Minggu, 27 Juli 2014

WARIS NIHIL

fiksi budi nugroho

Berpilar gaya Spanyol Klasik. Berpenerangan ala negeri seribu lilin. Di garasiku bertengger Kuda, Kijang dan Jaguar. Sudah lebih dari sepuluh musim tunggangan dan rumah surgawi itu dalam genggaman hatiku. Saban jelang maghrib kupulangi, setelah seharian mengejar mimpi-mimpi di metropolitan. Sejuk segar dalam terpaan angin hutan cemara. Sirna penat yang merambat seharian.
Tapi, jelang maghrib ini, kepingan-kepingan malam yang gelap gulita demikian cepat menyergap. Lorong panjang pekat tiada pelita seolah tiada berujung. Nun jauh di depan sana, sepertinya titik-titik putih kerlar-kerlip bak kunang-kunang. Makin kumaju melangkah, kerlap-kerlip kunang-kuang semakin menjauh. Ditambah lagi, makin kumaju melangkah, lorong bertambah pengap dan panas. Aku tetap saja terus melangkah maju. Mustahil rasanya aku tersesat di depan pintu rumahku. Aku terus mengejar kerlap-kerlip kunang-kunang.  Semakin kukejar semakin menjauh, semakin terengah-engah nafasku.
Sepertinya sampai pula di kedekatan kerlap-kerlip kunang-kunang. Kuraba-kuraba, tak ada rasa. Kerlap-kerlip itu, tiba-tiba, terasa berubah jadi bola api.
Sontak, rasa takut menghantuiku. Kupanggil-panggil isteriku, “Ma, cepat nyalakan lampu teras. Jam segini kok lampu belum juga dinyalakan, cepat nyalakan, Ma!”
Bayang hitam menyembul dari tengah bola api. “Papa ini ada apa? Semua lampu sudah dinyalakan Mbok Paijah. Papa tidak salah lihat?” suara isteriku dari dalam tengah-tengah bola api.
“Tidak Ma, aku betul-betul dalam gelap,” ucapku.
“Istighfar Pa, mohon ampunan pada Tuhan. Barangkali Papa kecapekan kerja dan penat karena macet di jalanan,” suara isteriku kembali keluar dari dalam bola api.
“Astaghfirullah ...”
Sebentar detik bola api pecah menjadi titik-titik putih kerlap-kerlip kunang-kunang. Aku tetap saja tidak bisa mendekatinya. Aku terus mendekat ke kerlap-kerlip kunang-kunang. Sebentar mendekat. Kusorongkan tangan. Astaga.  Kerlap-kerlip itu membentuk satu garis lurus horizontal, berkilat-kilat. Bagai batang petang diterpa mentari tengah hari. Bak kilatan-kilatan halilintar di kala guyuran hujan menderas. Semakin dekat kusorongkan tangan, semakin naik tuh garis. Rasanya kuberjalan seperti menaiki tangga, langkah demi langkah. Terus berkilat-kilat. Miris hati. Ngeri tak terperi. Terbayang rasa ngilu tatkala menapakkkan langkah dari pertama sampai ke anak tangga terakhir, yang entah di anak tangga ke berapa ratus. Sepertinya lebih dari tiga ratusan anak tangga, lebih banyak daripada anak tangga menuju ke kompleks kuburan raja-raja Mataram di Imogiri.
Ngilu. Sembilu menyayat qalbu. Tapi, jelang maghrib ini aku mesti pulang, harus menapaki tangga itu. Di anak tangga terakhir ada pintu masuk rumahku. Pintu kepulanganku saban maghrib menjelang. Entah butuh berapa lama jalan menapaki anak tangga demi anak tangga yang memiris. Belum kuinjak garis pertama, dari anak tangga terakhir terdengar panggilan, “Cepat Pa, Mama sudah bukakan pintu. Waris anak kita sudah menunggu di sini. Bentar lagi waktunya makan malam.”
Ya, anakku semata wayang kuberi nama Waris Nihil. Aku ingin cepat-cepat menapaki anak tangga demi anak tangga. Rasa ngilu, miris, menghentikan langkah niatku. Ajakan isteriku terus mengetuk-ngetuk benakku, menusuk pada relung rasa kangen paling dalam.
Belum kutapakkan kaki pada garis paling bawah, lagi-lagi muncul suara, “Hai manusia kotor, kamu belum waktunya pulang. Bersihkan dulu jiwa-ragamu, kamu baru boleh pulang. Di catatan ini, kamu belum saatnya pulang.”
Dari intonasinya, jelas itu bukan suara isteriku atau anakku semata wayang Waris Nihil. Aku tidak mengenali suara itu milik siapa. Rasa-rasanya, kerabatku, kolegaku, adik-adiknya, kawan-kawan seperguruan, pun tiada satu pun yang punya suara berat yang nge-jazz itu. Lalu, suara siapa ya? Tiba-tiba garis-garis putih berkilat-kilat sirna dari pandangan mataku. Tahu-tahu aku sudah berada di depan pintu rumahku. Aku kenal betul, pintu bercat kuning gading dengan gagang bukaan keemasan, sedikit celah intai setinggi mataku, dan kepala buto ijo menggantung dengan lidah menjulur buat ketukan bilamana orang mau bertamu ke rumahku.

***
Kuketuk pintu. Perlahan namun pasti. Terbuka tiga jari. Kedua mata isteriku yang sedikit merah menyambut, “Kok malam amat pulangnya, Pa? Ada lembur di kantor?” Pertanyaan isteriku sungguh mengagetkan. Rasanya aku sudah tiba di teras rumah sejak mentari belum benar-benar masuk peraduannya. Rasanya pula tadi isteriku sudah membukakan pintu, minta aku cepat-cepat masuk rumah. Tapi kok, isteriku bertanya begitu.
Aku semakin kaget, kulihat jam di dinding ruang tamu rumahku menunjuk duapuluh menit lagi tengah malam. Ke mana saja aku tadi ya. Sampai-sampai isteriku yang sangat nrimo dan penuh rasa sabar mengajukan keraguan macam itu. Apakah lorong panjang menanjak nan pekat tiada pelita tadi yang membuatku serasa demikian lama menempuh perjalanan sejengkal kaki? Entah, aku cuma membatin. Aku tidak cepat-cepat menjawab keraguan isteriku. Karena, di zaman multikrisis begini, kantor mana yang mau dilemburi, bisa tetap berproduksi saja sudah menjadi semacam berkah dan anugerah yang sarat manfaat.
Lalu, jawaban apa yang dapat kusampaikan agar tidak menyakitkan sikap nrimo isteriku. Aku tidak sampai hati membohongi isteriku yang selalu setia mendampingiku sejak dari tiada berharta sampai sekarang bergelimah kemewahan. Cukuplah dosaku saat membuatnya terusir dari keluarganya tatkala ketahuan ada benih calon jabang bayi bersemayam di rahimnya. Keluargnya, waktu itu, merasa amat berlumuran aib setelah bersusah-payah membentuk pribadi isteriku sebagai perempuan bermartabat.
“Eh, Pa! Kok malah mematung saja di situ. Ayo masuk, tuh anakmu sampai ndak mau makan malam.”
Kembali aku seolah tersadarkan, aku masih berada di alam fana. Sepantasnya aku bersyukur, didampingi isteri yang setia. Cuma, satu hal, kami tidak memperoleh anak setelah 20 tahun sepakatmengucap iajab-qabul di depan Pak Pengulu. Kalau toh ada Waris Nihil dari rahim isteriku, itu anak kami di luar ikrar ijab-qabul. Dalam bahasa catatan sipil, anak tidak tercatat. Kendati begitu, hal ini tidak lantas mengurangi kasih kami kepada Waris Nihil. Waris sungguh segala-galanya buat aku dan isteriku.
 Semula aku tidak merasa risih atas prosesi kegadiran Waris ke dunia yang mendekati kiamat ini. Banyak kawan semasa SMA-ku dulu mengalami hal serupa, baru tiga tau empat bulan mengucap ijab-qabul, eh si jabang bayi sudah mbrojol. Beberapa kerabatku pun harus menerima kenyataan beranak tapi tak memiliki anak. Si ayah hanyalah ayah biologis, bukan ayah nasab. Buat menutupi rasa risih, aku memohonkan akta kelahiran Waris Nihil wajar-wajar saja lengkap syarat: ada identitas penduduk, surat nikah dan surat keterangan lahir dari rumah sakit bersalin. Ihwal janin Waris Nihil tumbuh sebelum aku-isteriku jadi pasangan syar’i, dapat kututp rapat-rapat. Waris pun kujauhkan dari kemungkinan bakal mendengar asal-muasalnya. Dan, sampai sekarang, Waris tetap memanggilku papa dan mama pada isteriku.
Tapi, pengalaman baru saja, aku melewati lorong panjang pekat tiada pelita, benakku terusik. Apakah aku baru saja meneui tanda-tanda bahwa sang maut segera menjemput. Padahal, umurku belum lewat setengah abad. Dan, fisikku sangat amat sehat, penyakit-penyakit penunaan belum menghampiriku. Tak ada tanda-tanda sergapan penyakit menahun atau tiba-tiba jantung stop. Namun, memang, sang maut kerap menjemput tanpa pandang telah berumur ataukah belum berumur. Aku teringat, kala mengikuti sebuah taklim khusus kawalang awwabin, bilamana di antara kami kedatangan tanda-tanda (maut) sedangkan ia meninggalkan harta yang banyak maka berwasiatlah untuk ibu-bapak dan karib-kerabat secara ma’ruf. Dan, hal ini pula pangkal rasa bingung mengental dalam diriku. Memang, ada orang yang sudah disambangi pertanda aan maut, toh, sampai melewati 94 musim rambutan belum jua dijemput oleh malaikat pencabut nyawa. Bimbang. Ragu. Aku berterus terang kepada Waris ataukah tetap menggelapkan jejak-jejak kelahiran dan keturunannya.
Berterang terus kepada Waris Nihil, rasanya, tidak mudah. Aku terlalu bersalah pada Waris. Lantaran, Waris adalah satu-satunya anak yang lahir dari rahim isteriku dan dari benihku pula, kami sangat memanjakannya. Lantaran kualitas akademiknya sedikit di bawah rata-rata, segala cara kutempuh buat menyekolahkan Waris ke sekolah pilihan favorit, termasuk harus kongkalikong dengan panitia penerimaan siswa baru. Sampai di umurnya yang 20 ini, Waris menjadi anak muda yang takut berinisiatif, pasif dan sangat bergantung pada aku dan isteriku. Aku jadi kembali teringat seorang kawan semasa SMA dulu yang mendapat gaya mendidik dari kedua orang-tuanya semacam apa yang terapkan pada Waris Nihil. Si kawan ini sangat pasif, tidak punya keberanian untuk mengurus sendiri permohonan surat keterangan tidak terlibat perilaku kriminal dari kepolisian, bahkan sampai-sampai linglung tatkala memasuki bursa kerja, kendati dirinya sempat lulus sarjana. Jangan-jangan Waris bakal mengalami perkembangan kejiwaan seperti si kawan lama itu. Aku penuh sesal, karena tidak memberi tempaan ke arah terbentuknya karakter pribadi yang tangguh, tanggap dan terngginas. Apalah arti sesal dan sesal susul-menyusul dalam kehidupanku ...
Sudah mewariskan jiwa tak sehat lagi buruk, sekarang aku mesti memutuskan, harus berwasiat. Bisa saja aku menganggap Waris Nihil sebagai anak angkat. Kalau sudah begini, aku tidak bisa memberikan warisan, paling-paling cuma hibah yang maksimal sepertiga dari seluruh harta-benda yang akan kutinggal pulang ke kampung akherat. Padahal, kerabat, tetangga dan kolega tahunya Waris Nihil adalah anakku semata wayang. Apa nanti kata mereka. Boleh jadi aku dicap sebagai orang tua yang tidak memperhatikan anak. Pilihan yang sungguh sukar!
Kendati begitu, sesulit apapun harus kuputuskan. Belum lagi aku berhadapan dengan rasa takut meninggalkan generasi yang papa penuh nestapa. Tapi, sudahlah, daripada menumpuk dosa di atas dosa, Waris Nihil cukup kuberi seperenam dari harta-hartaku karena ada Mbok Paijah yang turut menyaksikan aku berwasiat malam ini.  Biarlah begini, bisa Waris Nihil terpacu dalam kelemahan. Toh,  akupun memperoleh tak lebih dari sepertiga dari harta-benda bapakku yang tak seberapa banyak. ***

Sragen-Bekasi, 2003-2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar