fiksi
budi nugroho
Berpilar gaya Spanyol
Klasik. Berpenerangan ala negeri seribu lilin. Di garasiku bertengger Kuda,
Kijang dan Jaguar. Sudah lebih dari sepuluh musim tunggangan dan rumah surgawi
itu dalam genggaman hatiku. Saban jelang maghrib kupulangi, setelah seharian mengejar
mimpi-mimpi di metropolitan. Sejuk segar dalam terpaan angin hutan cemara.
Sirna penat yang merambat seharian.
Tapi, jelang maghrib
ini, kepingan-kepingan malam yang gelap gulita demikian cepat menyergap. Lorong
panjang pekat tiada pelita seolah tiada berujung. Nun jauh di depan sana, sepertinya
titik-titik putih kerlar-kerlip bak kunang-kunang. Makin kumaju melangkah,
kerlap-kerlip kunang-kuang semakin menjauh. Ditambah lagi, makin kumaju
melangkah, lorong bertambah pengap dan panas. Aku tetap saja terus melangkah
maju. Mustahil rasanya aku tersesat di depan pintu rumahku. Aku terus mengejar
kerlap-kerlip kunang-kunang. Semakin
kukejar semakin menjauh, semakin terengah-engah nafasku.
Sepertinya sampai
pula di kedekatan kerlap-kerlip kunang-kunang. Kuraba-kuraba, tak ada rasa.
Kerlap-kerlip itu, tiba-tiba, terasa berubah jadi bola api.
Sontak, rasa takut
menghantuiku. Kupanggil-panggil isteriku, “Ma, cepat nyalakan lampu teras. Jam
segini kok lampu belum juga dinyalakan, cepat nyalakan, Ma!”
Bayang hitam
menyembul dari tengah bola api. “Papa ini ada apa? Semua lampu sudah dinyalakan
Mbok Paijah. Papa tidak salah lihat?” suara isteriku dari dalam tengah-tengah
bola api.
“Tidak Ma, aku
betul-betul dalam gelap,” ucapku.
“Istighfar Pa, mohon
ampunan pada Tuhan. Barangkali Papa kecapekan kerja dan penat karena macet di
jalanan,” suara isteriku kembali keluar dari dalam bola api.
“Astaghfirullah ...”
Sebentar detik bola
api pecah menjadi titik-titik putih kerlap-kerlip kunang-kunang. Aku tetap saja
tidak bisa mendekatinya. Aku terus mendekat ke kerlap-kerlip kunang-kunang.
Sebentar mendekat. Kusorongkan tangan. Astaga.
Kerlap-kerlip itu membentuk satu garis lurus horizontal, berkilat-kilat.
Bagai batang petang diterpa mentari tengah hari. Bak kilatan-kilatan halilintar
di kala guyuran hujan menderas. Semakin dekat kusorongkan tangan, semakin naik tuh garis. Rasanya kuberjalan seperti
menaiki tangga, langkah demi langkah. Terus berkilat-kilat. Miris hati. Ngeri
tak terperi. Terbayang rasa ngilu tatkala menapakkkan langkah dari pertama
sampai ke anak tangga terakhir, yang entah di anak tangga ke berapa ratus.
Sepertinya lebih dari tiga ratusan anak tangga, lebih banyak daripada anak
tangga menuju ke kompleks kuburan raja-raja Mataram di Imogiri.
Ngilu. Sembilu
menyayat qalbu. Tapi, jelang maghrib ini aku mesti pulang, harus menapaki
tangga itu. Di anak tangga terakhir ada pintu masuk rumahku. Pintu kepulanganku
saban maghrib menjelang. Entah butuh berapa lama jalan menapaki anak tangga
demi anak tangga yang memiris. Belum kuinjak garis pertama, dari anak tangga
terakhir terdengar panggilan, “Cepat Pa, Mama sudah bukakan pintu. Waris anak
kita sudah menunggu di sini. Bentar lagi waktunya makan malam.”
Ya, anakku semata
wayang kuberi nama Waris Nihil. Aku ingin cepat-cepat menapaki anak tangga demi
anak tangga. Rasa ngilu, miris, menghentikan langkah niatku. Ajakan isteriku
terus mengetuk-ngetuk benakku, menusuk pada relung rasa kangen paling dalam.
Belum kutapakkan kaki
pada garis paling bawah, lagi-lagi muncul suara, “Hai manusia kotor, kamu belum
waktunya pulang. Bersihkan dulu jiwa-ragamu, kamu baru boleh pulang. Di catatan
ini, kamu belum saatnya pulang.”
Dari intonasinya,
jelas itu bukan suara isteriku atau anakku semata wayang Waris Nihil. Aku tidak
mengenali suara itu milik siapa. Rasa-rasanya, kerabatku, kolegaku,
adik-adiknya, kawan-kawan seperguruan, pun tiada satu pun yang punya suara
berat yang nge-jazz itu. Lalu, suara siapa ya? Tiba-tiba garis-garis putih
berkilat-kilat sirna dari pandangan mataku. Tahu-tahu aku sudah berada di depan
pintu rumahku. Aku kenal betul, pintu bercat kuning gading dengan gagang bukaan
keemasan, sedikit celah intai setinggi mataku, dan kepala buto ijo menggantung
dengan lidah menjulur buat ketukan bilamana orang mau bertamu ke rumahku.
***
Kuketuk pintu.
Perlahan namun pasti. Terbuka tiga jari. Kedua mata isteriku yang sedikit merah
menyambut, “Kok malam amat pulangnya, Pa? Ada lembur di kantor?” Pertanyaan
isteriku sungguh mengagetkan. Rasanya aku sudah tiba di teras rumah sejak
mentari belum benar-benar masuk peraduannya. Rasanya pula tadi isteriku sudah
membukakan pintu, minta aku cepat-cepat masuk rumah. Tapi kok, isteriku
bertanya begitu.
Aku semakin kaget,
kulihat jam di dinding ruang tamu rumahku menunjuk duapuluh menit lagi tengah
malam. Ke mana saja aku tadi ya. Sampai-sampai isteriku yang sangat nrimo dan penuh rasa sabar mengajukan
keraguan macam itu. Apakah lorong panjang menanjak nan pekat tiada pelita tadi
yang membuatku serasa demikian lama menempuh perjalanan sejengkal kaki? Entah,
aku cuma membatin. Aku tidak cepat-cepat menjawab keraguan isteriku. Karena, di
zaman multikrisis begini, kantor mana yang mau dilemburi, bisa tetap berproduksi
saja sudah menjadi semacam berkah dan anugerah yang sarat manfaat.
Lalu, jawaban apa
yang dapat kusampaikan agar tidak menyakitkan sikap nrimo isteriku. Aku tidak sampai hati membohongi isteriku yang
selalu setia mendampingiku sejak dari tiada berharta sampai sekarang bergelimah
kemewahan. Cukuplah dosaku saat membuatnya terusir dari keluarganya tatkala
ketahuan ada benih calon jabang bayi bersemayam di rahimnya. Keluargnya, waktu
itu, merasa amat berlumuran aib setelah bersusah-payah membentuk pribadi
isteriku sebagai perempuan bermartabat.
“Eh, Pa! Kok malah
mematung saja di situ. Ayo masuk, tuh anakmu sampai ndak mau makan malam.”
Kembali aku seolah
tersadarkan, aku masih berada di alam fana. Sepantasnya aku bersyukur,
didampingi isteri yang setia. Cuma, satu hal, kami tidak memperoleh anak
setelah 20 tahun sepakatmengucap iajab-qabul di depan Pak Pengulu. Kalau toh
ada Waris Nihil dari rahim isteriku, itu anak kami di luar ikrar ijab-qabul.
Dalam bahasa catatan sipil, anak tidak tercatat. Kendati begitu, hal ini tidak
lantas mengurangi kasih kami kepada Waris Nihil. Waris sungguh segala-galanya
buat aku dan isteriku.
Semula aku tidak merasa risih atas prosesi
kegadiran Waris ke dunia yang mendekati kiamat ini. Banyak kawan semasa SMA-ku
dulu mengalami hal serupa, baru tiga tau empat bulan mengucap ijab-qabul, eh si
jabang bayi sudah mbrojol. Beberapa
kerabatku pun harus menerima kenyataan beranak tapi tak memiliki anak. Si ayah
hanyalah ayah biologis, bukan ayah nasab. Buat menutupi rasa risih, aku
memohonkan akta kelahiran Waris Nihil wajar-wajar saja lengkap syarat: ada
identitas penduduk, surat nikah dan surat keterangan lahir dari rumah sakit
bersalin. Ihwal janin Waris Nihil tumbuh sebelum aku-isteriku jadi pasangan
syar’i, dapat kututp rapat-rapat. Waris pun kujauhkan dari kemungkinan bakal
mendengar asal-muasalnya. Dan, sampai sekarang, Waris tetap memanggilku papa
dan mama pada isteriku.
Tapi, pengalaman baru
saja, aku melewati lorong panjang pekat tiada pelita, benakku terusik. Apakah
aku baru saja meneui tanda-tanda bahwa sang maut segera menjemput. Padahal,
umurku belum lewat setengah abad. Dan, fisikku sangat amat sehat,
penyakit-penyakit penunaan belum menghampiriku. Tak ada tanda-tanda sergapan
penyakit menahun atau tiba-tiba jantung stop. Namun, memang, sang maut kerap
menjemput tanpa pandang telah berumur ataukah belum berumur. Aku teringat, kala
mengikuti sebuah taklim khusus kawalang awwabin, bilamana di antara kami
kedatangan tanda-tanda (maut) sedangkan ia meninggalkan harta yang banyak maka
berwasiatlah untuk ibu-bapak dan karib-kerabat secara ma’ruf. Dan, hal ini pula
pangkal rasa bingung mengental dalam diriku. Memang, ada orang yang sudah
disambangi pertanda aan maut, toh, sampai melewati 94 musim rambutan belum jua
dijemput oleh malaikat pencabut nyawa. Bimbang. Ragu. Aku berterus terang
kepada Waris ataukah tetap menggelapkan jejak-jejak kelahiran dan keturunannya.
Berterang terus
kepada Waris Nihil, rasanya, tidak mudah. Aku terlalu bersalah pada Waris.
Lantaran, Waris adalah satu-satunya anak yang lahir dari rahim isteriku dan
dari benihku pula, kami sangat memanjakannya. Lantaran kualitas akademiknya
sedikit di bawah rata-rata, segala cara kutempuh buat menyekolahkan Waris ke
sekolah pilihan favorit, termasuk harus kongkalikong dengan panitia penerimaan
siswa baru. Sampai di umurnya yang 20 ini, Waris menjadi anak muda yang takut
berinisiatif, pasif dan sangat bergantung pada aku dan isteriku. Aku jadi
kembali teringat seorang kawan semasa SMA dulu yang mendapat gaya mendidik dari
kedua orang-tuanya semacam apa yang terapkan pada Waris Nihil. Si kawan ini
sangat pasif, tidak punya keberanian untuk mengurus sendiri permohonan surat
keterangan tidak terlibat perilaku kriminal dari kepolisian, bahkan
sampai-sampai linglung tatkala memasuki bursa kerja, kendati dirinya sempat
lulus sarjana. Jangan-jangan Waris bakal mengalami perkembangan kejiwaan
seperti si kawan lama itu. Aku penuh sesal, karena tidak memberi tempaan ke
arah terbentuknya karakter pribadi yang tangguh, tanggap dan terngginas. Apalah
arti sesal dan sesal susul-menyusul dalam kehidupanku ...
Sudah mewariskan jiwa
tak sehat lagi buruk, sekarang aku mesti memutuskan, harus berwasiat. Bisa saja
aku menganggap Waris Nihil sebagai anak angkat. Kalau sudah begini, aku tidak
bisa memberikan warisan, paling-paling cuma hibah yang maksimal sepertiga dari
seluruh harta-benda yang akan kutinggal pulang ke kampung akherat. Padahal,
kerabat, tetangga dan kolega tahunya Waris Nihil adalah anakku semata wayang.
Apa nanti kata mereka. Boleh jadi aku dicap sebagai orang tua yang tidak
memperhatikan anak. Pilihan yang sungguh sukar!
Kendati begitu,
sesulit apapun harus kuputuskan. Belum lagi aku berhadapan dengan rasa takut
meninggalkan generasi yang papa penuh nestapa. Tapi, sudahlah, daripada
menumpuk dosa di atas dosa, Waris Nihil cukup kuberi seperenam dari
harta-hartaku karena ada Mbok Paijah yang turut menyaksikan aku berwasiat malam
ini. Biarlah begini, bisa Waris Nihil
terpacu dalam kelemahan. Toh, akupun
memperoleh tak lebih dari sepertiga dari harta-benda bapakku yang tak seberapa
banyak. ***
Sragen-Bekasi,
2003-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar