Senin, 11 Agustus 2014

Gula dalam Sejarah Indonesia

IMG_0001

Atas dasar modal gula ia menjadikan usahanya sebagai usaha raksasa dan internasional pada zamannya. Oei adalah pembayar pajak terbesar di Hindia Belanda. Belanda memberikan dia kedudukan inabilitas dalam dunia kolonial yang rasial itu.
Dalam perjalananku ke Jogja beberapa waktu lalu, aku bersama rombongan menyempatkan diri untuk mengunjungi pabrik gula Madukismo di daerah Bantul yang legendaris. Sudah sejak dahulu aku bermimpi untuk bisa mengunjungi pabrik gula ini, menyaksikan pengolahan salah satu produk perkebunan yang mewarnai sejarah bangsa ini.
Di Madukismo kami berkesempatan menyaksikan kegiatan pabrik dan menaiki kereta wisata yang biasa digunakan untuk mengangkut tebu ke dalam pabrik. Sayangnya kunjungan kami tersebut tidak dilakukan di masa produksi sehingga tidak bisa menyaksikan kesibukan pekerjaan pengolahan tebu menjadi gula. Masa produksi ini berlangsung antara bulan Mei – Oktober, dan menurut salah satu pemandu di sana apabila tebu diolah sebelum tanggal tersebut maka tidak ada cairan nira yang bisa dihasilkan sama sekali.
Kedatangan kami disambut ramah oleh pengelola Madukismo. Sambutan hangat khas penduduk Jogjakarta. Kami disajikan sejarah dan proses pengelolaan pabrik oleh Pak Agus sebagai perwakilan manajemen perusahaan. Menurutnya penjelasannya, pabrik gula Madukismo didirikan pada tahun 1955 oleh prakarsa Sri Sultan Hamengkubuwono IX, untuk menghidupkan kembali 17 pabrik gula yang dibakar ketika zaman revolusi. “Ketujuh belas pabrik gula tersebut digunakan sebagai markas pasukan Belanda, sehingga terpaksa dibakar,” ujar Pak Agus. Akibatnya muncul ribuan pengangguran bekas pekerja pabrik yang perlu selekasnya dipekerjakan kembali untuk menghindari hal-hal yang buruk. Dengan demikian didirikanlah pabrik gula Madukismo yang hingga saat ini mempekerjakan ribuan pekerja selama musik produksi.
Sejarah Jawa Tengah dan Jogjakarta memang tidak bisa dilepaskan dari komoditas gula ini. Gula identik dengan kawasan tersebut, sebanding dengan kopi dari Jawa Barat. Oleh karena itu tidak aneh rasanya apabila di kawasan Jawa Tengah dan Jogjakarta itu banyak terdapat makanan yang manis-manis. Minuman teh tidak lengkap apabila disajikan tanpa gula, berbeda dengan di Jawa Barat yang seringkali disajikan tanpa gula.
Nah untuk lebih jelasnya mengenai sejarah gula di Indonesia dan Jawa Tengah khususnya aku akan memuat ulang sebuah artikel buatan Onghokham yang berjudul “Gula dalam Sejarah Indonesia”. Artikel ini dulunya pernah dimuat dalam harian Kompas tanggal 7 Januari 1985. Artikel ini mencerminkan pemikiran Onghokham yang menganggap gula dari pulau Jawa di bawah Pemerintah kolonial sebagai penopang utama ekonomi Hindia Belanda. Ekspor gula dari Jawa sebelum 1930-an merupakan seperempat dari penghasilan pemerintah Hindia-Belanda. Tetapi gula yang merupakan tulang punggung ekonomi kolonial, baik bagi negara maupun pengusaha besar swasta, ternyata merupakan beban bagi rakyat petani, menyebabkan terpecahnya tanah-tanah persawahan, yang kemudian menyebabkan kemiskinan bersama bagi kelompok petani Jawa apalagi setelah terjadinya malaise tahun 30’an. Berikut tulisan lengkapnya.
GEDSC DIGITAL CAMERA
Pabrik Gula Madukismo (Dok. Pribadi)
GEDSC DIGITAL CAMERA
Lori pengangkut tebu di Pabrik Gula Madukismo (Dok. Pribadi)
GEDSC DIGITAL CAMERA
Pabrik Gula Madukismo (Dok. Pribadi)
***
Gula dalam Sejarah Indonesia
Selama puluhan tahun gula dari Pulau Jawa di bawah pemerintahan kolonial Belanda disamakan sebagai “gabus tempat Pulau Jawa mengapung” (de kurk waarop Java dreef). Artinya perekonomian kolonial Belanda berpusat pada Pulau Jawa, karena ekspor gula dari Pulau Jawa sebelum 1930-an merupakan 1/4 dari penghasilan pemerintah Hindia Belanda.
Tiba-tiba timbul krisis ekonomi yang dimulai dengan jatuhnya bursa New York pada pertengahan kedua tahun 1929, berlanjut dalam tahun 1930. Depresi ekonomi paling tajam yang dikenal selama ini terjadi. Pasar bagi gula dari Jawa jatuh.  Dengan hilangnya pasaran gula, Jawa juga tidak berfungsi lagi sebagai penghasil ekspor, berarti berhenti pula fungsinya sebagai pusat ekonomi kolonial. Gula ini khusus produk Jawa dan hampir tidak terdapat di pulau lain.
Daerah lain di luar Jawa, terkenal karena menghasilkan karet. Di Jawa memang ada karet, namun tidak demikian banyak seperti di Kalimantan atau Sumatera. Karet di sini disebut, karena mungkin dari semua hasil perkebunan, karet merupakan hasil perkebunan pertama yang sembuh dari depresi ekonomi. Karena karet diperlukan oleh industri perang yang dalam tahun sekitar 1930, mulai tumbuh lagi berhubung dengan persiapan perang antara negara-negara besar Barat. Gula yang terbuktiakan menjadi demikian “getir bagi umat manusia” tidak diperlukan atau diproduksi.
Tulisan ini tidak menyoroti jatuhnya gula dari Jawa, tetapi justru masa kejayaan ekspornya dan akibatnya bagi penduduk petani Jawa. Artinya, bagaimana nasib petani Jawa ketika perekonomian negara kolonial Hindia BElanda “berbaring atas ekspor gula Jawa”.  Sesuatu yang mungkin berguna di tengah keluhan meruginya pabrik-pabrik gula (Kompas, 3 dan 4 Desember 1985).
IMG_0004
Pabrik pengolahan tebu jaman VOC
Sejarah Gula
Tebu sudah ada di Pulau Jawa sebelum Belanda datang. Mungkin tanaman ini dibawa oleh orang-orang India atau Arab yang mengolah gula secara primitif, seperti di Jawa pra-VOC. Orang Jawa maupun VOC. Orang Jawa maupun VOC sebenarnya tidak pernah melihat gula sebagai hasil ekspor yang penting. Pada zaman VOC penanaman tebu besar-besara sebagai perkebunan dengan pabrik gula yang primitif, dimulai pada pertengahan abad ke-18 di Tangerang oleh penduduk Cina di sana. Selama VOC sampai tahun 1830, produksi gula mengenal masa pasang-surut, dan mungkin lebih banyak surutnya.
Baru sejak 1800, dengan diberlakukannya tanam paksa yang berlangsung sampai 1870, pemerintah Hindia Belanda mendirikan perkebunan-perkebunan ekspor di Jawa. Bahkan ada orang mengatakan, Pulau Jawa dijadikan perkebunan ekspor kolonial. Negara atau lebih baik alat-alatnya, yaitu pegawai Belanda (Binnenlandsch Bestuur) maupun pangreh-praja (pejabat Jawa) mengelola dan menjadi manajer perekonomian perkebunan ini. Mereka harus mencari tanah dan tenaga kerja bagi sistem Tanam Paksa. Pemasaran dan pengangkutan hasil perkebunan kolonial ini ditangani suatu perusahaan dagang Belanda semipemerintah Nederland yakni NHM (Nederlandsche Handels Maartshappij).
Pada tahun 1870, karena perkembangan masyarakat dan politik di Belanda yakni diperkuatnya golongan borjuis di sana, maka sistem Tanam Paksa dihapus. Masa perkebunan ekspor yang dikuasai negara kolonial dihentikan dan perkebunan dijual pada swasta Belanda atau nonpemerintah Hindia Belanda lain, seperti Cina dan Timur Asing lain yang bermodal atau para raja Jawa yang bermodal. Di antara perkebunan ekspor kolonial ini, gula adalah yang terpenting, khususnya di Pulau Jawa. Biarpun di luar Jawa ada perkebunan gula, namun sangat sedikit atau hanya sampai taraf persiapan.
Gula sebelum depresi 1930 merupakan faktor dinamika kapitalisme utama di Jawa. Mangkunegaran, sultan Yogyakarta, dan susuhunan Solo menghapuskan sistem pembayaran para priyayi dan abdi dalem dengan tanah dan menjadikan tanah itu sebagai perkebunan gula dan pabrik-pabriknya.Dari penghasilan gula ini para abdi dalem dapat digaji.
Beberapa pengusaha swasta Cina memindahkan modal mereka pada gula seperti Tam Tjien Kie dari Cirebon, Han Hoo Tong dari Pasuruan. Dan yang paling terkenal adalah Oei Tiong Hiam dari Semarang. Atas dasar modal gula ia menjadikan usahanya sebagai usaha raksasa dan internasional pada zamannya. Oei adalah pembayar pajak terbesar di Hindia Belanda. Belanda memberikan dia kedudukan inabilitas dalam dunia kolonial yang rasial itu. Artinya menurut struktur sosial Belanda ditempatkan dalam kasta tertinggi, dengan kasta pribumi atau golongan “berwarna” lainnya sebagai kasta rendahan. Namun Oei Tiong Ham di atas segala ini seperti juga para pengusaha swasta lain ynag besar.
Krisis ekonomi dunia yang juga menmpa Indonesia dalam abad ke-20 (1922-23 dan 1930-an) juga menimpa pengusaha swasta Belanda maupun Cina. Peran ekspor gula dari Hindia Belanda, khususnya dari Jawa yang berakhir sejak 1930 melahirkan struktur baru kepulauan Indonesia. Jawa tidak lagi merupakan penghasil ekspor atau devisa, dan sebaliknya menjadi konsumen penghasilan ekspor kelupauan Hindia Belanda. Di luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, di mana gula tidak pernah berperan penting, karet dan kopi lebih berperan. Pasaran karet dunia jauh lebih dahulu sembuh dari depresi konomi daripada pasaran untuk gula, berhubung karet merupakan bahan perang yang penting. Sedangkan dalam bagian kedua 1930, negara-negara mempersiapkan diri untuk saling berperang yang kemudian meletus dalam Perang Dunia ke-2 (1939-1945). Di lain pihak pasaran gula bagi Pulau Jawa tidak pernah pulih kembali. Inilah akibat dari ketergantungan dari satu jenis ekspor yang mendominasi perekonomian dan penghasilan negara kolonial.
IMG_0003
Salah seorang Suikerlord (Pengusaha Gula) Eropa
IMG_0003b
Proses pengangkutan tebu
Rakyat dan Gula
Kalau gula di Jawa merupakan tulang punggung ekonomi kolonial, baik bagi penghasilan negara maupun pengusaha besar swasta, maka ia merupakan beban bagi rakyat petani daerah gula. Menurut seorang sarjana antropologi terkenal, C. Geertz, gula mengakibatkan proses involusi pertanian atau terpecahnya tanah persawahan yang makin kecil. Suatu usaha, biasanya menjadi makin lama makin besar (evolusi). Perkebunan atau pabrik gula, karena untungnya meningkat, menyebabkan terbentuknya modal. Dalam hal involusi pertanian sawah sebaliknya, yang terjadi adalah mundurnya ke belakang, usaha makin kecil, seperti kita lihat pada struktur pertanian sawah di Jawa sekarang.
Masalahnya ialah, perkebunan gula cocok di atas tanah sawah dan kedua, usaha ertanian bersaing pula dalam kebutuhan banyak air. Selain itu ada persaingan tenaga. Dalam persaingan ini pertanian sawah kalah dengan perkebunan. Dalam zaman Tanam paksa (1830-70) yang melihat pesatnya perkembangan perkebunan gula, sistem memperoleh tanah dan tenaga bagi perusahaan gula, dikaitkan dengan sistem feodal Jawa, yaktni hak raja akan upeti (pada waktu itu disebut pajak tanah) dan tenaga kerja. Sejumlah petani sawah atau desa pertanian sawah diserahkan pada suatu perusahaan gula. Artinya tanah dan tenaga kerja dikuasai. Para petani harus menyerahkan sebagian tanahnya untuk perkebunan gula dan harus bekerja padanya dengan atau tanpa upah. Sebaliknya petani yang “mendukung perkebunan gula” dibebaskan dari pajak tanah. Pajak tanah dikaitkan dengan tanah yang diserahkan dan tenaganya.
Sistem ini mirip dengan sistem PIR (Perkebunan Inti Rakyat), kalau tak dalam prinsip. Dalam sistem perkebunan gula, yang mendukung adalah para pembayar pajak tanah dan yang memiliki tanah persawahan, bukan buruh tani yang tidak memiliki tanah, sehingga jumlah tenaga kerja sangat bergantung dari jumlah, artinya luasnya para pemilik tanah. Hal ini mengakibatkan tidak mungkin ada pemilik tanah yang luas. Bahkan makin diperlukan banyak tenaga pada perkebunan tidak terbatas pada gula saja, tetapi juga jenis yang lain seperti nila, kopi, di mana makin diperbanyak jumlah pemilik tanah. Artinya jumlah pemilik (penguasa_ tanah (sawah) disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja perkebunan. Dalam hal daerah perkebunan gula, hal pemecahan penguasaan tanah para petani ini makin terpecah dan terpencar, berhubung kalau perusahaan gula memerlukan tanah di suatu desa tertentu, maka para “pemiliknya” diberi ganti tanah di desa lain. Sehingga “pemilikan tanahnya” menjai terpencar dalam halan kecil dan terpisah-pisah.
Pola perkembangan perkebunan ini yang mulanya dilancarkan oleh negara kolonial berlangsung sampai Tanam Paksa berakhir pada 1870, dan diambil alih oleh swasta. Bahkan swasta Belanda, karena melihat peran negara dalam perkembangan perkebunan gula, meminta jaminan pemerintah kolonial. Mereka meminta negara tetap memakai segala upaya politis untuk menjamin tenaga kerja dan tanah baginya ketika swasta menanamkan modal ke perusahaan gula Hindia Belanda. Hanya dengan jaminan ini modal swasta Belanda dan swasta-swasta lain dapat beroperasi. (Onghokham, sejarawan, dosen Fakultas Sastra UI)
IMG_0002
Para pengusaha gula dan pekerjanya
(dari http://santijehannanda.wordpress.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar