Senin, 25 Agustus 2014

Membunuh Jiwa-jiwa tak Berdosa




“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, dan wanita dengan wanita ...” (QS Al Baqarah ayat 178)

Jakarta, akhir Agustus 2012. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis AfriyaniSusanti (29), terdakwa dalam perkara kecelakaan lalu-lintas yang menewaskan 9 orang di halte Tugu Tani, Gambir, dengan hukuman 15 tahun penjara. Vonis yang diterima perempuan 29 tahun pengendara Xenia pada Tragedi 22 Januari 2012 itu jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa (20 tahun penjara). Sebandingkah vonis itu dengan perbuatannya yang (tidak sengaja) menyebabkan 9 orang kehilangan nyawa? Yang jelas keluarga korban kecewa dan mengamuk usai palu vonis diketuk.

Barangkali hakim mempertimbangkan menjatuhkan vonis yang relatif ringan itu karena Afriyani sempat mengajukan permintaan maaf kepada para keluarga korban. Kasus ini berbeda dengan tragedi Turmudi yang menghabisi empat nyawa satu keluarga di Desa Sungai Itik, Kecamatan Sada, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, pada Maret 1997. Alasan Turmudi membunuh karena merasa dikhianati oleh pacarnya yang diduga menjalin hubungan asmara dengan pemuda lain.

Merasa diduakan, Turmudi kalap. Berbekal sebilah parang, bekas nakhoda kapal kayu ini pertama-tama membantai kakak kandung pacarnya, lalu ibu kandung pacarnya, pacarnya (Suwarni), dan terakhir keponakan si pacar yang kebetulan menyaksikan peristiwa tragis di dinihari itu. Empat anak manusia itu dibunuh saat mereka tertidur lelap. Tentu tak ada perlawanan sama sekali. Dari sudut pandang apapun, perbuatan Turmudi jelas tidak dapat ditolerir. Dari sudut agama, jelas, perbuatan itu termasuk dosa besar. Dalam pandangan penghargaan hak asasi manusia, tentu, sangat-sangat keras sebagai sebuah pelanggaran. Sebab itu, setelah melewati persidangan yang panjang, pada 21 Oktober 1997, Turmudi divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri KualaTungkal. Vonis ini lebih berat daripada tuntutan jaksa (20 tahun penjara).

Setelah delapan tahun mendekam di penjara, pertengahan Mei 2005, Turmudi dieksekusi oleh regu tembak dari Polda Jambi. Dalam rentang tempo yang relatif panjang menanti eksekusi, dia sempat mengajukan pengampunan (grasi) ke Presiden namun ditolak. Dalam penantian itu pula, kurang terekam apakah Turmudi sempat mengajukan permohonan maaf kepada keluarga atau ahli waris pacarnya. Entah. Yang pasti dia sudah menebus empat nyawa dengan satu-satunya nyawa yang dimilikinya.

***

HUKUMAN mati, sepanjang sejarang penegakan keadilan, senantiasa mengundang polemik: pro dan kontra. Tanggapan kontra terutama datang dari kalangan aktivis HAM. Mereka berpendapat bahwa hukuman mati sudah tidak layak lagi diterapkan. Negara-negara maju, sebagaimana negara Barat yang kapitalis, mengaku telah menghapuskan hukuman mati dari kosa hukuman dalam rumusan berbagai undang-undang. Alasan penolakan hukuman mati, seperti diungkapkan oleh Richard Quinney dalam bukunya Criminology (1979: 178-179), karena antara lain angka kasus pembunuhan tidak menunjukkan penurunan berarti kendati hukuman mati diberlakukan, angka pembunuhan tidak lebih tinggi antara negara yang menghapuskan dan negara yang memiliki pasal hukuman mati.
Sampai sekarang, penerapan hukuman mati tetap saja menjadi polemik. Hampir tidak ada satu pun negara di dunia secara terang-terangan menolak menerapkan hukuman mati. Negara kapitalis semacam Amerika Serikat tetap tidak mampu menghapuskan sama sekali penerapan hukuman mati. Beberapa negara bagian masih menerapkan undang-undang yang memiliki pasal hukuman mati.

Sejauh ini, boleh dikatakan, belum ada satu penelitian sahih yang mengaitkan faktor penerapan hukuman mati dengan penurunan angka kasus pembunuhan atau jenis perilaku kriminal lainnya. Haruslah diakui bahwa sebab-akibat kejahatan tidak berupa hubungan satu sebab satu akibat. Ada cukup banyak faktor pengaruh dan terpengaruh.
Kasus Turmudi jelas berbeda dengan kasus Afriyani Susanti. Satu hal menarik, membandingkan kedua kasus ini. Pada kasus Turmudi, sejauh ini, tidak terekam adanya satu proses permintaan maaf Turmudi kepada ahli waris pacarnya. Maka, tidak ada faktor yang meyakinkan hakim untuk menjatuhkan vonis lebih ringan daripada hukuman mati.
Pada kasus Afriyani (sebagai kasus pembunuhan secara tidak sengaja), terekam cukup gamblang bagaimana Afriyani berusaha meminta maaf kepada ahli waris keluarga korban. Hasilnya memang kurang menggembirakan. Beberapa keluarga korban belum bisa menerima permintaan maaf Afriyani Susanti. Terlepas dari hasil tersebut, hakim telah melihat ada niat dari Afriyani untuk meminta maaf sehingga hukuman bisa lebih ringan.

Afriyani terhindar dari hukuman mati. Al Quran Surat Al Baqarah ayat 178 menyebut, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan ata kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu permaafan dari saudaranya hendaklah mengikuti cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula...”

Qishaash mengandung arti mengambil pembalasan yang sama (setimpal). Qishaash tidak dilakukan bilamana pihak yang membunuh memperoleh kemaafan dari ahli waris yang terbunuh, yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak pihak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, misalkan tidak menanggung-nangguhkannya. Diat adalah pembayaran sejumlah harta karena sesuatu tindak pidana terhadap jiwa atau anggota badan.

Sepintas, tampak demikian gampang seorang pelaku pembunuhan menghindar dari qishaash. Tidaklah semudah yang diperkirakan. Faktor kesengajaan dan siapa yang menjadi korban pembunuhan merupakan hal-hal yang benar-benar mesti dipertimbangkan dan dijadikan acuan. Bilamana korban pembunuhan seorang muknim dan dilakukan secara tidak sengaja maka si pelaku harus membayar diat dan membebaskan hamba sahaya yang beriman. Soal tidak sengaja dapat dicontohkan seseorang menembak burung namun peluru nyasar lalu terkena seorang mukmin. Di zaman di mana perbudakan terbungkus rapi nan sempurna, menurut sebagian ahli tafsir, puasa selama dua bulan berturut-turut adalah sebagai ganti rugi dari pembayaran diat dan membebaskan hamba sahaya.

Lalu, bagaimana jika seseorang terlibat pembunuhan secara sengaja atau direncanakan? Al Quran Surat An Nisaa’ ayat 93 secara tegas menyebutkan bahwa barangsiapa yang membunuh seorang (mukmin) secara sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya. Dalam konteks yang lebih membumi, Al Quran Surat Al Israa’ ayat 33 menerangkan, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu alasan yang jelas. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli-warisnya...”
Sebagai catatan kaki, membunuh jiwa yang dibenarkan oleh syara’ antara lain qishaash, membunuh orang murtad, dan rajam. Lantas, soal kekuasaan di sini adalah hal ahli waris yang terbunuh atau penguasa untuk menuntut qishaash atau menerima diat.

***

TAMPAK jelas bahwa penerapan hukuman pidana Islam tidak seseram yang dibayangkan oleh banyak kalangan atau digembar-gemborkan kalangan Barat yang anti-Islam. Proses yang mesti ditempuh pun relatif sederhana. Tak perlu mengajukan grasi ke presiden yang jelas-jelas memakan waktu panjang dan melelahkan karena melewati birokrasi yang berbelit.
Sebab itu tidaklah beralasan menghapuskan aturan hukuman mati dari perundang-undangan yang ada. Pasal hukuman mati sampai sekrangan masih mendapat tempat di UU Narkotika, UU Antikorupsi dan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana proses eksekusi dan impelentasi hukuman mati agar tidak bertele-tele dan mengundang ketidak-pastian.

Jelas sangat menarik menempatkan ancaman hukuman mati terhadap para pedagang narkoba dan koruptor. Mereka telah membunuh (dalam arti seluas-luasnya) jiwa-jiwa yang tak berdosa. Jika sudah demikian maka apakah hukuman mati merupakan sebentuk kekejaman dan pelanggaran berat HAM? Hukuman mati, tentu, merupakan pembalasan yang setimpal. Relatif memang. Wallahu’alam bilsawab. (BN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar