31JUL
Tanggal 24 Juli 2013 BBI Jogja kedatangan tamu kehormatan. Bang Helvry, koordinator umum BBI, sedang ada tugas di Jogja. Sekalian saja didaulat untuk kopdar. Awalnya yang kopdar hanya saya, Dion dan bang Helvry. Tidak lama kemudian datanglah mbak Lutfi (koordinator GRI Jogja). Obrolan kopdar nggak melulu tentang buku saja. Apalagi ketika suami saya, Joel, ikut bergabung, obrolan berubah topik menjadi fotografi dan tempat wisata. Tiba-tiba saja mbak Lutfi bertanya, “sudah pernah ke Taru Martani, pabrik cerutu tertua di Indonesia?“. Karena belum ada yang pernah ke sana, jadilah agenda pertemuan berikutnya adalah hunting foto di Taru Martani.
Tidak banyak orang yang mengetahui kalau pabrik cerutu tertua di Indonesia ada di Jogja. Kalau selama ini wisata ke Jogja hanya seputaran Malioboro dan Kraton saja, cobalah ke pabrik ini. Lokasinya dekat dengan Stasiun Lempuyangan, Jogja. Dari stasiun bisa naik becak, bilang saja ke Taru Martani, tukang becak-nya pasti tahu. Tempatnya di daerah Baciro. Pabrik Taru Martani sebenarnya dibuka untuk kunjungan umum dengan membayar IDR 15,000/orang. Rombongan kami – bang Helvry, mbak Lutfi, bang Joel, saya, dan Keren (temannya mbak Lutfi) – cukup beruntung karena mbak Lutfi kenal dengan salah satu konsultan di sana. Jadinya kami masuk gratis, plus diantar sama manajernya langsung :) Saya melihat ada beberapa rombongan turis asing yang juga datang pada hari itu, dan setiap rombongan didampingi oleh guide.
Pak Ayub, salah satu manajer di Taru Martani, yang mengantar kami berkeliling. Bangunan pabrik yang masih bernuansa Belanda dipenuhi aroma wangi tembakau. Saat ini, karyawan Taru Martani berjumlah kurang lebih 250 orang, dengan fokus produksi cerutu dan tembakau kering. Produksi cerutu-nya sendiri ada yang manual (dengan tangan) ada juga yang memakai mesin. Proses produksi diawali dengan memisahkan ibu tulang daun tembakau dari helaian daun. Kemudian bagian helaian sebelah kiri dipisahkan dengan helaian sebelah kanan. Masing-masing ditumpuk secara terpisah. Setelah itu, daun tembakau dipotong sesuai ukuran tertentu untuk pelapis cerutu sebelah dalam. Sisa potongan digunakan untuk filler cerutu. Filler dicacah menggunakan mesin. Menurut Pak Ayub, mesin pencacah-nya itu masih peninggalan Belanda, yang mana di negeri Belanda sendiri sudah tidak diproduksi lagi. Setelah dicacah, daun tembakau dikeringkan sampai digunakan dalam proses selanjutnya.
Langkah selanjutnya adalah penimbangan filler, lalu pembungkusan filler dengan lapisan dalam. Dalam proses ini ada yang menggunakan mesin, ada juga dengan alat manual. Pengunjung boleh mencoba melinting cerutu dengan alat manual. Setelah itu, dilakukan pembungkusan dengan lapisan luar. Kali ini prosesnya manual pakai tangan. Ada berbagai macam ukuran cerutu yang dihasilkan melalui proses ini. Setelah cerutu jadi, kemudian dikemas dengan plastik, kertas, maupun kotak kayu. Cerutu yang dihasilkan oleh pabrik ini diekspor ke Amerika, Eropa dan Timur Tengah. Kalau tertarik membeli cerutu buatan pabrik ini, pengunjung bisa mendapatkannya di Koperasi yang ada di dekat pabrik.
Kalau mau mengetahui sejarah dari Pabrik Taru Martani bisa mengunjungi website-nya. (http://destinugrainy.wordpress.com/2013/07/31/taru-martani/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar