Cerpen
budi nugroho
DARI
detik ke menit. Menit ke jam. Jam ke hari. Hari pun merambat pekan lalu bulan.
Hampir setahu waktu berlalu.
Siang itu Warsiyem menghitung-hitung sisa hasil
penjualan nasi pecel di pojok terminal bus kota. Hanya rupiah demi rupiah
–setelah dipotong uang jago, iuran tempat usaha, uang pangkalan, dan retribusi
daerah. Ya, benar-benar rupiah demi rupiah untuk mencapai jumlah yang diminta
perawat rumah bersalin ketika ia meninggalkan orok yang belum 48 jam dilahirkan
hampir setahun silam tergolek pucat di ruang perawatan khusus bayi kuning.
Demikian pula Samino, suami Warsiyem. Dia harus
mengais-ngais rupiah demi rupiah dari sisa mengasong koran dan majalah di
perempatan Perintis Kemerdekaan. Kadang, bahkan, dia tidak mampu menyisihkan
sisa jualan koran dan majalah gara-gara lari tunggang langgang menghindari
orang-orang ketenteraman kota. Koran dan majalah yang dijualnya dirampas tanpa
sisa. Balik pun tidak.
“Yem, maafkan Kang Mino. Kang Mino tidak bisa
menafkahi kamu dengan layak. Cuma ini yang bisa Kang Mino berikan,” ucap Samino
tatkala sampai di petak kontrakannya yang lebih layak disebut gubuk reyot di
pinggiran Kali Sunter sembari menyodorkan beberapa lembar ribuan rupiah di
malam yang sebentar lagi bergulir ke dinihari itu.
“Tak mengapa, Kang Mino. Yang penting kita tetap
sehat, saya tetap bisa berjualan nasi pecel di pojok terminal bus kota dan Kang
Mino kuat berlari-lari kecil menyodorkan koran dan majalah kepada penumpang
buskota yang menunggu lampu mereah menjadi hijau,” ucap Warsiyem.
Samino memang tak bisa berharap banyak mengadu
untung di kota sebesar Jakarta ini. SD saja, dia tidak tamat. Bisa mengasong
koran, majalah atau minuman mineral pun sudah lebih dari sekadar nasib baik.
Sekali waktu dia jadi kuli bangunan kala sedang ada yang membutuhkan tenaganya.
Mau bertani di desa asal, rasanya tak mungkin lagi. Sawah-sawah di desanya
sudah ditumbuhi bangunan gudang, pabrik tekstil, kandang bus antarkota
antarprovinsi. Tiada lagi yang tersisa buat menghidupi dirinya di desa. Cangkul
saja sudah digadaikan buat ongkos ke Jakarta.
Dan Warsiyem tak pula bisa berharap banyak. Ia
hanya sempat melewatkan dua kelas di sekolah dasar di desanya yang teramat
tandus di lereng gunung kapur. Ia cuma mewarisi keterampilan membuat nasi pecel
dari ibunya yang dulu memang kondang di desanya.
Pecel Mbok Jami, begitu kuli-kuli penggali kapur
di desa asal Warsiyem mengenalnya. Tapi, kini kapur-kapur itu telah habis
terkikis. Tiada terasa lagi denyut kehidupan si penggali batu kapur. Sebab itu,
Warsiyem lari ke Jakarta dengan bekal alakadarnya, membawa warisan keterampilan
jualan nasi pecel Mbok Jami yang jelas-jelas jauh kalah populer dibandingkan
Mbok Berek atau Nyonya Suharti yang kondang berkat ayam goreng yang
gurih-renyah, atau Pak Sadi yang dikenal lantaran Soto Ambengan.
Satu hal yang tak dipunyai Mbok Jami dan juga
Warsiyem, mereka tidak mampu menangkap selera makan orang-orang berduit di
Jakarta. Karena itu, ia sekadar jualan nasi pecel di pojok terminal bus kota
yang terkadang mesti main kucing-kucingan dengan orang-orang ketenteraman kota.
“Yem, sekali lagi, maafkan Kang Mino.
Sampai-sampai Kang Mino tidak bisa membawa pulang Trisno yang kamu lahirkan
setahun lalu. Anak kita itu sudah bisa apa, ya? Rasanya aku inign menggendong
dan mengajaknya jalan-jalan ke Taman Mini,” Samino menerawang.
“Gak
usah lah mengkhayal, Kang Mino, tapi, sepertinya Kang Mino betul juga. Aku pun
ingin cepat-cepat melihat Trisno, barangkali sekarang dia sudah bisa berjalan
satu atau dua langkah. Ah, begitu lucunya anak kita, Kang Mino. Aku ingin
mengajaknya pulang kampung,” Warsiyem ikut terlarut.
“Bagaimana kalau besok pagi kita ke rumah bersalin
itu? Kita tebus dengan melampirkan surat keterangan miskin yang kita beli
Rp20.000 di kelurahan. Kasih saja semampu kita,” ucap Samino yang masih tampak
kelelahan. Sebelum pulang, dia sempat main kucing-kucingan dengan orang-orang
ketenteraman kota di perempatan Perintis Kemerdekaan.
“Aku cuma punya simpanan Rp20.000. Itu tabunganku
sejak kita tinggalkan Trisno di rumah bersalin. Apakah perawat di rumah
bersalin itu mau menerima uang Rp20.000, Kang Mino?” tutur Warsiyem sedikit
pasrah.
“Oh, ya Kang Mino ada Rp15.000. Mudah-mudahan
mereka mau menerimanya,” Samino tak kalah pasrah.
“Waktu itu, mereka minta berapa ya?” Warsiyem bercoba
mengingat-ingat.
“Berapa ya?” gumam Samino ikut membuka ingatan
sekitar setahun lampau.
“Kalau tidak keliru, satu juta rupiah,” Warsiyem
belum ingat benar.
“Itu terlalu kecil rasanya, seingat Kang Mino
sekitar Rp10 juta. Jumlah itu sudah termasuk ongkos perawatan selama sepuluh
hari dan biaya pembuatan saluran pembuangan air besar yang tak dipunyai anak
kita sejak lahir,” Samino mereka ulang ingatannya.
“Ooo iya Kang Mino. Sepuluh juta dua ratus lima
puluh ribu rupiah,” Warsiyem baru ingat.
“Tapi, ada gak
uang sebesar itu?” Samino menarik nafas dalam-dalam.
Warsiyem pun ikut menarik nafas dalam-dalam,
tatapan matanya kosong, tak tahu harus berbuat apa lagi. Selalu begitu kala ia
ingat Trisno, anaknya yang terpaksa ditinggalkan di rumah bersalin lantaran
tidak mampu membayar biaya kelahiran dan perawatan.
Tak lama berselang, kedua laki-bini itu terlelap
di atas tikar lusuh di atas ubin teraso lembab di rumah petak kontrakannya yang
setengah tembok di pinggiran Kali Sunter.
***
Pagi menepi. Samino dan Warsiyem bangun. Hari ini
Warsiyem tidak jualan nasi pecel, Samino tak mengasong. Mereka bersiap
mengambil Trisno dari rumah bersalin.
“Kang Mino, ayo kita berangkat ke rumah sakit
bersalin,” ajak Warsiyem.
“Kang Mino ragu, apakah dengan uang Rp35.000 itu
bisa buat membawa pulang Trisno? Kang Mino khawatir mamti ditolak perawat
lagi,” ujar Samino.
“Ah, Kang Mino kan sudah menyiapkan surat miskin.
Masa, mereka tidak percaya,” Warsiyem berusaha meyakinkan.
Samino pun tak bisa lagi menolak ajakan isterinya.
Mereka lalu berjalan menuju ujung gang, tempat biasa warga menunggu bus kota. Pagi
itu warga yang hendak berangkat kerja sudah menyemut di ujung gang. Nyaris
tiada tegur sapa warga pada Warsiyem dan Samino. Maklum, keduanya biasa keluar
rumah jauh sebelum sang mentari menampakkan wajahnya. Sementara mereka pulang,
para tetangga telah nyenyak dalam mimpi. Demikian terasing.
“Yem, kita naik apa ke rumah bersalin itu?” Samino
bertanya.
“Aku juga gak
tahu, Kang Mino. Coba kita tanyakan saja ke orang-orang yang sedang menunggu
bus kota di sini,” kata Warsiyem.
“Bang, kalau mau ke rumah bersalin Ani, saya mesti
naik bus nomor berapa, ya?” tanya Warsiyem kepada seorang anak muda yang
wajahnya khas orang Sumatera Utara.
“Naik saja bus kota nomor 13, bilang ke keneknya
minta turun di rumah bersalin yang ibu maksud,” jawab lelaki berseragam orang
ketenteraman kota itu sambil tergesa-gesa masuk bus kota yang baru berhenti.
“Terima kasih, Bang,” Warsiyem berucap tanpa
ekspresi.
Warsiyem langsung menarik lengan Samino ke bibir
jalan. Bus kota nomor 13 sudah mendekat. Orang-orang berebut naik. Samino dan
Warsiyem hanya kebagian menempel di pintu belakang.
“Bagaimana wajah anak kita sekarang ya, Kang
Mino?” Warisyem bertanya lirih pada suaminya.
“Ya, barangkali sudah bisa berjalan. Sudahlah tak
usah banyak ngobrol, nanti kita terlempar dari bus, sopirnya mengerem seenaknya
begini,” Samino mengingatkan. Rupanya Warsiyem hampir terjerembab saat bus kota
berhenti di halte tak jauh dari pospol dekat kantor pengadilan.
Mereka pun diam. Berjaga-jaga bila tiba-tiba sopir
bus kota yang mereka tumpangi mengerem mendadak karena ada penumpang yang minta
turun di depan gang menuju rumahnya. Mereka pun memasang telinga, kalau-kalau
si kenek berteriak, “Rumah sakit ...rumah sakit, yang sakit turun, yang sakit
turun...”
Tak berapa berselang si kenek berteriak, “Rumah
sakit ...rumah sakit...” warsiyem dan Samino bersiap-siap turun dari bus kota lalu
melangkah kaki mereka ke trotoar di depan rumah bersalin.
“Itu rumah bersalinnya, Kang Mino,” ucap Warsiyem
sembari menunjuk sebuah bangunan tua bercat putih namun tetap menjadi dambaan
pasien tak berduit itu.
“Ayolah kita bergegas,” Samino menarik lengan
isterinya.
Dengan langkah terburu-buru, mereka langsung
menuju tempat perawat yang dulu menyuruh pulang dan meninggalkan Trisno di
ruang perawatan khusus bayi kuning. Benar saja, mereka bertemu dengan perawat
yang dulu. Si perawat meminta Warsiyem dan Samino menunggu. Agak lama memang,
sampai-sampai Warsiyem terlelap di ruang tunggu yang sejuk semilir angin cemara.
***
“IBU masih ingat saya?” ucap Warsiyem.
“Anda siapa? Apa perlunya ke sini?” tanya perawat
berumur 20-an tahun itu.
“Saya Warsiyem, Suster,” jawab Warsiyem dengan
mimik gemetar.
“Warsiyem, Warsiyem siapa? Rasanya saya belum
pernah kenal,” datar perawat itu berucap.
“Ya, saya Warsiyem yang Suster suruh pulang karena
tidak mampu membayar biaya operasi dan perawatan bayi selama 10 hari di rumah
bersalin ini sekitar setahun lalu,” jelas Warsiyem.
“Oo ya, baru aku ingat, kamu yang melahirkan anak
tanpa anus itu, ya,” tutur perawat sedikit nyinyir. “Terus, sekarang mau apa?”
tanyanya kemudian.
“Saya mau membayar ongkos operasi dan biaya
perawatan bayi itu, agar dia bisa segera bisa saya ajak pulang,” pinta Warsiyem
diiyakan Samino.
“Bagaimana sih kalian? Pulang tidak pamit, tak ada
kejelasan kabarnya, eh sekarang mau ambil bayi itu,” perawat itu setengah
memarahi.
“Lho, kan saya sudah katakan akan balik lagi
setelah cukup uang,” tutur Warsiyem.
“Bayimu sudah meninggal 15 hari setelah kalian
pulang. Sudah kami kuburkan di pekuburan orang-orang tak bernama. Cari saja di
sana,” perawat itu berbicara ketus.
“Kalian tidak manusiawi, kalian telah membunuh bayiku,
kalian lebih kejam daripada ibukota,” Warisyem berteriak sekeras-kerasnya.
“Lho, lho, ada apa Yem? Kamu mengigau, ya?
Bangun-bangun, jadi gak pagi ini kita ke rumah bersalin mengambil Trisno?”
Samino berusaha membangunkan Warsiyem.
“Trisno mati, Kang Mino. Trisno dibunuh perawat
itu,” Warsiyem dalam igauan.
“Yem ...Yem ...bangun. Ayo kita pulang, tak ada
gunanya lagi kita ke sini membawa surat miskin, tetap saja kita harus membayar
mahal,” ajak Samino. ***
Bekasi-Sragen,
medio 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar