Sabtu, 16 Agustus 2014

Teh Gopek


Hasil gambar untuk pabrik teh legendaris

Perusahaan Teh Gopek didirikan di Slawi sekitar tahun 1942, bersamaan dengan jaman penjajahan Jepang di Indonesia. Pada awalnya, perusahaan Teh Gopek dimulai sebagai Home Industry dengan peralatan sederhana. Teh Gopek merupakan salah satu teh legendaris yang mempunyai cita rasa khas.


Nama Gopek mengambil makna dari pucuk daun teh yang bagus, yaitu Golden Orange Pekoe. Selain itu, nama Gopek juga berasal dari nama tengah 5 pemuda keluarga Kwee, yaitu Kwee PEK Tjoe, Kwee PEK Hoey, Kwee PEK Lioe, Kwee PEK Lo alias Tjokro Hadisusilo, dan Kwee PEK Yauw alias Tedjo Sukmono.

Alih-alih seperti pria kaya seusianya yang lebih banyak menghabiskan masa tua di vila dengan istri tercinta, sesekali bersama cucu-cucu, Kwee Pek Yauw lebih memilih duduk mengawasi pabrik keluarga yang dibangun bersama keempat kakaknya sekitar 70 tahun silam. Sekilas ia terlihat masih gagah. Namun ternyata, Yauw tak dapat lagi berinteraksi dengan orang lain terlalu lama. Maklum, penyakit jantung dan penyakit tua lainnya kian menggelayut di tubuh bungsu keluarga Pek ini, yang membuatnya tak boleh berbicara terlalu lama. "Senyum dong Bah ..," celoteh para wanita setengah baya dari balik jendela pabrik, meledek Babah Yauw yang tengah difoto fotografer SWA Hendra Syaukani..

Gopek lahir berkat gagasan Kwee Pek Tjoe. Awalnya, si sulung bekerja sebagai staf administrasi di perusahaan perkebunan teh di Slawi. Ia banyak belajar tentang bisnis teh poci dari mantan bosnya. Bekal ilmu yang diperoleh kemudian diimplementasi Tjoe dengan mengajak keempat adiknya membangun bisnis teh. Sayang, di tengah jalan Hoey memisahkan diri dari Gopek.

Perpecahan itu terjadi ketika Hoey menikah lagi -- setelah istri pertamanya meninggal dan istri barunya tidak mau merawat anak Hoey yang masih bayi, bernama Hantoro Ekadjaja. Akhirnya, bayi itu diasuh dan diangkat anak oleh Tjoe. Buntut perpecahan keluarga ini, istri baru Hoey mengajak mendirikan Perusahaan Teh 2 Tang, yang belakangan produknya lebih populer ketimbang Gopek.

Ketika Gopek harus diserahkan ke generasi kedua, Tjoe menunjuk Hantoro sebagai penerus bisnis keluarga, dan menjadi pemegang saham mayoritas sebesar 51%. Sementara itu, anak kandung Tjoe: Handoyo Ekadjaja, hanya memegang 18%, dan selebihnya milik Lo dan Yauw.

Fenomena bisnis keluarga yang tak lepas dari sisi negatif, antara lain, kecemburuan satu sama lain dalam tubuh Gopek. Yang satu beli rumah mewah yang lain kepincut. Akhirnya, uang yang semestinya bisa untuk modal usaha atau berekspansi terbuang percuma. Selain itu, keputusan yang menyangkut bisnis perusahaan tidak bisa dilakukan secara cepat, lantaran harus mempertimbangkan pendapat anggota keluarga lainnya yang juga pemegang saham.

Boleh dibilang, di masa generasi kedua (1940-1998) Gopek sangat ketinggalan dibanding pesaingnya, seperti Sosro dan 2 Tang, alias jalan di tempat. Baru setelah Hantoro lengser pada 1998 dan menunjuk putra tunggalnya, Soediono, sebagai pewaris Gopek -- Presdir sekaligus pemegang 51% saham geliat Gopek mulai terlihat.

Di tangan Soediono babak baru Gopek dimulai. Generasi ketiga lulusan pascasarjana bidang keuangan dari Australia itu mulai mengoprek Gopek. Tahap awal, pihaknya membenahi mekanisme distribusi. Gopek yang sebelumnya mengandalkan agen yang tersebar di Pulau Jawa, terhitung sejak 1999 mendirikan perwakilan di beberapa kota.

Sedikitnya satu perwakilan berhasil dibangun setiap tahun sejak 1999. Kelima perwakilan itu terdapat di Surabaya, Semarang, Purwokerto, Slawi dan Jakarta. Kota yang menjadi prioritas pendirian perwakilan Gopek, di mana Gopek pernah eksis, tapi penjualannya cenderung turun. Soediono pun membuat tim spreading perluasan area. Trimo mengakui, strategi seperti ini tak jauh berbeda dari perusahaan teh besar seperti Sosro. Bedanya, Sosro mampu membuat perusahaan distribusi sendiri, sedangkan di Gopek baru divisi.

Selain distribusi, status perusahaan dari firma di ubah menjadi perseroan terbatas, yakni PT Gopek Cipta Utama. Perubahan status usaha ini diiringi ekspansi pabrik. Yauw mengungkapkan, pabrik teh Gopek pertama ia beli pada 1965, tak jauh dari terminal Slawi. Kemudian, Soediono membeli bangunan pabrik persis di depan pabrik pertama, sehingga pabrik tadi memiliki 10 mesin pemanggang. Tahun 2001, kembali ia membangun tiga pabrik, yang masing-masing bangunan luasnya sekitar 1.000 m2. Dengan 10 mesin pemanggang, Gopek dapat memproduksi sekitar 200 karung teh (satu karung isi 30 kg) setiap hari, melibatkan sekitar 500 karyawan -- buruh dan staf kantor.

Sampai sekarang Gopek mengandalkan proses produksi yang masih alami. Dari awal teh hijau Gopek dicampur dengan bunga melati dan gambir. Melati disuplai langsung dari Purwokerto, sementara gambir diperoleh dari daerah sekitar. Untuk teh hijau, pasokan lebih banyak dari Sukabumi, Jawa Barat. Belakangan, tak sedikit perusahaan yang menggunakan essense(zat pewangi). Cara membuktikan teh yang menggunakan essense dengan yang alami, cukup mudah. Cukup melihat kondisi seduhan teh setelah beberapa jam. Yang menggunakan essense akan terlihat langit-langit di permukaan seduhan teh tadi.

Di generasi ketiga ini Gopek mulai berinovasi produk dengan menggunakan strategi ekstensi merek. Yang membedakan dari masing-masing itemproduk adalah logo atau gambar pada kemasan, misalnya ada teh Gopek bergambar cangkir. Awalnya ada keinginan dari manajemen Gopek membuat produk dengan merek teh Cangkir. Sayang, merek ini telah dipatenkan oleh industri rumahan di Pekalongan. Kelemahannya pada pendiri terdulu, tak terlalu memahami hak paten. Akhirnya, ketika ada yang mematenkan, tak bisa berbuat apa-apa lagi.

Gopek merupakan pelopor teh kering. Sayangnya, problem internal membuat perusahaan ini tak berkembang cepat. Di pihak lain, 2 Tang mampu berlari kencang. Tak heran, 2 Tang lebih populer dan penetrasi pasarnya lebih kuat ketimbang Gopek. Teh kering Sosro dan 2 Tang kini menguasai pasar dengan pangsa masing-masing 30%, sedangkan Gopek sekitar 25%. Sisanya, diperebutkan Tong Dji dan merek-merek lain. Untuk memantapkan posisi produknya di pasar, sejumlah rencana jangka panjang pun digelar Soediono bersama tim. Ia akan membuat terobosan baru, antara lain, rasa lebih bagus, kemasan lebih baik, ekspansi produk, perluasan wilayah pemasaran dan lainnya.

Tangan dingin Soediono membuahkan hasil. Sejak 1999 perusahaan ini menuai penjualan lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Di tangan generasi pertama dan kedua, pertumbuhan penjualan Gopek cuma berkisar 1%-2%, sedangkan di tangan Soediono bisa mencapai 20%. "Maklum, dulu pemiliknya tak berani mengalokasikan dana promosi, tak berani membuka perwakilan apalagi mengintervensi pasar," tutur Trimo yang bergabung dengan Gopek sejak 1999.

Untuk berekspansi pasar, selain membentuk tim spreading, Gopek kini mulai berani membuat inovasi produk dengan sistem testimonial. Artinya, produk baru dilempar dulu ke pasar. Bila minat orang mengonsumsi produk ternyata tinggi, barulah secara serius dipasarkan dengan dukungan promosi yang gencar.

Tak mudah bagi Gopek melancarkan serangan lebih gencar. Pasalnya, perusahaan ini harus berhadapan dengan pesaing tangguh yang punya sejumlah cara menghadang pasar. Tak sedikit produsen teh besar yang melakukan trik sangat kasar, seperti memborong teh yang mereka anggap sebagai pesaing -- termasuk Gopek -- dan menimbunnya. Bahkan gimmickhadiah ke pedagang, misalnya gelas, tak sedikit yang diborong, dikumpulkan lalu dihancurkan. Pertarungan sengit di lini distribusi bagi pemain di bisnis produk konsumsi memang kerap tak terhindarkan. Kita tunggu saja, seperti apa kelanjutan kebangkitan teh Gopek.
 Sumber: kucing-goreng.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar