Fiksi Budi Nugroho
PAGI yang berembun, sedikit murung. Bunga-bunga tidur terus mengurung. Aku enggan
melipat sarung. Tapi, dengung begitu kuat menerobos pori-pori tembok kamarku.
Seperti dengung nyamuk yang selalu mengurung telinga di hawa yang semakin
gerah. Ah, agaknya lebih keras dari dengung nyamuk. Lebih keras lagi. Seperti
degung tetabuhan memanggil dedemit, peri, dan sebangsanya.
Kulipat
bantal menyumpal telinga. Menghempang degung dan dengung yang terus menembus
pori-pori tembok kamarku. Tetap saja degung dan dengung menyelinap di sela-sela
kapuk menusuk gendang. Terusir sudah rasa kantuk. Baru menjelang subuh tadi aku
merapatkan punggung ke dipan dengan kasur yang hampir tak berkapuk ini.
Semalaman ada jasad suami-isteri baku tembak yang harus kubawa ke ruang otopsi.
Aku
berusaha tetap rapat mendekap guling melipat bantal. Tapi, dengung dan degung
lebih dari suara nyamuk belum jua berhenti. Malah ditambah kegaduhan anak-anak
manusia. Ditingkahi derit pintu besi yang hendak dibuka paksa.
Aku
tak jadi melanjutkan mimpi-mimpi indah di pagi hari. Kusibak tirai ruang tamu
rumahku. Orang-orang menyemut, menyumpal pintu besi rumah Pak Jon, tetangga
sebelah rumah. Kutempelkan daun telingaku ke lubang daun pintu.
“Pantas dua hari ini lampu
teras rumahnya terus menyala,” ujar Sarman, tetangga di
ujung jalan yang saban pagi selalu menegok kiri saat melewati rumah Pak Jon.
“Oh ya, dua hari terakhir
ini selalu tak ada sahutan ketika saya ketok-ketok pintu besi rumah Pak Jon jam
dua. Rupanya dia sudah …,” ucap
Surjan, Satpam perumahan.
Tapi,
tadi saat aku membuka pintu rumah sepulang dari mengurusi jasad suami-isteri
yang tewas baku tembak, deham Pak Jon yang sedikit berdegung masih mengaung.
Aku yakin deham itu suara Pak Jon yang kerap membangunkanku untuk bersujud
selepas tengah malam.
“Terakhir kami masih
sempat chatting dua hari lalu. Katanya, Pak Jon ingin istirahat (sebentar)
dari arena korespondensi dunia maya sesama penggemar mobil antik,” suara Mas Komar yang tinggal di RT 007 menimpali.
Naluri
membawaku keluar rumah. Menerobos kerumunan di depan pintu besi rumah Pak Jon.
Kusibak kerumunan manusia. Beberapa rekan sekerjaku sudah berada di dalam rumah
Pak Jon. Berusaha menjauhkan Ratri –anak satu-satunya Pak Jon—yang terus
mendekap erat jasad lelaki yang belakangan telah melepas pengelolaan sejumlah
perusahaannya kepada orang-orang yang ahli di bidangnya. Pak Jon menaruh
kepercayaan pada Handoko yang ahli properti untuk memegang kelanjutan PT Bumi
Ceger Jaya. Lalu, Hascaryo yang mumpuni dunia kepariwisataan dipercaya melanjutkan
usaha PT Bumi Krakatau Jaya. Dan, kepercayaan penuh pada Santoso yang ahli
teknil sipil untuk meneruskan kelangsungan bisnis PT Bumi Rig Jaya. Dan,
belakangan, Pak Jon hanya menghabiskan waktu di depan internet atau kopi darat
dengan sesama penggemar mobil antik di warung kopi eksekutif di kawasan Tanah
Abang.
Ratri
terus saja melekat di jasad Pak Jon sambil menumpahkan air mata tiada henti.
Kawan-kawanku masih berusaha melepas Ratri dari jasad Pak Jon. Begitu kuat rekat melekat. Tak mau copot.
Aku
lantas memanggil Retno, rekanku perempuan yang biasa menghadapi orang-orang
yang ditinggal kasih terdekat secara tiba-tiba. Agar berbicara dengan Ratri.
Pelan perlahan. Ratri melepas dekapannya. Air mata Ratri masih saja meleleh
membasahi pipinya. “Bapak saya jangan dibawa ke
mana-mana? Biar terus menemani saya, saya sudah tak punya siapa-siapa lagi,” kata Ratri pelan tercekat.
“Tidak, tidak akan
dibawa ke mana-mana. Kami hanya ingin mengobati luka di kening Pak Jon,” ujar Retno.
Ratri
pun melepaskan dekapan. Bergeser. Menjauhi jasad Pak Jon. Aku melihat jasad Pak
Jon seperlunya. Lalu, kuperintahkan anak-buahku cepat-cepat memanggil dokter
forensik dari klinik.
Suara
di luar terus saja mendengung, mendegung, mendegum. Aku mencoba mencari tahu
siapa saja orang-orang terakhir yang bersua dengan Pak Jon. Setidaknya yang
berjumpa dua atau tiga hari belakangan.
“Wah, saya kurang tahu
Pak. Yang saya tahu, dua hari belakangan Pak Jon tidak menjawab ketokan pintu
saat saya keliling ronda menjelang subuh. Biasanya dia cukup rajin menyahut
‘Makasih Jan, Bapak belum tidur’ atau ‘Makasih Jan, Bapak sudah dibangunkan’.
Itu saja yang saya tahu,” ucap Surjan.
“Memang, dua atau tiga
hari lalu, tamu datang silih berganti ke rumah Pak Jon. Ada yang bawa oplet tua
yang pernah aktif di Pasar Induk Kramat Jati. Ada yang bawa Alfa Romeo Spider
lansiran tahun 1971. Ada lagi yang bawa Mercy Pagoda tahun 1970. Ada pula tamu
yang mengendarai Morris mini Cooper a la
Mr Bean keluaran tahun 1968. Entah siapa lagi saya tidak terlalu ingat. Yang
pasti, tak ada yang terlihat menakutkan atau menakut-nakuti. Pak Jon terlihat santai
penuh senyum melepas tamu-tamunya,” papar Mas Komar
yang hari itu seharian menghabiskan waktu menemani Pak Jon mengelus-elus
koleksinya Jaguar E Type tahun 1960.
“Barangkali Mas Komar
masih ingat, siapa lagi tamu-tamu yang datang seharian itu?”
aku coba tanya lebih dalam lagi.
“Sebelum saya pulang,
memang, ada tiga tamu yang datang hampir bersamaan. Ketiga-tiganya memakai
seragam yang juga hampir sama: hem warna biru muda dan pantalon warna biru tua.
Hanya badge di kantong dada kiri yang
berbeda. Satu bergambar rumah, satu lagi bergambar gunung dan yang satu
bergambar mata bor raksasa. Sepertinya sih,
mereka orang-orang yang dipercaya Pak Jon melanjutkan mengelola perusahaan-perusahaannya,” kembali Mas Komar memaparkan.
“Jam berapa Mas Komar
meninggalkan rumah Pak Jon,” aku kembali bertanya.
“Menjelang maghrib,
sekitar jam enam sore.”
“Lalu, habis itu, Mas
Komar tak lagi berhubungan dengan Pak Jon?”
“Masih, jam sebelas
malam kami masih sempat chatting dan
berbagai informasi mengenai perkembangan komunitas penggemar mobil antik.
Sampai kemudian saya tertidur di depan layar komputer, pagi-pagi saya mendapati
jawaban Pak Jon ‘kawan-kawan, Pak Jon ingin istirahat (sebentar)’.”
Aku
jadi berkerut kening. Apa makna kata-kata terakhir Pak Jon pada sesama
penggemar mobil antik itu. Aku pikir bukan kawan-kawan sesama penggemar mobil
antik yang mengantarkan Pak Jon ke alam barzakh. Tapi, siapa lagi? Toh,
pergaulan Pak Jon hanya seputaran penggemar mobil antik. Jangan-jangan ada yang
tak suka lantaran dia mempercayakan kelanjutan perusahaan-perusahaannya pada
orang-orang yang tidak merangkak dari bawah. Jangan-jangan ada orang sakit hati
karena belakangan perusahaan rig Pak Jon banyak memperoleh pesanan-pesanan
besar dari perusahaan pengeboran minyak dan gas bumi di kawasan Borneo dan Papua.
Pak Jon jadi korban persaingan bisnis. Rasanya naluriku terlalu jauh menaruh
syakwasangka.
“Sebenarnya sudah
banyak yang tahu, tapi pada takut dijadikan saksi Pak,”
ujar tetangga depan rumah Pak Jon. Memang tetangga-tetangga yang seberang rumah
yang biasanya lebih tahu suara-suara yang datang dari rumah duda kaya yang
ditinggal isterinya kawin lagi dengan aktor ganteng model iklan sampo itu.
Piring jatuh, pintu berderit, sampai meong kucing.
“Ya, malam itu, belum
terlalu larut, sekelebat perempuan berbodi mirip Ratri keluar tergesa dari …” tutur tetangga seberang sedikit menyamping dengan mulut
bergetar.
“Saya cuma mendengar
letusan petasan memecah hening malam itu,” ucap
tetangga belakang rumah Pak Jon.
“Saya hanya sempat
lihat anak Pak Jon menunggu angkot di depan sana. Wajahnya tenang dan ramah
menjawab sapaan saya yang baru pulang dari memulung kabar. Tak menampakkan
keterburu-buruan. Saya sempat melihat sebentar sambil menikmati bubur ayam
kampung di depan sana. Beberapa taksi yang lewat tidak disetopnya. Anak Pak Jon
memilih menunggu angkot terakhir yang menuju terminal malam itu,” kata tetangga samping kiri rumah Pak Jon sembari mengaku
dirinya tak mengenal benar nama anak tunggal Pak Jon. Dirinya cuma kenal muka.
Menurut penuturannya, anak Pak Jon ini memang jarang pulang. Sesekali saja
menengok ayahnya. Tak pernah lebih dari setengah jam.
Aku yang tetangga samping kanan rumah Pak Jon
pun boleh jadi tak bertegur sapa bilamana bersua di jalanan kalau saja isteriku
tidak bercerita tentang Ratri yang membuat jantung Pak Jon berdegup kencang. “Sudahlah Ratri, hentikan bisnismu itu. Uang dari perusahaan
Bapak tak akan habis kamu makan sampai seratus tahun. Hentikan Ratri,” ucap isteriku suatu kali menirukan nasihat Pak Jon pada
anaknya yang minta tambahan modal karena ada barang yang harus dibayar kontan.
Hanya sebatas itu, isteriku tahu tentang Ratri. Selebihnya, entah. Tetangga-tetangga
sekitar demikian pula.
Kadang kudengar, memang, nama Ratri menggema
dari pengeras suara rumah ibadah di tengah-tengah perumahan atau dari rumah
ibadah kampung atas. Ratri meninggalkan amplop di bawah karpet. Di kata
pengantarnya jelas, buat ongkos perbaikan rumah ibadah dan anak-anak kurang
beruntung. Pada kali lain, di kata pengantarnya, untuk tambahan ongkos perayaan
dan pembawa burung.
Aku agak bingung. Kepada siapa lagi aku
menaruh prasangka dan praduga. Ratri berselimut kebaikan dan kedermawanan.
Orang-orang Pak Jon pun begitu loyal. Sulit mengarahkan ke sana. Ah, aku ingat
Ki Kemaki. Dialah orang yang selalu menunjukkan jalan keluar manakala aku tersesat
di gang buntu.
“Ki, bantu aku. Belum
sempat aku kuak tragedi baku-tembak suami-isteri semalam, eh datang lagi
misteri kematian Pak Jon. Naluriku sih,
menuntun ke orang terdekat. Tapi, tak ada yang berani ngomong, semua bungkam,
diliputi rasa sungkan, merasa terancam,” keluhku pada
Ki Kemaki lewat ponsel.
“Sudah kamu tanya tiga
orang kepercayaannya?”
“Sudah Ki. Mereka
semua menjawab ‘dia yang menghabisinya’.”
“Barangkali kamu lupa,
sudah kamu tanya anaknya Pak Jon?”
“Juga sudah, dia
berkata ‘mereka yang membunuhnya’.”
“Kalau demikian
adanya, potonglah seekor kambing.”
Potong kambing? Ah, saran macam apa lagi dari
Ki Kemaki kali ini. Dan, tentu kambing bukan sembarang kambing. Aku linglung.
Apakah cukup, pokoknya kambing. Entah. Aku tak berani kalau kambing asal-asalan.
“Ki, kambing betina
ataukah kambing jantan yang harus kupotong.”
“Harus kambing jantan.”
“Kambing jantan yang
masih perjaka atau yang sudah pernah mengelamini.”
“Oh, tentu yang belum
pernah mengelamini si betina, tidak tua dan tidak muda.”
“Warna bulunya apa ya
Ki, hitam, putih, atau belang-belang.”
“Yang hitam legam, tak
boleh ada satu pun bulunya yang warna putih atau warna lain.”
Aku tambah bingung sendiri. Bagaimana aku bisa
tahu kambing itu masih perjaka, bagaimana dapat kutahu semua bulunya hitam.
Kusadar yang hitam tak semuanya hitam, yang putih pun tak semuanya putih.Tapi,
aku berusaha menjalani apa yang disarankan oleh Ki Kemaki. Kuperintahkan pada
anak-buahku segera mencari kambing
jantan, masih perjaka dan bulunya hitam legam. Kalian cari sampai mana
pun, harus dapat. Termasuk pula kuminta bantuan rekan-rekan kerjaku di
markas.
Mentari hampir tegak lurus. Dua orang
anak-buahku datang menggandeng seekor kambing hitam. Tapi, bagaimana mereka
yakin kalau kambing itu masih perjaka. “Kata yang jual
yang juga pemelihara sedari lahir, kambing ini belum pernah kawin,” kata salah satu anak-buahku. Aku yakin sajalah. Dan,
langsung kuperintahkan untuk segera memotong.
“Ki, apa yang harus
kulakukan dengan kambing yang sudah dipotong ini. Disate, di-tongseng, digulai
atau dibikin sop?”
“Bukan begitu, ambil
satu pahanya, pukulkan ke jasad Pak Jon.”
Aku lantas memukul pelan jasad Pak Jon dengan
paha kambing jantang perjaka hiyam legam. Tak kusangka Pak Jon langsung terbangun.
Aku langsung memanfaatkan kesempatan ini untuk bertanya pada Pak Jon. “Siapa yang melukai dahi Pak Jon?”
“Ratri, kenapa kau
menangis di situ, ke sini anakku,” ujar Pak Jon memanggil
Ratri yang masih sesenggukan. Pak Jon kembali terkulai, dingin, beku dan kaku.
***
Bekasi, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar