Barangkali siapa yang layak
dipahlawankan begitu relatif, tergantung ruang, waktu dan rezim yang berkuasa.
Sebab itu pula, monumen kepahlawan acap mengundang pro dan kontra.
=================
Peristiwa peresmiannya telah berlalu beberapa
waktu. Dapat dikatakan terlewat dari perhatian khalayak. Ya, medio November
2015 lalu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo meresmikan Monumen
Perjuangan Laskar Tionghoa di Taman Budaya Tionghoa, Taman Mini Indonesia Indah
(TMII), Jakarta Timur. Tjahjo menyambut baik pembangunan monumen ini sebagai
bentuk perjuangan kepada pejuang bangsa.
“Monumen ini sangat penting karena
mengingatkan siapa leluhur kita, perjuangan bangsa kita melawan penjajah,” ucap
Tjahjo, di TMII, Jakarta Timur, sebagaimana dilansir www.detik.com, Sabtu (14/11/2015).
Tjahjo mengatakan, pembangunan monumen ini
juga harus dijadikan sebagai momentum persatuan dan kesatuan bangsa.
Menurutnya, sudah tidak ada lagi permasalahan ras, suku dan agama di tanah air
ini. “Jangan sampai kita tercerai berai karena keberagaman, kita harus hidup
penuh kedamaian. Tidak ada lagi mayoritas dan minoritas!” tegasnya. Monumen Perjuangan
Laskar Tionghoa bercerita tentang perjuangan laskar Tionghoa dan Jawa selama
tiga tahun (1740-1743) dalam mengusir VOC.
Baru sekitar bulan Februari 2016, muncul
reaksi atas peresmian Monumen Laskar Perjuangan Tionghoa yang juga disebut
Monumen Po An Tui itu. Penilaian minor datang dari Ketua Presidium Dewan Rakyat
Dayak Bernadus. Menurut dia, kebijakan itu tidak benar karena menyakiti nurani
suku bangsa yang lain. "Kenapa harus monumen laskar Tionghoa. Padahal,
laskar Rakyat Dayak banyak yang berjuang
namun tidak pernah diapresiasi bentuk perjuangnanya. Kami mengecam Mendagri
yang menganak-emaskan etnik tertentu. Peresmian monumen Po An Tui Laskar Tiong
Hoa jelas menyakiti rakyat Dayak yang
lebih banyak membuat laskar untuk membela negeri ini," tegas Bernadus dalam
pernnyataanya seperti dikuti www.republika.co.id,
Senin (29/2).
Bernadus menambahkan suku Dayak adalah
satu-satunya suku yang menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia pada
17 Desember 1946 dengan tata cara upacara sakral Suku Dayak di Gedung Agung
Istana Presiden Yogyakarta yang dipimpin langsung oleh tokoh Dayak Tjilik
Riwut. Tjilik merupakan anggota tentara nasional Indonesia, penerjun pertama yang
dimiliki oleh Republik Indonesia asli
suku Dayak.
"Suku Dayak juga pernah terlibat aktif
dalam memadamkan upaya pemberontakan dari etnis Tionghoa yang dikenal dengan
peristiwa penyerangan Pangkalan II angkatan udara RI di Sangau Ledo yang
dilakukan oleh barisan rakyat," ungkapnya. Menurutnya, pemberontakan yang
dilakukan oleh etnis Tionghoa itu menyisakan luka bagi Suku Dayak yang dikenal
peristiwa Makuk Merah.
Penilaian senada juga datang dari Presiden
Gerakan Pribumi Indonesia (Geprindo) Bastian Simanjuntak sebagaimana dilansir Kantor
Berita Politik RMOL, Senin (22/2). Justru, sebut Bastian, Laskar Po An
Tui musuh para pejuang revolusi dalam merebut kemerdekaan. "Laskar
Po An Tui bukan pejuang kemerdekaan republik. Laskar Po An Tui bekerjasama
dengan Belanda, Inggris, dan asosiasi bangsa Cina di luar negeri seperti
Hua Ch’iao Cung Hui dan Kuomintang (partai nasionalis Cina) melawan para
pejuang revolusi RI pasca proklamasi kemerdekaan," katanya.
Bastian mengungkapkan hal itu bisa dilihat
dari sejarah Laskar Po An Tui. Pada tanggal 13 Desember 1945, media bangsa Cina
mempublikasikan pembukaan perekrutan organisasi pertahanan bangsa Cina. Setelah
direkrut tamtama sebanyak 300 pemuda, Laskar Po An Tui ketika itu melakukan
upaya kolektif melepaskan bangsa Cina dari kesulitan-kesulitan yang mereka
hadapi. Inisiatif gerakan ini diambil oleh Hua Ch'iao Chung Hui.
"Di Medan di mana populasi warga
keturunan Cina cukup besar, Laksar Po An Tui dikenal sangat kejam dan mereka
bekerja sama dengan Belanda. Po An Tui telah berada di Medan sejak Desember
1946, sebelum akhirnya Belanda kembali ke Medan untuk menyusun pemerintahannya
dan mengambil-alih komando militer dari angkatan bersenjata Inggris," terang
Bastian.
Orang-orang Cina di Medan, masih kata Bastian,
membentuk Laskar Po An Tui atas inisiatif sendiri. Dalam perjalanannya, Laskar
Po An Tui bersekutu dengan militer Belanda di bawah komando Belanda. Pada waktu
Belanda kembali pada tahun 1946, Po An Tui sudah membangun kekuatan organisasi
militer dengan kecakapan yang luar biasa buat melawan para pejuang kemerdekaan
Indonesia.
Lantaran pasukan Laskar Po An Tui sangat
efektif memproteksi komunitas masyarakat Cina, pasukan bersenjata Belanda
memberikan pangkat tamtama kepada pasukan Po An Tui. Belanda juga
mempersenjatai mereka dengan tujuan membantu tentara Koninklijk
Nederlands-Indisch Leger (KNIL) mempertahankan Medan dari perlawanan para
pejuang republik.
Menjadi pertanyaan, tegas Bastian, mengapa Mendagri
Tjahjo Kumolo saat meresmikan monumen Po An Tui di Taman Mini Indonesia Indah itu
menggambarkan Laskar Po An Tui sebagai laskar Bangsa Cina yang bersama-sama
dengan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda pada tahun 1740-1743.
"Mendagri Tjahjo Kumolo harus jujur menjelaskan apa sebenarnya tujuan
pembangunan monumen tersebut? Jangan-jangan dia sengaja ingin membangkitkan
kembali semangat kebangsaan Cina di Indonesia," tukasnya.
Coba tanyakan kepada sejarawan Tionghoa di
Indonesia. Sebagian besar pasti tak berbicara banyak, karena yang mereka
ketahui hanya sedikit. Yang lebih banyak adalah pengingkaran terhadap sisi
kelam Pao An Tui. Sebagaimana dilansir republika.co.id,
hasil penelitian Andjarwati Noorhidajah yang terangkum dalam buku Tionghoa
di Surabaya serta Memoir Soemarsono Komandan Pemuda Rakyat,
menyebutkan bahwa Po An Tui Surabaya terlibat membantu NICA dalam perang 10
Nopember dan Bung Tomo marah lalu mengobarkan semangat anti-Tionghoa.
Akibatnya, terjadi pembantaian masyarakat Tionghoa di Medan, Tangerang, Bagan
Siapi-api, dan kota-kota di Jawa Barat (Karawang) dan Jawa Tengah.
Keterlibatan Po An Tui Surabaya membantu NICA
inilah yang diingkari banyak sejarawan masyarakat Tionghoa Indonesia.
Pengingkaran itu terjadi sejak awal. Buktinya, ketika masyarakat Tionghoa Medan
berupaya melindungi diri, mereka membentuk Po An Tui dan meminta Jenderal TED
Kelly, komandan pasukan Inggris, mempersenjatai mereka.
Fakta yang digunakan masyarakat Tionghoa
Indonesia untuk membersihkan nama Po An Tui adalah organisasi ini resmi
dibentuk 28 Agustus 1947 di Jakarta atas restu PM Sutan Sjahrir. Oey Tjoe Tat,
mantan menteri keuangan era Soekarno, juga menggunakan fakta yang sama untuk mengatakan
Po An Tui bukan antek Belanda.
Oey Tjoe Tat mengingkari keterlibatan Po An
Tui di Surabaya. Namun Siaow Giok Tjhan, pahlawan kemerdekaan Indonesia dari
etnis Tionghoa, tidak. Demikian pula Liem Koen Hian, tokoh Partai Tionghoa
Indonesia (PTI) yang sejak 1930 mengkampanyekan nasionalisme Indonesia bagi
masyarakat Tionghoa peranakan. Sikap keduanya terlihat saat menanggapi
pembantaian Tionghoa di Tangerang, dengan menuduh Belanda diuntungkan oleh
pembantaian itu. Fakta memperlihatkan kerusuhan Tangerang dipicu penurunan
merah-putih oleh seorang anggota Po An Tui.
Po An Tui di Tangerang dibentuk oleh Chung Hua
Hui — organisasi para tuan tanah kaya yang menjadi anak emas Belanda selama
sekian ratus tahun — yang pro NICA. Ada informasi sulit diklarifikasi
menyebutkan Po An Tui Tangerang berniat mendirikan negara Capitanate of
Tangerang. Po An Tui di Jakarta dipersenjatai Jenderal Spoor, komandan
NICA. Po An Tui di Bandung diberi akses ke perdagangan gelap senjata di
Singapura oleh Raymond Westerling.
Satu hal yang disesali Siaow Giok Tjhan dan
Lim Koen Hian sampai akhir hayatnya adalah mengapa Bung Tomo menggeneralisir
bahwa seluruh Tionghoa di Indonesia pro-Belanda. Bung Tomo mengabaikan fakta
Tony Wen, keturunan Tionghoa asal Malang, yang membentuk Pasukan Berani Mati
untuk menghambat Belanda. Laskar Liar mengabaikan hal ini, sampai akhirnya
Tragedi Mergosono —pembakaran 30 etnis Tionghoa Malang, Agustus 1947— terjadi.
Presiden Soekarno pun nyaris mengakui Po An
Tui. Namun dia mengurungkan niatnya setelah sebagian masyarakat Tionghoa,
terutama kaum kiri dan nasionalis macam Lim Koen Hian dan Siaow Giok Tjhan
menentangnya.
Sejarah perjuangan bangsa memang kerap
melahirkan kontroversi. Kepahlawan tampak sangat relatif, kadang tergantung
pada kepentingan yang mengemuka. (BN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar