Minggu, 20 Juli 2014

Kambing Jantan Hitam Legam

Fiksi Budi Nugroho

PAGI yang berembun, sedikit murung. Bunga-bunga tidur terus mengurung. Aku enggan melipat sarung. Tapi, dengung begitu kuat menerobos pori-pori tembok kamarku. Seperti dengung nyamuk yang selalu mengurung telinga di hawa yang semakin gerah. Ah, agaknya lebih keras dari dengung nyamuk. Lebih keras lagi. Seperti degung tetabuhan memanggil dedemit, peri, dan sebangsanya.  
Kulipat bantal menyumpal telinga. Menghempang degung dan dengung yang terus menembus pori-pori tembok kamarku. Tetap saja degung dan dengung menyelinap di sela-sela kapuk menusuk gendang. Terusir sudah rasa kantuk. Baru menjelang subuh tadi aku merapatkan punggung ke dipan dengan kasur yang hampir tak berkapuk ini. Semalaman ada jasad suami-isteri baku tembak yang harus kubawa ke ruang otopsi.
Aku berusaha tetap rapat mendekap guling melipat bantal. Tapi, dengung dan degung lebih dari suara nyamuk belum jua berhenti. Malah ditambah kegaduhan anak-anak manusia. Ditingkahi derit pintu besi yang hendak dibuka paksa.
Aku tak jadi melanjutkan mimpi-mimpi indah di pagi hari. Kusibak tirai ruang tamu rumahku. Orang-orang menyemut, menyumpal pintu besi rumah Pak Jon, tetangga sebelah rumah. Kutempelkan daun telingaku ke lubang daun pintu.
Pantas dua hari ini lampu teras rumahnya terus menyala, ujar Sarman, tetangga di ujung jalan yang saban pagi selalu menegok kiri saat melewati rumah Pak Jon.
Oh ya, dua hari terakhir ini selalu tak ada sahutan ketika saya ketok-ketok pintu besi rumah Pak Jon jam dua. Rupanya dia sudah , ucap Surjan, Satpam perumahan.
Tapi, tadi saat aku membuka pintu rumah sepulang dari mengurusi jasad suami-isteri yang tewas baku tembak, deham Pak Jon yang sedikit berdegung masih mengaung. Aku yakin deham itu suara Pak Jon yang kerap membangunkanku untuk bersujud selepas tengah malam.
 Terakhir kami masih sempat  chatting dua hari lalu. Katanya, Pak Jon ingin istirahat (sebentar) dari arena korespondensi dunia maya sesama penggemar mobil antik, suara Mas Komar yang tinggal di RT 007 menimpali.
Naluri membawaku keluar rumah. Menerobos kerumunan di depan pintu besi rumah Pak Jon. Kusibak kerumunan manusia. Beberapa rekan sekerjaku sudah berada di dalam rumah Pak Jon. Berusaha menjauhkan Ratri –anak satu-satunya Pak Jon—yang terus mendekap erat jasad lelaki yang belakangan telah melepas pengelolaan sejumlah perusahaannya kepada orang-orang yang ahli di bidangnya. Pak Jon menaruh kepercayaan pada Handoko yang ahli properti untuk memegang kelanjutan PT Bumi Ceger Jaya. Lalu, Hascaryo yang mumpuni dunia kepariwisataan dipercaya melanjutkan usaha PT Bumi Krakatau Jaya. Dan, kepercayaan penuh pada Santoso yang ahli teknil sipil untuk meneruskan kelangsungan bisnis PT Bumi Rig Jaya. Dan, belakangan, Pak Jon hanya menghabiskan waktu di depan internet atau kopi darat dengan sesama penggemar mobil antik di warung kopi eksekutif di kawasan Tanah Abang.    
Ratri terus saja melekat di jasad Pak Jon sambil menumpahkan air mata tiada henti. Kawan-kawanku masih berusaha melepas Ratri dari jasad Pak Jon.  Begitu kuat rekat melekat. Tak mau copot.
Aku lantas memanggil Retno, rekanku perempuan yang biasa menghadapi orang-orang yang ditinggal kasih terdekat secara tiba-tiba. Agar berbicara dengan Ratri. Pelan perlahan. Ratri melepas dekapannya. Air mata Ratri masih saja meleleh membasahi pipinya. Bapak saya jangan dibawa ke mana-mana? Biar terus menemani saya, saya sudah tak punya siapa-siapa lagi, kata Ratri pelan tercekat.
 Tidak, tidak akan dibawa ke mana-mana. Kami hanya ingin mengobati luka di kening Pak Jon, ujar Retno.
Ratri pun melepaskan dekapan. Bergeser. Menjauhi jasad Pak Jon. Aku melihat jasad Pak Jon seperlunya. Lalu, kuperintahkan anak-buahku cepat-cepat memanggil dokter forensik dari klinik.
Suara di luar terus saja mendengung, mendegung, mendegum. Aku mencoba mencari tahu siapa saja orang-orang terakhir yang bersua dengan Pak Jon. Setidaknya yang berjumpa dua atau tiga hari belakangan.
 Wah, saya kurang tahu Pak. Yang saya tahu, dua hari belakangan Pak Jon tidak menjawab ketokan pintu saat saya keliling ronda menjelang subuh. Biasanya dia cukup rajin menyahut ‘Makasih Jan, Bapak belum tidur’ atau ‘Makasih Jan, Bapak sudah dibangunkan’. Itu saja yang saya tahu, ucap Surjan.
 Memang, dua atau tiga hari lalu, tamu datang silih berganti ke rumah Pak Jon. Ada yang bawa oplet tua yang pernah aktif di Pasar Induk Kramat Jati. Ada yang bawa Alfa Romeo Spider lansiran tahun 1971. Ada lagi yang bawa Mercy Pagoda tahun 1970. Ada pula tamu yang mengendarai Morris mini Cooper a la Mr Bean keluaran tahun 1968. Entah siapa lagi saya tidak terlalu ingat. Yang pasti, tak ada yang terlihat menakutkan atau menakut-nakuti. Pak Jon terlihat santai penuh senyum melepas tamu-tamunya, papar Mas Komar yang hari itu seharian menghabiskan waktu menemani Pak Jon mengelus-elus koleksinya Jaguar E Type tahun 1960.
 Barangkali Mas Komar masih ingat, siapa lagi tamu-tamu yang datang seharian itu? aku coba tanya lebih dalam lagi.
 Sebelum saya pulang, memang, ada tiga tamu yang datang hampir bersamaan. Ketiga-tiganya memakai seragam yang juga hampir sama: hem warna biru muda dan pantalon warna biru tua. Hanya badge di kantong dada kiri yang berbeda. Satu bergambar rumah, satu lagi bergambar gunung dan yang satu bergambar mata bor raksasa. Sepertinya sih, mereka orang-orang yang dipercaya Pak Jon melanjutkan mengelola perusahaan-perusahaannya, kembali Mas Komar memaparkan.
 Jam berapa Mas Komar meninggalkan rumah Pak Jon, aku kembali bertanya.
 Menjelang maghrib, sekitar jam enam sore.
 Lalu, habis itu, Mas Komar tak lagi berhubungan dengan Pak Jon?
 Masih, jam sebelas malam kami masih sempat chatting dan berbagai informasi mengenai perkembangan komunitas penggemar mobil antik. Sampai kemudian saya tertidur di depan layar komputer, pagi-pagi saya mendapati jawaban Pak Jon ‘kawan-kawan, Pak Jon ingin istirahat (sebentar)’.
Aku jadi berkerut kening. Apa makna kata-kata terakhir Pak Jon pada sesama penggemar mobil antik itu. Aku pikir bukan kawan-kawan sesama penggemar mobil antik yang mengantarkan Pak Jon ke alam barzakh. Tapi, siapa lagi? Toh, pergaulan Pak Jon hanya seputaran penggemar mobil antik. Jangan-jangan ada yang tak suka lantaran dia mempercayakan kelanjutan perusahaan-perusahaannya pada orang-orang yang tidak merangkak dari bawah. Jangan-jangan ada orang sakit hati karena belakangan perusahaan rig Pak Jon banyak memperoleh pesanan-pesanan besar dari perusahaan pengeboran minyak dan gas bumi di kawasan Borneo dan Papua. Pak Jon jadi korban persaingan bisnis. Rasanya naluriku terlalu jauh menaruh syakwasangka.
 Sebenarnya sudah banyak yang tahu, tapi pada takut dijadikan saksi Pak, ujar tetangga depan rumah Pak Jon. Memang tetangga-tetangga yang seberang rumah yang biasanya lebih tahu suara-suara yang datang dari rumah duda kaya yang ditinggal isterinya kawin lagi dengan aktor ganteng model iklan sampo itu. Piring jatuh, pintu berderit, sampai meong kucing.
 Ya, malam itu, belum terlalu larut, sekelebat perempuan berbodi mirip Ratri keluar tergesa dari …” tutur tetangga seberang sedikit menyamping dengan mulut bergetar.
 Saya cuma mendengar letusan petasan memecah hening malam itu, ucap tetangga belakang rumah Pak Jon.
 Saya hanya sempat lihat anak Pak Jon menunggu angkot di depan sana. Wajahnya tenang dan ramah menjawab sapaan saya yang baru pulang dari memulung kabar. Tak menampakkan keterburu-buruan. Saya sempat melihat sebentar sambil menikmati bubur ayam kampung di depan sana. Beberapa taksi yang lewat tidak disetopnya. Anak Pak Jon memilih menunggu angkot terakhir yang menuju terminal malam itu, kata tetangga samping kiri rumah Pak Jon sembari mengaku dirinya tak mengenal benar nama anak tunggal Pak Jon. Dirinya cuma kenal muka. Menurut penuturannya, anak Pak Jon ini memang jarang pulang. Sesekali saja menengok ayahnya. Tak pernah lebih dari setengah jam.
 Aku yang tetangga samping kanan rumah Pak Jon pun boleh jadi tak bertegur sapa bilamana bersua di jalanan kalau saja isteriku tidak bercerita tentang Ratri yang membuat jantung Pak Jon berdegup kencang. Sudahlah Ratri, hentikan bisnismu itu. Uang dari perusahaan Bapak tak akan habis kamu makan sampai seratus tahun. Hentikan Ratri, ucap isteriku suatu kali menirukan nasihat Pak Jon pada anaknya yang minta tambahan modal karena ada barang yang harus dibayar kontan. Hanya sebatas itu, isteriku tahu tentang Ratri. Selebihnya, entah. Tetangga-tetangga sekitar demikian pula.
 Kadang kudengar, memang, nama Ratri menggema dari pengeras suara rumah ibadah di tengah-tengah perumahan atau dari rumah ibadah kampung atas. Ratri meninggalkan amplop di bawah karpet. Di kata pengantarnya jelas, buat ongkos perbaikan rumah ibadah dan anak-anak kurang beruntung. Pada kali lain, di kata pengantarnya, untuk tambahan ongkos perayaan dan pembawa burung.
 Aku agak bingung. Kepada siapa lagi aku menaruh prasangka dan praduga. Ratri berselimut kebaikan dan kedermawanan. Orang-orang Pak Jon pun begitu loyal. Sulit mengarahkan ke sana. Ah, aku ingat Ki Kemaki. Dialah orang yang selalu menunjukkan jalan keluar manakala aku tersesat di gang buntu.
 Ki, bantu aku. Belum sempat aku kuak tragedi baku-tembak suami-isteri semalam, eh datang lagi misteri kematian Pak Jon. Naluriku sih, menuntun ke orang terdekat. Tapi, tak ada yang berani ngomong, semua bungkam, diliputi rasa sungkan, merasa terancam, keluhku pada Ki Kemaki lewat ponsel.
 Sudah kamu tanya tiga orang kepercayaannya?
 Sudah Ki. Mereka semua menjawab ‘dia yang menghabisinya’.
 Barangkali kamu lupa, sudah kamu tanya anaknya Pak Jon?
 Juga sudah, dia berkata ‘mereka yang membunuhnya’.
 Kalau demikian adanya, potonglah seekor kambing.
 Potong kambing? Ah, saran macam apa lagi dari Ki Kemaki kali ini. Dan, tentu kambing bukan sembarang kambing. Aku linglung. Apakah cukup, pokoknya kambing. Entah. Aku tak berani kalau kambing asal-asalan.  
 Ki, kambing betina ataukah kambing jantan yang harus kupotong.
 Harus kambing jantan.
 Kambing jantan yang masih perjaka atau yang sudah pernah mengelamini.
 Oh, tentu yang belum pernah mengelamini si betina, tidak tua dan tidak muda.
 Warna bulunya apa ya Ki, hitam, putih, atau belang-belang.
 Yang hitam legam, tak boleh ada satu pun bulunya yang warna putih atau warna lain.
 Aku tambah bingung sendiri. Bagaimana aku bisa tahu kambing itu masih perjaka, bagaimana dapat kutahu semua bulunya hitam. Kusadar yang hitam tak semuanya hitam, yang putih pun tak semuanya putih.Tapi, aku berusaha menjalani apa yang disarankan oleh Ki Kemaki. Kuperintahkan pada anak-buahku segera mencari kambing  jantan, masih perjaka dan bulunya hitam legam. Kalian cari sampai mana pun, harus dapat. Termasuk pula kuminta bantuan rekan-rekan kerjaku di markas. 
 Mentari hampir tegak lurus. Dua orang anak-buahku datang menggandeng seekor kambing hitam. Tapi, bagaimana mereka yakin kalau kambing itu masih perjaka. Kata yang jual yang juga pemelihara sedari lahir, kambing ini belum pernah kawin, kata salah satu anak-buahku. Aku yakin sajalah. Dan, langsung kuperintahkan untuk segera memotong.
 Ki, apa yang harus kulakukan dengan kambing yang sudah dipotong ini. Disate, di-tongseng, digulai atau dibikin sop?
 Bukan begitu, ambil satu pahanya, pukulkan ke jasad Pak Jon.
 Aku lantas memukul pelan jasad Pak Jon dengan paha kambing jantang perjaka hiyam legam. Tak kusangka Pak Jon langsung terbangun. Aku langsung memanfaatkan kesempatan ini untuk bertanya pada Pak Jon. Siapa yang melukai dahi Pak Jon?
 Ratri, kenapa kau menangis di situ, ke sini anakku,ujar Pak Jon memanggil Ratri yang masih sesenggukan. Pak Jon kembali terkulai, dingin, beku dan kaku. ***

                                                                                       Bekasi, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar