Senin, 21 Juli 2014

KAMPUNG ORANG-ORANG DIAM

Fiksi Budi Nugroho

HARI ini menjadi hari istimewa bagi anak-anak murid Taman Kanak-kanak (TK) Siwi Peni. Bahkan, sangat istimewa. Setelah setahun penuh menjalani hari-hari bermain di kelas atau di halaman sekolah, di hari perpisahan ini Bu Guru Yati mengajak anak-anak didiknya mengenali kehidupan masa depan lewat waktu silam. Bu Guru Yati memahami betul bahwa masa kanak-kanak adalah masa tamasya. Dan, masa tamasya inilah yang belum Bu Guru Yati tanamkan dalam benak anak-anak didiknya.
Hari ini adalah hari tamasya anak-anak murid TK Siwi Peni yang sebentar lagi memasuki bangku sekolah dasar. Yang berarti, masa tamasya telah lampau. Sebab itu, Bu Guru Yati sangat ingin menorehkan warna-warni alami dalam benak anak-anak yang tengah berproses menuju benak yang berbenak. Bu Guru Yati tak ingin anak-anak sekadar mengenal apa itu hewan di kebun binatang, istana pasir yang tergerus ombak pantai, atau artefak-artefak masa lampau yang dirubung debu dalam museum. Bukan. Bukan ini. Bu Guru Yati hendak mengajak anak-anak didiknya menyusuri Kampung Orang-orang Diam yang tak harus didiamkan. Kampung Orang-orang Diam yang mesti mengundang celoteh polos anak-anak yang baru saja melewati masa balita.
Sebelum memulai keliling kampung, kepada anak-anak murid TK Siwi Peni, Bu Guru Yati berpesan agar mereka selalu senantiasa bertanya dan bertanya kepada Pak Pemandu Tamsya. Tanya dan tanya ihwal apa saja yang dilihat dan terlihat, dirasa dan terasa, didengar dan terdengar.
***
Mentari belum lama mengusir sisa-sisa embun dinihari yang masih menyelimuti daun dan bunga kamboja, dahan dan ranting beringin yang banyak merimbuni kiri-kanan jalan utama dan jalan setapak Kampung Orang-orang Diam. Wangi mawar merah-putih yang ditabur para pengunjung Kampung Orang-orang Diam kemarin sore masih amat menusuk-nusuk dari empat penjuru mata angin. Ditambah pula sedikit wangi melati. Pun tak ketinggalan aroma dupa yang tersisa.
Tik tak tik tak langkah kaki anak-anak TK Siwi Peni penuh warna riang. Melewati gapura yang dijaga oleh dua patung singa. Salam selamat datang dari sang raja singa pada anak-anak yang belum bersentuhan dengan lumpur dosa itu. “Ingat anak-anak, kalian boleh bertanya apa saja di sini tapi hati-hati kalau melihat pemandangan yang lucu. Nanti bisa-bisa kalian tidak bisa berhenti tertawa,” ucap Bu Guru Yati.
Belum sampai di titik pesan Bu Guru Yati, Adrin (bocah kelas nol besar yang ngefans berat pada pembalap motor Valentiono Rossi yang jago di trek MotoGP) tertawa geli sambil menunjuk-nunjuk sebuah rumah mungil berukuran 1x2 meter bujursangkar yang salah satu dindingnya berhiaskan relief bergambar seorang anak muda yang sedang mengelus-elus skuter Vespa keluaran tahun1963. Cecaran pertanyaan Adrin langsung melayang ke Pak Pemandu Tamasya, “Pak Pemandu, kok ada Vespa butut di sini? Kapan sampainya di Rumah Bapa? Kalau aku, aku naik motor balapnya Rossi, langsung melesat ke Rumah Bapa.”
“Bukan anakku, skuter itu bukan kendaraan buat ke Rumah Bapa. Dan, itu juga bukan pesanan si pemilik rumah mungil ini agar dibuatkan gambar ketika dia sedang mengelus-elus Vespa kesayangannya. Gambar itu itu dibuat sebagai untaian memori bapaknya si pemilik rumah mungil ini. Bahkan, waktu itu, bapaknya minta agar skuter si pemilik rumah mungil ini ikut menghuni cungkup kecil ini. Tapi, peraturan di sini terang-terang melarang,” terang Pak Pemandu Tamasya.
“Kenapa mesti dilarang, Pak Pemandu?” Adrin melepas rasa ingin tahu.
“Aduh Nak, lahan di sini terbatas. Setiap warga kampung cuma boleh mendiami kapling 1x2 meter persegi,” jawab Pak Pemandu yang sehari-hari merangkap sebagai jurukunci Kampung Orang-orang Diam.
Langkah bocah-bocah cilik TK Siwi Peni itu begitu pelan namun rancak. Sekira sepuluh kapling dari rumah mungil anak muda mengelus-ngelus vespa, sebuah cungkup nan asri menyambut kedatangan anak-anak TK yang tengah melancong. Disini tersimpan rapi koleksi keris berbagai ukuran dan model tangkai. Terang mengundang tanya anak-anak polos TK Siwi Peni.
“Pak pemandu, ini kan punya Mbah Dipo, mbah buyut aku. Kok ditaruh di sini, bapakku bisa marah lho! Memangnya di sini tidak aman, kok Mbah Dipo mesti siap mempersenjatai diri dengan kerisnya?” celoteh Basuki, buyut Pak Dipodisastro yang di tahun 1960-an dikenal sebagai jawara penakluk maling1) yang masuk rumahnya. Pada zaman itu, setiap kali ada maling masuk rumahnya pasti tidak bisa keluar sebelum diberi sarapan oleh Pak Dipo.
“Oh, di sini aman-aman kok Nak. Tidak ada maling tak ada rampok. Kalau tidak keliru, dulu sebelum tidur panjang, Mbah Dipo berwasiat agar semua kerisnya ditaruh di sini. Bahkan, jas, blangkon dan kain kebesaran Jawa-nya dipakaikan buat tidur di dalam sana. Justru sekarang rumah Nak Basuki yang rawan maling kan, maling masuk langsung menguras isi rumah lalu kabur,” jelas Pak Pemandu Tamasya yang mempunyai cukup pengetahuan bahwa rumah milik Pak Dipo kini ditempati bapaknya Basuki dan keluarga. Dan, memang lagi, rumah itu sering menjadi incaran maling atau rampok, kendati sekadar masuk rumah lalu menghabisi nasi lantas melenggang pulang.
Kegembiraan anak-anak murid TK Siwi Peni bertambah-tambah manakala tiba pada satu rumah unik yang setidaknya memakan enam kapling. Dengan total luas 4x6 meter persegi, sisi rumah itu dikelilingi besi-besi berisi setinggi 180 cm beratap beton cor. Di atas dak beton, tampak patung dua ayam Bangkok tengah berkelahi.
“Pak Pemandu, siapa yang tidur di dalam sana? Kok bisa-bisanya ya, berisik sekali suaranya, orang berantem sama orang, eh di sekelilingnya ayam-ayam pada nonton,” celetuk Irfan, yang sedari umur empat tahun sudah kelihatan mampu menggunakan indera keenamnya.
“Oh itu! Pak Djarwo yang tidur di situ,” ujar Pak Pemandu sembari menjelaskan, “Kalau tidak keliru, Pak Djarwo itu dedengkot ayam aduan di kota ini sekitar tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an.”
“Cocok sungguh Pak Djarwo tidur di situ, tak jauh dari situ ada orang yang nenteng-nenteng Topi Miring sama Leo ndekem2),” ucap Irfan seolah sekenanya.
“Oh, Nak Irfan, ndak ada yang jualan Topi Miring sama Leo ndekem di sini. Kapling yang di atasnya dihiasi botol bergambar Topi Miring dan Leo ndekem itu tempat berdiamnya Purwanto, yang tiba-tiba berhenti nadinya sewaktu ikut pesta hajatan sepasaran bayi di rumah Mas Tarjo, blantik sapi dari Desa Bangak,” papar Pak Pemandu.
“Lalu, di kapling sebelahnya kok ada Martini, Johny Walker dan Vodka3) dari negeri nun jauh dari kita. Siapa lagi yang tidur panjang menunggu dibangkitkan di sana,” Irfan masih menunjukkan kemampuannya menggunakan indera keenam.
“Ah, Nak Irfan kok tahu-tahunya. Di dalam situ beristirahat dalam damai Tuan Tjahjadi yang pengusaha bar & karaoke di Mangga Besar, Jakarta. Dia cepat-cepat istirahat di dalam situ setelah mobilnya nyeruduk tronton di Tol Cawang-Priok. Kabarnya, sebelum pulang ke rumahnya di kawasan Batu Ampar, ia menyempatkan menemani koleganya minum-minum,” Pak Pemandu berusaha memuaskan rasa ingin tahun Irfan.
***
Pak Pemandu Tamasya tampak jelas menguasai betul seluk-beluk dan asal-usul sosok siapa-siapa warga penghuni Kampung Orang-orang Diam. Maka dari itu, pemandu tamasya kampung ini berlangsung turun-temurun. Kendati regenerasinya sangat tertutup namun sosok pemandu yang dilahirkan sangat mumpuni dan mampu memuaskan naluri ingin tahu setiap pelancong ke kampung ini.
Tak terasa tamasya anak-anak murid TK Siwi Peni sudah hampir tiba di pintu keluar kampung. Sebelum sampai di bagian kampung yang bangun kaplingnya teratur dan seragam dengan bedil dan topi baja, rombongan anak-anak TK itu terlebih dulu harus melewati sebuah kapling yang ditancapi miniatur sebuah gincu berwarna merah stroberi. Sayup-sayup, Rizal –yang menghabiskan masa balitanya di Kota Buaya—mendengar kalimat-kalimat khas di salah satu sudut Kota Buaya itu, “Nok Perak Mas kapale kobong, monggo pinarak Mas kamare kosong4).”
“Pak … Pak Pemandu, siapa yang tinggal di sini? Kok masih sempat-sempatnya menawarkan diri,” tanya Rizal.
“Ya, sebagaimana simbol yang menancap di atas nisannya, kalau tidak keliru dia namanya Ngadinem tapi panggilan komersialnya Inung. Dia adalah salah satu primadona Pasar Cilik di tahun 1970-an. Tapi, kabarnya dia pernah malang melintang di Silir, Sunan Kuning, dan Bangunrejo sebelum kemudian diperisteri oleh seorang lelaki pelanggan setianya. Pada hari-hari pasaran, kapling ini menebar bau bacin, Nak Rizal,” terang Pak Pemandu tanpa bisa menyembunyikan kekagetannya memperoleh pertanyaan perihal orang diam di kapling di tapal batas kapling-kapling bertopi baja.  
Mentari mendekati puncak ubun-ubun. Kulit anak-anak murid TK Siwi Peni tak kuat kuat lagi menahan sengatan sang mentari. Di depan cuma tampak jejeran topi baja dan sedikit bambu runcing. Kegersangan menghampar. Padang rumput menyambut.
“Ayo … tiarap … tiarap, pakai tuh topi baja biar selamat kalau ada peluru nyasar,” teriak Sarno, bocah belum genap enam tahun yang bercita-cita ingin menjadi anggota tentara elit. Sembari mengomando teman-temannya, Sarno merayap menuju gerbang keluar Kampung Orang-orang Diam. ***
                                                                Manding-Tjantel, ‘03

---------------
1)Maling: pencuri
2)Topi Miring dan Leo ndekem: dua merek minuman beralkohol produksi lokal.
3)Martini, John Walker, Vodka: tiga mereka minuman beralkohol impor.
4)Nok perak Mas kapale kobong, monggo pinarak Mas kamare kosong: Di Perak Mas kapalnya terbakar, mari mampir Mas kamarnya kosong.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar