Selasa, 01 Maret 2016

Mencicipi Nasi Gandul, Kuliner Legendaris Pati


Mencicipi Nasi Gandul, Kuliner Legendaris PatiFoto: CNN Indonesia/Lesthia Kertopati
Di Jawa Tengah, Pati memang tidak seterkenal Semarang, Pekalongan, Demak atau Kudus, untuk urusan wisata. Namun di kota nan tenang yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari Semarang ini, ada satu kuliner lezat yang wajib dicicipi. Nasi Gandul. 

Mendengar namanya, orang pasti langsung penasaran. Gandul, merupakan ungkapan dalam bahasa Jawa yang berarti menggantung. Tapi, Nasi Gandul, bukanlah nasi yang digantung. 

Adalah Pak Meled, warga asli Desa Gajahmati, yang menjadi pelopor kuliner unik ini. 

Konon, pada tahun 1955, Pak Meled berjualan berkeliling desa menggunakan pikulan. Dia berjualan nasi dengan lauk empal atau daging sapi bumbu bacem yang kemudian disiram kuah di atasnya. Nasi tersebut tidak disajikan di atas piring, melainkan di 'pincuk' daun pisang dan dimakan menggunakan 'suru', sendok yang juga dibuat dari daun pisang. 

Dimasa itu, seporsi Nasi Gandul dihargai Rp7. Itu sudah komplit, seporsi Nasi Gandul dan teh hangat.

Tapi, bagi masyarakat Jawa, harga tersebut terbilang mahal. Jadilah, konsumen Pak Meled kebanyakan kaum Singkek, atau keturunan Tionghoa yang bermukim di Pati dan banyak berprofesi sebagai pedagang.

“Dulu, tidak ada orang Jawa yang makan Nasi Gandul. Harganya mahal, nasi dan daging itu makanan mewah,” kata Sutopo, menantu Pak Meled, yang meneruskan usaha Nasi Gandul, kepada CNNIndonesia.com, Selasa (1/3)

Nama Nasi Gandul sendiri lahir karena cara Pak Meled berjualan. Dia memikul bakul nasi dan kuali dengan berjalan. Dari jauh, terlihat nasi dan kuali itu 'gondal-gandul' atau bergoyang-goyang. Dari situlah, nama Nasi Gandul bermula.

Nasi Gandul menjadi tenar berkat seorang 'Sepuh Pati' bernama Mbah Rono, yang menganjurkan orang-orang yang datang kepadanya meminta nasihat, untuk mencoba Nasi Gandul Pak Meled. 

“Itu sekitar tahun 1965,” tutur Sutopo. 

Dari situlah, Nasi Gandul mulai dikenal banyak orang. Banyak orang yang jatuh cinta dengan rasanya yang unik, kombinasi antara gulai dan semur daging. Banyaknya konsumen yang penasaran dengan Nasi Gandul, membuat beberapa tetangga Pak Meled di Desa Gajahmati terinspirasi. Mereka pun belajar cara membuatnya dan kemudian ikut berjualan. 

“Ada beberapa tetangga yang belajar sama bapak, dan lalu ikut jualan Gandul. Jadilah Desa Gajahmati terkenal sebagai penghasil Nasi Gandul,” terang Sutopo, yang menyebut kini terdapat lebih dari 200 penjual Nasi Gandul di Pati.

Pertahankan Tradisi 

Dari jualan dipikul, perlahan usaha Pak Meled semakin maju. Dia pun membuka warung di rumahnya, selain tetap jualan berkeliling. Waktu itu, ‘saingan’ Pak Meled sudah banyak. Tapi, dia tetap bertahan dengan ciri khasnya, yakni merebus kuah Nasi Gandul dalam kuali tanah liat. 

“Rasanya beda jika direbus menggunakan panci logam, panasnya juga beda,” kata Sutopo. 

Memang, jika dibandingkan dengan warung Nasi Gandul lainnya, hanya di warung Pak Meled, Anda bisa melihat kuali tanah liat sebagai tempat merebus kuah. Di warung lain, biasanya kuah direbus di sebuah panci besar. 

Sementara untuk lauknya, warung Pak Meled menawarkan varian daging sapi lengkap dengan jeroan atau organ dalam sapi seperti usus, babat, limpa dan hati. Ada juga lauk tambahan yakni telur bacem, tahu dan tempe goreng, serta perkedel kentang. Lainnya, ada kerupuk udang serta keripik tempe yang siap menemani nasi. 

Soal rasa kuah Nasi Gandul yang berbeda dengan masakan berkuah lainnya, seperti gulai, kari ataupun semur, Sutopo mengatakan itu tergantung ‘tangan’ si peracik. 

“Bumbu Gandul itu, semua yang ada di dapur masuk dalam kuah, kecuali kunyit. Tapi, soal rasa dan kemantapan, itu tergantung tangan yang ngulek,” ujar dia. 

Sehari, warung Nasi Gandul Pak Meled bisa menjual daging hingga 10 kilogram. “Tapi kalau Hari Raya, bisa jual sampai 30 kilogram.”

Saking terkenalnya warung Pak Meled, Gubernur Jawa Tengah pada tahun 1987 memberi nama Pondok Gandul pada warung Pak Meled di rumahnya di Desa Gajahmati. 

Di masa itu, warung Pak Meled tengah jaya. Dia membuka dua cabang, selain di rumahnya. Sayangnya, harga properti yang melonjak membuat Pak Meled dan keluarganya tidak bisa mempertahankan seluruh cabangnya. 

Kini, Pak Meled hanya punya satu warung di dekat Terminal Bus Pati. Warung di rumahnya pun sudah tutup, selepas Pak Meled meninggal pada 2002 dan usahanya dilanjutkan menantunya, suami dari putri kedua. Adapun, putra pertama Pak Meled berprofesi sebagai guru. 

Terkenal Berkat Internet

Sutopo mengaku tidak pernah melakukan promosi apapun untuk memperluas bisnisnya. Semua berkat promosi dari mulut ke mulut. Tapi, dia tak mengira Nasi Gandul Pak Meled malah terkenal di dunia maya dan kerap wara-wiri di media sosial. 

Internet juga yang membawa Sutopo ke berbagai kota memperkenalkan Nasi Gandul. Mulai dari Semarang, Tangerang bahkan Jakarta. 
Nasi gandul, kuliner khas Pati, Jawa Tengah. (CNN Indonesia/Lesthia Kertopati)
Pada 2006, Sutopo pernah diundang datang ke Jakarta untuk pameran kuliner. Disitu dia bersaing dengan kuliner-kuliner khas lainnya. 

“Banyak yang jualan, ada yang jual bakmi dan soto. Semua harganya mahal, tahu telur saja dihargai Rp20 ribu, saya menjual Nasi Gandul hanya Rp15 ribu,” kata dia.

Tapi, karena namanya yang aneh dan kurang dikenal, Nasi Gandul sepi peminat. Barulah ketika ada satu orang yang mencoba dan mengatakan enak, Nasi Gandul langsung laris manis.

“Kurang dari satu jam, semua habis. Saya sampai bingung padahal, waktu itu, harganya sudah saya naikkan sampai tiga kali lipat,” kenang Sutopo.

Cerita lain, Sutopo mengaku pernah dikunjungi oleh Deddy Mizwar, pada 2011. Deddy yang kini menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat mengatakan mengetahui tentang Nasi Gandul Pak Meled lewat internet. 

“Saya tanya, darimana tahu soal Nasi Gandul. Pak Deddy bilang dari internet. Dia bilang ini makanan enak dan tambah dua kali,” ujar Sutopo. 

Saat ditanya soal ekspansi, Sutopo mengatakan dia menyerahkan hal itu pada anak-anaknya. “Itu terserah anak-anak, mereka yang meneruskan. Saya sudah tua,” katanya. 

Dia menambahkan, dulu sering ditawari membuka cabang di Semarang maupun Jakarta, tapi kerap menolak. “Saya ini orangnya selalu rindu keluarga. Lebih baik saya bertahan di Pati dan bertemu anak dan istri setiap hari, daripada saya keluar kota, punya banyak uang tapi jarang bertemu keluarga.” (http://www.cnnindonesia.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar