Selasa, 22 Juli 2014

Bajak Sawah Selepas Asar


Fiksi Budi Nugroho

Bagai tetes-tetes air memahat batu cadas, potongan ayat itu menusuk-nusuk dalam benaknya. Perempuan peselingkuh tidak akan dikawini melainkan oleh lelaki peselingkuh pula, terus saja terngiang dalam setiap langkah kaki Lasmi. Tiba-tiba potongan ayat itu melikat dalam benaknya, terutama sejak berpacaran dengan Mas Anto. Lasmi tak tahu apakah itu sepotong ayat kehidupan ataukah mitos yang direka-reka, sebuah nyanyian sumbang ataukah awal detak-detak nyaris tanpa asa, sebuah perenungan yang amat dalam ataukah sebuah kanvas beton di bawah jembatan layang.
 Terkadang potongan ayat itu masih ditingkahi oleh penggalan kalimat suci andaikata tak ada kurnia dan rahmat-Nya niscaya kami akan mengalami kesulitan-kesulitan. Sebenarnya Lasmi telah berusaha menghempang agar potongan-potongan ayat itu tidak membebani benak pikirannya. Namun, semakin dihempang kian dalam meresap.
 Lumrah saja. Lantaran ini menyangkut citra dirinya sebagai perempuan yang dibesarkan lewat rambu-rambu agamawi. Sederhana saja, selepas Lasmi kali pertama ketiban bulan, bapaknya mewanti-wanti: suaramu termasuk aurat perempuan.
 Maka dari itu, senandung merdu suara Lasmi tidak pernah menembus tembok kamar mandi rumahnya. Padahal, cengkok pita suaranya tidak jauh berbeda dengan suara pada waranggono Pak Manteb. Lasmi demikian membatasi diri dalam menikmati pita suara anugerah-Nya atau menggunakannya saat menjawab ajak bicara orang yang dihadapinya.
Perjumpaanya dengan Mas Anto kontan mengubah diri Lasmi. Kadangkala suara merdu nyaris merayu terucap sewaktu Mas Anto mengajaknya bicara lewat telepon. Ditambah lagi suara manja menggoda yang tiba-tiba muncul. Lasmi merasa ia telah melabrak rambu-rambu yang dipasang oleh bapaknya. Tapi, Lasmi tak kuasa menahan.
 Di tengah gelegak manis madunya asmara yang ditebar Mas Anto, Lasmi kerap tidak lagi mematuhi rambu-rambu di kiri-kanan jalan menuju perempuan yang bermartabat. Bapaknya paham betul bagaimana efektivitas pemasangan rambu-rambu itu. Termasuk menyekolahkan Lasmi ke sekolah yang mengajarkan nilai-nilai penuh ruhaniyah.
 Bagaimana Dik, besok kita ketemu di rumah makan cepat saji di lantai satu Mal Kalibata, pinta Mas Anto dari seberang telepon semalam.
Boleh saja.
 Tapi, aku minta kamu tidak pakai kerudung. Cukuplah baju panjang, masa mahkota yang begitu indah kok disembunyikan, Mas Anto sedikit menebar puja-puji.
 Bagaimana ya, tak mungkin aku rasanya keluar rumah dengan penampilan seperti itu. Apa kata tetangga nanti.
 Ah, cuma kali ini saja, Mas Anto terus ngerayu.
 Apa nanti kata bapak dan ibu di rumah.
 Ya, mampir dulu ke rumahku atau rumah temanmu buat menanggalkan kerudung. Lalu, simpan di dalam tas. Kalau kamu nggak berani, biar adikku perempuan yang mencopot.
 Lihat-lihat nanti lah.
 Lasmi bimbang. Tak tahu mesti menjawab apa lagi. Ia pun lalu ingin menikmati rasa santai di taman nan asri yang dibangun bapaknya di belakang rumah. Lasmi menatap langit malam dalam kesendirian. Purnama tengah bulat menampakkan keindahannya ditemani lintang dan galaksi. Kepada purnama ia mengadu. Kepada lintang ia suarakan hati.
 Keindahan itu mesti ditampakkan, ya seperti aku ini. Orang akan menikmati, orang akan merasa senang dibuatnya, bisik purnama yang malam itu tengah bulat memperlihatkan wajahnya.
 Ya juga sih. Apa arti jenjang leherku, apa arti rambut panjang terurai tak berketombe. Ya, barangkali di sana saya bisa ketemu agensi iklan sampo, gumam Lasmi.
 Keraguan Lasmi sontak sirna ditelan purnama. Toh, Lasmi tak merasa melakukan perbuatan terkutuk macam memberikan mahkota satu-satunya kepada Mas Anto. Lasmi merasa kalau hanya membuka kerudung maka tak akan menanggung hukuman seratus kali cambukan atau rajam sampai mati.
Soal tanya-tanya bapak-ibunya, Lasmi cukup mengikuti anjuran Mas Anto: buka kerudung di tengah jalan dan masuk kembali ke rumah berkerudung. Tak akan ada tanya-tanya dari bapak-ibunya.
 ***
Sore itu Mal Kalibata dipenuhi anak-anak baru gedhe yang mejeng atau sekadar cuci mata. Tidak ketinggalan pula tante-tante tengah menunggu lelaki-lelaki muda penjaja cinta. Ramai juga om-om yang mencari daun muda nan ranum yang siap saji.
 asmi dan Mas Anto sudah mojok di sebuah resto cepat saji. Dua insan dimabuk manis madu asmara itu larut dalam kemesraan. Cuma menghabiskan minuman ringan, Mas Anto langsung mengajak Lasmi keluar dari Mal Kalibata. Dengan mobilnya, Mas Anto mengarahkan stir ke pinggiran jalan protokol Cawang. Tak berapa lama, mobil sudah masuk areal parkir sebuah peningapan.
Lasmi memprotes. Tapi, perangkap sudah mencengkeram. Portes tinggallah protes tak bergayung. Terlebih Mas Anto hanya berujar, Ke sini kita ngobrol-ngobrol saja. Kita butuh privacy.
 Bermula dari sekadar ngobrol ngalor-ngidul, agaknya menjadikan Lasmi lupa daratan. Ketika pendar-pendar asmara berbau syahwat mulai menyebar, ia tak lagi melihat rambu-rambu di depannya. Bahkan, manakala Mas Anto meminta mahkota satu-satunya tanpa embel-embel apapun.
 Selepas dari penginapan itu, Lasmi diantar Mas Anto sampai terminal angkot yang bakal mengantar sampai rumahnya di Ujung Aspal. Sebelum berpisah, Mas Anto menaruh pesan, kalau ada apa-apa aku bertanggung-jawab.
 Dalam kesendirian di dalam angkot, Lasmi baru tersadar, begitu pandirkah aku di hadapan Mas Anto. Kepandiran memang senantiasa muncul manakala Lasmi berhadapan dengan Mas Anto. Sampai suatu waktu, bulan tak mau lagi menyambanginya.
 Terbayang amarah bapaknya yang memuncak. Betapa kecewa ibunda tercinta yang telah membesarkan dirinya dengan rambu-rambu agamawi. Semua sirna disapu oleh manis madu asmara yang dituang Mas Anto.
 ***
 Mas Anto tak ingkar janji. Ia sangat bersedia menikahi Lasmi kapan pun diminta. Tapi, jalan terjal menyergap mereka. Pak Parto, bapaknya Lasmi, tidak mau menikahkah keduanya sebelum Lasmi dalam kesucian, sudah menjalani hukuman 100 kali deraan. Tapi Pak, negeri ini kan tidak menerapkan hukum agama, di mana saya dapat menjalani hukuman macam itu, Lasmi berkeluh kesah.
 Rasanya tak mungkin aku menjalani hukuman macam itu. Kalau bapak tak bersedia menikahkan aku dengan Dik Lasmi, masih banyak perempuan lain yang dengan ikhlas menjadi isteriku, tambah Mas Anto ketika keduanya menemui Pak Parto.
Soal di mana, itu gampang, yang penting kau mesti ada niat tulus untuk menghadapi hukuman itu. Dan, lupakan Mas Anto, Pak Parto penuh kelembutan menasihati Lasmi.
 Sulit bagi Lasmi melupakan Mas Anto begitu saja. Apalagi, Mas Anto yang menorehkan tinta hitam di sepenggal jalan hidupnya. Di tengah-tengah masyarakat yang masih mengagungkan arti keperawanan, siapa lagi yang akan bersedia mengawini dirinya yang dalam keadaan terobek.
 Yah, nasihat bapak ada benarnya. Mengapa saya harus mempertahankan Mas Anto, toh dia merasa tak ada beban bilamana bapak tidak merestui. Lelaki macam apa dia itu? gumam Lasmi.
 Lasmi meminta bapaknya agar mencambuk dirinya seratus kali dengan disaksikan oleh jamaah Mushola Nur Alim. Tapi, Pak Parto tak sudi, ia tidak tega melakukan sendiri hukuman itu pada darah dagingnya. Coba kamu pergi ke seorang ustadz yang teguh menjalankan hukum syarak, pinta Pak Parto.
 Lasmi pun lantas melangkahkan kaki menyusuri hiruk-pikuk kota Jakarta yang terkadang masih menyisakan gema ruhaniah nan penuh kelembutan ajaran keluhuran budi. Dari pintu ke pintu ruhaniah, tak satu pun orang yang bersedia mendera Lasmi sampai seratus kali, takut disidik polisi lantaran dianggap melakukan kekerasan dan melanggar hak azazi manusia.
 Perempuan 20 tahun ini tak tahu lagi apa yang mesti diperbuat. Pun Pak Parto. Kalau begitu kamu bapak kirim ke rumah Mbah Djojo di Dukuh Tangkil, mudah-mudahan ada jalan keluar di sana,Pak Parto berucap dari alam bawah sadarnya.
*** 
 Pagi-pagi buta Lasmi sudah tiba di rumah Mbah Djojo di Dukuh Tangkil, tak jauh dari bibir Bengawan Solo, setelah 12 jam perjalanan dengan bus malam. Satu dua hari Lasmi mengurung diri. Di pagi ketiga, Mbah Djojo mengajaknya ke sawah warisan yang tak seberapa luas. Dalam kehangatan mentari pagi di sisi timur, Lasmi melihat Warso –buruh tani yang mengolah sawah Mbah Djojo—tengah mengayunkan pecut ke arah dua sapi yang terengah-engah menarik bajak tua milik Mbah Djojo. Warso demikian bersemangat. Sesekali pecut yang ada di tangannya dilecutkan ke dua ekor sapi yang terengah-engah menarik bajak yang membelah tanah-tanah yang baru saja diguyur hujan. Bilur-bilur merah membatik punggung kedua ekor sapi yang semula putih mulus.
 Itukah hukuman yang harus saya jalani? gumam Lasmi spontan.
 Kenapa Nduk, kok melamun saja. Ada persoalan? tanya Mbah Djojo membuyarkan lamunan Lasmi.
 Ah, nggak Mbah. Cuma nggak tega melihat sapi-sapi itu dipecuti, jawab Lasmi sekenanya.
Sapi dipecuti sudah biasa di sini. Coba kamu lihat di Madura, sapi dipacu dengan cara dilukai dengan paku-paku yang disusun dalam papan kecil. Bekas-bekas merah itu nanti sore sudah hilang, jelas Mbah Djojo.
 Jika demikian, hukuman itu nggak terlalu berat atas perbuatanku yang sudah menorehkan aib dan merusak martabat perempuan, Lasmi membatin.
 Kenapa Nduk, kok diam saja?
 Tidak apa-apa Mbah, hanya kangen bapak di Ujung Aspal.
 Tidak, kamu pasti sedang punya masalah.
 Mbah …” Lasmi tidak melanjutkan kalimatnya.
 Kalau ada masalah, ceritakan ke Mbah saja. Nanti kita selesaikan bersama, ucap Mbah Djojo sambil tetap mengawasi pekerjaan Warso. Sebentar menit kemudian, Mbah Djojo putri datang, membawa rantangan buat ransum Warso, Mbah Djojo dan Lasmi. Ayo Warso, ngaso dhisik, ajak Mbah Djojo putri. Sepiring nasi, semangkuk sayur bayam bening dan beberapa ekor ikan asin sangat mengundang selera. Terlebih dimakan bersama-sama di gubuk mungil sembari ditemani orang-orangan sawah yang masih kokoh berdiri sejak dipasang menjelang musim panen lalu.
 Apa Warso mau melakukan hal ini?tanya Lasmi pada Mbah Djojo setelah Warso kembali turun ke sawah.
 Melakukan apa Nduk?
 Melakukan apa ya seperti mencambuk sapi itu. Tapi, yang jadinya sapinya, saya .. Mbah.
 Gendheng apa kamu, nanti jadi panjang urusannya, bisa-bisa sampai ke polisi.
 Ternyata benak Mbah Djojo nggak jauh berbeda dengan kaum alim yang pernah saya temui. Kembali Lasmi membatin.
  Nggak apa-apa Mbah, nanti saya yang bertanggung jawab. Ini hukuman yang seharusnya saya jalani, ujar Lasmi.
 Memang kamu sudah berbuat apa Nduk?
 Bapak tidak bercerita Mbah?
 Ndak.
 Saya belum isteri sah Mas Anto tapi sudah melakukan perbuatan sebagaimana layaknya biasa dilakukan oleh suami-isteri.
 Oooo …”
 Yang penting sekarang Mbah, coba dekati Warso dan carikan santri sekitar sini yang bersedia menjadi saksi.
 ***
 Selepas asar, beberapa santri dari Langgar Al Awwabin datang ke lapangan dekat sawah Mbah Djojo. Warso sudah siap dengan pecutnya meski sebenarnya ia jelas tidak tega mengeksekusi hukuman ini pada perempuan secantik Lasmi. Dan, cambukan seratus kali menjilati sekujur tubuh Lasmi tanpa kecuali.
Senyum kemenangan menyungging dari bibir Lasmi. Plong! Cambukan telah mengembalikan fitrahnya, martabatnya, keutuhannya. Kepingan-kepingan masa depan yang sempat dikoyak Mas Anto terekat kembali lewat tangan Warso dengan saksi-saksi santri dari Langgar Al Awwabin.
 Adzan Isya menjelang. Lasmi menerima pesan pendek lewat ponselnya dari Pak Parto. Kamu mesti pulang secepatnya bapak menerima lamaran Hanif yang lurus dan alim itu.
 Lasmi membayangkan bentang masa depannya. Menjadi perempuan yang utuh, mendampingi lelaki sepermainannya sejak kecil yang kembali utuh pula.
                                                          Ujung Aspal, April 2005

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar