Fiksi
Budi Nugroho
Bagai tetes-tetes air memahat batu cadas,
potongan ayat itu menusuk-nusuk dalam benaknya. “Perempuan
peselingkuh tidak akan dikawini melainkan oleh lelaki peselingkuh pula,” terus saja terngiang dalam setiap langkah kaki Lasmi.
Tiba-tiba potongan ayat itu melikat dalam benaknya, terutama sejak berpacaran
dengan Mas Anto. Lasmi tak tahu apakah itu sepotong ayat kehidupan ataukah
mitos yang direka-reka, sebuah nyanyian sumbang ataukah awal detak-detak nyaris
tanpa asa, sebuah perenungan yang amat dalam ataukah sebuah kanvas beton di
bawah jembatan layang.
Terkadang potongan ayat itu masih ditingkahi
oleh penggalan kalimat suci … andaikata tak ada kurnia
dan rahmat-Nya … niscaya kami akan mengalami
kesulitan-kesulitan. Sebenarnya Lasmi telah berusaha menghempang agar
potongan-potongan ayat itu tidak membebani benak pikirannya. Namun, semakin
dihempang kian dalam meresap.
Lumrah
saja. Lantaran ini menyangkut citra dirinya sebagai perempuan yang dibesarkan
lewat rambu-rambu agamawi. Sederhana saja, selepas Lasmi kali pertama ketiban
bulan, bapaknya mewanti-wanti: suaramu termasuk aurat perempuan.
Maka
dari itu, senandung merdu suara Lasmi tidak pernah menembus tembok kamar mandi
rumahnya. Padahal, cengkok pita suaranya tidak jauh berbeda dengan suara pada
waranggono Pak Manteb. Lasmi demikian membatasi diri dalam menikmati pita suara
anugerah-Nya atau menggunakannya saat menjawab ajak bicara orang yang
dihadapinya.
Perjumpaanya dengan Mas Anto kontan mengubah
diri Lasmi. Kadangkala suara merdu nyaris merayu terucap sewaktu Mas Anto
mengajaknya bicara lewat telepon. Ditambah lagi suara manja menggoda yang
tiba-tiba muncul. Lasmi merasa ia telah melabrak rambu-rambu yang dipasang oleh
bapaknya. Tapi, Lasmi tak kuasa menahan.
Di
tengah gelegak manis madunya asmara yang ditebar Mas Anto, Lasmi kerap tidak
lagi mematuhi rambu-rambu di kiri-kanan jalan menuju perempuan yang
bermartabat. Bapaknya paham betul bagaimana efektivitas pemasangan rambu-rambu
itu. Termasuk menyekolahkan Lasmi ke sekolah yang mengajarkan nilai-nilai penuh
ruhaniyah.
“Bagaimana Dik, besok kita ketemu di rumah makan cepat saji
di lantai satu Mal Kalibata,” pinta Mas Anto dari
seberang telepon semalam.
“Boleh
saja.”
“Tapi, aku minta kamu tidak pakai kerudung. Cukuplah baju
panjang, masa mahkota yang begitu indah kok disembunyikan,”
Mas Anto sedikit menebar puja-puji.
“Bagaimana ya, tak mungkin aku rasanya keluar rumah dengan
penampilan seperti itu. Apa kata tetangga nanti.”
“Ah, cuma kali ini saja,” Mas Anto
terus ngerayu.
“Apa nanti kata bapak dan ibu di rumah.”
“Ya, mampir dulu ke rumahku atau rumah temanmu buat
menanggalkan kerudung. Lalu, simpan di dalam tas. Kalau kamu nggak berani, biar
adikku perempuan yang mencopot.”
“Lihat-lihat nanti lah.”
Lasmi
bimbang. Tak tahu mesti menjawab apa lagi. Ia pun lalu ingin menikmati rasa
santai di taman nan asri yang dibangun bapaknya di belakang rumah. Lasmi
menatap langit malam dalam kesendirian. Purnama tengah bulat menampakkan
keindahannya ditemani lintang dan galaksi. Kepada purnama ia mengadu. Kepada
lintang ia suarakan hati.
“Keindahan itu mesti ditampakkan, ya seperti aku ini. Orang
akan menikmati, orang akan merasa senang dibuatnya,”
bisik purnama yang malam itu tengah bulat memperlihatkan wajahnya.
“Ya juga sih. Apa arti jenjang leherku, apa arti rambut
panjang terurai tak berketombe. Ya, barangkali di sana saya bisa ketemu agensi
iklan sampo,” gumam Lasmi.
Keraguan Lasmi sontak sirna ditelan purnama.
Toh, Lasmi tak merasa melakukan perbuatan terkutuk macam memberikan mahkota
satu-satunya kepada Mas Anto. Lasmi merasa kalau hanya membuka kerudung maka
tak akan menanggung hukuman seratus kali cambukan atau rajam sampai mati.
Soal tanya-tanya bapak-ibunya, Lasmi cukup
mengikuti anjuran Mas Anto: buka kerudung di tengah jalan dan masuk kembali ke
rumah berkerudung. Tak akan ada tanya-tanya dari bapak-ibunya.
***
Sore itu Mal Kalibata dipenuhi anak-anak baru
gedhe yang mejeng atau sekadar cuci mata. Tidak ketinggalan pula tante-tante
tengah menunggu lelaki-lelaki muda penjaja cinta. Ramai juga om-om yang mencari
daun muda nan ranum yang siap saji.
asmi
dan Mas Anto sudah mojok di sebuah resto cepat saji. Dua insan dimabuk manis
madu asmara itu larut dalam kemesraan. Cuma menghabiskan minuman ringan, Mas
Anto langsung mengajak Lasmi keluar dari Mal Kalibata. Dengan mobilnya, Mas
Anto mengarahkan stir ke pinggiran jalan protokol Cawang. Tak berapa lama,
mobil sudah masuk areal parkir sebuah peningapan.
Lasmi memprotes. Tapi, perangkap sudah
mencengkeram. Portes tinggallah protes tak bergayung. Terlebih Mas Anto hanya berujar,
“Ke sini kita ngobrol-ngobrol saja. Kita butuh privacy.”
Bermula
dari sekadar ngobrol ngalor-ngidul, agaknya menjadikan Lasmi lupa daratan.
Ketika pendar-pendar asmara berbau syahwat mulai menyebar, ia tak lagi melihat
rambu-rambu di depannya. Bahkan, manakala Mas Anto meminta mahkota satu-satunya
tanpa embel-embel apapun.
Selepas
dari penginapan itu, Lasmi diantar Mas Anto sampai terminal angkot yang bakal
mengantar sampai rumahnya di Ujung Aspal. Sebelum berpisah, Mas Anto menaruh
pesan, “kalau ada apa-apa aku bertanggung-jawab.”
Dalam
kesendirian di dalam angkot, Lasmi baru tersadar, “begitu
pandirkah aku di hadapan Mas Anto.” Kepandiran memang
senantiasa muncul manakala Lasmi berhadapan dengan Mas Anto. Sampai suatu
waktu, bulan tak mau lagi menyambanginya.
Terbayang amarah bapaknya yang memuncak.
Betapa kecewa ibunda tercinta yang telah membesarkan dirinya dengan rambu-rambu
agamawi. Semua sirna disapu oleh manis madu asmara yang dituang Mas Anto.
***
Mas
Anto tak ingkar janji. Ia sangat bersedia menikahi Lasmi kapan pun diminta.
Tapi, jalan terjal menyergap mereka. Pak Parto, bapaknya Lasmi, tidak mau
menikahkah keduanya sebelum Lasmi dalam kesucian, sudah menjalani hukuman 100
kali deraan. “Tapi Pak, negeri ini kan tidak menerapkan
hukum agama, di mana saya dapat menjalani hukuman macam itu,”
Lasmi berkeluh kesah.
“Rasanya tak mungkin aku menjalani hukuman macam itu. Kalau
bapak tak bersedia menikahkan aku dengan Dik Lasmi, masih banyak perempuan lain
yang dengan ikhlas menjadi isteriku,” tambah Mas Anto
ketika keduanya menemui Pak Parto.
“Soal di
mana, itu gampang, yang penting kau mesti ada niat tulus untuk menghadapi
hukuman itu. Dan, lupakan Mas Anto,” Pak Parto penuh
kelembutan menasihati Lasmi.
Sulit
bagi Lasmi melupakan Mas Anto begitu saja. Apalagi, Mas Anto yang menorehkan
tinta hitam di sepenggal jalan hidupnya. Di tengah-tengah masyarakat yang masih
mengagungkan arti keperawanan, siapa lagi yang akan bersedia mengawini dirinya
yang dalam keadaan terobek.
“Yah, nasihat bapak ada benarnya. Mengapa saya harus
mempertahankan Mas Anto, toh dia merasa tak ada beban bilamana bapak tidak
merestui. Lelaki macam apa dia itu?” gumam Lasmi.
Lasmi
meminta bapaknya agar mencambuk dirinya seratus kali dengan disaksikan oleh
jamaah Mushola Nur Alim. Tapi, Pak Parto tak sudi, ia tidak tega melakukan
sendiri hukuman itu pada darah dagingnya. “Coba kamu
pergi ke seorang ustadz yang teguh menjalankan hukum syarak,”
pinta Pak Parto.
Lasmi
pun lantas melangkahkan kaki menyusuri hiruk-pikuk kota Jakarta yang terkadang
masih menyisakan gema ruhaniah nan penuh kelembutan ajaran keluhuran budi. Dari
pintu ke pintu ruhaniah, tak satu pun orang yang bersedia mendera Lasmi sampai
seratus kali, takut disidik polisi lantaran dianggap melakukan kekerasan dan
melanggar hak azazi manusia.
Perempuan 20 tahun ini tak tahu lagi apa yang
mesti diperbuat. Pun Pak Parto. “Kalau begitu kamu
bapak kirim ke rumah Mbah Djojo di Dukuh Tangkil, mudah-mudahan ada jalan
keluar di sana,” Pak Parto berucap dari alam bawah
sadarnya.
***
Pagi-pagi buta Lasmi sudah tiba di rumah Mbah
Djojo di Dukuh Tangkil, tak jauh dari bibir Bengawan Solo, setelah 12 jam
perjalanan dengan bus malam. Satu dua hari Lasmi mengurung diri. Di pagi
ketiga, Mbah Djojo mengajaknya ke sawah warisan yang tak seberapa luas. Dalam
kehangatan mentari pagi di sisi timur, Lasmi melihat Warso –buruh tani yang
mengolah sawah Mbah Djojo—tengah mengayunkan pecut ke arah dua sapi yang
terengah-engah menarik bajak tua milik Mbah Djojo. Warso demikian bersemangat.
Sesekali pecut yang ada di tangannya dilecutkan ke dua ekor sapi yang
terengah-engah menarik bajak yang membelah tanah-tanah yang baru saja diguyur
hujan. Bilur-bilur merah membatik punggung kedua ekor sapi yang semula putih
mulus.
“Itukah hukuman yang harus saya jalani?”
gumam Lasmi spontan.
“Kenapa Nduk, kok
melamun saja. Ada persoalan?” tanya Mbah Djojo
membuyarkan lamunan Lasmi.
“Ah, nggak Mbah.
Cuma nggak tega melihat sapi-sapi itu dipecuti,” jawab
Lasmi sekenanya.
“Sapi
dipecuti sudah biasa di sini. Coba kamu lihat di Madura, sapi dipacu dengan
cara dilukai dengan paku-paku yang disusun dalam papan kecil. Bekas-bekas merah
itu nanti sore sudah hilang,” jelas Mbah Djojo.
“Jika demikian, hukuman itu nggak terlalu berat atas perbuatanku yang sudah menorehkan aib dan
merusak martabat perempuan,” Lasmi membatin.
“Kenapa Nduk, kok
diam saja?”
“Tidak apa-apa Mbah, hanya kangen bapak di Ujung Aspal.”
“Tidak, kamu pasti sedang punya masalah.”
“Mbah …” Lasmi tidak melanjutkan
kalimatnya.
“Kalau ada masalah, ceritakan ke Mbah saja. Nanti kita
selesaikan bersama,” ucap Mbah Djojo sambil tetap
mengawasi pekerjaan Warso. Sebentar menit kemudian, Mbah Djojo putri datang,
membawa rantangan buat ransum Warso, Mbah Djojo dan Lasmi. “Ayo
Warso, ngaso dhisik,”
ajak Mbah Djojo putri. Sepiring nasi, semangkuk sayur bayam bening dan beberapa
ekor ikan asin sangat mengundang selera. Terlebih dimakan bersama-sama di gubuk
mungil sembari ditemani orang-orangan sawah yang masih kokoh berdiri sejak
dipasang menjelang musim panen lalu.
“Apa Warso mau melakukan hal ini?” tanya
Lasmi pada Mbah Djojo setelah Warso kembali turun ke sawah.
“Melakukan apa Nduk?”
“Melakukan apa ya … seperti mencambuk
sapi itu. Tapi, yang jadinya sapinya, saya .. Mbah.”
“Gendheng apa kamu,
nanti jadi panjang urusannya, bisa-bisa sampai ke polisi.”
“Ternyata benak Mbah Djojo nggak jauh berbeda dengan kaum
alim yang pernah saya temui.” Kembali Lasmi membatin.
“Nggak apa-apa
Mbah, nanti saya yang bertanggung jawab. Ini hukuman yang seharusnya saya
jalani,” ujar Lasmi.
“Memang kamu sudah berbuat apa Nduk?”
“Bapak tidak bercerita Mbah?”
“Ndak.”
“Saya belum isteri sah Mas Anto tapi sudah melakukan
perbuatan sebagaimana layaknya biasa dilakukan oleh suami-isteri.”
“Oooo …”
“Yang penting sekarang Mbah, coba dekati Warso dan carikan
santri sekitar sini yang bersedia menjadi saksi.”
***
Selepas
asar, beberapa santri dari Langgar Al Awwabin datang ke lapangan dekat sawah
Mbah Djojo. Warso sudah siap dengan pecutnya meski sebenarnya ia jelas tidak
tega mengeksekusi hukuman ini pada perempuan secantik Lasmi. Dan, cambukan
seratus kali menjilati sekujur tubuh Lasmi tanpa kecuali.
Senyum kemenangan menyungging dari bibir
Lasmi. Plong! Cambukan telah mengembalikan fitrahnya, martabatnya, keutuhannya.
Kepingan-kepingan masa depan yang sempat dikoyak Mas Anto terekat kembali lewat
tangan Warso dengan saksi-saksi santri dari Langgar Al Awwabin.
Adzan
Isya menjelang. Lasmi menerima pesan pendek lewat ponselnya dari Pak Parto. “Kamu mesti pulang secepatnya … bapak
menerima lamaran Hanif yang lurus dan alim itu.”
Lasmi
membayangkan bentang masa depannya. Menjadi perempuan yang utuh, mendampingi
lelaki sepermainannya sejak kecil yang kembali utuh pula.
Ujung Aspal, April 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar