Tak dapat dipungkiri, Solo memang terkenal sebagai kota bersejarah. Banyak bangunan-bangunan tua di kota ini yang menyimpan sejarah penting bagi Bangsa Indonesia. Salah satu bangunan penting yang mungkin tak banyak dikenal khalayak adalah perusahaan rekaman Lokananta.
Bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 21.500 meter persegi tersebut didirikan pada tanggal 29 Oktober 1956. Terletak di Jalan Ahmad Yani, Solo, Jawa Tengah, bangunan tua yang masih berdiri kokoh tersebut diresmikan oleh Menteri Penerangan RI, Soedibjo dengan nama Pabrik Piringan Hitam Lokananta, Jawatan Radio Kementerian Penerangan Republik Indonesia. Lokananta adalah perusahaan rekaman pertama di Indonesia.
Menurut Kepala Cabang Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Lokananta Surakarta, Pendi Heryadi, nama Lokananta diambil dari cerita pewayangan, yakni seperangkat gamelan dari Suralaya, sebuah istana dewa-dewi di kahyangan. Nama tersebut diusulkan oleh Direktur Jenderal RRI pada saat itu yakni R Maladi, yang kemudian disetujui Presiden Indonesia pertama Soekarno.
Perusahaan rekaman Lokananta tersebut memiliki fungsi, merekam dan memproduksi atau menggandakan piringan hitam untuk bahan siaran 27 studio Radio Republik Indonesia (RRI) seluruh Indonesia sebagai transcription service (non komersial).
Pendi Heryadi mengungkapkan, pada awal berdiri tahun 1959, Lokananta hanya difungsikan untuk merekam dan memproduksi piringan hitam. Salah satu di antaranya, untuk kebutuhan bahan siaran bagi studio RRI (Radio Republik Indonesia) di seluruh negeri ini. Perusahaan rekaman Lokananta juga menjual rekaman dalam bentuk piringan hitam kepada masyarakat umum.
Produksi dalam bentuk piringan hitam tersebut terus berlanjut hingga tahun 1971 dengan memperluas bidang usahanya yakni tidak hanya dalam bentuk piringan hitam tetapi juga pita kaset suara (audio). Tetapi pada tahun 1972, perusahaan tidak lagi memproduksi piringan hitam, tetapi rekaman dalam bentuk kaset dan saat ini dalam bentuk compact disk (CD).
“Dulunya hanya untuk rekaman dan produksi piringan hitam, tapi seiring perkembangan jaman, kami juga memproduksi rekaman dalam bentuk kaset dan compact disk (CD)” ujar Pendi kepada merdeka.com,
Namun sayang, kini Lokananta berada dalam situasi sulit. Lokananta kesulitan keuangan.
Lokananta dulunya merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) milik Departemen Penerangan (Deppen). Melalui kebijakan pemerintah, pada tahun 2004 berubah menjadi Perum PNRI Cabang Surakarta. Meskipun perusahaan rekaman Lokananta ini memiliki nama besar pada jamannya dan menyimpan banyak dokumen sejarah, tetapi lambat laun mulai ditinggalkan.
Produksi rekaman jauh merosot dibandingkan dengan pada jaman keemasannya dulu. Bahkan karena alasan tidak menghasilkan, studio rekaman berhenti beroperasi sekitar tahun 1999 hingga tahun 2009 dan tidak ada lagi anggaran dari pusat. Namun studio ini mulai digunakan lagi sejak tiga tahun terakhir.
“Semenjak tidak ada anggaran, kami kesulitan untuk melakukan operasional. Sejak diserahkan dari Deppen ke PNRI dari 18 karyawan yang bekerja disini, hanya saya yang berstatus pegawai PNRI, lainnya hanya karyawan lokal. Kami kesulitan untuk menggaji mereka,” lanjutnya.
Menurut Pendi, per bulan biaya operasi yang dikeluarkan sekitar Rp 45 juta. Itu mencakup gaji pegawai, listrik, air, hingga biaya yang lain. Untuk menggaji mereka, pihaknya mengandalkan hasil penjualan rilis lagu-lagu lama dalam bentuk kaset dan CD, menyewakan kembali studio rekaman, hingga menyewakan properti bahkan mengalihfungsikan dapur menjadi lapangan futsal yang bisa disewa. Pendapatan Lokananta dari menggandakan CD dan kaset serta penyewaan ruang studio musik tersebut hanya Rp 30 juta Rp 35 juta.
Itu berarti setiap bulan defisit Rp 10 juta hingga belasan juta rupiah. Minimnya pemasukan tersebut, memaksa perusahaan untuk menggaji karyawannya sangat minim bahkan diantara mereka ada yang bergaji di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Solo yang saat ini sekitar Rp 900.000.
Perusahaan rekaman tertua hidup dengan sewakan lapangan futsal
Berbagai cara dilakukan Lokananta, perusahaan rekaman tertua di Indonesia untuk terus bernapas. Salah satunya adalah menyewakan lahan untuk arena futsal.
“Sebagai solusinya, sejak 2009 dengan seizin pimpinan kami manfaatkan banyaknya lahan kosong untuk dibangun sesuatu yang lebih berguna dan menarik minat. Salah satu di antaranya, kami mendirikan lapangan futsal dan menyewakan beberapa lahan kepada perusahaan sekitar. Bahkan banyak investor yang melirik tempat kosong di sini untuk dijadikan hotel berbintang'” ujar Kepala Cabang Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Lokananta Surakarta, Pendi Heryadi kepada merdeka.com, Senin (10/12).
Lokananta memang mempunyai lahan yang cukup luas, yakni 21.500 meter persegi. Dari jumlah tersebut baru sekitar 35 persen saja yang sudah dibuat bangunan. Itu pun berupa bangunan tua yang hingga kini belum pernah direnovasi besar-besaran.
Total ada tiga bangunan besar di sana, yakni gedung utama di bagian tengah, studio rekaman dan mes pimpinan di sebelah kanan.
Total ada tiga bangunan besar di sana, yakni gedung utama di bagian tengah, studio rekaman dan mes pimpinan di sebelah kanan.
Kini gedung utama, selain digunakan untuk kegiatan administrasi, dimanfaatkan sebagai museum alat-alat musik. Sementara studio rekaman yang dilengkapi dengan akustik yang cukup baik,tidak hanya untuk merekam lagu-lagu saja tetapi juga gamelan, bahkan bahan untuk ujian bahasa untuk siswa sekolah.
Untuk tetap bertahan, selain memanfaatkan lahan kosong Lokananta juga berulangkali melakukan promosi dengan mendatangkan beberapa penyanyi dan band top tanah air untuk melakukan rekaman di sana. Belum lama ini penyanyi ternama Glenn Fredly juga melakukan rakaman disana. Glenn membuat CD penampilannya bertajuk Glenn Fredly and The Bakuucakar Live At Lokananta. Kegiatan merekam di studio itu kemudian dijual bebas agar para pendengarnya mau peduli akan keberadaan studio legendaris itu.
“Glenn dulu rekaman disini. Slain dia ada beberapa grup musik yang rekaman juga, diantaranya Sheila on 7, White Shoes, The Couples Company. Mereka kebanyakan terperangah dan memuji performa studio ini. Bahkan, mereka berjanji akan merekam lagu-lagu terbaru disini semua,” Pendi bangga.
Sewakan studio rekaman
Untuk tetap bertahan, sejak tiga tahun terakhir, Lokananta juga menyewakan kembali studio rekamannya. Berbeda dengan studio rekaman pada umumnya, studi rekaman tertua tersebut memiliki ruangan yang sangat luas yakni 15 x 30 meter persegi. Dilengkapi dengan peralatan akustik yang cukup bagus. Tidak hanya merekam lagu-lagu saja tetapi juga gamelan atau karawitan. Bahkan bisa digunakan untuk ujian bahasa untuk siswa sekolah.
Sound Enginer N Andi Kusumo mengatakan, siapapun bisa menggunakan studio ini, termasuk artis atau band-band terkenal. “Tetapi semuanya harus membawa peralatan sendiri, karena kami tidak menyediakannya. Alat – alat kita sudah kuno, tetapi masih bisa dioperasikan secara normal. Kami mempunyaii kapasitas 32 track, tapi yang bisa digunakan hanya 24 track saja,” jelasnya.
Memori rekaman Bung Karno, Gesang, dan Waldjinah di Lokananta
Sebagai studio musik, teknologi yang diterapkan Lokananta ketika itu termasuk salah satu yang terbaik di Asia. Sejak berdiri Lokananta menyimpan sekitar 5.200 judul lagu dari berbagai genre musik seperti pop, jazz, tradisional, gamelan, lagu-lagu daerah, hingga rekaman humor dari grup lawak yang sebagian besar merupakan rekaman sekitar tahun 1950 hingga 1960.
Banyak dokumen dan karya berharga yang tersimpan di sana. Diantaranya rekaman pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1945 serta karya-karya masterpiece Gesang, Waldjinah, Buby Chen, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan permainan gending dolanan/karawitan dalam bahasa jawa, gubahan dalang ternama Ki Narto Sabdo. Yang lebih membanggakan, lagu kebangsaan Indonesia Raya juga direkam di perusahaan rekaman tersebut.
“Studio Lokananta itu menyimpan banyak sejarah, menjadi pabrik piringan hitam pertama serta rekaman audio pertama di Indonesia. Menyimpan koleksi rekaman berharga, ada rekaman pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1945, rekaman suara Gesang, Waldjinah, Buby Chen, Titiek Puspa, Bing Slamet serta lagu – lagu jawa karya dalang ternama Ki Narto Sabdo. Perusahaan ini mengalami masa keemasan pada tahun 1950-an, hingga 1970-an. Tetapi sejak tahun 1990-an, perusahaan ini terus mengalami kemerosotan, bahkan pada tahun 2001, Lokananta dilikuidasi,” ungkap Kepala Cabang Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Lokananta Surakarta, Pendi Heryadi di Solo,
Kini Lokananta berada dalam nestapa. Lokananta dulunya merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) milik Departemen Penerangan (Deppen). Melalui kebijakan pemerintah, pada tahun 2004 berubah menjadi Perum PNRI Cabang Surakarta. Meskipun perusahaan rekaman Lokananta ini memiliki nama besar pada jamannya dan menyimpan banyak dokumen sejarah, tetapi lambat laun mulai ditinggalkan.
Produksi rekaman jauh merosot dibandingkan dengan pada jaman keemasannya dulu. Bahkan karena alasan tidak menghasilkan, studio rekaman berhenti beroperasi sekitar tahun 1999 hingga tahun 2009 dan tidak ada lagi anggaran dari pusat. Namun studio ini mulai digunakan lagi sejak tiga tahun terakhir.
“Semenjak tidak ada anggaran, kami kesulitan untuk melakukan operasional. Sejak diserahkan dari Deppen ke PNRI dari 18 karyawan yang bekerja disini, hanya saya yang berstatus pegawai PNRI, lainnya hanya karyawan lokal. Kami kesulitan untuk menggaji mereka,” kata Pendi. (http://banyobiroe.wordpress.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar