Bosscha, terutama bagi generasi sekarang, terlanjur identik dengan tempat peneropongan bintang di Lembang, lima belas kilometer di utara Bandung. Di mesin pencari (search engine) di internet, sama saja. Mengetik kata “Bosscha”, yang tersaji pertama pada kita adalah artikel-artikel yang berhubungan dengan observatorium tertua di Indonesia tersebut, selain tulisan yang menampilkan biografi tokoh kelahiran Den Haag, Belanda, 15 Mei 1865 itu. Padahal, untuk mengenal Karel Albert Rudolf Bosscha–demikian nama lengkapnya– orang mesti datang ke perkebunan teh Malabar, Pangalengan, sekitar lima puluh kilometer di selatan Bandung. Di sana, di tempat yang paling ia cintai itu, tercecer banyak cerita yang acap luput tercatat dalam buku-buku sejarah.
“Anda boleh tidak percaya, tetapi para pekerja perkebunan yang sudah tua seperti saya ini percaya Bosscha masih ada di sini. Setiap jam sembilan pagi ia duduk di kursi itu, berjemur sambil membaca koran sebelum mulai berkeliling mengawasi para pekerjanya,” begitu kata Upir (56), penunggu makam Bosscha sambil menunjuk kursi kayu di sebelah timur monumen makam.
Upir yang bekerja di Malabar sejak 1968 itu menyimpan banyak cerita tentang Bosscha. Semua ia dapat dari Iyet, sang mertua yang juga pernah bertugas menjaga makam. Sangat mungkin Iyet yang ia maksudkan adalah Iyet yang sama dengan Iyet yang ditulis Her Suganda dalam bukunya, Jendela Bandung. Nama lengkapnya Iyet Samhuri. Dilahirkan pada 13 Mei 1913, sangat masuk akal jika Iyet tahu banyak cerita tentang Bosscha karena hidup sezaman dengan “Sang Juragan” yang meninggal pada 16 November 1928.
Tentang kematian Bosscha, pemilik nama asli Uus Supriyatna itu punya cerita sendiri. Sejarah mencatat Bosscha meninggal karena terserang tetanus. Akan tetapi, bagaimana penyakit itu menjangkitinya, tak banyak yang bisa menjelaskan. Menurut Upir, tragedi berawal dari terjerembapnya kuda tunggangan Bosscha di Kebun Cikolotok saat berjalan menuju Bukit Nini untuk mengawasi pekerjanya. Luka di kakinya terkena kotoran kuda. Dari situlah penyakit mematikan itu masuk ke tubuh Bosscha.
Dikisahkan Upir, Bosscha meninggal dunia di pangkuan Suminta, seorang buruh perkebunan. Hal ini seolah menjadi simpul sejarah hidupnya di perkebunan yang memang terkenal dekat dan baik hati terhadap para pekerja. Sesuai dengan permintaannya sendiri, Bosscha dimakamkan di hutan kecil yang kini dijadikan Cagar Alam Malabar. Telegram ke Belanda mengabarkan permintaan terakhir ini dikirim dari Gunung Puntang.
**
Masih banyak lagi cerita tentang Bosscha dari mulut Upir. Cerita tentang kelajangan tokoh ini misalnya. Meski dikenal tak pernah memiliki istri, menurut Upir, Bosscha punya delapan selir perempuan pribumi. Dari salah satu selir, ia memiliki 3 anak, 2 lelaki dan 1 perempuan. Dua anak lelakinya sudah meninggal. Yang perempuan masih hidup dan diketahui tinggal di Sukabumi. Natal 2005 lalu, Upir bertemu dengannya saat meletakkan karangan bunga di makam ayahnya. “Namanya Noni Bosscha. Begitu kami memanggilnya,” kata Upir.
Belum lagi cerita Upir tentang kecintaan Bosscha terhadap tanaman teh dan burung-burung yang ada di perkebunan atau cerita tentang asal-usul nama Bukit Nini. “Kalau semua diceritakan, dua hari dua malam tak akan habis. Tuan Bosscha ini benar-benar orang besar. Orang besar yang baik hati,” ucapnya.
Upir pantas mengucapkan pujian itu. Bahkan sesudah Bosscha meninggal, ia masih kecipratan buah kebaikan hati “Sang Juragan”. Meski oleh pengelola agrowisata Malabar ia hanya diberi uang rokok Rp 5.000 per harinya, pendapatan ia kais dari pemberian sukarela para pengunjung yang berziarah ke makam. Dengan penghasilan semacam ini, ia menghidupi istri dan dua anaknya yang masih duduk di bangku SMA dan SD. Dua anaknya yang tertua sudah menikah.
**
Bosscha datang ke Indonesia, dulu Hindia-Belanda, dalam usia 22 tahun pada 1887. Mulanya, ia membantu bekerja di perkebunan teh milik pamannya, Edward Julius Kerkhoven, di Sukabumi. Pada bulan Agustus 1896, Bosscha mendirikan Perkebunan Teh Malabar dan menjabat sebagai Administratur selama 32 tahun. Selama itu, ia mendirikan dua pabrik teh dan menjadikan perkebunannya sebagai perkebunan yang maju. Bosscha menjelma menjadi “Raja Teh Priangan”.
Seiring dengan keberhasilannya, Bosscha tetap mempertahankan sikap kedermawanannya. Sekolah ia bangun untuk para buruhnya agar melek huruf. Perumahan bedeng juga ia siapkan secara laik menggunakan bahan-bahan kualitas nomor wahid. Di luar itu, selain tempat peneropongan di Lembang, ia juga berandil besar dalam pembangunan Technische Hogeschool Bandung yang kelak menjadi ITB. Donasi juga ia berikan kepada Lembaga Bisu Tuli, Lembaga Buta, Bala Keselamatan, dan beberapa rumah sakit di Bandung.
Perkebunan Malabar seluas 2.022 hektare yang sekarang terwariskan ke tangan anak-anak negeri, setiap hari dapat mengolah 60.000 kilogram pucuk teh. Pemasarannya sembilan puluh persen ke luar negeri. Tenaga kerja yang terlibat mencapai 1.860 orang.
Sejarawan Universitas Padjadjaran Mumuh Muhsin mengungkapkan, pola perkebunan yang dikenalkan pemerintahan kolonial di Priangan terbukti telah meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat yang semula menggantungkan hidup kepada pola tanam tradisional. Dibandingkan dengan petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur, petani Priangan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Pasalnya, hasil kebun seperti kopi, kina, dan teh, menjadi primadona pasar dunia.
Petani Priangan pun mendapat keistimewaan. Selain tidak menerapkan tanam paksa, pemerintah kolonial juga mencukupi kebutuhan beras petani. “Salah satu indikasi kemakmuran adalah tidak adanya perlawanan rakyat selama abad ke-19 di Priangan,” ucap Mumuh, sejarawan yang meneliti tentang perkebunan Priangan tersebut.
Melihat kondisi perkebunan teh dewasa ini, Mumuh mengaku amat prihatin. Potensi yang begitu besar tak bisa tergarap dengan optimal. Jika pada abad ke-19 Hindia-Belanda menjadi pengekspor terbesar kopi dan kina dunia, kini kemunduran terus terjadi. Demikian halnya dengan komoditas teh yang tak kalah potensial. “Saya jadi sering melamun, kenapa tidak pengelolaan kebun-kebun itu kita kerja samakan lagi dengan orang-orang seperti Bosscha?” kata Mumuh.
**
Warga Utama Bandung
Sebagai seorang pekebun, Bosscha pernah menduduki jabatan ketua biro ahli bidang teh, ketua kebun percobaan, serta jabatan lain dibidang tanaman teh. Didalam istilah ukuran, Bosscha mempelopori penggantian istilah pal dengan kilometer dan bahu(Sunda=bau) dengan hektar. Perannya sebagai pencinta iptek dan sebagai sosiawan nampak pada peninggalannya, antara lain peneropong bintang (Bosscha Sterrenwacht) Lembang, Technische Hoge School (ITB) dengan laboratorium fisika, serta menjadi dewan kurator sampai meninggalnya, lembaga tuli bisu (Doofstommen Institute),Nederland Indische Jaarbeurs (sekarang gedung Kologdam), pendiri yayasan kanker, lembaga lepra Plantungan, perusahaan telpon untuk Bandung dan Priangan (Telefon Maatschappij Voor Bandung and Preanger), perusahaan listrik Bandung (de Bandungsche Electriciteists Maatschappi), pabrik alat-alat dari karet, perusahaan impor mobil serta sederet jabatan dan penasihat dalam berbagai bidang. Demikian diungkapkan pakar teh dan budaya sunda, H. Kuswandi Md, SH dalam tulisannya bertajuk Pionir Perkebunan Teh Gambung dan Malabar yang pernah dimuat di Pikiran Rakyat, edisi 12 Oktober 2001 lalu.
Selama 32 tahun masa pengabdiannya di perkebunan teh Malabar, Bosscha telah berhasil mendirikan dua pabrik teh, yaitu Pabrik Teh Malabar yang saat ini dikenal dengan nama Gedung Olahraga Gelora Dinamika dan juga Pabrik Teh Tanara yang saat ini dikenal dengan nama Pabrik Teh Malabar.
Pada tahun 1901 Bosscha mendirikan sekolah dasar yang diberi nama Vervoloog Malabar. Sekolah ini didirikan untuk memberi kesempatan belajar secara gratis bagi kaum pribumi, khususnya anak-anak karyawan dan buruh di perkebunan teh Malabar agar mampu belajar setingkat sekolah dasar selama empat tahun. Pada masa kemerdekaan, nama sekolah ini berubah menjadi Sekolah Rendah, kemudian berubah lagi menjadi Sekolah Rakyat, sampai pada akhirnya diganti lagi menjadi Sekolah Dasar Negeri Malabar II hingga saat ini.
Pada tahun 1923, Bosscha menjadi perintis dan penyandang dana pembangunan Observatorium Bosscha yang telah lama diharapkan oleh Nederlands-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV). Bersama dengan Dr. J. Voute, Bosscha pergi ke Jerman untuk membeli Teleskop Refraktor Ganda Zeiss dan Teleskop Refraktor Bamberg. Pembangunan Observatorium Bosscha selesai ilaksanakan pada tahun 1928. Namun ia sendiri tidak sempat menyaksikan bintang melalui observatorium yang didirikannya karena pada tanggal 26 November 1926 ia meninggal beberapa saat setelah dianugerahi penghargaan sebagai Warga Utama kota Bandung dalam upacara kebesaran yang dilakukan Gemente di Kota Bandung.
Sumber tulisan : Koran PR Telisik 19 Juli 2010 dan rumah teh dot com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar