai penyair. Ia juga penulis esai yang baik, pembicara (narasumber) di sejumlah kegiatan kebudayaan, peneliti, dan aktivis. Ia juga orang pertama di Indonesia yang memimpin Dewan Kesenian Cirebon (DKC) dari awal hingga akhir hayat, tanpa pernah meminta anggaran dari pemerintah (Cirebon).
Soal anggaran bagi DKC, saya pernah “menasihati” karena pemerintah berkewajiban mengucurkan dana kepada kegiatan senibudaya, apalagi sebagian dari APBD itu diambil dari pajak milik rakyat. Tetapi, Alwy tetap keukeh, sepertinya tak menginginkan lembaga kesenian yang dipimpinnya mendapat “belas kasihan” pemerintah.
Ketika Kongres Dewan Kesenian se Indonesia di Papua, yang salah satu agendanya hendak membentuk Dewan Kesenian Indonesia (DKI) yang digagas Ratna Sarumpaet–saat itu Ketua DKJ–saya dan Alwy berada di barisan depan untuk menolak.
Alasan penolakan kami saat itu bukan menolak lahir DKI, tetapi orang-orang yang akan menempati rumah itu. Sekiranya DKI dibentuk dulu sementara pengurusnya dilakukan pemilihan kemudian, barangkali saja kami sepakat.
Saat kami ditunjuk menjadi tim perumus, juga tetap menolak. Bahkan, jika ada “tawaran” masuk dalam kepengurusan. Alwy bilang, “saya ingin membangun Cirebon”. Saya pun menambahkan, “Lampung juga perlu dibangunkan!”
Hingga kini Dewan Kesenian Indonesia belum mewujud. Sementara Dewan Kesenian di daerah-daerah mulai adem, dan sebagian malah tak terdengar kiprahnya.
Alwy memang sahabat yang selalu dirindu. Ia sumber “keriuhan” di suatu acara. Ia juga “pembanyol” yang mampu mengocok perut kawan-kawan. Tetapi, sebagai manusia, ia kerap membuat kawannya tersulut emosi karena kata-katanya tak sengaja bagaikan cabai rawit.
Penyair ini dikenal sangat penolong. Banyak kawan-kawan seniman telah merasakan bantuannya. Dia juga “penyemangat” bagi seniman muda. Rasa tolong dan pertemanan, sangat saya rasakan.
Suatu kesempatan, rinduku pada kampung kelahiran ibu di Winduaji, Cirebon amat menggebu. Ia menawarkan diri untuk mengantar. Bersama Edeng Syamsul Ma’arif, dan Dirot Kadirah–pelukis–aku diantar menemui leluhur ibu.
Lalu, saat hendak mengambil putriku yang selesai “nyantri” di pondok pesantren di kawasan Cilimus, lagi-lagi Alwy siap direpotkan. Inilah Alwy.
Sebagai penyair, karya-karya Alwy tersebar di berbagai media massa, seperi Horison, Media Indonesia, Republika, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, dan sejumlah buku antologi puisi bersama penyair lain.
 Alwy penulis baris-bari puisi demikian:
jalan-jalan masih berdarah, luka pohonan
berkabut dalam risik gelisah, riuh pertempuran
menghambur hancur ke pelukanku semalaman, dan…
(salah satu bait puisi “Kenangan, Seperempat Anad Silam”)
Alwy telah tiada kini. Persisnya, 2 November 2015 penyair dan budayawan asal Cirebon ini dipanggil Illahi, setelah beberapa hari menderita sakit dan dirawat di rumah sakit.
Pada 21 Februari 2016 kawan-kawan sesama penyair “membesarkan” UIN Yogyakarta membuat perhelatan untuk mengenang 100 Hari Wafat Ahmad Syubbanuddin Alwy, di Gedung PKKH Universitas Gajah Mada, pukul 18.30 hingga tuntas.
Sepatutnya Pemkot Cirebon menempatkan Alwy pada posisi yang tinggi. Ia telah banyak berjuang memperkenalkan Cirebon di tingkat nasional dan internasional. Betapa pun ia kerap berseberangan dengan penguasa.
Banyak kenangan bersama Alwy, seperti “kenangan” kita terhadap puisi-puisinya, tetapi hanya sedikit perjumpaan itu. Alwy, kukenang kau dalam syair-syairmu, kicaumu, tawamu, ketulusanmu… (isbedy stiawan zs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar