Senin, 25 Agustus 2014

DUSTA SEJARAH KISAH KEN AROK, PERANG BUBAT & SUMPAH PALAPA

 (Analisa Penelusuran Isi Kitab Pararaton)


Oleh Ejang Hadian Ridwan 

    Sungguh suatu pencaharian yang teramat sulit dan melelahkan untuk menemukan jejak si pembuat atau pengarang dari kitab Pararaton, yang menjadi referensi atau sumber informasi sejarah dan sangat mendominasi alur cerita sejarah masyarakat Indonesia.

    Setidaknya kitab ini sangat mempengaruhi informasi dan arah sejarah nusantara tempo doeloe. Rasanya sudah bosen menelusuri dan mencari dari berbagai media online, buku sejarah, tetap saja tidak ditemukan jejak asal usul si pembuatnya.

    Seperti halnya dengan kitab-kitab (red, kitab = buku jaman lampau) yang lain, yang tidak diketahui siapa penulisnya (anonim) dan kapan waktu pembuatanya. Identitas dan waktu pembuatannya seperti inilah yang terkadang menyulitkan analisa dari kebenaran isi kandungan materi yang disampaikannya, hal ini dikarenakan referensi tentang latar belakang dan tujuan penulisannya itu sendiri tidak jelas.

    Padahal seperti diketahui bahwa kitab Pararaton, sudah seolah-olah mendarah daging di masyarakat luas, yang merupakan cerita sejarah nusantara masa lampu pada masa abad ke-12 sampai dengan abad ke-15, dan bahkan menjadi sumber inspirasi dari berbagai teori dan buku-buku yang beredar dimasyarakat, apakah itu buku sejarah resmi, kisah sejarah (epik) atau sekadar cerita fiksi dan mitos.


    Bahkan dalam buku-buku sejarah untuk dunia pendidikan juga tidak lepas dari pengaruhnya. Akhirnya menambah kekentalan dan semakin melekat pengaruh kitabPararaton itu terhadap pola pikir dan pengetahuan masyarakat tentang sejarah.

    Dalam berbagai media massa dan dunia hiburan sering mendapati cerpen, kisah-kisah sinetron, film-film atau cerita-cerita fiksi tentang kerajaan bahkan cerita resmi sejarah pun mempunyai rekontruksi, alur dan muatan yang sama dengan yang ada dalam kitab Pararaton tersebut.

    Suatu contoh kisah-kisah fiksi semisal Babad Tanah Leluhur, Tutur Tinular, Arok Dedes dan lain sebagainya yang pengambilan sebagian tokoh dan alur ceritanya yang disebutkan dalam kitab Pararaton. Bahkan banyak budayawan serta seniman yang membuat karya-karyanya terinspirasi dari situ juga.

    Seperti halnya Pramoedya Ananta Toer yang mengarang kisah Arok Dedes yang menurut versi beliau adalah kisah yang didasakan pada logika dan realistis, soalnya banyak pengarang tentang kisah Ken Arok dan Ken Dedes sebelumnya yang selalu tidak realistik tidak bersifat manusiawi dan penuh mistis yang tidak ada dasar logikanya.

    Kemudian ada juga contohnya seperti arca yang merupakan peninggalan sejarah, sering diperlambangkan atau diibaratkan sebagai tokoh dalam cerita Paparaton, misal Arca Prajna Paramita yang diibaratkan sebagai tokoh wanita rupawan Ken Dedes, dan ini malah menguatkan tentang cerita Ken Dedes itu sendiri, padahal arca itu sebagai wujud perupaan sebagai media pemujaan atau peribadatan terhadap dewa-dewi bagi para pemeluknya, dan itu ditelan mentah-mentah tanpa dilakukan riset dan logika pasti tentang kebenarannya.

    Sungguh teramat luar bisa, pengaruh kitab Pararaton terhadap cerita sejarah kebangsaan di negeri ini, padahal bukti-bukti sejarah belum bisa menjastifikasi kebenarannya. Pramoedya Ananta Toer mengangkat cerita Ken Arok dan Ken Dedes melalui judul bukunya Arok Dedes, walaupun dibuat serealistik mungkin dengan bersandarkan ke kenyataan kehidupan yang manusiawi, tapi ada satu hal yang terlupakan, yaitu kebenaran dari sosok Ken Arok atau Ken Dedes itu sendiri, bahwa apakah meraka pernah ada dan nyata dalam sejarah. Soalnya nama Ken Arok yang selalu dicocok-cocokan dan dianggap sama dengan Sri Rajasa Sang Amurwabhumi raja kerajaan Tumapel (Singhasari versi kitab Pararaton).

    Ken Dedes dengan beberapa tokoh tambahan lainnya seperti Tunggul Ametung dan Mpu Gandring yang terkenal dengan keris saktinya, apakah mereka juga adalah benar-benar para pelaku sejarah? Bukti-bukti sejarah yaitu prasati-prasati yang ditemukan, mempunyai kemiripan tahun dan tempat yang sama dengan Ken Arok, mungkin bisa jadi itu sosok Sri Rajasa Sang Amurwabhumi yang dimaksud Ken Arok di sana, mengingat dijelaskan juga gelaran dari Ken Arok yang diangkat raja pada waktu itu dan sama dengan yang disampaikan kitab Pararaton, tapi apakah Ken Dedes dengan yang lainnya ada juga bukti sejarahnya? Apakah benar pula cerita yang menghiasi latar belakang dan kehidupan Ken Arok itu seperti itu adanya? (Manusia berandalan, seorang kriminal, yang akhirnya menjadi raja besar pendiri Wangsa Rajasa leluhurnya raja-raja Majapahit).

    Satu hal yang pasti adalah bahwa nama tokoh-tokoh beken seperti Ken Arok, Ken Dedes, Tunggul Ametung dan Mpu Gandring, akan selalu menghiasi bingkai cerita-cerita masyarakat dalam segala bentuk dan versi terbarunya, dan mereka itu hanyalah nama-nama yang cuma ada dalam Kitab Pararaton, tidak ada sumber sejarah lain yang memunculkan nama mereka.

    Keris Mpu Gandring dibuat seolah-olah keris yang mempunyai manuat, teramat sakti, berisi kutukan dan menjadi misteri bagi mereka yang terobsesi oleh hal-hal mistis, bahkan sering dijadikan bahan penipuan untuk kepentingan memperoleh keuntungan bisnis semata dengan membawa-bawa nama besar mistis dari keris itu sendiri. Sungguh merupakan kebohongan dan kesesatan yang teramat nyata, tetapi mengapa sebagian masyarakat menerima begitu saja mitos yang tidak ada dasar logikanya. Penerimaan itu tentu saja bisa terjadi karena kitab Pararaton sendiri secara keseluruhan sudah diterima dalam pola pikir kehidupan masyarakat luas.

    Pertanyaan selanjutnya, apakah tidak salah kaprah bangsa ini dalam membesar-besarkan kisah mereka? Padahal dalam setiap penayangan-penayangan atau tulisan-tulisan yang dibuat selalu ada unsur-unsur sejarah yang dimasukkan, pada akhirnya sesuatu yang asalnya dari fantasi menjadi menjelma sebagai bentuk sejarah kebangsaan, malah menjadi kebanggan pula.

    Sri Rajasa Sang Amurwabhumi alias Ken Arok adalah raja besar kerajaan Tumapel pendiri dinasti raj-raja Wangsa Rajasa, yang merupakan cikal bakal dari lahirnya kerajaan besar sebagai penerusnya yaitu kerajaan Majapahit. Sri Rajasa Sang Amurwabhumi alias Ken Arok dikerdilkan sedemikian rupa oleh cerita kitabPararaton sebagai manusia hina dalam pandangan masyarakat, brandalan, kriminal, yang tumbuh jadi serorang raja besar.

    Padahal untuk menjadi seorang negarawan, apalagi seorang raja besar yang mampu menyatukan wilayah sebegitu luasnya, mulai dari perbatasan Kali Brebes di Jawa Tengah sampai ke penghujung Jawa Timur, haruslah seorang yang punya visi dan misi kenegarawanan, terlebih harus dapat diterima dan didukung masyarakat luas untuk tempo lama.

    Kitab Pararaton atau sering disebut juga dengan istilah kitab para raja (atau kitab para datu), adalah kitab yang berisikan informasi sejarah, ada penandaan tahun, tempat dan nama para pelaku itu sendiri, tetapi buku ini dirangkai dengan cerita fiksi, ada narasi atau pengkisahan yang memicu dan mempengaruhi emosi pembaca. Kepintaran dalam memberikan lemparan-lemparan kisah yang dramastis, yang sangat cocok dengan nuansa perasaan dan rasa sentimentil masyarakat pada umumnya.

    Terdapat kisah yang digambarkan secara mistis, erotis, konflik dan lain sebagainya walau tidak sedetail dan segamblang novel, tapi cukup memberikan berbagai polemik pertanyaan pada akhirnya. Ini juga yang memicu orang untuk selalu mengembangkannya.

    Keglobalan dari cerita inilah yang menjadi bahan inspirasi bagi para penulis lainnya. Penandaan tahun atau waktu peristiwa tidak selamanya cocok dengan bukti-bukti sejarah, tapi setidaknya ini dianggap cukup menjadi bahan referensi bagi perjalanan sejarah bangsa ini yang teramat minim dengan dokumentasi sejarah.
    Dokumentasi-dokumentasi sejarah inilah seharusnya sebagai acuan bagi siapa pun untuk menjadi sumber inspirasi bagi pengembangan cerita sejarah. Dokumentasi-dokumentasi ini pun mungkin sudah tereduksi oleh perjalanan perpolitikan negara dan sosial budaya masyarakat, terutama lamanya waktu kita dijajah oleh bangsa asing, tentunya mereka para penjajah mempunyai kepentingan-kepentingan politis, dan sangat mungkin juga informasi sejarah yang valid bisa diubah sesuai kepentingan mereka.

    Pemerintah dalam hal ini harus menjadi penengah bagi niat pelurusan sejarah yang telah tereduksi, dengan cara melakukan riset sejarah, usaha untuk pengumpulan bukti-bukti sejarah lagi secara maksimal. Dokumentasi-dokumntasi sejarah yang disimpan di Museum Nasional Indonesia harus dibuka ke publik, untuk dijadikan bahan dasar pengujian materil, bahan riset, wacana dan lain sebagainya, sehingga informasi dari sejarah dari dokumntasi-dokumentasi itu dapat dioptimalkan.

    Pemerintah tidak harus mengeluarkan biaya besar untuk sebuah riset dan uji materil dari bukti-bukti dan dokumentasi-dokumnetasi sejarah itu, karena dengan mempublikasikannya sebenaranya riset itu sendiri sudah dimulai dan publiklah para pelaku utamanya.

    Setidaknya ada beberapa pertanyaan mendasar dalam rangka menelusuri jejak asal muasal dari kebenaran apa yang ditulis dalam kitab Pararaton:

    1. Kapan kitab itu dibuat, atau pada kisaran jaman mana? Kalau dalam kitabPararaton sendiri dalam bagian akhirnya dsebutkan bahwa kitab itu ditulis pada tahun saka 1535 atau ekuivalen dengan 1613 Masehi, pertanyaan selanjutnya apa benar data itu soalnya, kitab aslinya atau versi penerbitan terakhir pun menurut informasi ada di Museum Nasional Indonesia yang tahun pencetakanya tertera 1966 Masehi, dan awal mula kitab Pararaton itu ditemukan oleh bangsa asing Belanda, kemudian diteliti oleh sejarawan Belanda yaitu oleh DR Jan Laurens Andries Brandes disingkat DR JLA Brandes, dipanggil Brandes kisaran tahun 1800 sampai dengan 1920 Masehi.

    2. Bagaimana dengan identitas si pembuat atau si pengarang itu, apa dan bagai mana latar belakang budayanya, bagai mana juga tentang riwayat pendidikannya? Ini akan menjadi curriculum vitai si pembuat, dan ini juga dalam rangka usaha dan upaya menilai sejauh mana keabsyahanya dari tingkat keraguan terhadap informasi yang diberikan.

    3. Apa motif dasar yang melatarbelakangi dan menjadi tujuan penulisan kitab itu? Apakah hanya cerita fikisi yang didalamnya disertai dengan memuatan informasi-informasi sejarah? Atau memang buku itu tujuan utamanya untuk memberikan informasi catatan sejarah tetapi dibalut dengan narasi fiksi?

    4. Apakah isinya dan data-data yang dimuat dapat dipertanggungjawabkan kebenaranya, bagai mana pula referensi pembuktian yang dia miliki seperti apa?, dan dari mana dia mendapat referensi sejarahnya itu?

    Tapi kelihatanya pertanyaan terakhir perlu waktu lama dan khusus untuk membahasnya, soalnya sudah beberapa puluh atau ratus ahli sejarah sudah mencoba menganalisa dan melakukan riset, tapi tetap pada akhirnya tidak ada justifiksi pasti tentang kitab Pararaton.

    Masih memerlukan waktu diskusi dan pencarian lebih lanjut, lumayan memakan waktu dan energi tidak sedikit, belum lagi pembuktian secara bukti sejarah. Itu yang bikin repot, soalnya sangat minimnya dokumentasi-dokumentasi sejarah itu tadi.

    Selama ini para sejarawan atau pengamat sejarah, hanya mampu kasak kusuk tidak bisa membantah secara tegas dan langsung dengan karya bukti ilmiah, yang secara keseluruhan dapat mengubah pola pandang masyarakat.

    Ada memang beberapa pihak yang melakukan itu, tapi masih bersifat parsial tidak bisa mengubah secara keseluruhan. Tidak ada forum resmi yang terus menerus mempublikasikan hasil akhir dari sebuah temuan dan kesimpulan tentang bagai mana sejarah itu berlangsung dengan fakta yang benar, dan berani mengatakan serta menjustifikasinya, dan tidak pernah ada pengumuman resmi tentang pengelompokan kitab Pararaton. Kitab Pararaton apakah itu masuk kedalam kelompok jenis buku yang mana, sehingga ada filter dari masyarakat dalam mensikapinya.

    Ada beberapa data yang terkumpul dan hasil pemisahakan kelompok data yang ada dalam kitab Pararaton, dimulai dengan pengelompokan nama-nama pelaku yanga ada dalam kitab tersebut.
Dari statistik yang coba dikumpulkan, berdasarkan nama-nama orang atau para pelaku dalam Kitab Pararaton, terlihat hampir 85% nama-nama dalam nuansa yang biasa dalam pelafalan dan keseharian orang-orang Sunda, dari jumlah nama yang ada. Sekitar 55% nama-nama dalam nuansa yang biasa dalam pelafalan dan keseharian orang-orang jawa. Maka, ada selisih 30% adalah ada nama-nama yang biasa dipakai oleh kedua suku bangsa itu.

Berdasarkan data ini, dicoba untuk disimpulkan bahwa yang membuat kitabPararaton adalah mereka yang kental sekali atau paham/fasih berbahasa Sunda. Dilihat dari daftar jumlah para pelaku yang terlibat dalam kitab Pararaton sungguh fantastis, terlihat dengan jumlah total lebih dari 200 nama, dengan nama-nama berbeda, walau pun dalam kitab Pararaton sendiri sering mengambil nama alias, artinnya 1 orang bisa mendapat nama 2 atau lebih nama, atau bisa juga 1 orang hanya mewaliki 1 nama.

Statistik ini memberikan ukuran jumlah nama, bukan jumlah orang, untuk sebuah buku yang hanya berjumlah 35-an lembar dengan format tulisan misal Tahoma dan skala font 11, sungguh fantastis bisa menghasilkan lebih dari 200 nama, sementara isi dari kitab pararaton sendiri bersifat semi fiksi, artinya si pengarang akan ada kesulitan besar dalam membuat dan menyesuaikan nama-nama tersebut sesuai urutan waktu kejadian dan tempat, dan diyakini akan muncul deviasi atau penyimpangan dari pemilihan-pemilihan nama-nama itu.

Penyimpangan-penyimpangan nama itu adalah keuntungan untuk para penganalisa, soalnya kecendrungan nama yang diberikan akan sangat terpengaruh oleh latarbelakang si pengarang atau pembuat, keuntungannya itu yaitu untuk menganalisa identitasnya walaupun hanya secara garis besar.

Dilihat dari nama-nama yang muncul dan hasil prosentase yang coba dilakukan, terlihat nama-nama dalam nuansa Sunda yang paling dominan, seperti yang tadi disampaikan, bahwa si pembuat adalah mereka yang paham dan terbiasa dengan nama-nama keseharian dari orang Sunda.

Dalam hal ini bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa ini rekayasa dari orang-orang suku Sunda, tapi bisa jadi oknum, yang mungkin dari para sastrawan Sunda atau pihak lain yang sangat paham tentang adat dan kebiasaan dari orang Sunda.

Bahkan satu hal yang tidak dipahami logika sama sekali, mengapa Raja Majapahit yaitu Maharaja Sri Rajasanegara hanya terkenal dengan sebutan Hayam Wuruk, dan nama ini berasal dari kitab Pararaton, bukan terkenal dengan nama aslinya.

Kata hayam dalam bahasa Sunda mempunyai pengertian ayam dan wuruk dalam bahasa Sunda mempunyai pengertianya adalah jago lebih kearah jagoan atau jantan secara pertarungan atau perkelahian, kalau disatukan artinya adalah ayam yang jagoan dalam hal bertarung atau berkelahi, itulah pengertian Hayam Wuruk yang menjadi sebutan nama bagi pemilik kerajaan besar Majapahit. Hayam dan wuruk adalah kata yang dalam pelafalan dan arti dalam bahasa Sunda yang sudah biasa.

Seluruh bangsa Indonesia sangat fasih kalau ditanya tentang nama raja Majapahit, pasti dengan sepontan mereka menjawab Hayam Wuruk. Ini membuktikan sebegitu besar pengaruh kitab Pararaton untuk untuk memberikan warna sejarah kebangsaan.

Nama Hayam Wuruk selain dari kitab Pararaton tidak ada nama referensi dari bukti sejarah lainnya, selain dari kitab kidung Sunda yang dicurigai merupakan penguat keberadaan kitab Pararaton, tapi spesifikasi atau khusus untuk mendukung terjadinya peristiwa perang Bubat, tetapi untuk bukti sejarah lainya yang bisa dipertannggung-jawabkan nama Hayam Wuruk belum ada bukti otentiknya. Menurut catatan sejarah, penerbitan kitab Kidung Sunda sendiri tidak lama berselang setelah kitab Pararaton diterbitkan.

Satu hal lagi, ada beberapa nama yang ditemukan yang biasanya nama-nama itu terdapat dalam kehidupan masa kini suku Sunda (red, penulis asli Sunda juga), seperti: Cucu, Kebayan, Tita, Tati, dan Macan Kuping. Paling tidak nama-nama itu, nama-nama yang diperkirakan muncul dan biasa tersebar pada kisaran abad sekarang ini atau satu abad sebelumnya paling tidak.

Apakah ini salah penerjemahan atau memang begitu adanya. Kalau memang begitu adanya berarti kitab ini belum lama diciptakan atau dibuat, masih dalam kisaran 1 sampai dengan 2 abad sebelumnya atau sekitar abad 19 dan abad 20.

Analisa lainya yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas yaitu mengenai perihal status dan motif yang mendasari kitab ini ditulis. Di akhir naskah kitabPararaton terdapat petikan sebagai berikut:


"Demikian itulah kitab tentang para datu. Selesai ditulis di Itcasada di desa Sela Penek, pada tahun saka: Keinginginan Sifat Angin Orang, atau: 1535.
Diselesaikan ditulis hari Pahing, Sabtu, minggu Warigadyan, tanggal dua, tengah bulan menghitam, bulan kedua.
Semoga ini diterima baik oleh yang berkenan membaca, banyak kekurangan dan kelebihan huruf-hurufnya, sukar dinikmati, tak terkatakan berapa banyaknya memang rusak, memang ini adalah hasil dari kebodohan yang meluap-luap berhubung baharu saja belajar.
Semoga panjang umur, mudah mudahan demikian hendaknya, demikianlah, semoga selamat bahagia, juga sipenulis ini."

Kalau dilihat dari tahun saka 1535, tahun yang dinyatakan sebagai perlambang "Keinginginan Sifat Angin Orang", dan bisa jadi ini adalah bahasa isyarat (secret code) yang ingin coba disampaikan pengarang untuk menyatakan bahwa ketika dia menulis pada dasarnya adalah atas dasar perintah atau keinginan orang lain, yaitu dengan mencoba menafsirkan maksud dari "sifat arah angin" yang bisa saja dapat diartikan bahwa tulisannya yang dibikin, harus berdasarkan keinginan seseorang, sekelompok orang atau pihak tertentu.

Si pengarang memberi tanda atau kode isyarat sebagai informasi tersirat, karena bisa jadi apa yang ditulis merupakan kebohongan besar atau jauh dari kebenaran, walau pun ada fakta sejarah yang sama, disitu juga pengarang ingin memberitahukan bahwa dia bukanlah penulis yang layak.

Keterbatasan keilmuan dan sumber sejarah yang dimiliknya, yang juga dalam kondisi masih dalam taraf belajar atau baru saja mempelajarinya, ini artinya memang dia sadar apa yang ditulis dengan kemampuann yang dimilikya itu akan banyak celah untuk dipertanyakan kebenaranya.

Tapi kemampuan dia paling utama yang sangat diperlukan pada waktu itu adalah kemampuan menulis, membaca dan berbahasa sastra kuno, sesuai dengan tujuan yang diperlukan oleh untuk kitab itu supaya kelihatan bukan hal yang direkayasa.

Kata-kata terakhir adalah ucapan doa panjang umur, seolah-olah bahwa ada bayang-bayang ketakutan, bahwa dengan menulis kitab Pararaton itu dia sadar akan risiko yang akan dihadapi setelahnya. Bisa jadi si pengarang di bawah bayang-bayang ancaman kematian, yaitu dari pihak yang menyuruh.

Hal ini sejalan dengan teori pembuktian, maksudnya untuk menghilangkan jejak, karena si pengarang tahu bahwa ada kepentingan besar atas kebohongan sejarah yang dibuat, sehingga kata-kata "juga si penulis ini" pada akhir kalimat adalah penegasan dari doa panjang umur yang dia panjatkan diawal kalimat, kemungkinan ini timbul akibat rasa ketakutan itu.

"Demikian itulah kitab tentang para datu” petikan ini sering diartikan, bahwa kitab Pararaton sebagai kitab yang berisi kisah para raja Wangsa Rajasa. Kata “datu” sendiri tidaklah biasa digunakan oleh orang-orang yang mempunyai latar belakang kesukuan Sunda atau Jawa, ini adalah istilah dalam bahasa Melayu.

Terlihat bahasa sastra yang digunakan adalah bahasa campuran bukan bahasa asli, dan bahasa campuran dengan melayu hanya terjadi pada abad-abad yang belum lama. Bisa jadi ini untuk mengkaburkan dan memberikan alibi bahwa orang Melayu yang membuat, tehnik memberikan jejak palsu.

Untuk sementara itu yang bisa disampaikan penulis, nanti lebih jauh akan dibahas mengenai urutan waktu mulai dari penemuan dan asal muasal kitab Pararaton ini diterbitkan. Urutan waktu dan asal usul kitab bisa dijadikan bahan untuk menhanalisa lebih jauh, latar belakang pembuatan dan kesimpulan yang merupakan justifikasi tentang kitab Pararaton ini. (bersambung ke bagian II).

Wassalam
Penulis


Referensi :
1. Kitab Pararton dari : Ki Demang - Situs Sutresna Jawa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar