Minggu, 06 Maret 2016

Kontroversi Monumen Laskar Tionghoa


 Barangkali siapa yang layak dipahlawankan begitu relatif, tergantung ruang, waktu dan rezim yang berkuasa. Sebab itu pula, monumen kepahlawan acap mengundang pro dan kontra.
=================
Peristiwa peresmiannya telah berlalu beberapa waktu. Dapat dikatakan terlewat dari perhatian khalayak. Ya, medio November 2015 lalu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo meresmikan Monumen Perjuangan Laskar Tionghoa di Taman Budaya Tionghoa, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur. Tjahjo menyambut baik pembangunan monumen ini sebagai bentuk perjuangan kepada pejuang bangsa.
“Monumen ini sangat penting karena mengingatkan siapa leluhur kita, perjuangan bangsa kita melawan penjajah,” ucap Tjahjo, di TMII, Jakarta Timur, sebagaimana dilansir www.detik.com, Sabtu (14/11/2015).
Tjahjo mengatakan, pembangunan monumen ini juga harus dijadikan sebagai momentum persatuan dan kesatuan bangsa. Menurutnya, sudah tidak ada lagi permasalahan ras, suku dan agama di tanah air ini. “Jangan sampai kita tercerai berai karena keberagaman, kita harus hidup penuh kedamaian. Tidak ada lagi mayoritas dan minoritas!” tegasnya. Monumen Perjuangan Laskar Tionghoa bercerita tentang perjuangan laskar Tionghoa dan Jawa selama tiga tahun (1740-1743) dalam mengusir VOC.
Baru sekitar bulan Februari 2016, muncul reaksi atas peresmian Monumen Laskar Perjuangan Tionghoa yang juga disebut Monumen Po An Tui itu. Penilaian minor datang dari Ketua Presidium Dewan Rakyat Dayak Bernadus. Menurut dia, kebijakan itu tidak benar karena menyakiti nurani suku bangsa yang lain. "Kenapa harus monumen laskar Tionghoa. Padahal, laskar  Rakyat Dayak banyak yang berjuang namun tidak pernah diapresiasi bentuk perjuangnanya. Kami mengecam Mendagri yang menganak-emaskan etnik tertentu. Peresmian monumen Po An Tui Laskar Tiong Hoa jelas menyakiti  rakyat Dayak yang lebih banyak membuat laskar untuk membela negeri ini," tegas Bernadus dalam pernnyataanya seperti dikuti www.republika.co.id, Senin (29/2).
Bernadus menambahkan suku Dayak adalah satu-satunya suku yang menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia pada 17 Desember 1946 dengan tata cara upacara sakral Suku Dayak di Gedung Agung Istana Presiden Yogyakarta yang dipimpin langsung oleh tokoh Dayak Tjilik Riwut. Tjilik merupakan anggota tentara nasional Indonesia, penerjun pertama yang dimiliki oleh Republik Indonesia  asli suku Dayak.
"Suku Dayak juga pernah terlibat aktif dalam memadamkan upaya pemberontakan dari etnis Tionghoa yang dikenal dengan peristiwa penyerangan Pangkalan II angkatan udara RI di Sangau Ledo yang dilakukan oleh barisan rakyat," ungkapnya. Menurutnya, pemberontakan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa itu menyisakan luka bagi Suku Dayak yang dikenal peristiwa Makuk Merah.
Penilaian senada juga datang dari Presiden Gerakan Pribumi Indonesia (Geprindo) Bastian Simanjuntak sebagaimana dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Senin (22/2). Justru, sebut Bastian, Laskar Po An Tui musuh para pejuang revolusi dalam merebut kemerdekaan. "Laskar Po An Tui bukan pejuang kemerdekaan republik. Laskar Po An Tui bekerjasama dengan Belanda, Inggris, dan asosiasi bangsa Cina di luar negeri seperti Hua Ch’iao Cung Hui dan Kuomintang (partai nasionalis Cina) melawan para pejuang revolusi RI pasca proklamasi kemerdekaan," katanya.
Bastian mengungkapkan hal itu bisa dilihat dari sejarah Laskar Po An Tui. Pada tanggal 13 Desember 1945, media bangsa Cina mempublikasikan pembukaan perekrutan organisasi pertahanan bangsa Cina. Setelah direkrut tamtama sebanyak 300 pemuda, Laskar Po An Tui ketika itu melakukan upaya kolektif melepaskan bangsa Cina dari kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Inisiatif gerakan ini diambil oleh Hua Ch'iao Chung Hui.
"Di Medan di mana populasi warga keturunan Cina cukup besar, Laksar Po An Tui dikenal sangat kejam dan mereka bekerja sama dengan Belanda. Po An Tui telah berada di Medan sejak Desember 1946, sebelum akhirnya Belanda kembali ke Medan untuk menyusun pemerintahannya dan mengambil-alih komando militer dari angkatan bersenjata Inggris," terang Bastian.
Orang-orang Cina di Medan, masih kata Bastian, membentuk Laskar Po An Tui atas inisiatif sendiri. Dalam perjalanannya, Laskar Po An Tui bersekutu dengan militer Belanda di bawah komando Belanda. Pada waktu Belanda kembali pada tahun 1946, Po An Tui sudah membangun kekuatan organisasi militer dengan kecakapan yang luar biasa buat melawan para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Lantaran pasukan Laskar Po An Tui sangat efektif memproteksi komunitas masyarakat Cina, pasukan bersenjata Belanda memberikan pangkat tamtama kepada pasukan Po An Tui. Belanda juga mempersenjatai mereka dengan tujuan membantu tentara Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) mempertahankan Medan dari perlawanan para pejuang republik.
Menjadi pertanyaan, tegas Bastian, mengapa Mendagri Tjahjo Kumolo saat meresmikan monumen Po An Tui di Taman Mini Indonesia Indah itu menggambarkan Laskar Po An Tui sebagai laskar Bangsa Cina yang bersama-sama dengan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda pada tahun 1740-1743. "Mendagri Tjahjo Kumolo harus jujur menjelaskan apa sebenarnya tujuan pembangunan monumen tersebut? Jangan-jangan dia sengaja ingin membangkitkan kembali semangat kebangsaan Cina di Indonesia," tukasnya.
Coba tanyakan kepada sejarawan Tionghoa di Indonesia. Sebagian besar pasti tak berbicara banyak, karena yang mereka ketahui hanya sedikit. Yang lebih banyak adalah pengingkaran terhadap sisi kelam Pao An Tui. Sebagaimana dilansir republika.co.id, hasil penelitian Andjarwati Noorhidajah yang terangkum dalam buku Tionghoa di Surabaya serta Memoir Soemarsono Komandan Pemuda Rakyat, menyebutkan bahwa Po An Tui Surabaya terlibat membantu NICA dalam perang 10 Nopember dan Bung Tomo marah lalu mengobarkan semangat anti-Tionghoa. Akibatnya, terjadi pembantaian masyarakat Tionghoa di Medan, Tangerang, Bagan Siapi-api, dan kota-kota di Jawa Barat (Karawang) dan Jawa Tengah.
Keterlibatan Po An Tui Surabaya membantu NICA inilah yang diingkari banyak sejarawan masyarakat Tionghoa Indonesia. Pengingkaran itu terjadi sejak awal. Buktinya, ketika masyarakat Tionghoa Medan berupaya melindungi diri, mereka membentuk Po An Tui dan meminta Jenderal TED Kelly, komandan pasukan Inggris, mempersenjatai mereka.
Fakta yang digunakan masyarakat Tionghoa Indonesia untuk membersihkan nama Po An Tui adalah organisasi ini resmi dibentuk 28 Agustus 1947 di Jakarta atas restu PM Sutan Sjahrir. Oey Tjoe Tat, mantan menteri keuangan era Soekarno, juga menggunakan fakta yang sama untuk mengatakan Po An Tui bukan antek Belanda.
Oey Tjoe Tat mengingkari keterlibatan Po An Tui di Surabaya. Namun Siaow Giok Tjhan, pahlawan kemerdekaan Indonesia dari etnis Tionghoa, tidak. Demikian pula Liem Koen Hian, tokoh Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang sejak 1930 mengkampanyekan nasionalisme Indonesia bagi masyarakat Tionghoa peranakan. Sikap keduanya terlihat saat menanggapi pembantaian Tionghoa di Tangerang, dengan menuduh Belanda diuntungkan oleh pembantaian itu. Fakta memperlihatkan kerusuhan Tangerang dipicu penurunan merah-putih oleh seorang anggota Po An Tui.
Po An Tui di Tangerang dibentuk oleh Chung Hua Hui — organisasi para tuan tanah kaya yang menjadi anak emas Belanda selama sekian ratus tahun — yang pro NICA. Ada informasi sulit diklarifikasi menyebutkan Po An Tui Tangerang berniat mendirikan negara Capitanate of Tangerang. Po An Tui di Jakarta dipersenjatai Jenderal Spoor, komandan NICA. Po An Tui di Bandung diberi akses ke perdagangan gelap senjata di Singapura oleh Raymond Westerling.
Satu hal yang disesali Siaow Giok Tjhan dan Lim Koen Hian sampai akhir hayatnya adalah mengapa Bung Tomo menggeneralisir bahwa seluruh Tionghoa di Indonesia pro-Belanda. Bung Tomo mengabaikan fakta Tony Wen, keturunan Tionghoa asal Malang, yang membentuk Pasukan Berani Mati untuk menghambat Belanda. Laskar Liar mengabaikan hal ini, sampai akhirnya Tragedi Mergosono —pembakaran 30 etnis Tionghoa Malang, Agustus 1947— terjadi.
Presiden Soekarno pun nyaris mengakui Po An Tui. Namun dia mengurungkan niatnya setelah sebagian masyarakat Tionghoa, terutama kaum kiri dan nasionalis macam Lim Koen Hian dan Siaow Giok Tjhan menentangnya.
Sejarah perjuangan bangsa memang kerap melahirkan kontroversi. Kepahlawan tampak sangat relatif, kadang tergantung pada kepentingan yang mengemuka. (BN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar