Pekan lalu, saya baru nonton film “Pak Sakerah” di Youtube. Film garapan sutradara B. Z. Kadaryono ini diproduksi tahun 1982; saya belum lahir jaman itu. Yang saya tahu, lakon “Sakerah” sering dimainkan oleh kesenian Ludruk.
Film ini mengambil setting kota Bangil, Jawa Timur, pada abad ke-19. Masih di jaman keemasan kolonialisme Hindia-Belanda. Saat itu kolonialisme Belanda sedang mendesak kaum tani dari lahan-lahannya untuk kepentingan industri gula.
Dari situ pula kisah Sakerah bermula. Untuk menopang industri gula, pihak kolonial butuh lahan banyak untuk ditanami tebu. Para penguasa lokal pun ditugasi memaksa petani menyerahkan lahannya. Di Bangil, tugas itu dilakukan oleh Carik Rembang. Ia tak segan-segan menggunakan jalan kekerasan untuk memuaskan nafsu tuannya: penguasa kolonial dan industri gula.
Pak Sakerah (W. D. Mochtar) tidak terima dengan perlakuan itu. Berkali-kali upaya Carik Rembang digagalkan oleh Sakerah. Maklum, Sakerah punya keahlian belah-diri yang tidak tertandingi. Ia tak segan-segan menghajar orang-orang yang menjadi ‘kaki tangan’ kolonial untuk memeras rakyat.
Di film itu, Pak Sakerah digambarkan sebagai jagoan yang suka membela rakyat tertidas. Ia punya istri yang sangat cantik, Marlena (Minati Atmanegara). Selain itu, ia punya keponakan bernama Brodin (Alan Nuari), yang doyan main judi dan menggoda perempuan.
Selain sebagai jagoan, Sakerah juga menjadi mandor pabrik gula Kancil Mas Bangil. Di pabrik itu, Sakerah juga jadi pahlawan. Ia sering tampil sebagai pembela hak-hak buruh. Maklum, para buruh sering disuruh bekerja diluar batas dan gajinya dipotong. Tak pelak lagi, Sakerah tampil sebagai pembela mereka yang tertindas ini.
Singkat cerita, kepentingan industri gula tergencet oleh aksi-aksi kepahlawanan Sakerah. Karena itu, sang pemilik pabrik memerintahkan Markus, seorang jagoan pabrik, untuk menghabisi Sakerah. Markus pun memulai aksinya. Untuk memancing kemarahan Sakerah, ia menindas para buruh pabrik gula dan menantangnya. “Bilang sama itu mandor Sakera, aku pimpinannya. Bukan dia. Sakera Inlander,” ujar Markus.
Sakerah dilapori kejadian itu. Ia pun naik darah. Tanpa berpikir panjang, ia mencari Markus. Begitu ketemu, tanpa berpikir panjang, Sakerah menghabisi Markus dan pengawalnya. Mendengar kematian anak buahnya, sang pemilik pabrik naik pitam. Ia pun meminta bantuan Polisi Bangil dan Gubermen untuk menangkap Sakerah.
Sejak saat itu Sakerah jadi buronan. Polisi dan Carik Rembang dikerahkan untuk menangkapnya. Sakerah hanya bisa ditangkap dengan cara yang sangat licik. Carik Rembang mengancam akan membunuh ibunda Sakerah. Akhirnya, Sakerah yang begitu sayang ibunya itu pun menyerah. Ia dipenjara di Bangil.
Namun, saat di penjara, Sakerah justru mendengar banyak kabar pahit dari luar penjara. Pertama, ponakannya (Brodin) mengincar istri muda Sakerah, Marlena. Setelah melalui berbagai bujuk-rayu, Brodin berhasil menyelingkuhi Marlena. Kedua, kebiadaban kompeni Belanda makin merajalela. Sakerah marah besar. Akhirnya, dengan menggunakan kesaktiannya, ia berhasil kabur dari penjara.
Aksi pembalasan Sakera pun dimulai. Sasaran pertama adalah Brodin, ponakannya sendiri, yang telah menyelingkuhi istri mudanya. Brodin tewas ketika menghindar dari kemarahan Sakerah. Tak hanya itu, Sakerah juga membunuh pejabat-pejabat lokal yang menjadi kaki tangan pengusaha kolonial untuk menghisap rakyat. Carik Rembang pun tumpas di tangan Sakerah. Tak hanya itu, Sakerah juga berhasil menebas tangan Kepala Polisi Bangil dengan celurit-nya.
Polisi Belanda pun marah besar. Cara licik pun ditempuhnya untuk bisa menumpas perlawanan Sakerah. Untuk itu, polisi mencoba menyogok dua kawan seperguruan Sakerah, yakni Asik dan Bakri, untuk membantunya menangkap Sakerah. Asik dan Bakri tahu kelemahan Sakerah, yakni bambu apus.
Maka cara licik pun dipakai untuk menjebak Sakerah. Kebetulan Sakerah sangat suka tayuban. Asik dan Bakri kemudian menggelar tayuban untuk memancing keluar dari persembunyiannya. Taktik licik itu berhasil. Sakerah benar-benar keluar dan mendatangi Tayuban. Setelah disuruh melepaskan senjata sebagai syarat menonton, Sakerah dikepung oleh pasukan kolonial dan orang-orang pribumi yang menjadi antek Belanda. Saat itulah ia dipukul bambu apus oleh kawan seperguruannya sendiri, Asik dan Bakri. Sakerah pun tumbang.
Sakerah kemudian berhasil ditangkap. Pengadilan Bangil menjatuhinya hukuman mati. Akhirnya, dengan kepala tegak, Sakerah alias Sadiman menjalani hukuman gantung hingga mati. Berakhirlah perlawanan jagoan yang pro-rakyat kecil itu.
Legenda Sakerah adalah kisah pahlawan-pahlawan rakyat, yang biasanya jagoan dan disegani, dalam memerangi kekuasan yang menindas rakyat. Cerita-cerita itu biasanya tidak muncul dari mitos, melainkan dari kenyataan-kenyataan real yang dihadapi oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari.
Sayangnya, dalam film garapan B. Z. Kadaryono itu, nuansa jagoannya yang ditonjolkan. Sedangkan konteks sosial-historisnya kurang begitu diangkat. Dialog-dialognya juga kering. Akibatnya, perlawanan Sakerah terhadap kekuasaan kolonial dan antek-anteknya terasa sangat hambar.
Selain itu, seperti juga film-film lainnya di era Orba, kehadiran sosok-sosok perempuan dalam film ini hanyalah sebagai ‘pendamping’ atau pemuas keperkasaan laki-laki. Ini memperlihatkan betapa patriarkal-nya film-film yang lahir di era Orba. Tak jarang disusupi hal-hal yang berbau permesuman. Di sini ada adegan yang khas dalam film-film era Orde Baru, yakni aksi pemerkosaan terhadap perempuan muda sehabis pulang mandi di sungai. Adegan ini juga terjadi dalam film Pak Sakerah. Pelakunya adalah Brodin, ponakan Sakerah yang doyan judi, terhadap seorang perempuan penjaga warung.
Sebetulnya, kalau kita lihat ceritanya, Sakerah juga sebetulnya adalah sebuah kritik sosial. Satu, kritik terhadap penguasa atau tokoh-tokoh lokal yang mau diperalat dan dijadikan antek-antek oleh penjajah asing. Ironisnya, mereka yang bertindak sebagai antek ini malah lebih kejam dari tuannya. Dua, kritik terhadap mereka yang gampang dibeli oleh pemilik uang. Gara-gara diiming-iming bonus berupa uang, dua kawan seperguruan Sakerah, Asik dan Bakri, rela berkhianat. Karena alasan butuh uang, kita rela menjual martabat. Tiga, begitu gampangnya kita dipecah-belah oleh pihak asing. Sebagian besar kekuatan yang dipakai menumpas Sakerah adalah orang-orang pribumi sendiri.
Yani Mulyanti, Kontributor Berdikari Online
—————————————————————–
Pak Sakerah (1982)
—————————————————————–
Pak Sakerah (1982)
Sutradara: B. Z. Kadaryono
Penulis naskah: B. Z. Kadaryono
Durasi : 95 menit
Tahun Prokduksi: 1982
Pemain/aktor: W. D. Mochtar, Minati Atmanegara, Alan Nuari, dan lain-lain.
Penulis naskah: B. Z. Kadaryono
Durasi : 95 menit
Tahun Prokduksi: 1982
Pemain/aktor: W. D. Mochtar, Minati Atmanegara, Alan Nuari, dan lain-lain.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/sisi-lain/20131006/legenda-pak-sakerah.html#ixzz3A8MXkrcS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar