Fiksi Budi Nugroho
HARI ini menjadi hari istimewa bagi anak-anak murid
Taman Kanak-kanak (TK) Siwi Peni. Bahkan, sangat istimewa. Setelah setahun
penuh menjalani hari-hari bermain di kelas atau di halaman sekolah, di hari
perpisahan ini Bu Guru Yati mengajak anak-anak didiknya mengenali kehidupan
masa depan lewat waktu silam. Bu Guru Yati memahami betul bahwa masa
kanak-kanak adalah masa tamasya. Dan, masa tamasya inilah yang belum Bu Guru
Yati tanamkan dalam benak anak-anak didiknya.
Hari ini adalah hari tamasya anak-anak murid TK Siwi
Peni yang sebentar lagi memasuki bangku sekolah dasar. Yang berarti, masa
tamasya telah lampau. Sebab itu, Bu Guru Yati sangat ingin menorehkan
warna-warni alami dalam benak anak-anak yang tengah berproses menuju benak yang
berbenak. Bu Guru Yati tak ingin anak-anak sekadar mengenal apa itu hewan di
kebun binatang, istana pasir yang tergerus ombak pantai, atau artefak-artefak
masa lampau yang dirubung debu dalam museum. Bukan. Bukan ini. Bu Guru Yati
hendak mengajak anak-anak didiknya menyusuri Kampung Orang-orang Diam yang tak
harus didiamkan. Kampung Orang-orang Diam yang mesti mengundang celoteh polos
anak-anak yang baru saja melewati masa balita.
Sebelum memulai keliling kampung, kepada anak-anak
murid TK Siwi Peni, Bu Guru Yati berpesan agar mereka selalu senantiasa
bertanya dan bertanya kepada Pak Pemandu Tamsya. Tanya dan tanya ihwal apa saja
yang dilihat dan terlihat, dirasa dan terasa, didengar dan terdengar.
***
Mentari belum lama mengusir sisa-sisa embun dinihari
yang masih menyelimuti daun dan bunga kamboja, dahan dan ranting beringin yang
banyak merimbuni kiri-kanan jalan utama dan jalan setapak Kampung Orang-orang
Diam. Wangi mawar merah-putih yang ditabur para pengunjung Kampung Orang-orang
Diam kemarin sore masih amat menusuk-nusuk dari empat penjuru mata angin.
Ditambah pula sedikit wangi melati. Pun tak ketinggalan aroma dupa yang
tersisa.
Tik tak tik tak langkah kaki anak-anak TK Siwi Peni
penuh warna riang. Melewati gapura yang dijaga oleh dua patung singa. Salam
selamat datang dari sang raja singa pada anak-anak yang belum bersentuhan
dengan lumpur dosa itu. “Ingat anak-anak, kalian boleh bertanya apa saja di
sini tapi hati-hati kalau melihat pemandangan yang lucu. Nanti bisa-bisa kalian
tidak bisa berhenti tertawa,” ucap Bu Guru Yati.
Belum sampai di titik pesan Bu Guru Yati, Adrin (bocah
kelas nol besar yang ngefans berat pada pembalap motor Valentiono Rossi yang
jago di trek MotoGP) tertawa geli sambil menunjuk-nunjuk sebuah rumah mungil
berukuran 1x2 meter bujursangkar yang salah satu dindingnya berhiaskan relief
bergambar seorang anak muda yang sedang mengelus-elus skuter Vespa keluaran
tahun1963. Cecaran pertanyaan Adrin langsung melayang ke Pak Pemandu Tamasya,
“Pak Pemandu, kok ada Vespa butut di sini? Kapan sampainya di Rumah Bapa? Kalau
aku, aku naik motor balapnya Rossi, langsung melesat ke Rumah Bapa.”
“Bukan anakku, skuter itu bukan kendaraan buat ke
Rumah Bapa. Dan, itu juga bukan pesanan si pemilik rumah mungil ini agar
dibuatkan gambar ketika dia sedang mengelus-elus Vespa kesayangannya. Gambar
itu itu dibuat sebagai untaian memori bapaknya si pemilik rumah mungil ini.
Bahkan, waktu itu, bapaknya minta agar skuter si pemilik rumah mungil ini ikut
menghuni cungkup kecil ini. Tapi, peraturan di sini terang-terang melarang,”
terang Pak Pemandu Tamasya.
“Kenapa mesti dilarang, Pak Pemandu?” Adrin melepas
rasa ingin tahu.
“Aduh Nak, lahan di sini terbatas. Setiap warga
kampung cuma boleh mendiami kapling 1x2 meter persegi,” jawab Pak Pemandu yang
sehari-hari merangkap sebagai jurukunci Kampung Orang-orang Diam.
Langkah bocah-bocah cilik TK Siwi Peni itu begitu
pelan namun rancak. Sekira sepuluh kapling dari rumah mungil anak muda
mengelus-ngelus vespa, sebuah cungkup nan asri menyambut kedatangan anak-anak
TK yang tengah melancong. Disini tersimpan rapi koleksi keris berbagai ukuran
dan model tangkai. Terang mengundang tanya anak-anak polos TK Siwi Peni.
“Pak pemandu, ini kan punya Mbah Dipo, mbah buyut aku.
Kok ditaruh di sini, bapakku bisa marah lho! Memangnya di sini tidak aman, kok
Mbah Dipo mesti siap mempersenjatai diri dengan kerisnya?” celoteh Basuki,
buyut Pak Dipodisastro yang di tahun 1960-an dikenal sebagai jawara penakluk
maling1) yang masuk rumahnya. Pada zaman itu, setiap kali ada maling masuk
rumahnya pasti tidak bisa keluar sebelum diberi sarapan oleh Pak Dipo.
“Oh, di sini aman-aman kok Nak. Tidak ada maling tak
ada rampok. Kalau tidak keliru, dulu sebelum tidur panjang, Mbah Dipo berwasiat
agar semua kerisnya ditaruh di sini. Bahkan, jas, blangkon dan kain kebesaran
Jawa-nya dipakaikan buat tidur di dalam sana. Justru sekarang rumah Nak Basuki
yang rawan maling kan, maling masuk langsung menguras isi rumah lalu kabur,”
jelas Pak Pemandu Tamasya yang mempunyai cukup pengetahuan bahwa rumah milik
Pak Dipo kini ditempati bapaknya Basuki dan keluarga. Dan, memang lagi, rumah
itu sering menjadi incaran maling atau rampok, kendati sekadar masuk rumah lalu
menghabisi nasi lantas melenggang pulang.
Kegembiraan anak-anak murid TK Siwi Peni
bertambah-tambah manakala tiba pada satu rumah unik yang setidaknya memakan
enam kapling. Dengan total luas 4x6 meter persegi, sisi rumah itu dikelilingi
besi-besi berisi setinggi 180 cm beratap beton cor. Di atas dak beton, tampak
patung dua ayam Bangkok tengah berkelahi.
“Pak Pemandu, siapa yang tidur di dalam sana? Kok
bisa-bisanya ya, berisik sekali suaranya, orang berantem sama orang, eh di
sekelilingnya ayam-ayam pada nonton,” celetuk Irfan, yang sedari umur empat
tahun sudah kelihatan mampu menggunakan indera keenamnya.
“Oh itu! Pak Djarwo yang tidur di situ,” ujar Pak
Pemandu sembari menjelaskan, “Kalau tidak keliru, Pak Djarwo itu dedengkot ayam
aduan di kota ini sekitar tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an.”
“Cocok sungguh Pak Djarwo tidur di situ, tak jauh dari
situ ada orang yang nenteng-nenteng Topi Miring sama Leo ndekem2),”
ucap Irfan seolah sekenanya.
“Oh, Nak Irfan, ndak ada yang jualan Topi
Miring sama Leo ndekem di sini. Kapling yang di atasnya dihiasi botol
bergambar Topi Miring dan Leo ndekem itu tempat berdiamnya Purwanto,
yang tiba-tiba berhenti nadinya sewaktu ikut pesta hajatan sepasaran
bayi di rumah Mas Tarjo, blantik sapi dari Desa Bangak,” papar Pak Pemandu.
“Lalu, di kapling sebelahnya kok ada Martini, Johny
Walker dan Vodka3) dari negeri nun jauh dari kita. Siapa lagi yang
tidur panjang menunggu dibangkitkan di sana,” Irfan masih menunjukkan
kemampuannya menggunakan indera keenam.
“Ah, Nak Irfan kok tahu-tahunya. Di dalam situ
beristirahat dalam damai Tuan Tjahjadi yang pengusaha bar & karaoke di
Mangga Besar, Jakarta. Dia cepat-cepat istirahat di dalam situ setelah mobilnya
nyeruduk tronton di Tol Cawang-Priok. Kabarnya, sebelum pulang ke
rumahnya di kawasan Batu Ampar, ia menyempatkan menemani koleganya
minum-minum,” Pak Pemandu berusaha memuaskan rasa ingin tahun Irfan.
***
Pak Pemandu Tamasya tampak jelas menguasai betul
seluk-beluk dan asal-usul sosok siapa-siapa warga penghuni Kampung Orang-orang
Diam. Maka dari itu, pemandu tamasya kampung ini berlangsung turun-temurun.
Kendati regenerasinya sangat tertutup namun sosok pemandu yang dilahirkan
sangat mumpuni dan mampu memuaskan naluri ingin tahu setiap pelancong ke
kampung ini.
Tak terasa tamasya anak-anak murid TK Siwi Peni sudah
hampir tiba di pintu keluar kampung. Sebelum sampai di bagian kampung yang
bangun kaplingnya teratur dan seragam dengan bedil dan topi baja, rombongan
anak-anak TK itu terlebih dulu harus melewati sebuah kapling yang ditancapi
miniatur sebuah gincu berwarna merah stroberi. Sayup-sayup, Rizal –yang
menghabiskan masa balitanya di Kota Buaya—mendengar kalimat-kalimat khas di
salah satu sudut Kota Buaya itu, “Nok Perak Mas kapale kobong, monggo
pinarak Mas kamare kosong4).”
“Pak … Pak Pemandu, siapa yang tinggal di sini? Kok
masih sempat-sempatnya menawarkan diri,” tanya Rizal.
“Ya, sebagaimana simbol yang menancap di atas
nisannya, kalau tidak keliru dia namanya Ngadinem tapi panggilan komersialnya
Inung. Dia adalah salah satu primadona Pasar Cilik di tahun 1970-an. Tapi,
kabarnya dia pernah malang melintang di Silir, Sunan Kuning, dan Bangunrejo
sebelum kemudian diperisteri oleh seorang lelaki pelanggan setianya. Pada
hari-hari pasaran, kapling ini menebar bau bacin, Nak Rizal,” terang Pak
Pemandu tanpa bisa menyembunyikan kekagetannya memperoleh pertanyaan perihal
orang diam di kapling di tapal batas kapling-kapling bertopi baja.
Mentari mendekati puncak ubun-ubun. Kulit anak-anak
murid TK Siwi Peni tak kuat kuat lagi menahan sengatan sang mentari. Di depan
cuma tampak jejeran topi baja dan sedikit bambu runcing. Kegersangan
menghampar. Padang rumput menyambut.
“Ayo … tiarap … tiarap, pakai tuh topi baja
biar selamat kalau ada peluru nyasar,” teriak Sarno, bocah belum genap enam
tahun yang bercita-cita ingin menjadi anggota tentara elit. Sembari mengomando
teman-temannya, Sarno merayap menuju gerbang keluar Kampung Orang-orang Diam. ***
Manding-Tjantel, ‘03
---------------
1)Maling: pencuri
2)Topi Miring dan Leo ndekem: dua merek
minuman beralkohol produksi lokal.
3)Martini, John Walker, Vodka: tiga mereka
minuman beralkohol impor.
4)Nok perak Mas kapale kobong, monggo pinarak Mas
kamare kosong: Di Perak Mas kapalnya terbakar, mari mampir Mas kamarnya
kosong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar